Hari Jum'at pun telah tiba, beruntung Ibunya Nisa tak dapat datang apalagi uang saku Nisa masih cukup membuat dirinya lega. Setidaknya sang Ibu tak mengkuatirkan kondisi luka-lukanya yang belum begitu pulih.
"Loh, Ais, kenapa kamu mau pulang?" tanya Nisa saat melihat Aisyah memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. Apalagi wajah sahabatnya itu memamerah menahan tangis."A-aku, akan boyong, Nis. Aku juga harus putus sekolah," balas Aisyah semakin terisak."Loh, kenapa? Kamu akan menikah?" desak Zahra.Aisyah tak menjawab, hanya anggukan kepala yang ia berikan sambil terus mengemas baju-bajunya ke dalam tas, setiap lipatan terasa berat, seperti menambah beban di hatinya. Begitu semua pakaian sudah rapi tersusun, Aisyah tak bisa lagi menahan perasaannya. Tubuhnya bergetar, dan akhirnya ia terduduk di lantai. Ia menelangkupkan wajahnya di telapak tangan, membiarkan air mata yang ia tahan sejak tadi mengalir deras.Isakannya terdengar pilu, memenuHari Jum'at pun telah tiba, beruntung Ibunya Nisa tak dapat datang apalagi uang saku Nisa masih cukup membuat dirinya lega. Setidaknya sang Ibu tak mengkuatirkan kondisi luka-lukanya yang belum begitu pulih."Loh, Ais, kenapa kamu mau pulang?" tanya Nisa saat melihat Aisyah memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. Apalagi wajah sahabatnya itu memamerah menahan tangis."A-aku, akan boyong, Nis. Aku juga harus putus sekolah," balas Aisyah semakin terisak."Loh, kenapa? Kamu akan menikah?" desak Zahra.Aisyah tak menjawab, hanya anggukan kepala yang ia berikan sambil terus mengemas baju-bajunya ke dalam tas, setiap lipatan terasa berat, seperti menambah beban di hatinya. Begitu semua pakaian sudah rapi tersusun, Aisyah tak bisa lagi menahan perasaannya. Tubuhnya bergetar, dan akhirnya ia terduduk di lantai. Ia menelangkupkan wajahnya di telapak tangan, membiarkan air mata yang ia tahan sejak tadi mengalir deras.Isakannya terdengar pilu, memenu
Para santri berdiri terpaku, menahan napas di tengah keheningan malam. Di sekeliling mereka, hanya terdengar suara angin yang menggoyang dedaunan, membawa hawa dingin yang membuat bulu kuduk meremang.“Eh, tunggu-tunggu. Kalian dengar kan ada yang minta tolong,” ujar salah satu santri dengan nada ragu, sambil memandang teman-temannya.“Tolong…!!” teriak lirih suara wanita dari kejauhan, memecah kesunyian.Para santri saling bertatapan, kecemasan tersirat di mata mereka. Detik berikutnya, mereka serentak menoleh ke arah asal suara, memastikan bahwa mereka tidak salah dengar.“Tuh... Dari sana,” tunjuk seorang santri, wajahnya tegang.Mereka menyoroti senter ke arah gelap, mencoba mengintip apa yang tersembunyi di balik bayang-bayang pohon besar.“Iya, itu suara Zahra,” sahut santri lain, menguatkan dugaannya.Mereka semua semakin waspada, tubuh-tubuh mereka terasa kaku dalam ketegangan yang tak kunjung reda.“Zah
Matno dan Rahmat menyusul berdiri untuk menenangkan sang Ustadz. "Sabar, Tadz, pasti Nisa ketemu kok," ujar Rahmat.Matno yang menyadari tatapan Ustadz Mahfud tertuju pada Ali segera berbisik, "Tenang, Ustadz, jangan kebawa emosi apalagi menuduh Ali. Bisa-bisa kita ketahuhan kalau sudah menjebak dia."Nafas ustadz Mahfud tersengal-sengal menahan emosi yang sudah bergejolak.Para santri dan ustadz masih riuh di masjid, kebingungan dan khawatir dengan hilangnya Nisa dan Zahra. Ustadz Husain menenangkan suasana riuh tersebut."Tenang, semua harap tenang ya," ucap Ustadz Husain. Ia juga berdiri untuk memberi instruksi."Kita berbagi untuk mencari keseluruh pondok, sampai belakang pondok dan di setiap sudutnya. Kalau belum ketemu terpaksa kita harus mencari keluar area pondok, tapi ini berlaku untuk santri putra saja. Santri putri tidak di perkenankan mencari di luar pondok ya. Semoga Zahra dan Nisa ketemu di area pondok saja jadi ki
Aisyah bingung mencari Zahra dan Nisa di area pondok. Ia sudah bertanya ke sana kemari tapi tak ada satu pun yang melihat."Nisa, Zahra kalian kemana sih," ucap Aisyah dengan lirih."Mungkin mereka pulang dadakan kali, Syah," ujar Ginah. Mereka sudah bersiap untuk sholat magrib berjamaah."Enggak mungkin lah, Mbak, kalau pulang pasti mereka pamit sama aku. Lagian baju mereka masih utuh." Aisyah heran dengan kedua sahabatnya yang tiba-tiba menghilang."Tadi sore sih kita piket bareng, Zahra dan Nisa buang sampah dan aku balik yang balikin sapu. Setelah itu aku enggak lihat mereka lagi, apa jangan-jangan mereka masih di belakang gudang ya?" tebak Nina sambil memakai mukena."Ih kamu itu ada-ada aja, Nin, ngapain coba di sana sampai malam. Lagian aku juga udah nyari ke sana tadi," balas Aisyah.Adzan sudah selesai, mereka segera terburu-buru menuju masjid agar tidak terlambat. Meski hatinya cemas dan takut Aisyah tetap mengikuti atu
Perlahan-lahan Zahra membuka kedua matanya, menatap Nisa yang melotot. Zahra bisa mendengar detak jantung Nisa yang berdebar, dengan pelan ia melepas pelukannya pada tubuh Nisa dan mengikuti arah pandang mata sahabatnya itu.Dan benar saja, di depan pintu gudang ada sosok Ali yang sedang menatap Nisa. Zahra memandang Nisa dan Ali secara bergantian, tatapan mata Ali dan Nisa itu seolah bisa mengungkapkan isi hati mereka tanpa harus mengatakan apapun."Bagaimana bisa, Ali, bisa ada di dalam gudang?" tanya Zahra.Mendengar itu, seketika Nisa beristigfar di dalam hatinya. Ia segera menundukkan kepalanya. "Tadi ada yang bilang Nisa ke sini, makanya gue ke sini," balas Ali. Ia menatap Nisa yang menundukkan kepala, tak berani menatap dirinya seperti tadi."Mau ngapain?" tanya Zahra. Ia mencecar Ali dengan nafas yang memburu, sedangkan Nisa tak berani berkutik."Mau ngobrol sama Nisa,""Ngobrolin apa?" Zahra menatap Ali s
Setelah sholat dhuhur usai, para santri bergegas menghampiri Abah Kiyai untuk bersalaman. Mereka membentuk barisan rapi, menundukkan kepala dengan penuh takzim saat mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan beliau. Abah Kiyai, dengan senyum lembut dan tatapan penuh kasih, menyambut setiap santri satu per satu. Beliau mengelus kepala beberapa santri yang masih kecil, memberikan mereka rasa nyaman dan kebapakan."Rafiq, Ali kemana? Kenapa enggak sholat berjamaah?" tanya Abah Kiyai.Rafiq yang di tanya seketika, menoleh ke sana kemari untuk mencari keberadaan Ali. Dan, benar saja ternyata sosok tampan dan berwajah bersih itu tak terlihat."Maaf, Bah, tadi saat saya sama Ziyad masih di gotaan, Ali sudah pamit berangkat ke masjid terlebih dulu," balas Rafiq merasa bingung."Benar, Bah, tapi kenapa ya Ali enggak ada? Dimana dia?" sahut Ziyad yang juga kebingungan sebab tak melihat Ali di dalam masjid.Setelah memastikan se
Hari menjelang Dzuhur Mbok Tati dan pak Supir berpamitan kepada Umi dan Abah kiyai untuk segera pulang.Tak lupa mbok Tati memberi pelukan hangat untuk majikan mudanya itu, dan memberi semangat untuk menjadi diri yang lebih baik.Ali menuju gotaan dengan membawa makanannya, di dalam gotaan ia meminta teman-temannya untuk makan, meski satu jam lagi jatah makan siang pondok akan segera hadir."Wah makasih banyak ya, Li. Kita enggak pernah loh makan enak kayak gini, kalau orang tuamu sering-sering kesini dan bawa makanan jangan lupa bagi sama kita-kita lagi ya. Orang yang suka bagi-bagi tuh rezekinya bertambah kali lipat loh," modus Ziyad sambil menyantap ayam goreng."Suwun ya, Li, semoga berkah Rezki orang tuamu," sahut Rafiq."Amin, makanlah," balas Ali.Di saat sedang menikmati makan tiba-tiba terdengar salam dari luar, membuat semua mata tertuju ke arah pintu. Ridwan datang dengan membawa tas milik Ali. Pandangannya t
"Maksudnya, kamu rayu Allah untuk meluluhkan hati Nisa," kata Rafiq sambil tersenyum tipis. "Intinya cintai dulu Allah lebih dalam, baru minta Dia bantu meluluhkan hati manusia. Itu namanya jodoh jalur langit."Ali mengerutkan kening, "Jodoh jalur langit? Kok kedengarannya rumit banget.""Iya, enggak semudah merayu manusia, tapi kalau Allah sudah berkehendak, enggak ada yang bisa menolaknya. Jadi, coba lebih banyak berdoa, tirakat, dan ibadah. Usaha di dunia, doanya di langit," ujar Rafiq tertawa kecil. Hari ini dirinya tak masuk sekolah, sebab merasa demam sejak semalam dan meminta izin untuk beristirahat.Ziyad menambahkan, "Iya, Li. Siapa tahu, Nisa jadi berubah hati atau malah kamu dikasih yang lebih baik."Di saat obrolan mereka tengah berlangsung dan Ali mulai tertarik dengan saran-saran Rafiq dan Ziyad, tiba-tiba Ustadz Husain muncul di pintu dengan mengucapkan salam. "Ali, orang tuamu sedang menunggu di depan. Mereka ingin bertemu denganmu," katanya dengan suara tenang.Ali s
Nisa tertawa kecil mendengar omelan Aisyah, meski ada sedikit rasa gugup yang terbersit di wajahnya. "Ais, jangan dibesar-besarkan. Dan jangan sampai Zahra tahu tentang kejadian tadi, aku enggak mau dia kecewa atau sakit hati. Kamu tahu sendiri kan dibalik sikapnya yang bar-bar dan ceria, dia kekurangan kasih sayang dari orang tuanya.""Tapi, kamu gimana duka enggak sama Ali?" tanya Aisyah membuat wajah Nisa memerah."Kok, wajah kamu memerah. Kamu tersipu ya, jangan bilang......." Jari Aisyah menunjuk ke wajah Nisa."Em.....""Hey, kalian lama banget! Buruan nanti telat jamaah bakal di hukum loh," pekik Zahra.Nisa menghembuskan nafas lega, ia merasa terselamatkan dari maut. Eh, dari pertanyaan Aisyah."Iya, Ra. Ayo, Ais, kita buruan ke kamar mandi," ujar Nisa lebih merespon Zahra membuat Aisyah mengerucutkan bibirnya.***Malam harinya setelah selesai mengaji dan saat belajar, para sant