Home / Romansa / Rahasia Nara / Paragraf 04

Share

Paragraf 04

Author: ulan_deui
last update Last Updated: 2024-10-31 13:20:09

Paragraf 04

Aku duduk di depan laptop yang tergeletak di atas meja. Meja itu diletakkan tepat di sebelah kiri meja dandan yang diatasnya berhamburan beberapa produk kecantikan ala kadarnya.

Layar laptop menyala di tengah redupnya lampu kamar yang memang sengaja dibuat remang. Kesepuluh jari tangan menari di atas permukaan keyboard. Satu per satu huruf terketik. Kata demi kata termaktub. Di atas dokumen yang kelak akan dicetak oleh penerbit sebagai novel kedua. Tentu dengan cerita dan tema yang berbeda jauh dari yang pertama.

Satu jam sudah otak diperas untuk meracik konflik menarik. Membentuk plot atau sekadar mengutak-atik kosakata serta bermain diksi.

“Haaah… Ternyata tak semudah menjaga toko buku. Gak segampang itu rupanya.” keluhku di depan layar gawai sambil mencari nomor pribadi Kak Banua.

Laptop ditutup dan dokumen disimpan meskipun baru 1 paragraf yang terlahir dari proses berpikir keras selama enam puluh menit. Mengalihkan fokus kepada kak Banua yang harus menerima kabar gembira dari pihak penerbit buku tadi sore.

“Kak Banu, novelku yang terbit tahun lalu, mendapatkan cetak ulangnya yang kedua.” tulisku pada papan percakapan aplikasi hijau.

Selang 5 detik, pamanku satu-satunya itu membalas chat dengan stiker emoji penuh lambang cinta.

Drrrt. Drrrt. Gawai bergetar saat kugenggam di tangan kanan. Kemudian panggilan video masuk setelah aku mendapatkan balasan. Dan di jendela aplikasi, timbul sosok kak Banu dengan latar belakang sebuah poster salah satu karakter anime Jepang yang terkenal seantero penjuru planet bumi.

“Hai, Nara! Senang mendengar kabar tentang novelmu itu. Untunglah Erina memaksamu habis-habisan untuk mengirimkan naskah ke penerbit.”

Aku merespon dengan senyum datar. Sambil menyandarkan bahu ke sebuah kursi plastik yang diletakkan sebagai pasangan abadi meja di mana tempat laptop bersembahyang.

“Kau kenapa? Habis bersih-bersih kamar?” tanya Kak Banu dengan melekatkan wajah ke layar gawai. Mungkin heran melihat sosok ini yang tampak kelelahan.

“Baru selesai mengerjakan naskah untuk novel terbaru.” jawabku singkat.

“Toko bukunya bagaimana?”

Aku diam sebentar lalu menggelengkan kepala perlahan.

“Sepi?”

“Sangat.”

“Berapa pemasukan hari ini?”

Aku mengacungkan jari telunjuk sebelah kanan sembari mengerucutkan kedua bibir.

“Satu? Satu juta rupiah?” tanya Kak Banu dengan kedua alis sedikit naik ke atas.

“Seratus ribu rupiah.” ujarku dengan tatapan sayu serta kepala yang sedikit tertunduk.

“Hmmm… Tidak apalah. Namanya juga memulai lagi dari nol. Besok tetap buka?”

“Tentu. Hanya akan libur jika aku sudah mati.”

“Ehem. Jangan mengatakan hal bodoh seperti itu, Nara! Ibumu akan sangat marah jika mendengar kata itu keluar dari mulut anak perempuannya.” tukas Kak Banua dengan wajah sangar dan mata tajam melotot. Sepertinya, dia marah besar setelah aku sedikit bercanda tentang kematian.

“Ma'af… Ma'af. Cuma bergurau saja, kok.”

“Kau belum tidur? Ini sudah pukul sebelas malam. Mentang-mentang buka toko sendiri dan tidak diawasi oleh bos. Kau jadi nggak teratur dan sembarangan.” omelan Kak Banua berlanjut sampai mendekati tengah malam.

“Iya. Aku akan segera bersiap untuk beristirahat. Terima kasih waktunya, Kak Banu.” ucapku dengan suara pelan diiringi senyuman bak gadis polos penjaga toko bunga yang kutemui di depan pekarangan toko.

“Oooh… Tumben sekali. Rasanya kau tidak pernah tersenyum semanis ini sewaktu kecil dulu.” puji Kak Banua sebelum mengakhiri percakapan video.

Aku mendekat lebih lekat di layar lalu melambaikan tangan kanan ke arah jendela percakapan.

“Selamat tidur, Nara. Semoga ibumu mampir ke dalam mimpi.” Kak Banua mengakhiri panggilan video dengan sepenggal do’a.

***

Aku menjinjing laptop dengan tas yang lebih besar di sebelah kiri. Sementara tas selempang, seperti biasanya, melingkar dari bahu kanan atas berlanjut sampai ke pinggang kiri bawah. Kaki melangkah menuruni tangga ke lantai dasar. Hingga sampailah tepat di bangsal depan Gedung Supernova.

Tiba-tiba, pikiran teringat akan toko bunga milik Lila yang alamatnya terletak tepat di sebelah gedung seberang, yang dihuni oleh pelanggan elit kaya raya, Gedung Nebula.

Hati ini mendadak ingin mengetahui toko tersebut. Kaki berjalan menyeberangi jalan raya. Menuju ke beranda mewah Gedung Nebula. Bola mataku berputar mengelilingi bangunan yang berdiri di sekitar.

“Yang mana? Sebelah kiri atau kanan?” Aku bertanya-tanya di dalam kepala. Sementara leher masih berotasi mencari informasi.

Dukk! Lengan kiri ini tiba-tiba menabrak sesuatu. Seperti tulang yang dilapisi daging tebal milik manusia. Aku menoleh dan mendapati pria yang tempo hari berbelanja kanvas dan cat air di toko. Pelanggan pertama Toko Buku Metana. Kali ini ia mengenakan kaos oblong berlengan pendek. Dilapisi jaket tebal berwarna hitam.

“Ah. Sori, sori. Aku minta maaf.” jawabnya terburu-buru. Lalu kemudian berlari menuju tempat parkir yang terletak di basement.

Setelah si lelaki menjauh, aku kembali didekati oleh seorang pria. Berpakaian setelan seragam putih-hitam. Dilengkapi pentungan melingkar di pinggang. Serta topi dengan lambang bintang segi lima. Seorang petugas keamanan yang siap membantu siapapun yang sepertinya membutuhkan bantuan.

“Permisi, Nona kecil? Apakah ada sesuatu yang bisa kami perbuat?” sahut pria berbadan tegap itu sambil menunduk takzim.

Aku membalas dengan senyuman sambil mempertemukan kedua telapak tangan di depan dada.

“Bisakah Bapak memberitahukan di mana letak toko bunga Shangrila? Sahabatku bilang, posisinya tepat di sebelah gedung ini.”

“Oh, tentu saja. Toko yang dimaksudkan ada di sebelah barat. Diapit oleh bangsal depan gedung dan sebuah toko alat musik. Nona cukup berjalan sekitar 15 meter lagi.” tutur sang sekuriti dengan suara bassnya yang terkesan dalam.

“Terima kasih banyak, Pak.” balasku dengan sopan sambilan menundukkan pandangan.

***

Kulangkahkan kaki menjauhi gedung mewah itu. Menuju ke arah yang dimaksud oleh si petugas sekuriti tadi. Aku melewati beberapa orang dengan dandanan serba mewah sempurna. Ada pria tampan rupawan mengenakan jas yang tengah berdiri di dekat pintu keluar parkir. Ada juga seorang perempuan yang pernah aku dan Kak Banua lihat ketika pertama kali mendaftar sebagai pelanggan di gedung Supernova. Wanita elegan bertubuh tinggi semampai.

Aku lanjut saja menyeret sepatu menuju ke arah barat. Dan setelah 10 langkah dari area parkiran, kutemukan toko bunga yang dimaksud.

Sebuah toko sederhana dengan papan nama berwarna kuning cerah. Tertulis di bagian atas di bawah atap bagian depan, ‘Toko Bunga Shangrila’.

Di samping kiri dan kanan, terdapat pondasi dari besi yang dililitkan tumbuhan berupa sulur berwarna kehijauan. Pintu toko terbuka setengah. Menampakkan suasana bagian dalam yang juga penuh warna. Kaktus mini, mawar, anggrek, melati, bunga matahari, dan tanaman hias lain yang populer dan penampakannya sering terlihat di linimasa sosial media.

Pemilik toko tiba-tiba muncul dari dalam. Mungkin karena ia mendengar suara berisik dari arah pintu masuk.

“Silahkan. Dilihat-lihat dulu tidak masalah, kok.” sapanya ramah tanpa melihat wajah objek yang datang.

“Permisi. Apakah di sini menjual tanaman hias yang bisa dipajang di atas meja yang ruangannya tertutup?” tanyaku dengan kaki melangkah masuk ke dalam toko.

“Aih. Mbak Nara! Ternyata dirimu! Pelanggan pertama di hari ini! Masuklah, akan kuberikan diskon khusus!” ucap Lila seperti

menyambut tamu spesial yang telah lama ditunggu kedatangannya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Nara   Paragraf 22

    Paragraf 22Aku merebah menahan nafas di atas kursi di balik meja. Setelah rombongan boyband VizCall itu beranjak menjauh dari toko. Kutarik udara dalam-dalam dari hidung lalu kemudian membuangnya perlahan dari rongga mulut. Berusaha mengembalikan kestabilan emosi setelah berhasil diaduk oleh aura intimasi yang sangat kuat dari tatapan mata milik Vikar Amar. Keringat sebesar butiran beras tiba-tiba menetes dari kening dan kedua pipiku. Kuseka wajah yang sudah lusuh ini dengan selembar tisu yang berasal dari dalam laci meja. Dan entah mengapa, tiba-tiba pikiranku langsung memerintah kedua tanganku untuk meraih gawai. Lalu menekan nomor Lila untuk melakukan panggilan video melalui aplikasi hijau.“Haaai… Halo Mbak Nara!” sapa Lila dengan cerianya dari balik layar gawai yang menyala bercahaya.“Halo, Lila. Temani aku beristirahat sebentar, ya?” pintaku yang wajahnya masih menyisakan guratan kelelahan.“Astaga, Mbak Nara! Kenapa mukamu kusut begitu? Apa boyband VizCall itu juga mengacak-a

  • Rahasia Nara   Paragraf 21

    Paragraf 21“Kalian bertiga bisa tidak cari tempat untuk syuting video klip di tempat lain?” tegurku pada ketiga anggota boyband VizCall yang sudah nangkring terlebih dahulu di depan pekarangan toko sedari pagi tadi. Sementara aku terburu-buru berangkat ke toko lantaran mendapatkan laporan dari Lila. Jika toko gadis itu sebelum ini juga disalahgunakan untuk pengambilan beberapa adegan dalam video klip mereka.“Cepatlah periksa toko bukumu, Mbak Nara! Para anggota Boyband VizCall itu baru saja selesai mengobrak-abrik bagian dalam toko. Dan menurut si Vikas itu, mereka tengah mencari sejenis tempat estetik yang dipenuhi banyak buku. Lalu kedua anggotanya mengarahkan mobil menuju toko Mbak Nara!” celoteh Lila panjang lebar di penghujung speaker gawai. Sementara aku baru saja selesai membenahi pakaian dan celana yang kukenakan.Secepat kilat, aku menuruni tangga dan melangkah cepat menuju ke toko buku.Dan inilah pemandangan yang kudapati sebelum toko dibuka. Ketiga pria –yang menurut seb

  • Rahasia Nara   Paragraf 20

    Paragraf 20Kepalaku mengangguk sambil memejamkan mata. Dengan telinga yang berfokus pada setiap kata dari lirik lagu boyband ViCall yang berjudul “Samudera Luka”, kubayangkan skenario terburuk di dalam pikiran sendiri. Berkisah tentang seorang wanita yang ditinggal mati kekasih hatinya. “Hmm…. Hmm.. Naa… Hmm…” aku berdehem mengikuti melodi piano dan gitar yang menggiring lagu berdurasi 3 setengah menit tersebut.“Naraa! Tumben sekali mendengarkan lagu saat istirahat? Biasanya baca buku atau gak mengecek sosial media?” tanya Kak Apsa setengah berteriak. Suaranya menembus pertahanan headset yang menutupi lubang telinga.Aku membuka mata sambil melepaskan perangkat jemala sebelah kanan. Disusul sebuah senyuman tipis kemerahan lantaran menahan malu karena kepergok mendengar lagu romantis dari boyband yang paling kubenci saat ini.“Kak Apsa mau mengembalikan novel yang dipinjam?” sambutku yang melihat lengan kanannya tengah menggendong 2 buah novel yang berasal dari tokoku.“Iya. Sekalia

  • Rahasia Nara   Paragraf 19

    Paragraf 19 “Hah? Apa-apaan brosur-brosur yang menempel di setiap dinding di gedung ini?” tanyaku agak lantang lantaran merasa terganggu dengan beraneka ragam kertas edaran yang tersebar di depan bangsal gedung Supernova. Sementara, di gedung seberang, tiga orang anggota Boyband yang menghebohkan tempo hari sibuk menyebar ke 3 penjuru berbeda dari setiap sisi gedung Nebula. Membagikan secara sopan selebaran yang sama dengan yang ditempel di dinding gedung Supernova. “Oooh. Begitu ya? Maksudnya karena gedung ini rata-rata penghuninya kelas bawah, jadi cukup diperlakukan ala kadarnya?” keluhku namun dengan suara pelan. Agar gak terdengar oleh telinga orang lain. Meskipun, wajah ini mungkin sudah menunjukkan ekspresi ketidaksukaan yang teramat sangat dalam kepada ketiga cowok kurang ajar itu. Dengan hati yang masih dongkol, kuputuskan mencabut selembar pamflet yang menempel erat di salah satu dinding pondasi bangunan. Mengabaikan 3 orang lelaki yang berada di gedung seberang. Yang masi

  • Rahasia Nara   Paragraf 18

    Paragraf 18Jam di dinding baru menunjukkan pukul delapan malam. Namun, aku belum juga memasak hidangan untuk disantap oleh perut yang sudah mulai separuh kosong. Adalah tumpukan pakaian dan celana kotor yang membuat jadwal makan malamku mundur setengah jam dari biasanya. Ditambah lagi, ada gaun biru navy yang dipinjamkan oleh Lila saat kami menghadiri pesta ulang tahun ibu kandung dari si kembar Nona Alice dan Elsie. Namun, gadis itu mengatakan kalau ia berniat memberikan gaun tersebut padaku.“Gaun ini untuk Mbak Nara saja. Gratis!” ucapnya meyakinkan kala itu saat kami tengah menyantap makanan pesta di meja bundar ketika pembawa acara selesai memperkenalkan ibu si kembar di atas panggung megah.“Apa? Enggak lah! Mana bisa begitu? Berapa uang yang harus dibayar?” sahutku dengan mulut yang masih mengunyah potongan kue yang diambil dari piring keramik yang berada tepat di tengah bundaran meja.“Aduh! Nanti saja membicarakan hal itu di sini.”“Berapa Lila? Sebutkan saja nominalnya. Ini

  • Rahasia Nara   Paragraf 17

    Paragraf 17“Bagaimana kalau aku bantu sebentar?” tawar suara pria dari arah belakang. Kala itu, aku sedang menghadap ke dinding sambil sibuk mengira-ngira di mana letak posisi yang pas untuk kutipan dan juga untuk beberapa potongan koran bekas yang kutemukan di gudang belakang. Leher dan kepala spontan berputar menghadap ke sumber suara. Rupanya, Mas Apsa tengah berdiri sambil memperhatikanku yang kebingungan.“Lho? Mas Apsa? Bukankah jadwal mengembalikan bukunya masih tersisa besok? Atau ingin menambah satu lagi bahan bacaan untuk di kamar?” sapaku dengan memutar badan secara penuh untuk menghadap ke arahnya.“Tidak. Hanya kebetulan lewat saja, lalu melihat Nara yang sepertinya butuh bantuan.” ujar pria yang terlihat lebih dewasa dari wajahnya itu.“Yaaah. Aku memang sedang mendekorasi ulang toko ini. Soalnya, dari luar kelihatan sangat gak menarik.”“Aku bantu, ya?”“Tidak merepotkan?”“Jangan kuatir. Aku baru saja menyelesaikan proyek lukisan untuk sebuah pameran di sebuah mall k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status