Share

Chapter 10: Sempurna?

Beijing, China, Tahun 2005.

                Seorang pria setinggi 182 cm, dengan tahi lalat khas di pipi kanannya sedang merapikan baju di kopernya. Dia akan menghabiskan liburannya selama dua minggu di kampung halamannya, Suzhou. Lagi pula dia telah memberikan kemenangan untuk negara Republik Rakyat China.

                “Hei, naik apa kau ke sana?” tanya Fengying memecah keheningan, teman sekamarnya di asrama putra Pelatihan Bulu Tangkis Nasional China di Beijing.

                “Dari sini naik taksi, lalu pesawat,” jawab Yuxuan seperti sedang memikirkan sesuatu.

                “Ada yang tertinggal?” Fengying menyelidiki.

                “Mungkin di Inggris.” Yuxuan berbicara sekenanya.

                “Apa barang itu berharga?” Fengying sedikit panik.

                “Pasti dia akan kembali.” Yuxuan pun pergi mendorong kopernya ke depan asrama. Penjaga asrama memberi tahu bahwa sopir  taksi pesanan Yuxuan sudah menunggu di depan asrama putra.

                “Dia?” Yuxuan meninggalkan rasa penasaran pada diri Fengying.

# # # #

                Sebuah rumah mewah dengan harga interior bermilyaran tampak terbentang di depan mata Yuxuan. Ini rumah hasil kerja kerasnya Huan Song, salah satu pemilik perusahaan manufaktur di China. Yuxuan sebenarnya ingin meninggalkan rumah ini, namun sebagai anak satu – satunya dia tidak tega kepada orang tuanya.

                “Tuan Muda, saya bawakan kopernya ya.” Seorang wanita berusia 45 tahun keluar dari rumah mewah itu.

                “Iya, terima kasih, Bibi,” ucap Yuxuan yang merasa orang yang dihadapannya adalah ibunya.

                “Bi Chiang,” panggil Yuxuan.

                “Iya Tuan Muda.”

                “Ibu dan Ayah saya apakah ada di rumah?”

                “Tuan dan Nyonya sedang ada urusan kantor di Beijing,” jelas Bi Chiang sambil terus berjalan membawakan koper Yuxuan.

                “Padahal saya baru saja juara di pertandingan bergengsi, saya ingin mereka menyambut kedatangan saya, tapi mereka selalu saja sibuk dengan pekerjaan,” curhat Yuxuan.

                “Tuan Muda lebih baik istirahat dulu di kamar, nanti Bibi akan dengarkan semua yang Tuan Muda rasakan selama di Beijing.” Bi Chiang mencoba menghibur anak majikannya.

                “Bibi memang selalu ada untuk saya, sejak saya balita.” Yuxuan pun berjalan mendahului Bi Chiang.

# # # # #

                Yuxuan merebahkan dirinya di kamar tamu. Sementara Bi Chiang heran, Sang Tuan Muda tidak ada di kamar pribadinya. Pembantu itu pun mengetuk pintu kamar tamu yang terlihat dimasuki Yuxuan.

                “Tuan Muda, ingin makan apa? Akan saya sediakan.” Bi Chiang sesopan mungkin di hadapan anak dari majikannya yang tampan.

                “Saya mau makan ikan Bi, dan bisakah Bibi tinggalkan saya, saya ingin istirahat,” pinta Yuxuan dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada orang yang lebih tua.

                “Mohon maaf Tuan Muda, saya permisi.” Bi Chiang langsung menutup pintu kamar tamu itu.

                Lelaki muda itu menghela napas. Dipikirannya melayang bayangan seorang gadis. Matanya, bibirnya, rona merah di wajahnya, lekukan tubuh di balik jerseynya. Dia ingin menyentuhnya!

                Yuxuan Song menyadarkan dirinya. Dia bangkit dari rebahannya. Mengusap wajah dengan kedua tangannya. Dia pun berjalan membuka pintu menuju balkon. Bayangannya melayang kepada kedua orang tuanya. Mereka selalu bilang kalau Yuxuan harus sekolah yang tinggi dan menjadi dokter atau paling tidak meneruskan perusahaan Ayahnya.

                Lelaki kelahiran Suzhou, provinsi Jiangsu itu tersenyum percaya diri. Dunia bulu tangkis akan memberikannya seorang bidadari. Ini berarti dunia pilihan yang dibantah orang tuanya itu benar–benar pilihan hidupnya. Di balkon, Yuxuan berselebrasi layaknya seorang atlet yang memenangkan medali emas olimpiade.

# # # #

                Chiang Li, seorang wanita yang bekerja di keluarga Song sejak tahun 1998. Wanita ini melarikan diri dari konflik yang melanda Indonesia. Chiang Li adalah seorang etnis Tionghoa yang lahir di Bandung, Jawa Barat. Namun karena kejadian kerusuhan 98. Chiang Li melarikan diri ke China. Hingga dia datang ke agen asisten rumah tangga. Beruntung dia dipekerjakan oleh Keluarga Song. Dia diminta untuk menjaga Yuxuan. Memastikan Yuxuan aman di rumah.

                Chiang Li pun menatap pintu kamar Yuxuan. Namun ketika akan diketuk, ternyata pintunya terbuka sedikit. Yuxuan sedang membuka bajunya, sepertinya bersiap untuk mandi. Sebagai wanita yang ditinggal mati suaminya karena kejadian 98. Chiang Li sedikit tergoda dengan tubuh atletis pemain bulu tangkis andalan China tersebut. Segera perasaan itu ia tumpas, karena Yuxuan adalah anak yang dititipkan majikannya padanya. Lagipula dirinya tidak secantik putri raja, mana pantas bersanding dengan Yuxuan Song.

                Yuxuan berpikir ada yang membuka pintu kamarnya. Dilihatnya ke belakang tidak ada orang.  Lelaki tampan itu pun langsung pergi ke kamar mandi. Menyalakan air hangat di bathub dan merendamkan diri dengan busa mewahnya.

                “Dwi, ya? Dwi Astriani Aprilliani...” Yuxuan mencoba mengeja nama gadis yang menarik hatinya. Cukup kesulitan, karena bahasa yang sangat asing dalam nama tersebut.

                Suara air yang disentuh Yuxuan... berharap itu adalah gadis yang sangat ingin dia sentuh.

                “Indonesia, hmm.”

                “Budayanya seperti apa?”

                “Aku hanya tahu bahwa negara itu selalu juara di bulu tangkis apalagi sektor ganda putra,” pikir Yuxuan sambil menyentuh bibirnya sendiri dengan menggairahkan jika dilihat.

                Yuxuan terus saja membicarakan negara tempat kelahirannya Dwi. Berharap ada jalan agar dia dan gadis itu bisa bersama selamanya.

                # # # #

                Keluar kamar mandi dengan jubah mandinya, Yuxuan mencari–cari baju tidur di kamarnya. Walau nanti malam dia akan tidur di kamar tamu. Setelah rapi, Yuxuan pergi ke ruang makan untuk makan malam.

                “Tuan Muda, ikan termahal pesanan Tuan sudah siap,” jelas Bi Chiang, sambil menggeser kursi makan.

                “Aku ingin hidup sederhana Bi!” Yuxuan muak dengan kemewahan yang ditawarkan keluarganya.

                “Tuan, tolong makan dulu, mungkin tuan lapar.” Ekspresi wajah Yuxuan melunak. Dia pun mencoba memakan apa yang dimasak Bi Chiang.

                Bi Chiang segera meninggalkan anak majikannya. Dia tidak ingin mengganggu waktu makan malam tuan mudanya.

                “Tunggu Bi! Bibi sudah makan?” tanya lelaki itu mencegah pembantunya melangkah lebih jauh.

                “Bibi makannya nanti saja Tuan Muda.” ujar Chiang Li lirih.

                Yuxuan menunjuk kursi yang ada di sampingnya. Meminta Bi Chiang duduk dan makan malam bersamanya. Karena wanita itu hanya sebagai pembantu di rumah itu, dia hanya bisa patuh dengan tuannya.

                “Bosan rasanya mempunya orang tua yang pikirannya uang, uang dan uang!!!” keluh Yuxuan, tangannya menggeser piring yang sudah kosong. Juga mencegah Bi Chiang mengambil piring itu.

                “All England Bi! Sebuah pertandingan yang bergengsi di dunia bulu tangkis, Aku sudah mencoba menelpon ayah, tapi dia mengabaikan teleponku berkali–kali! Rasanya dia tidak pernah menghargai pilihan anaknya,” curhat Yuxuan.

                “Saya paham Tuan.”

                “Cuman Bibi yang selalu menyambutku di rumah, menyiapkan semua keperluanku, aku merasa Bibi adalah ibuku.”

                Bi Chiang hanya mampu mendengarkan.

                “Kalau boleh tahu, Bibi berasal dari mana?” Yuxuan memecah kegemingan Bi Chiang.

                “Saya berasal dari distrik Yuzhong, Provinsi Gansu, Tuan.”

                “Baik, dan aku perhatikan di wajah Bibi seperti ada guratan wajah orang Indonesia.” Yuxuan menyelidiki asal usul asisten rumah tangganya itu.

                Bi Chiang kaget dengan pengetahuan majikannya. Memang benar dia lahir di Bandung. “Tuan tahu dari mana kalau saya seperti orang Indonesia?”

                “Saya bertemu dengan gadis cantik asal Indonesia saat bertanding di Inggris, ntah mengapa Bibi mengingatkanku padanya.” Tatapan Yuxuan membuat siapa pun akan terpesona.

                Chiang Li terkejut. Wanita yang menarik hati Tuan Mudanya itu berasal dari Indonesia. Dia pun penasaran dengan wanita itu.

                “Namanya itu Dwi,” eja Yuxuan dan lidahnya Yuxuan tampak terbelit dengan penyebutan nama itu.

                “D, w, i, Dwi, Tuan.” Chiang Li mencoba membantu majikannya.

                “Iya, Bi, tolong bantu aku,” ujar Yuxuan mengajak Chiang Li ke kamarnya, dia ingin banyak tahu tentang atlet bulu tangkis andalan Indonesia itu.

                “Baik Tuan,” patuh Chiang Li, dia berjalan di belakang Tuannya.

                Yuxuan bersiap di depan komputernya. “Gimana tulisannya Bi?”

                “Dwi Astriani Aprilliani.” Yuxuan mengukir senyum kemenangan di wajahnya saat terdapat banyak informasi tentang perempuan incarannya di internet. Dia pun berterima kasih dan meminta Bi Chiang keluar dari kamarnya.

                “Waw, dia sudah juara Hongkong Open tahun 2000 di usianya yang ke – 12 tahun dengan mengalahkan ganda putri senior yang sering juara dan menyandang peringkat satu dunia asal negaraku, bocah ajaib asal Pangalengan julukannya, dia juga pernah juara olimpiade matematika internasional, lalu, cantik.” Proses stalker Yuxuan terhenti saat melihat foto Dwi memakai pakaian adat Sunda, dia sangat cantik.

                Setelah mendapatkan informasi yang dia mau. Yuxuan kembali ke kamar tamu. Pikirannya masih dipenuhi oleh perempuan kebanggaan Bumi Pertiwi.

                “Di kamar ini, aku akan mendapatkanmu seutuhnya... wahai gadis sempurna.”

                Pikirannya sendiri membantah dengan banyaknya perbedaan sosial dan budaya antara Indonesia dan China. Persaingan ketat antara Indonesia dan China di cabang olahraga bulu tangkis.

                “Kamu sempurna Dwi, tubuhmu harus jadi milikku.” Yuxuan pun tertidur dengan Dwi sebagai teman di mimpinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status