Share

Bab 4 Mencari Calon Menantu

Nyonya Retno menuruni anak tangga sedikit tergesa. Hari ini ia ada janji temu dengan seseorang yang penting. Ia tampil paripurna dengan sapuan make up minimalis. Rambutnya dibiarkan tergerai sebahu. Separuh abad usia sama sekali tak tampak dari perawakannya. Ia mengenakan midi dress dengan hole pattern berwarna khaki. Kaki jenjangnya disempurnakan dengan sepatu Malone Souliers senada warna dressnya. Nyonya Retno menenteng tas Hermes Matte White Niloticus Crocodile Himalaya Birkin 30 dengan diamond hardware untuk mengukuhkan statusnya sebagai nyonya besar, istri Tito Riang gono. 

Diantar Pak Bejo, Nyonya Retno tiba di salah satu restoran elite yang menyajikan masakan  Prancis. Nyonya Retno berjalan menuju meja yang telah dipesannya. Namun, tampaknya orang yang hendak ditemui belum tiba. Nyonya Retno duduk menunggu. Restoran ini menjadi salah satu tempat makan favorit keluarga Tito. Mereka sering menjamu mitra dan kerabat di sini. Interior  restoran ini sangat kental dengan suasana Eropanya. Furnitur kayu disusun cantik dilengkapi lampu gantung chandilier mini di setiap meja hingga susananya sedikit temaram. 

Tak lama berselang, seseorang yang ditunggu tiba. Seorang perempuan sebaya Nyonya Retno yang tak kalah elegan. Sangat jelas tampak yang sedang bersama Nyonya Retno juga seorang nyonya besar. 

"Maafkan saya, Jeng Retno. Apakah sudah lama menunggu?"

"Belum lama, Jeng Lili. Saya baru saja tiba. Tapi, apakah Jeng hanya datang sendiri? Larissa mana?"

"Larissa menyusul Jeng. Ia masih ada janji dengan klien. Maklum, sejak pulang dari luar negeri Larissa membantu papanya mengurus perusahaan."

"Oh, begitu ya Jeng. Jeng sungguh beruntung punya anak perempuan seperti Larissa. Cantik, cerdas, dan berbakti."

Pramusaji datang menyajikan makanan yang dipesan. Pertama disajikan menu amuse bouche sebagai kudapan yang dilanjutkan dengan menu pembuka escargot dan citron presse yang menyegarkan. 

"Ada apa Jeng Retno mengundang saya makan siang?"

"Ada sesuatu hal penting yang ingin saya sampaikan. Saya sedang mencari calon menantu untuk anak saya, Andrian."

"O, saya bisa bantu apa?"

"Ini, Jeng. Bagaimana kalau kita...." Retno urung meneruskan kalimatnya karena sesosok gadis muda datang menghampiri mereka. Tinggi gadis itu sekitar 168 cm, kulitnya kuning langsat dan terawat, rambutnya hitam panjang bergelombang. Gadis itu Larissa. Larissa mencium pipi Jeng Lili, mamanya lantas menyapa Nyonya Retno. 

"Tante Retno apa kabar?" Tanya Larissa ramah sambil mencium pipi Nyonya Retno. 

"Tante baik, sayang. Kamu bagaimana?"

"Baik jiga, Tan. Maaf aku telat tadi karena masih ada sedikit urusan."

"Iya, tidak masalah. Tante paham."

Kedatangan Larissa membuat Nyonya Retno tak ingin langsung berbicara tentang tujuannya. Mereka bercakap-cakap santai sambil menikmati menu utama andalan restoran itu, foie gras. Nyonya Retno terus memuji Larissa dan Jenk Lili. Tak lain Tak bukan ia lakukan itu agar mendapatkan sesuatu yang diharapkannya. 

Sembari menunggu sajian mocha pots de creme sebagai menu penutup, Nyonya Retno mulai berbicara serius tentang maksud dan tujuannya. 

"Jenk Lili, saya bermaksud agar hubungan kita tak sekadar sebagai relasi bisnis. Tetapi, kita bisa jadi keluarga."

"Senang sekali kalau bisa menjadi bagian dari keluarga Jeng Retno."

"Bagus kalau begitu. Saya ingin menjodohkan Larissa dengan anak saya, Andrian," Nyonya Retno berujar mantap. 

Mimik wajah Jeng Lili dan Larissa berubah. Air mukanya menunjukkan keterkejutan yang berusaha disembunyikan. Meski Nyonya Retno mulai membaca gelagat itu, ia tetap optimis. 

"Maaf, maksud Jeng Retno, Andrian anak Jeng yang...," ucap Jeng Lili terus berupaya bersikap sopan. 

"Iya, Jeng. Andrian putra sulung saya."

"Bukannya saya menolak, tapi urusan ini tentu harus dibicarakan dengan keluarga besar kami, termasuk juga Larissa. Ini tidak bisa diputuskan langsung."

"Emm, iya Tante. Larissa belum kenal Andrian dan tidak bisa langsung memutuskan."

Sebenarnya Nyonya Retno sangat sadar bahwa kalimat-kalimat yang dilontarkan Larissa dan Jeng Lili adalah penolakan secara halus. Namun, ia masih sangat berharap. 

"Iya sayang. Tante paham. Tante juga tidak minta jawaban sekarang. Bagaimana kalau kita atur pertemuan kamu dengan Andrian," tanya Nyonya Retno sembari melirik ke arah Jeng Lili pertanda meminta persetujuan. 

Baik Jeng Lili maupun Larissa kebingungan untuk menentukan sikap. Sebagai relasi bisnis Nyonya Retno, tidak mungkin mereka menyatakan penolakan secara frontal. Akhirnya mereka terpaksa membuat kesepakatan untuk bertemu dengan Andrian minggu depan. 

Nyonya Retno masuk mobil dengan wajah sumringah. 

"Kita langsung pulang Nyonya?"

"Kita singgah dulu ke kantor menemui tuan."

"Baik, Nyonya. Nyonya tampaknya senang. Apakah perjodohannya berhasil?"

"Menuju keberhasilan, Pak. Larissa adalah calon ke lima. Empat calon lain langsung menolak, setidaknya Larissa membuka kesempatan untuk pertemuan ke dua."

"Iya, Nyonya."

"Bagimana kabar keluarga kamu di kampung?"

"Alhamdulillah, baik Nyonya. Oh iya, saya ingin menyampaikan sesuatu pada Nyonya," Pak Bejo berujar ragu. 

"Sampaikanlah, mumpung kita belum tiba di kantor tuan."

Pak Bejo lalu menceritakan tentang Rianti pada Nyonya Retno. Ia mengisahkan semuanya kecuali tentang Yanto yang suka berjudi. Mata Nyonya Retno membelalak. 

"Apakah kamu bermaksud kami harus bermenantukan seorang gadis kampung? Kami keluarga terpandang, tidak mungkin berbesanan dengan orang kampung. Kamu sedang menghina keluarga kami?" Suaranya kian meninggi. 

"Anu, bu... bukan begitu Nyonya. Saya tidak...."

"Ah, sudahlah. Saya yakin Andrian berjodoh dengan Larissa," kalimat Nyonya Retno mengunci percakapan. 

Bejo tak berani lagi buka suara. Ia tak mau lancang membuat Nyonya Retno marah. Tentu saja ia tidak ingin dipecat yang dapat mengakibatkan periuk nasinya tak mengepul. 

Tiba di kantor, Nyonya Retno menemui suaminya, Tuan Tito. Ia menyampaikan niatnya untuk menjodohkan Andrian dengan Larissa. Tuan Tito menanggapi dengan dingin. 

"Apa kamu sudah memastikan bahwa anak itu mau dijodohkan?"

"Aku akan mengurus hal itu."

"Baik, kalau kamu yakin. Tapi, apakah ada yang mau bersanding dengan anak itu?"

"Aku sudah menghubungi relasi kita dan sudah banyak yang menolak. Hanya putrinya Jeng Lili yang bersedia melakukan pertemuan ke dua. Aku sangat berharap padanya."

"Aku tidak peduli dengan siapa atau dari gadis dari keluarga yang bagaimana ia akan menikah. Aku hanya tak mau dia menjadi orang bodoh seumur hidup."

"Itu semua gara-gara kamu. Kalau saja kamu bersikap adil dan tidak menganakemaskan Thomas, Andrian tidak mungkin seperti sekarang," Nyonya Retno mendengus sinis. 

"Bukan salahku. Anakmu keras kepala dan keras hati. Harusnya dia mau terapi sampai sembuh bukannya terus terpuruk dengan keadaannya."

"Seharusnya kamu harus memberi perhatian lebih padanya. Setidaknya kamu menghargai aku yang bersedia menerima anak selingkuhanmu. Andai saja dulu aku tidak menerima Thomas di rumahku," Nyonya Retno meradang. 

"Jangan mengorek kisah lama. Apalagi yang kurang kuberikan padamu. Status sosial, kemewahan, apapun yang kamu inginkan."

"Aku berhak menerima itu. Itu bukan semata-mata karena pemberian darimu. Jangan lupa, bagaimana sejarahnya kamu bisa punya bisnis seperti ini. Andil orang tuaku sangat besar."

"Kamu selalu membuat percakapan kita tidak nyaman dengan pernyataan serupa. Setiap kali, kamu selalu berusaha memojokkanku dengan mengungkit jasa orang tuamu. Kalau bukan karena kerja kerasku, tak mungkin perusahaan ini menjadi seraksasa ini."

Ruangan kantor menjadi mencekam dengan perdebatan pasangan suami istri yang sudah menikah 30 tahun lalu. Pernikahan mereka tampak ideal di mata relasi dan kerabat. Mereka tampil selayaknya pasangan suami istri yang harmonis semata mereka lakukan demi nama baik. Namun, tak ada yang tahu sudah sejak lama tak ada gairah cinta dalam hati mereka. Romansa cinta masa muda hanya tinggal cerita usang. Keduanya bergelut dalam kemelut praduga terhadap masing-masing. Sudah lama hati mereka beku dan dingin. Meski mereka juga dulu dijodohkan oleh orang tua mereka, cinta yang bahagia pernah menjadi bagian kisah rumah tangga mereka. Ironisnya, kehadiran Thomas dalam kehidupan mereka telah membawa perubahan besar. 

Nyonya Retno meninggalkan kantor. Ia terus menyusun kalimat-kalimat dalam benak yang akan ia sampaikan pada Andrian. Ia mempersiapkan jawaban dan rayuan jika Andrian menolak bertemu Larissa. Ia juga mulai memikirkan rencana pertemuan Andrian dan Larissa. Ia bertekad agar pertemuan Andrian dan Larissa berhasil. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lan Terie
sangat menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status