Keringat membasahi kening hingga sekujur tubuh cantik Dwi Astriani Aprilliani. Dia tidak mengetahui penyebabnya. Pangalengan selama ini dingin. Tak memberikannya keringat.
“Tuhan tadi itu apa?”
Gadis itu bermimpi ada sesosok lelaki yang berada di atasnya. Duduk di antara kedua kakinya. Menatapnya seperti ingin memakannya. Dwi tidak bisa menjabarkan dengan jelas. Apa yang terjadi di dalam mimpi itu. Yang pasti... celana dalamnya basah, tetapi tidak menembus seperti ngompol. Dia ingin bertanya kepada ibunya, namun hatinya berkata, “Ini hal yang memalukan untuk ditanyakan.” Akhirnya dia diam-diam mencuci celana basahnya dan menjemurnya di jendela kamar.
Sembilan jam, setelah mimpi. Di PB Tarumanagara, saat dia hendak men-smash shuttlecock perasaan licin ada di bawahnya. Perlahan, Dwi mulai merasakan sakit di bagian perut sebelah kanannya. Prawira yang melihat itu langsung menghampiri Dwi. Lelaki itu membopong Dwi hingga ke kamar mandi peremp
Seorang wanita berusia di awal 30 –an sedang berjalan menyusuri jembatan desa yang dibawahnya mengalir sungai yang jernih. Kulitnya yang kuning langsat ditambah tinggi badan 170cm, pipinya tidak terlalu tirus, matanya besar, dan alisnya agak tebal. Dia tampak mengenang sebuah penyesalan. Tangan kanannya menyusuri pembatas jembatan. Suara air menjadi melodi indah yang mengiringi keindahan mantan Sang Kembang Desa. “Dulu dia kabur dari desa karena gak mau nikah lho Bu.” Para tetangga memulai cerita tentang dirinya. “Untungnya dia dinikahin artis ibukota ya Bu.” “Iya sih, kalau dulu ya gajinya milyaran tapi percuma gak punya pasangan.” &n
“Ridho, mau ke mana?” tanya seorang perempuan dengan kebaya sehari-harinya. “Mau main bola sama Wira!” jawab anak laki–laki berambut tipis. “Pulangnya jangan magrib–magrib ya Dho!” perempuan itu mengkhawatirkan anak sulungnya. Kabut masih menyelimuti pemandangan di Desa Sukaasih. Sari mengelus perutnya yang semakin besar. Ageung sang suami tersenyum melihat istrinya yang tatapannya nanar. Dia selalu mengkhawatirkan anak laki–laki yang baru pamit. “Aku pamit dulu ya Neng,” ucap Ageung sambil mencium kening istrinya. “Assalamu a’laikum,” lanjutnya. “W*’alaikumussalam warrahmatullahi wabarrakatuh,” jawab Sari melihat suaminya harus bekerja lebih giat sebagai tukang bangunan panggilan demi biaya persalinan. # # # “Ridho, ibu kamu hamil lagi ya?” “Ngapain kamu ngomong gitu Prawira?!” Ridho heran dan kesal sambil menendang bola ke gawang. “Ibu kamu kan cantik gitu lho, kalau adik kamu lahi
Musim semi di Inggris. Berlatar di Stadion Nasional Birmingham. Indonesia berharap pada ganda putri ajaib untuk sebuah kebanggaan. Pasangan ganda putri muda Arina Handikusuma Oktaviani dan Dwi Astriani Aprilliani. Mereka baru berusia 17 dan 16 tahun. “Bismillah Dwi,” ucap Arina sambil mengikat rambut merahnya. “Iya bismillah,” Dwi pun membenarkan tali sepatunya. Tak lama kemudian mereka dipanggil masuk lapangan. Disambut meriah oleh orang – orang yang mengibarkan bendera merah putih di tribun penonton. Dwi menangkap A Prawira di tribun penonton. Dia menonton sendirian. Rekan yang lain sudah pulang duluan ke Jakarta. Turnamen ini begitu bergengsi karena termasuk kejuaraan bulu tangkis tertua. Jadi yang juara di sini akan mempunyai privilage yang bagus. Sebelum pertandingan, para atlet diperbolehkan pemanasan dengan saling melempar shuttlecock bersama partnernya bagi sektor ganda. Bagi sektor tunggal, pemanasannya dengan lawannya.
Seorang perempuan berambut hitam tebal dan bergelombang terlihat sedang kesal. Dia adalah anak dari pemilik perkebunan teh terluas di Pangalengan. Tentunya, dia tidak mau ada gadis lain yang menyaingi kepintaran dan kecantikan dirinya. “Heh, Rini, inget ya, pokoknya hari ini kita harus bisa bikin si Dwi codet!” “Eh Siska, kamu bisa kan bersaing secara sehat aja?” gadis yang bernama Rini menimpali. “Iya tuh bener,” lelaki satu–satunya di antara mereka angkat bicara. “Endin ndesooo!!! Kamu suka ya sama Dwi hah?!” Siska kesal dengan teman – temannya yang membela si gadis miskin itu.
Hari Minggu pagi tepatnya pukul 6. Dwi sudah mulai berlatih pencak silat. Abah Encep terlihat sedang menguatkan pertahanan Dwi. Perempuan itu pun mengangkat wajahnya seperti menantang orang. “Dwi, kamu itu jangan jadi sok jagoan,” nasehat Abah Encep. Dwi yang mengubah posisi tubuhnya dari posisi kuda–kuda di pencak silat menjadi berdiri tegap. “Siapa yang pengen sok jadi jagoan Bah?” dia protes. “Ya kamu, dari kelas satu sampai kelas tiga SD selalu peringkat satu. Terus nanti bakalan ikut seleksi olimpiade matematika di Kecamatan. Dwi, pencak silat itu membela diri, kamu harus mempunyai kepala yang sedamai suhu di Pangalengan,” jelas Abah Encep. &n
Setiap pagi, Dwi melesat dengan sepedanya. Membawa serta leupeut buatan ibunya. Menebar senyum ke seluruh Desa Sukaasih. Dan dia memarkirkan sepedanya di depan SDN 1 Sukaasih. “Dwi!!!” teriak Ita, dia adalah teman sebangkunya Dwi. “Hai Ta, alhamdulillah sampai.” Dwi senang melihat wajah temannya. “Dwi, kalau kamu teh risih gak sih diliatin lalaki?” “Cuek we atuh,” kata Dwi sambil berjalan menuju kelas. (Cuek aja dong) Ibu Rinda
Tahun 1996, Sari mengeluarkan isi dompetnya. Berkali–kali dia berharap isi dompetnya bertambah. Kemarin, Ageung baru mendapat uang dari kerjaannya membangun rumah anaknya Pak Amat yang kerja di Jakarta. Harusnya dapat uang banyak buat bayar sekolah dan perlengkapan anak–anaknya. Tapi malah dibelikan sepasang raket yang cukup mahal. “A Ageung!!! Kumaha sih? Eh bentar...” Sari seperti mendapat secercah cahaya. (Kak Ageung!!! Gimana sih? Eh bentar...) “Ya kan si Dwi potensial, kata Ibu Yosi pelatih putri di PB. Tarumanagara,” jelas Ageung meyakinkan istrinya. “Kalau Si Prawira dapet uang dari bulu tangkis sabaraha?” Sari mend
Dwi saling berdiam diri dengan Ridho, kakaknya. Niat Ridho memang untuk menemani Dwi merenung saja. Bukan menunggu pengakuan adiknya. Soal siapa yang sudah membuatnya sedih. Braga yang sepi dan estetik. “A, kenapa ya Dwi teh sibuk pisan baheula?” (Kak, kenapa ya Dwi tuh sibuk banget dulu?) Ridho merasa lega, adiknya masih bisa bicara. Dia menatap kecantikan adiknya. Dan mencoba menjawab. “Karena doa Ibumu, yang selalu berharap kalau kamu tidak akan pernah menjadi yang kedua.” # # # # # Pak Trino menatap jam di tangannya. Dwi sang wakil sekolah untuk olimpiade matematika tingkat kecamatan belum juga hadir. Destia dan Bu Rinda sama gelisahnya. “Maaf, Dwi telat bangunnya, kemar