Bab 1

Setelah melahirkan, ASI-ku tak kunjung keluar sehingga suamiku pun mendatangkan seorang terapis laktasi untukku.

Terapis ini tidak hanya bisa membantu melancarkan ASI, tapi juga bisa membantuku memulihkan seluruh tubuhku.

Namun, pemulihan seluruh tubuh yang dilakukannya ternyata mengharuskanku untuk telanjang bulat dan disentuh olehnya.

"Sayang, kau serius mau panggil terapis laki-laki buat bantu aku?"

Aku mengerutkan dahi, menunduk, dan menggenggam erat tangan suamiku.

"Jelaslah. Kau lihat sendiri, setiap kali si kecil menangis kelaparan. Tenang saja! Terapis ini terkenal banget. Aku bahkan harus minta bantuan sahabatmu, Alana, untuk bisa reservasi."

Setelah melahirkan, aku mengalami masalah yang sering kali membuat para ibu merasa malu, yaitu tidak bisa memberikan ASI yang cukup untuk anakku.

Setiap kali melihat dadaku semakin montok tapi tetap kering ASI, rasa cemas terasa seperti menghimpit dari dalam hati.

Akhirnya karena tak bisa membantah suamiku, aku melangkah masuk ke kamar tidur.

Pria yang berdiri di depan pintu itu terlihat masih muda, mungkin belum sampai 30 tahun. Tak tampak seperti terapis dengan keahlian luar biasa.

Mungkin menyadari keraguanku, dia tersenyum sopan ke arahku.

Terapis ASI itu bernama Yogi. Sambil menutup pintu, dia mengeluarkan sebuah kotak peralatan. Di dalamnya ada jarum-jarum kecil dari logam serta berbagai botol berwarna-warni.

Ini pertama kalinya aku melihat terapi ASI yang menggunakan jarum. Refleks, tubuhku langsung menegang.

"Bu Selen, silakan lepaskan pakaian dan berbaring di atas ranjang."

Demi memudahkan menyusui, aku hanya mengenakan gaun terusan sederhana. Tapi karena payudaraku makin membesar, gaun ini kini jadi terlalu ketat sehingga sebagian besar buah dadaku terpapar keluar.

Meski suamiku sangat menyukai tubuhku, aku tetap gelisah bukan main saat membayangkan diriku harus telanjang bulat di depan pria asing.

"Lepas ... pakaian?" tanyaku sambil mengernyit bingung.

Mendengar itu, Yogi menoleh dan memandangku sekilas. Ada sorot keheranan di matanya.

"Bu Selen, kami yang bekerja di bidang ini sudah sangat biasa melihat tubuh manusia. Di mata kami nggak ada laki-laki atau perempuan, hanya pasien. Kalau Ibu masih merasa risih begitu, silakan cari orang lain saja."

Aku terdiam.

Hatiku meronta antara rasa malu karena harus bugil dan rasa cemas anakku kelaparan.

Tepat saat sedang mempertimbangkan, dari depan pintu terdengar suara suamiku menyemangati, "Sayang, semangat ya. Dengarkan kata-kata si pemijat, biar anak kita bisa makan dengan kenyang."

Aku langsung memberanikan diriku dengan menarik napas dalam-dalam dan menggertakkan gigi, lalu perlahan melepas gaunku di depan pandangan mata Yogi.

Mataku terus mengawasinya dan mendapati dia menatapku lurus. Tak ada sedikit pun ekspresi aneh padanya. Tapi entah kenapa, pipiku tetap saja mulai memanas.

Setelah berbaring, kedua tanganku menutupi buah dadaku yang kini terpampang penuh di hadapan matanya.

"Aku mulai ya, Bu Selen."

Yogi membungkuk. Bisikannya terasa dekat di telingaku. Hembusan napasnya menyapu pipiku, membuat bulu mataku bergetar.

Saat jemarinya mulai memijat lembut di sekitar dadaku, itu jelas hanya pemeriksaan biasa, tapi tubuhku malah refleks menegang dan melemas.

Lalu saat dia mencubit putingku, seketika ada hawa hangat yang menjalar dari dada ke seluruh tubuhku. Geli ... panas ... dan membuatku agak merinding.