Share

Paragraf 06

Penulis: ulan_deui
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-01 15:11:45

Paragraf 06

Kepulan asap terangkat dari pinggir penggorengan. Uap panas berputar mengitari dapur, tembus sampai ke kamar tidur yang hanya disekat oleh kain gorden berwarna hijau sage. Aku mulai berimprovisasi malam ini. Membuat makan malam sendiri berdasarkan resep yang ditemui via internet atau halaman F******k. Lantaran mood yang tak kunjung membaik usai bertemu dengan dua lelaki paling kurang ajar seantero Gedung Nebula dan Supernova. Bahkan untuk melanjutkan naskah novel, diri ini rasanya sudah mau menyerah.

Setelah minyak mendidih di dalam kuali, masukkan potongan kubis dan juga beberapa siung bawang merah beserta bawang putih. Tak lupa sedikit garam dan juga bumbu penyedap. Lalu, menyusul secentong nasi putih sisa sarapan tadi pagi.

“Lihatlah, Ibu! Anakmu memasak sendiri malam ini.” tuturku dalam hati dengan ekspresi bangga yang tercermin dari wajah yang sudah mengkilap karena terkena uap dari minyak panas.

Kompor gas lalu dimatikan. Berlanjut mengambil sebuah piring serta sendok dan garpu perak. Sebuah hidangan sederhana buatan tangan sendiri. Kuletakkan seporsi nasi goreng ala kadarnya itu di atas meja. Menjejerkan santapan tersebut dengan kaktus mini yang dibeli dari toko Lila. Kukeluarkan gawai dan mulai mengarahkan kamera belakang ke sekitar meja. Mencari sudut yang pas untuk mengabadikan masakan pertamaku ketika tinggal sendirian.

Ckreek. Ckreek. Cahaya dari blitz kamera menghujani sepiring nasi goreng yang mulai mengalami penurunan suhu. Satu dua kali pengambilan rekaman video. Tiga empat kali mengambil beberapa potret estetik. Sepuluh menit berlalu, dan aku baru selesai mendokumentasikan hal yang bagi orang lain mungkin terlihat biasa saja.

Kutarik bangku agar lebih merapat ke meja. Menyodok sendok ke pinggiran lingkar piring. Aku tak punya nyali untuk langsung mencicipi dalam jumlah besar. Jadi, kuraih seujung kuku dari sendok makan untuk diletakkan di daerah paling ujung lidah. Retina mata melebar seketika. Aku terkesima dengan cita rasa makanan buatan sendiri. Pas dan tidak berlebihan. Sepertinya besok, aku berkeinginan untuk mengunjungi pasar atau swalayan terdekat. Untuk mencari bahan masakan lain yang bisa disimpan lumayan lama.

Tok! Tok! Suara pintu diketuk dari luar. Dan itu adalah pintu kamar milikku. Tok! Tok! Bunyi tangan yang mengetuk permukaan padat terdengar kembali.

“Siapa yang malam-malam begini berniat untuk mengunjungi tetangganya?” gerutuku sambil berjalan menghampiri pintu.

Tangan kananku sudah memegang kenop pintu. Bersiap memutarnya untuk membukakan pintu. Tapi tiba-tiba, aku terdiam sebentar. Pikiran jahat mulai berbicara pelan.

“Bagaimana kalau itu orang jahat yang berniat mencelakai penghuni kamar?”

Sesaat setelah bisikan buruk itu terdengar di kepala. Kedua kakiku sudah bersiaga dengan sikap kuda-kuda.

Creek! Dan pintu kamar kubuka dengan dipenuhi tatapan kewaspadaan.

“Aaah. Maaf mengganggu. Kudengar dari sebelah, sepertinya Anda sedang memasak makanan bukan?” tanya sosok pria di hadapanku yang perawakannya sangat jantan.

Sepasang bola mata terfokus pada satu wajah. Pria berkulit hitam manis dengan sedikit jambang tipis di dagunya. Terdapat pula lesung pipi di bagian kiri. Suara yang keluar terdengar meneduhkan kedua telinga. Aku membantu terpesona.

“Anu, halo, Nona! Halo!” sapanya sekali lagi sambil menjentikkan jari di depan muka.

“Ah. Iya. Benar. Kebetulan aku memang baru selesai memasak resep yang didapat dari internet.” jawabku terbata karena mencoba menata lagi pikiran yang sempat melayang sejenak.

“Boleh aku minta sedikit gula pasir? Aku kehabisan stok. Dan besok pagi harus membuat kopi untuk sarapan.” pinta pria itu dengan sangat sopan.

“Sebentar, ya. Akan aku bawakan ke sini.”

Entah karena senyumnya atau lantaran aura positif dari wajah. Aku bergegas menuju dapur untuk mengambil wadah gula pasir di dalam rak. Lalu kembali lagi menuju ke pintu depan.

“Oh! Jangan, Nona! Jumlahnya kebanyakan.” tutur si pria berwajah manis tersebut setelah melihatku menawarkan gula di dalam wadah berukuran setengah kilogram.

“Bawa saja dulu. Besok kembalikan lagi jika sudah tidak diperlukan. Kamar Mas ini di sebelah mana?”

Pria yang penuh wibawa itu menggerakan ibu jari tangan kanannya ke samping. Diiringi senyuman yang tak kalah manis dari gula yang hendak dia pinta.

“Oh, tepat di sebelah! Kalau begitu santai saja. Ambillah sesuai kebutuhanmu.” sambungku dengan intonasi agak merendah. Meski wajah ini mungkin di matanya terlihat kurang ramah.

“Oke! Terima kasih banyak, Anu, Nona… Dengan siapa ini saya berbicara?”

“Nara Metana. Panggil saja Nara.”

“Perkenalkan, namaku Bakrie. Hanya Bakrie saja.”

Pria itu tersenyum lagi untuk kesekian kalinya.

***

Pagi hari yang indah di dalam kamar yang super tenang. Tumpukan pakaian kotor menggunung di bawah lantai dekat kolong ranjang tidur. Rupanya selain berkeinginan untuk membeli bahan masakan di pasar swalayan. Ada hasrat lain yaitu mencari lokasi binatu terdekat untuk mencuci pakaian yang sudah kotor selama 3 hari.

Timbullah keinginanku untuk menutup toko dan rehat seharian penuh. Guna menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang ternyata tak semudah kelihatannya.

Tok! Tok! Kembali bunyi ketukan terdengar lagi dari arah pintu depan. Namun, frekuensinya tidak sekencang tadi malam. Dan tentu aku sudah tahu siapa pelakunya kali ini. Kuputar kenop pintu dengan melonggarkan pengawasan.

“Selamat pagi, Nara! Aku tak mengganggu bukan?” sapa Mas Bakrie dengan menenteng wadah gula pasir yang semalam kupinjamkan. Di tangan kanannya, dijinjing satu buah jerigen plastik berisi cairan kental berwarna putih gading. Berbau harum seperti parfum aroma terapi.

“Apakah itu deterjen cair? Sebanyak itu untuk diapakan?” tanyaku sambil meraih wadah gula dari kepalan tangan kiri Mas Bakrie.

“Anu, aku baru saja bekerja sebagai karyawan di salah satu tempat laundry kiloan. Lokasinya kira-kira satu kilometer dari sini.” jawab pria manis tersebut dengan menunduk. Mungkin ia agak malu menceritakan tentang pekerjaannya di hadapan seorang perempuan.

Namun fakta mengejutkan itu justru menimbulkan rasa bahagia. Bak mendapatkan durian runtuh, aku langsung meminta bantuan Kak Bakrie. Menyuruhnya masuk ke dalam dan tanpa rasa malu aku memperlihatkan tumpukan baju serta celana kotor di atas lantai dekat ranjang tidur.

“Ooh. Kalau masalah ini serahkan padaku. Nara cukup masukkan semuanya secara sembarangan ke dalam tas besar. Akan kuangkut ke laundry hari ini juga.” ucapnya dengan wajah tersipu. Menahan tawa dihadapanku yang dengan polosnya membawa pria ke dalam kamar sendiri.

Kak Bakrie akhirnya meninggalkanku dan menunggu di depan pintu. Sedangkan aku, sibuk memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam tote bag berukuran jumbo. Kemudian menyeretnya menuju ke arah depan. Gesekan timbul antara kain kanvas tas dengan keramik lantai kamar. Menimbulkan suara yang menggelitik telinga.

“Wah! Ternyata lumayan juga. Lihatlah, tas super besar ini sampai penuh tak bercelana.”

“Mohon bantuannya ya, Mas Bakrie.”

“Oke. Dengan senang hati, Nara. Kalau setelah ini, butuh jasa laundry lagi. Cukup bawakan ke ruanganku saja. Dan jika sudah bersih, akan diantarkan langsung ke pelanggan.” jelas pria berkulit hitam manis itu layaknya seorang sales yang memperkenalkan produk andalan perusahaan.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia Nara   Paragraf 22

    Paragraf 22Aku merebah menahan nafas di atas kursi di balik meja. Setelah rombongan boyband VizCall itu beranjak menjauh dari toko. Kutarik udara dalam-dalam dari hidung lalu kemudian membuangnya perlahan dari rongga mulut. Berusaha mengembalikan kestabilan emosi setelah berhasil diaduk oleh aura intimasi yang sangat kuat dari tatapan mata milik Vikar Amar. Keringat sebesar butiran beras tiba-tiba menetes dari kening dan kedua pipiku. Kuseka wajah yang sudah lusuh ini dengan selembar tisu yang berasal dari dalam laci meja. Dan entah mengapa, tiba-tiba pikiranku langsung memerintah kedua tanganku untuk meraih gawai. Lalu menekan nomor Lila untuk melakukan panggilan video melalui aplikasi hijau.“Haaai… Halo Mbak Nara!” sapa Lila dengan cerianya dari balik layar gawai yang menyala bercahaya.“Halo, Lila. Temani aku beristirahat sebentar, ya?” pintaku yang wajahnya masih menyisakan guratan kelelahan.“Astaga, Mbak Nara! Kenapa mukamu kusut begitu? Apa boyband VizCall itu juga mengacak-a

  • Rahasia Nara   Paragraf 21

    Paragraf 21“Kalian bertiga bisa tidak cari tempat untuk syuting video klip di tempat lain?” tegurku pada ketiga anggota boyband VizCall yang sudah nangkring terlebih dahulu di depan pekarangan toko sedari pagi tadi. Sementara aku terburu-buru berangkat ke toko lantaran mendapatkan laporan dari Lila. Jika toko gadis itu sebelum ini juga disalahgunakan untuk pengambilan beberapa adegan dalam video klip mereka.“Cepatlah periksa toko bukumu, Mbak Nara! Para anggota Boyband VizCall itu baru saja selesai mengobrak-abrik bagian dalam toko. Dan menurut si Vikas itu, mereka tengah mencari sejenis tempat estetik yang dipenuhi banyak buku. Lalu kedua anggotanya mengarahkan mobil menuju toko Mbak Nara!” celoteh Lila panjang lebar di penghujung speaker gawai. Sementara aku baru saja selesai membenahi pakaian dan celana yang kukenakan.Secepat kilat, aku menuruni tangga dan melangkah cepat menuju ke toko buku.Dan inilah pemandangan yang kudapati sebelum toko dibuka. Ketiga pria –yang menurut seb

  • Rahasia Nara   Paragraf 20

    Paragraf 20Kepalaku mengangguk sambil memejamkan mata. Dengan telinga yang berfokus pada setiap kata dari lirik lagu boyband ViCall yang berjudul “Samudera Luka”, kubayangkan skenario terburuk di dalam pikiran sendiri. Berkisah tentang seorang wanita yang ditinggal mati kekasih hatinya. “Hmm…. Hmm.. Naa… Hmm…” aku berdehem mengikuti melodi piano dan gitar yang menggiring lagu berdurasi 3 setengah menit tersebut.“Naraa! Tumben sekali mendengarkan lagu saat istirahat? Biasanya baca buku atau gak mengecek sosial media?” tanya Kak Apsa setengah berteriak. Suaranya menembus pertahanan headset yang menutupi lubang telinga.Aku membuka mata sambil melepaskan perangkat jemala sebelah kanan. Disusul sebuah senyuman tipis kemerahan lantaran menahan malu karena kepergok mendengar lagu romantis dari boyband yang paling kubenci saat ini.“Kak Apsa mau mengembalikan novel yang dipinjam?” sambutku yang melihat lengan kanannya tengah menggendong 2 buah novel yang berasal dari tokoku.“Iya. Sekalia

  • Rahasia Nara   Paragraf 19

    Paragraf 19 “Hah? Apa-apaan brosur-brosur yang menempel di setiap dinding di gedung ini?” tanyaku agak lantang lantaran merasa terganggu dengan beraneka ragam kertas edaran yang tersebar di depan bangsal gedung Supernova. Sementara, di gedung seberang, tiga orang anggota Boyband yang menghebohkan tempo hari sibuk menyebar ke 3 penjuru berbeda dari setiap sisi gedung Nebula. Membagikan secara sopan selebaran yang sama dengan yang ditempel di dinding gedung Supernova. “Oooh. Begitu ya? Maksudnya karena gedung ini rata-rata penghuninya kelas bawah, jadi cukup diperlakukan ala kadarnya?” keluhku namun dengan suara pelan. Agar gak terdengar oleh telinga orang lain. Meskipun, wajah ini mungkin sudah menunjukkan ekspresi ketidaksukaan yang teramat sangat dalam kepada ketiga cowok kurang ajar itu. Dengan hati yang masih dongkol, kuputuskan mencabut selembar pamflet yang menempel erat di salah satu dinding pondasi bangunan. Mengabaikan 3 orang lelaki yang berada di gedung seberang. Yang masi

  • Rahasia Nara   Paragraf 18

    Paragraf 18Jam di dinding baru menunjukkan pukul delapan malam. Namun, aku belum juga memasak hidangan untuk disantap oleh perut yang sudah mulai separuh kosong. Adalah tumpukan pakaian dan celana kotor yang membuat jadwal makan malamku mundur setengah jam dari biasanya. Ditambah lagi, ada gaun biru navy yang dipinjamkan oleh Lila saat kami menghadiri pesta ulang tahun ibu kandung dari si kembar Nona Alice dan Elsie. Namun, gadis itu mengatakan kalau ia berniat memberikan gaun tersebut padaku.“Gaun ini untuk Mbak Nara saja. Gratis!” ucapnya meyakinkan kala itu saat kami tengah menyantap makanan pesta di meja bundar ketika pembawa acara selesai memperkenalkan ibu si kembar di atas panggung megah.“Apa? Enggak lah! Mana bisa begitu? Berapa uang yang harus dibayar?” sahutku dengan mulut yang masih mengunyah potongan kue yang diambil dari piring keramik yang berada tepat di tengah bundaran meja.“Aduh! Nanti saja membicarakan hal itu di sini.”“Berapa Lila? Sebutkan saja nominalnya. Ini

  • Rahasia Nara   Paragraf 17

    Paragraf 17“Bagaimana kalau aku bantu sebentar?” tawar suara pria dari arah belakang. Kala itu, aku sedang menghadap ke dinding sambil sibuk mengira-ngira di mana letak posisi yang pas untuk kutipan dan juga untuk beberapa potongan koran bekas yang kutemukan di gudang belakang. Leher dan kepala spontan berputar menghadap ke sumber suara. Rupanya, Mas Apsa tengah berdiri sambil memperhatikanku yang kebingungan.“Lho? Mas Apsa? Bukankah jadwal mengembalikan bukunya masih tersisa besok? Atau ingin menambah satu lagi bahan bacaan untuk di kamar?” sapaku dengan memutar badan secara penuh untuk menghadap ke arahnya.“Tidak. Hanya kebetulan lewat saja, lalu melihat Nara yang sepertinya butuh bantuan.” ujar pria yang terlihat lebih dewasa dari wajahnya itu.“Yaaah. Aku memang sedang mendekorasi ulang toko ini. Soalnya, dari luar kelihatan sangat gak menarik.”“Aku bantu, ya?”“Tidak merepotkan?”“Jangan kuatir. Aku baru saja menyelesaikan proyek lukisan untuk sebuah pameran di sebuah mall k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status