Paragraf 05
“Lebih baik yang ini saja, kaktus mini yang tak perlu disiram terlampau sering. Tanaman ini juga gak akan tumbuh melebihi pot yang ditempati. Ia juga tangguh di cuaca yang gersang dan kering.” Bibir mungil Lila bergerak menjelaskan tanaman yang kucari. Sebenarnya, tak ada niat untuk menambah pajangan di toko ataupun di kamar. Namun, mengingat minimnya kenalan orang di area ini, lebih baik kucoba menjalin hubungan akrab dengan yang mudah didekati. Dan pikiran ini langsung menuntunku untuk mengingat wajah Lila. “Aku beli 2 buah saja. Yang bentuknya seperti bola kasti itu.” pintaku kepada si cewek polos sambil menatap ke arah tanaman jenis lain. “Namanya kaktus Parodia. Ini sajakah, Mbak Nara? Tak ada tambahan?” Aku menggeleng diiringi senyuman tipis dari bibirku yang lumayan tebal. “Apa Lila sudah lama membuka toko ini?” tanyaku tanpa menatap matanya, lantaran sibuk merogoh dompet yang terselip di dalam tas selempang. “Baru jalan 3 bulan, Mbak Nara. Sebenarnya ingin pindah ke tempat yang agak jauh dari kedua gedung ini. Tapi, karena sudah terlanjur diketahui banyak orang. Jadi kuputuskan untuk sabar dan bertahan.” imbuh Lila sambil kedua tangannya memasukkan sepasang kaktus mini ke dalam wadah plastik transparan. “Berapa total belanjaanku, Lila?” lanjutku yang sudah menemukan dompet dan sibuk mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribu rupiah. “Cukup bayar 90 ribu rupiah saja.” Aku menyerahkan 2 lembar uang lima puluh ribu rupiah. Lalu dengan sigap mengambil kantong belanjaan dan langsung secepat kilat menjauhi cewek kekanakan itu. “Mbak Nara! Tunggu dulu, kembaliannya belum diambil.” Lila berteriak nyaring dari dalam ruangan. Sementara setengah tubuhku sudah berada di luar beranda. “Untukmu saja! Anggap sebagai permintaan maaf karena sempat lupa namamu.” “Terima kasih banyak, Mbak Nara. Semoga tokomu juga ramai hari ini.” sambung Lila dengan suara cerianya yang mampu menaikkan semangatku hari ini. *** Jam di layar gawai menunjukkan pukul 10 pagi. Seperti kemarin, kulepas kaitan kedua gembok yang merekat di bagian atas dan bawah pintu. Tak lupa, dinaikkan lagi meteran listrik agar lampu di ruangan bisa menyala. Cahaya terang benderang menyebar ke seluruh penjuru rak yang tersusun di dalam toko. “Yaaah. Mari kembali ke rutinitas yang akan kujalani selama setahun di sini.” keluhku dengan wajah tertekuk. Tas selempang digantung pada paku yang tertancap di dinding. Sementara, tas laptop diletakkan di atas meja kasir. Kuseret keluar butiran debu yang menempel di lantai dengan sebuah sapu yang tersandar di balik pintu. Lalu menyalakan laptop yang baterainya sudah penuh. Dan toko buku ini pun siap menerima pelanggan hari ini. *** Sudah melewati 1 jam setelah makan siang. Tapi, toko buku kecil ini belum menjual barang jenis apapun. Bahkan untuk dihinggapi manusia satupun, nihil! Hanya ada aku yang sibuk berperang dengan naskah di laptop yang pergerakannya masih mentok pada bab pertama paragraf kedua. “Hmmm… Apa hari ini bakalan lebih parah dari kemarin?” cetus pikiranku yang sepertinya mulai pesimis. Brrrm. Brrrm. Terdengar suara halus dari sebuah mesin mobil yang sepertinya mahal. Entahlah. Mungkin Lamborghini atau sejenis itu. Terparkir rapi tepat di depan toko buku. Dan dari bangku depan sopir keluarlah 2 orang lelaki berpakaian kekinian. Mengenakan kaos bermotif grafiti dan celana jeans yang robek di bagian lutut. Aku terperangah dari dalam sambil menutup laptop yang tadi digunakan untuk mengetik calon naskah novel yang hendak diterbitkan. “Permisi. Apa tersedia kertas kosong sejenis notebook mini?” tanya salah satu dari kedua orang itu yang kini sudah ada di dalam toko. Mata mereka melirik ke setiap rak yang hanya berisi buku bacaan dan beberapa buku pelajaran. “Ada. Biar aku ambilkan dulu.” jawabku sambil tetap mewaspadai gerak-gerik kedua lelaki itu. “Ambilkan yang banyak!” perintah lelaki yang satunya dengan lagak songong. “Berapa lusin?” tanyaku menantang sambil menonjolkan kepala dari rak tengah. Karena di sanalah tersimpan stok ratusan notebook kecil, sisa barang yang tak laku dari toko sebelumya. “Gak! Cuma butuh 5 buah saja.” Kini giliran lelaki pertama yang menyahut. “Oooh. Tunggu sebentar.” jawabanku singkat dengan membuang pandangan dari kedua orang itu. Setelah barang pesanan didapat. Aku melangkah cepat menuju meja kasir. Buru-buru memasukkan 5 tumpuk buku saku tersebut ke dalam plastik putih. Dan segera menyerahkannya kepada dua orang lelaki yang berdiri di hadapanku. “Total yang harus dibayar adalah lima puluh ribu rupiah.” seruku dengan muka setengah memerah. Mencoba menahan amarah yang sejak tadi bergelora di dada. Lelaki yang menjawab dengan angkuh kemudian mengeluarkan selembar uang seratus ribu rupiah. Meletakkannya secara kasar sampai meja kasir bergeser dan agak bergetar. “Ambillah kembaliannya, Gadis kecil!” sindirnya sembari menatap dengan rendah. Melirikku dari ujung kepala sampai bagian kaki. Aku spontan berdiri sambil mengatup erat mulut. Gigi bagian bawah dan atas beradu. Menahan pita suara agar tidak mengumbar kata-kata kasar. “Kalau bukan karena belum menjual satupun barang! Aku gak sudi melayani orang macam kalian.” umpatku dalam hati dengan mengepalkan telapak tangan kiri di belakang punggung. “Terima kasih!” jawabku singkat namun ketus. “Ayo kita bergegas, Chan! Para penggemar pasti sudah lama menunggu di lobi hotel. Untunglah di sekitar gedung ini ada toko alat tulis. Jadi acara temu fans nanti bisa bonus tanda tangan kita!” ucap si lelaki yang sopan dengan penuh rasa antusias. Sementara diri ini, masih menatap muak kepada kedua orang tersebut. Dan ternyata, lelaki songong itu menyadari ketidaksukaanku pada mereka. “Ada apa? Kenapa diam begitu? Apa kau mau juga bonus tanda tangan dari kami berdua?” sahutnya dengan mengeluarkan sebuah pena dari saku celana sebelah kanan. “Silahkan keluar kalau urusan kalian sudah selesai!” balasku sambil menarik nafas panjang. Menenangkan diri agar tidak terpancing emosi. “Ayolah, Chan! Buat apa mengurusi seorang wanita kurcaci kayak begini. Kalau di hotel nanti, bisa kita nikmati banyak lagi yang lebih baik dari ini.” timpa di lelaki yang awalnya kukira lebih sopan dari yang satunya lagi. “Keparat! Ternyata keduanya sama saja!” sambatku akhirnya keluar tak tertahankan setelah mobil mewah itu melaju menjauhi toko buku. *** Mendekati senja, namun aku sudah berdiri membeku di depan pintu toko yang tertutup. Pulang dan ingin kembali ke kamar lebih cepat setengah jam dari hari sebelumnya. Lebih parah lagi, ada notifikasi muncul dari kak Banua. Menjelaskan jika ia sedang tugas di luar kota. Sehingga sinyal internet tak bisa menjangkaunya. Yang artinya lagi, aku terhambat untuk curhat atau sekadar membuang sampah dan sumpah serapahku kepada satu-satunya pelanggan hari ini. “Yaaah. Roda memang berputar dari atas ke bawah.” keluhku menutup hari ini. ***Paragraf 22Aku merebah menahan nafas di atas kursi di balik meja. Setelah rombongan boyband VizCall itu beranjak menjauh dari toko. Kutarik udara dalam-dalam dari hidung lalu kemudian membuangnya perlahan dari rongga mulut. Berusaha mengembalikan kestabilan emosi setelah berhasil diaduk oleh aura intimasi yang sangat kuat dari tatapan mata milik Vikar Amar. Keringat sebesar butiran beras tiba-tiba menetes dari kening dan kedua pipiku. Kuseka wajah yang sudah lusuh ini dengan selembar tisu yang berasal dari dalam laci meja. Dan entah mengapa, tiba-tiba pikiranku langsung memerintah kedua tanganku untuk meraih gawai. Lalu menekan nomor Lila untuk melakukan panggilan video melalui aplikasi hijau.“Haaai… Halo Mbak Nara!” sapa Lila dengan cerianya dari balik layar gawai yang menyala bercahaya.“Halo, Lila. Temani aku beristirahat sebentar, ya?” pintaku yang wajahnya masih menyisakan guratan kelelahan.“Astaga, Mbak Nara! Kenapa mukamu kusut begitu? Apa boyband VizCall itu juga mengacak-a
Paragraf 21“Kalian bertiga bisa tidak cari tempat untuk syuting video klip di tempat lain?” tegurku pada ketiga anggota boyband VizCall yang sudah nangkring terlebih dahulu di depan pekarangan toko sedari pagi tadi. Sementara aku terburu-buru berangkat ke toko lantaran mendapatkan laporan dari Lila. Jika toko gadis itu sebelum ini juga disalahgunakan untuk pengambilan beberapa adegan dalam video klip mereka.“Cepatlah periksa toko bukumu, Mbak Nara! Para anggota Boyband VizCall itu baru saja selesai mengobrak-abrik bagian dalam toko. Dan menurut si Vikas itu, mereka tengah mencari sejenis tempat estetik yang dipenuhi banyak buku. Lalu kedua anggotanya mengarahkan mobil menuju toko Mbak Nara!” celoteh Lila panjang lebar di penghujung speaker gawai. Sementara aku baru saja selesai membenahi pakaian dan celana yang kukenakan.Secepat kilat, aku menuruni tangga dan melangkah cepat menuju ke toko buku.Dan inilah pemandangan yang kudapati sebelum toko dibuka. Ketiga pria –yang menurut seb
Paragraf 20Kepalaku mengangguk sambil memejamkan mata. Dengan telinga yang berfokus pada setiap kata dari lirik lagu boyband ViCall yang berjudul “Samudera Luka”, kubayangkan skenario terburuk di dalam pikiran sendiri. Berkisah tentang seorang wanita yang ditinggal mati kekasih hatinya. “Hmm…. Hmm.. Naa… Hmm…” aku berdehem mengikuti melodi piano dan gitar yang menggiring lagu berdurasi 3 setengah menit tersebut.“Naraa! Tumben sekali mendengarkan lagu saat istirahat? Biasanya baca buku atau gak mengecek sosial media?” tanya Kak Apsa setengah berteriak. Suaranya menembus pertahanan headset yang menutupi lubang telinga.Aku membuka mata sambil melepaskan perangkat jemala sebelah kanan. Disusul sebuah senyuman tipis kemerahan lantaran menahan malu karena kepergok mendengar lagu romantis dari boyband yang paling kubenci saat ini.“Kak Apsa mau mengembalikan novel yang dipinjam?” sambutku yang melihat lengan kanannya tengah menggendong 2 buah novel yang berasal dari tokoku.“Iya. Sekalia
Paragraf 19 “Hah? Apa-apaan brosur-brosur yang menempel di setiap dinding di gedung ini?” tanyaku agak lantang lantaran merasa terganggu dengan beraneka ragam kertas edaran yang tersebar di depan bangsal gedung Supernova. Sementara, di gedung seberang, tiga orang anggota Boyband yang menghebohkan tempo hari sibuk menyebar ke 3 penjuru berbeda dari setiap sisi gedung Nebula. Membagikan secara sopan selebaran yang sama dengan yang ditempel di dinding gedung Supernova. “Oooh. Begitu ya? Maksudnya karena gedung ini rata-rata penghuninya kelas bawah, jadi cukup diperlakukan ala kadarnya?” keluhku namun dengan suara pelan. Agar gak terdengar oleh telinga orang lain. Meskipun, wajah ini mungkin sudah menunjukkan ekspresi ketidaksukaan yang teramat sangat dalam kepada ketiga cowok kurang ajar itu. Dengan hati yang masih dongkol, kuputuskan mencabut selembar pamflet yang menempel erat di salah satu dinding pondasi bangunan. Mengabaikan 3 orang lelaki yang berada di gedung seberang. Yang masi
Paragraf 18Jam di dinding baru menunjukkan pukul delapan malam. Namun, aku belum juga memasak hidangan untuk disantap oleh perut yang sudah mulai separuh kosong. Adalah tumpukan pakaian dan celana kotor yang membuat jadwal makan malamku mundur setengah jam dari biasanya. Ditambah lagi, ada gaun biru navy yang dipinjamkan oleh Lila saat kami menghadiri pesta ulang tahun ibu kandung dari si kembar Nona Alice dan Elsie. Namun, gadis itu mengatakan kalau ia berniat memberikan gaun tersebut padaku.“Gaun ini untuk Mbak Nara saja. Gratis!” ucapnya meyakinkan kala itu saat kami tengah menyantap makanan pesta di meja bundar ketika pembawa acara selesai memperkenalkan ibu si kembar di atas panggung megah.“Apa? Enggak lah! Mana bisa begitu? Berapa uang yang harus dibayar?” sahutku dengan mulut yang masih mengunyah potongan kue yang diambil dari piring keramik yang berada tepat di tengah bundaran meja.“Aduh! Nanti saja membicarakan hal itu di sini.”“Berapa Lila? Sebutkan saja nominalnya. Ini
Paragraf 17“Bagaimana kalau aku bantu sebentar?” tawar suara pria dari arah belakang. Kala itu, aku sedang menghadap ke dinding sambil sibuk mengira-ngira di mana letak posisi yang pas untuk kutipan dan juga untuk beberapa potongan koran bekas yang kutemukan di gudang belakang. Leher dan kepala spontan berputar menghadap ke sumber suara. Rupanya, Mas Apsa tengah berdiri sambil memperhatikanku yang kebingungan.“Lho? Mas Apsa? Bukankah jadwal mengembalikan bukunya masih tersisa besok? Atau ingin menambah satu lagi bahan bacaan untuk di kamar?” sapaku dengan memutar badan secara penuh untuk menghadap ke arahnya.“Tidak. Hanya kebetulan lewat saja, lalu melihat Nara yang sepertinya butuh bantuan.” ujar pria yang terlihat lebih dewasa dari wajahnya itu.“Yaaah. Aku memang sedang mendekorasi ulang toko ini. Soalnya, dari luar kelihatan sangat gak menarik.”“Aku bantu, ya?”“Tidak merepotkan?”“Jangan kuatir. Aku baru saja menyelesaikan proyek lukisan untuk sebuah pameran di sebuah mall k