“Nama lengkap kamu Revalia Putri?”
Reva mengangguk kaku. Dia terlihat gugup ketika tatapan penuh mengintimidasi ditujukan padanya. Setibanya di Adinata Group, gadis itu langsung menghadap kepala bagian personalia.
“Nama saya Delina Maharani, kamu bisa memanggil saya Bu Lina.”
“Baik, Bu.”
Lina kembali membaca CV milik Reva. Dia bersedekap sambil memicingkan matanya. “Kamu menerima rekomendasi dari siapa?”
Reva tersenyum kaku. Dia teringat kembali tawaran pekerjaan yang diberikan oleh salah satu karyawan di Adinata Group.
*
“Reva, ada tamu!”
Reva mengernyitkan dahi setelah mendengar teriakan dari ibunya. Dia sedang menyirami tanaman yang ada di halaman kecil belakang rumah kontrakannya.
“Reva!”
“Iya, Ma!” Reva bergegas menyelesaikan kegiatannya karena kembali mendengar seruan dari dalam rumah. Sebelum masuk, Reva tidak lupa mencuci tangan terlebih dahulu.
“Mama?” Volume suara Reva mengecil ketika sampai di ruang tamu. Dia melihat seorang pria muda duduk berhadapan dengan ibunya, Yuni.
“Reva, duduk sini!” Yuni yang melihat kedatangan Reva langsung memintanya duduk di sampingnya. Perhatian Yuni kembali pada tamu pria yang baru saja datang ke rumah mereka.
Tak jauh berbeda dengan Yuni, Reva terus memperhatikan pria yang memakai setelan formal itu. Matanya mengerjap polos. “Maaf. Bapak siapa, ya?”
Yuni langsung menyikut lengan Reva yang dibalas gerutuan kecil oleh putrinya. Dia semakin gugup mendapati ekspresi serius di wajah pria itu.
“Maaf, kalau kedatangan saya ke sini mengganggu waktu kalian.”
Yuni buru-buru menggelengkan kepala. “Sama sekali tidak, Pak.”
Reva hendak bertanya tetapi Yuni lebih dulu melayangkan tatapan tajam untuknya. Memberi isyarat pada Reva agar diam. Interaksi pasangan ibu dan anak ini ternyata berhasil tertangkap oleh pria itu. Dia memasang senyuman ramah kepada Reva.
“Perkenalkan, nama saya Naufal. Kedatangan saya ke sini ingin menawarkan pekerjaan untuk Anda.”
Reva menunjuk wajahnya sendiri. “Pekerjaan untukku?!” Dia refleks berteriak karena terlalu kaget mendengar tawaran itu.
“Aduh!” Reva ingin protes pada Yuni karena mencubit pahanya. Namun, melihat ekspresi ibunya yang jauh lebih spektakuler—mulut menganga lebar—Reva langsung menundukkan kepala karena malu. “Ma, mulutnya ditutup. Nanti ada lalat masuk.”
Yuni buru-buru mengatupkan bibir dan tersenyum kikuk pada Naufal. Dia menoleh sebentar pada Reva yang memasang seringaian jahil.
“Maaf, pekerjaan apa yang Anda tawarkan untuk putri saya?” tanya Yuni penasaran.
Naufal bergumam sebentar, lalu menjawab, “Jika melihat latar pendidikan Reva yang lulusan SMA, dia bisa bekerja sebagai office girl di perusahaan kami.”
Alis Reva bertautan. “Tunggu sebentar. Dari mana Bapak tahu kalau saya hanya lulusan SMA?”
Naufal tersenyum tipis. Dia mengalihkan perhatiannya pada Yuni. Ekspresi wanita ini justru terlihat mencurigainya.
“Bu Yuni?”
Reva menoleh kaget. Dia berbisik pada Yuni. “Ma, apa kalian sudah saling mengenal? Bagaimana orang ini bisa tahu nama Mama?” tanyanya penuh selidik.
“Mama juga tidak tahu, Reva,” jawab Yuni dengan gelengan pelan.
Naufal tertawa kecil. Di matanya, interaksi Reva dan Yuni terlihat lucu. Terutama ekspresi mereka yang selalu berubah-ubah.
“Saya tahu nama Bu Yuni karena sebelumnya pernah mendatangi restoran tempat Anda bekerja.”
Reva langsung menunduk malu. Sepertinya Naufal mendengar pembicaraannya dengan Yuni.
“Pemilik restoran yang memberitahu semua informasi tentang kalian. Saya mendengar bahwa Anda sedang membutuhkan pekerjaan. Itulah sebabnya saya datang ke sini untuk menawarkan pekerjaan pada Anda,” jelas Naufal pada Reva. Gaya bicaranya yang begitu tenang membuat ekspresi Yuni perlahan mulai rileks. Hanya Reva yang masih terlihat ragu dengan Naufal.
“Boleh saya tahu nama perusahaan tempat Anda bekerja?” tanya Yuni lagi.
Bibir Naufal melengkung sempurna. “Adinata Group.” Dia menjawab singkat.
Mata Yuni melotot. “Apa? Adinata Group?!”
Reva nyaris terjungkal karena terkejut mendengar teriakan histeris Yuni.
“Mama, kenapa tiba-tiba berteriak?” protes Reva kesal. Dia mengusap-usap dada demi menetralisir debaran jantungnya yang sangat cepat.
Yuni tersenyum kikuk. “Maaf, Mama kaget setelah mendengar nama perusahaannya.”
Dahi Reva mengerut tajam. “Memangnya itu perusahaan di bidang apa, Ma?” tanyanya ingin tahu.
“Setahu Mama, Adinata Group sangat terkenal karena termasuk perusahaan properti ternama di negara kita,” jawab Yuni.
Ekspresi Reva semakin kebingungan.
“Bagaimana? Anda menerima tawaran pekerjaan ini?” Naufal tidak peduli sikapnya barusan menyela pembicaraan antara Yuni dan Reva. Dia hanya ingin membutuhkan jawaban Reva secepatnya.
Reva dan Yuni saling memandang. Terlihat jelas Yuni langsung menganggukan kepala—seolah memberi isyarat pada Reva untuk menerima tawaran pekerjaan tersebut meskipun hanya sebagai office girl.
Namun, keraguan masih terlihat di wajah Reva. Jika benar seperti yang dikatakan ibunya, untuk apa perusahaan sebesar itu menawari pekerjaan padanya? Bahkan sampai repot-repot menyuruh seseorang dari perusahaan datang ke rumahnya hanya untuk menawari Reva pekerjaan sebagai office girl.
“Maaf, saya belum bisa memutuskan sekarang. Ini terlalu mendadak.” Reva menggigit bibir bawahnya, lalu menatap Naufal. Dia terheran mendapati ekspresi wajah Naufal berubah tegang.
“Saya akan mempertimbangkannya,” jawab Reva kemudian. “Terima kasih karena sudah datang untuk menawarkan pekerjaan pada saya, Pak Naufal.”
*
“Reva?”
“Iya!” Reva menyadari kesalahannya karena melamun di depan Lina. “Maaf, Bu.”
“Kamu belum menjawab pertanyaan saya. Kamu mendapat rekomendasi dari siapa?” tanya Lina lagi.
“Pak Naufal.”
Lina berdecih. “Pantas saja dia meminta saya mengawasi kamu. Apa kamu memiliki hubungan spesial dengan CEO kami?”
“Maaf?” Reva terlalu kaget sekaligus bingung dengan rentetan kalimat yang dilontarkan Lina. Kesan pertama Reva terhadap kepala bagian personalia ini.
Perempuan yang cerewet dan suka berbicara asal.
“Lupakan!” Lina membalas tegas kemudian menghela napas pendek. “Saya akan menjelaskan apa saja yang harus kamu kerjakan sebagai office girl. Dengarkan baik-baik. Kalau perlu catat semua perkataan saya setelah ini.”
Reva mengangguk. Dia buru-buru mengeluarkan notes kecil yang sudah disiapkan dari saku celananya.
“Kamu harus tiba di kantor jam delapan tepat. Secara umum, tugasmu memenuhi segala kebutuhan di dalam kantor. Mulai dari membersihkan dan merapikan meja, kursi, komputer dan perlengkapan lain. Menyiapkan minuman untuk semua karyawan.”
Lina menatap Reva lagi.
“Untuk tugas lainnya, kamu bisa bertanya pada rekan sesama office girl maupun office boy. Supaya pekerjaan kalian tidak saling tumpang tindih. Kamu mengerti?”
“Saya mengerti, Bu,” jawab Reva dengan penuh semangat. Sekilas dia tidak sengaja menangkap seringaian tipis di bibir Lina.
“Tunggu sebentar.” Lina meraih gagang telepon di mejanya, lalu menekan salah satu nomor. “Suruh Tika datang ke sini.”
Kurang dari 10 menit, sosok gadis dengan seragam kerja office girl datang dan menghampiri keduanya.
“Anda memanggil saya, Bu?”
Lina mengangguk. “Dia karyawan baru yang akan menjadi rekanmu sebagai office girl. Kamu saya tugaskan untuk membimbing dan membantunya. Jika dia melakukan kesalahan, tegur saja. Jangan lupa laporkan pada saya bagaimana kinerjanya.”
“Baik, Bu Lina.”
Lina memperhatikan Reva sebentar lalu mengedikkan dagu ke arah Tika. “Kamu ikut Tika. Dia salah satu office girl yang sudah bekerja cukup lama di sini. Anggap dia sebagai senior kamu.”
Reva mengangguk patuh. Dia memandangi Lina dan Tika secara bergantian
“Kenapa kamu masih diam saja?! Cepat kerjakan tugasmu!”
“Baik, Bu!” seru Reva lantang karena terlalu kaget dengan teriakan Lina.
Tika mati-matian menahan tawa saat melihat raut kekesalan di wajah Lina. Sedangkan Reva langsung menutup mulut dengan wajahnya yang merah padam. Malu sekaligus bersalah karena dia baru saja berteriak pada atasannya.
“Ayo!” Tika mengajak Reva keluar meninggalkan ruangan Lina.
Reva bergegas mengikuti Tika sambil memanjatkan doa dan memberi semangat untuk dirinya sendiri. Reva berdoa semoga di hari pertamanya bekerja bisa berjalan lancar.
TO BE CONTINUED
Mata Reva perlahan terbuka setelah dia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepalanya. Dia memperhatikan sekeliling, menyadari suasana kamar dalam keadaan temaram. Untuk sesaat, Reva meringis begitu rasa sakit kembali datang. Tangannya refleks memegangi pelipis karena kepalanya berdenyut“Reva?”Suara familiar itu menyapa gendang telinga Reva. Dia menoleh. Matanya nyaris tak berkedip saat mendapati Yuni duduk di sampingnya. “Mama?”Raut wajah Yuni terlihat cemas. “Kepalamu masih sakit?”“Sedikit.” Reva terdiam sejenak, lalu menyadari keberadaan Yuni secara mengejutkan. “Kenapa Mama bisa di sini?”Yuni tersenyum tipis. Dia sudah menebak pertanyaan itu dan tidak langsung menjawabnya. Yuni justru memilih memijat lembut pelipis Reva terlebih dahulu.“Mama?” Reva semakin penasaran melihat sorot mata Yuni begitu tajam.“Mulai hari ini,” Yuni mengambil jed
Jeritan Reva dari kamar terdengar sampai kamar Azka. Dia bergegas keluar menuruni tangga menuju kamar Reva. Tanpa basa-basi, Azka membuka pintu kamar Reva dengan dorongan kasar.“Re—” Bibir Azka terkatup rapat seiring dengan matanya yang melotot. Bukan hanya pemandangan Reva yang masih memakai bathrobe, tetapi keberadaan Aris yang duduk di tepi tempat tidur. Darah Azka serasa mendidih melihat pandangan Aris terus tertuju pada penampilan Reva.“Akh!” Aris berteriak kesakitan begitu mendapat jeweran penuh kasih sayang dari Azka. “Kakak, sakit!”“Apa yang kamu lakukan di sini bocah tengik?!” semprot Azka tak melepaskan tangannya sedikit pun dari telinga Aris.“Aduh, aduh!” Aris memegangi tangan Azka. “Lepaskan tanganmu, Kak! Telingaku sakit!”“Sedang apa kamu di sini? Kamu mengintip Vava mandi, hah?!”Reva yang berdiri menghadap pintu kamar
“Pak, kita sudah sampai.”Suara dari sopir membuyarkan lamunan Azka. Dia mendekati kaca jendela mobil dan baru menyadari bahwa mobil sudah berhenti di halaman depan rumahnya. Azka melihat sopir keluar dan bergegas membukakan pintu untuknya.Kepulangan Azka disambut ramah oleh Heri. “Selamat datang, Pak.”Azka mengangguk. “Di mana Reva?”“Non Reva ada di taman belakang.” Heri terdiam sebentar sambil mengamati ekspresi wajah Azka. “Untuk makan siangnya mau disiapkan sekarang, Pak?”“Tidak usah. Aku sudah makan di luar.” Azka hendak melangkah ke taman belakang, tetapi berbalik kembali pada Heri dan menanyakan sesuatu. “Tadi saat jam makan siang, apa Reva menungguku?”“Iya, Pak.”Heri tersenyum tipis. Masih membekas dalam ingatannya wajah murung Reva ketika menikmati makan siang hanya bersama Aris. Candaan konyol yang dilempar Aris tetap tidak
Lina sedang mencuci tangannya pada wastafel yang tersedia di toilet. Beberapa menit kemudian, dia mendengar suara ketukan hak sepatu dari luar. Menyadari ada orang lain yang hendak masuk, Lina menoleh ke arah pintu. Ekspresinya berubah malas begitu melihat kemunculan Feby.Alis Feby bertautan setelah merasakan aura suram yang terpancar dari Lina. Namun, Feby memilih mengabaikannya dan berjalan memasuki salah satu bilik toilet. Dia enggan mengajak Lina bicara mengingat mereka adalah musuh bebuyutan di kantor. Mustahil untuk bertegur sapa di luar urusan pekerjaan.Setelah Feby memasuki salah satu bilik toilet, Lina kembali menoleh ke arah pintu. Kali ini, dia melihat Tika dan Sekar yang datang sambil membawa satu ember. Lina tersenyum menyeringai setelah memastikan isi ember tersebut.Air kotor sisa pel lantai.“Kalian siap?” tanya Lina dengan gerakan bibirnya yang tidak mengeluarkan suara. Kedua gadis itu mengangguk kompak.Lina memberi
"Terima kasih."Yuni tersenyum pada pelanggan yang baru saja menyelesaikan makan siang mereka. Setelahnya, dia bergegas membersihkan meja yang sebelumnya digunakan pelanggan itu. Sesaat, dia memperhatikan sekeliling. Suasana restoran tempatnya bekerja terbilang ramai mengingat sekarang adalah jam makan siang. Yuni yang notabene bekerja sebagai pelayan harus bergerak lebih gesit untuk pelanggan restoran.Kling!Lonceng berbunyi ketika pintu dibuka seseorang. Yuni yang hendak kembali ke dapur refleks berbalik dan berlari menghampiri pintu untuk menyapa pelanggan yang baru saja masuk ke restoran."Selamat datang!" Yuni membungkuk sopan sambil tersenyum ramah. Dia mendongak dan baru mengetahui bahwa pelanggan itu adalah seorang pria. Namun, setelah melihat dengan jelas wajah pria itu, senyuman seketika memudar.Tubuh Yuni membeku. Meski sudah lama tidak bertemu, dia masih bisa mengenali sosoknya. Yuni masih ingat pertemuan terakhir mereka saat
Pelayan sudah menyarankan Reva untuk beristirahat. Namun karena bosan, dia meyakinkan pada mereka bahwa kondisinya sudah baik dan ingin melihat-lihat suasana rumah Azka dan Aris.Rumah dengan gaya klasik khas Eropa itu memiliki halaman depan yang sangat luas, berhiaskan sejumlah tanaman yang membuat suasana rumah terasa asri. Pilar-pilar pada beberapa bagian rumah semakin memperkuat kesan megah dan klasik.Reva tidak dapat menyembunyikan kekagumannya saat menelusuri setiap sudut rumah Azka dan Aris, terutama pada halaman belakang rumah. Ada kolam renang berbentuk persegi panjang dan dikelilingi area rerumputan yang luas.Tangan Reva terentang ke atas saat angin sepoi-sepoi berembus hingga menerbangkan helaian rambutnya."Sejuk sekali!" Reva berseru gembira. Setelah puas menikmati suasana halaman belakang, dia kembali masuk ke rumah.Reva tersenyum canggung membalas sapaan beberapa pelayan yang berpapasan dengannya. Dia berhenti di dekat ruang tamu