Share

Chapter 9: Sang Juara Kecamatan

Tibalah hari pengumuman seleksi Olimpiade Matematika tingkat kecamatan menuju tingkat Kota/Kabupaten Bandung. Pak Trino dengan seksama menunggu hasil, apakah Dwi dan Destia akan mewakili Pangalengan?

“Nilai tertinggi Olimpiade Matematika posisi ketiga ditempati oleh...” panitia memulai pengumumannya.

Dwi hanya duduk dengan tenang. Mencoba tidak resah.

“Christian dari SD Tristan!!”

“Wah, siswa dari SD swasta terbaik di Pangalengan saja posisi ketiga...” lirih Pak Trino.

“Posisi kedua ditempati oleh, Raisa dari SD Negeri 4 Pangalengan!” tepuk tangan mengiringi pengumuman.

“Dan yang akan mewakili kecamatan Pangalengan ke Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten/Kota Bandung adalah...”

Semua peserta yang belum disebut namanya berharap merekalah yang akan mewakili Pangalengan.

“Dwi dari SD Negeri 1 Sukaasih!” Pak Trino dengan terharu bertepuk tangan sambil berdiri. Dilihatnya Dwi yang masih duduk tenang di aula Kantor Kecamatan.

“Ayo ke depan Neng,” pinta Pak Trino. Dwi pun berdiri dan menghampiri panitia yang akan memberikannya piala, sertifikat, dan uang pembinaan.

Dwi bersyukur. Dia bisa membuktikan keahliannya. Nanti siang, keahliannya di bulu tangkis akan diuji lagi.

“Selamat ya Neng, nanti kamu belajarnya di kota, sama Bu Darma, teman Bapak waktu kuliah dulu,” jelas Pak Trino.

Dwi hanya tersenyum. Mengamati hadiah yang ada di tangannya. Dia pun bertekad akan selalu juara demi mendapatkan uang untuk kehidupan keluarganya yang pas – pasan.

# # # #

Suara adzan terdengar dari Masjid Alun–Alun Kota Bandung. Ridho mengajak adiknya berjalan ke masjid. Mereka masih asyik mengenang masa kecilnya seorang Dwi.

“Dwi, udah salat kita cari makan ya, sambil kamu cerita lagi.” Ridho dengan ekspresi kakunya berharap bisa mengukir lengkungan di wajah adiknya.

“Iya A.” Pandangan Dwi lurus ke depan. Sesekali wanita itu membetulkan maskernya. Dia hanya ingin mencari akar permasalahan yang membuatnya sedih.

# # # #

“Aurora, beneran deh posisi kamu bakal kegeser sama Dwi, contoh aja Shasa yang kemarin kalah dari Dwi,” ujar Fikri, juniornya Prawira.

“Hah, Shasa itu emang suka grogi kalau ketemu orang baru, kalau aku kan nggak, lagian aneh sih, masa anak baru udah disuruh ngelawan senior yang udah ikut beberapa kali pertandingan nasional, dan, Shasa masih menang satu babak.”

“Wahai anak muda, ingatlah kalau kalian turun dari podium, kalian itu semua sama, baru latihan lha, sering tanding lha, sering kalah, sering menang, sama!” Prawira menegaskan.

Suasana PB. Tarumanagara masih sepi. Hanya ada Fikri, Aurora, dan Prawira. Mereka sedang mempersiapkan diri untuk kejuaraan usia dibawah 19 tahun yang akan diadakan di Singapura. Jika mereka menang di sana, mereka akan bergabung di Pelatnas PBSI Jakarta.

“Apakah Indonesia bakal pilih Dwi ya?” Aurora tampak putus asa.

“Usia kamu udah 14 tahun dengan pengalaman lima tahun tanding bulu tangkis, masa kalah tanpa tanding.” Prawira sedikit mengejek.

“Ya udah, Fikri aku mau lawan kamu, aku pastikan, Dwi gak akan bisa ambil posisi aku, kalau dia ngalahin aku, aku bakal pindah ke Finlandia ikut Ayah.” Aurora mengajak Fikri ke tengah lapangan.

Pukul 13.00, Dwi bersiap di tengah lapangan. Dia melakukan pemanasan seperti yang diajarkan Bu Yosi. Kali ini, Bu Yosi menantang Dwi untuk mengalahkan Yasmin. Seseorang yang baru memenangkan kejuaraan tingkat Kecamatan di Kopo.

Dwi membetulkan senar raketnya. Menalikan sepatunya. Bersiap untuk tanding lagi. Yasmin yang melihat Dwi berdiri tegap dengan posisi siap menerima servis merasa tidak akan mampu bisa menjadi atlet bulu tangkis internasional dari Indonesia.

“Tunggu Bu!” Yasmin menunda pertandingan.

“Ada apa Yasmin?” Bu Yosi yang sudah bersiap memimpin pertandingan menanggapi Yasmin.

“Apakah hanya ada dua perwakilan dari PB. Tarumanagara yang akan dipanggil ke Pelatnas?”

“Iya, sisanya dari wilayah lain, karena Indonesia gak cuman Bandung,” jawab Bu Yosi.

“Untuk putra sudah ada A Prawira, dan untuk putri?” tanya Yasmin dengan penuh keputus asaan.

“Saya pikir Aurora, tetapi mungkin lebih baik dia ikut Ayahnya ke Finlandia,” jelas Bu Yosi.

“Bu, kok?” Aurora mengumpulkan amarahnya yang sejak pagi sudah dia tahan.

“Saya melihat sikap tegas seorang juara, tanpa ekspresi melihat musuh, taktik yang bagus, dari seorang Dwi Astriani Aprilliani, saya sependapat dengan Pak Sumirno, postur tubuhnya pun mendukung,” jelas Bu Yosi.

“GAK BISA GITU DONG BU! DIA BELUM PERNAH IKUT KEJUARAAN APAPUN!”  protes Aurora.

“Tenang Aurora, besok Dwi bakal mewakili SD Negeri 1 Sukaasih buat pertandingan bulu tangkis tingkat Kecamatan,” jelas Prawira.

“Udah, udah, SEORANG JUARA HARUS MENGALAHKAN KETAKUTANNYA SENDIRI, BUKTIKAN MENTAL JUARA KALIAN!” Bu Yosi menegaskan.

Setelah diskusi panjang lebar. Pertandingan antara Dwi dan Yasmin tetap berlangsung. Yasmin sudah tidak yakin lagi dengan kemampuannya karena melihat Dwi. Dia pun kalah dua set langsung.

“Satu lagi kelebihan Dwi, dia bisa membuat lawan berkecil hati dulu sebelum bertanding, setelah melihat pertandingan dia sebelumnya,” ujar Pak Sumirno.

“Jangan sampai dia tidak membawa nama Indonesia ke kancah dunia,” tanggap Bu Yosi.

Prawira yang melihat potensi Dwi menghampirinya. Dia bilang sudah mendelegasikan Dwi sebagai wakil putri yang pertama kalinya dari SD Negeri 1 Sukaasih melalui Pak Johar, guru olahraganya. Dwi hanya mengangguk. Menyetujui kesempatan pertamanya untuk membuktikan kalau dia mampu juara di bidang olahraga.

“Kalau udah juara sampe tingkat Kabupaten/ Kota, boleh tuh lawan Aa,” tantang Prawira.

“Okay, tantangan diterima,” Dwi menyodorkan tangannya tanda deal.

“Bagus, Aa tunggu di Pelatnas PBSI.”

# # # #

“Enak mie ayamnya?” tanya Ridho sambil menggeser mangkuk kosong.

“Enak A,” Dwi memakannya dengan lahap.

“Atlet makannya banyak ya? Haha,” Ridho mengejek adiknya yang sudah habis tiga mangkuk mie ayam.

“Lagi laper aja kali..”

“Hmm, padahal kamu keliatannya langsing menuju kurus ya?”

“Alhamdulillah,” ucap Dwi menandakan dia tidak akan nambah lagi.

Ridho lalu mengajak Dwi pulang ke rumah. Di mobil, Dwi tampak memikirkan sesuatu. Menurut Ridho, mungkin sesuatu yang seharusnya Dwi keluarkan dari tubuhnya. Semacam racun.

# # # #

Setiap hari dari usianya menginjak delapan tahun. Dwi jarang tidur. Tidur hanya tiga jam. Dari jam 12 malam sampai jam 3 subuh. Pengorbanan waktu istirahatnya selalu membuahkan hasil. Waktu siangnya yang dia gunakan untuk berlatih bulu tangkis, waktu malam untuk mengerjakan PR dan belajar. Dan waktu subuh untuk membuat leupet dan menjualnya ke warung–warung.

Pertandingan bulu tangkis yang diadakan di GOR Kecamatan Pangalengan berlangsung ramai. Hingga hasil akhir, SD Negeri 1 Sukaasih untuk pertama kalinya menyabet juara satu putri. Pak Johar sangat bangga dengan Dwi yang tidak pernah kehilangan satu babak pun dari lawannya. Sebenarnya Pangalengan tidak begitu tertarik dengan bulu tangkis, hingga lawannya dinilai mudah untuk Dwi.

“Prawira, tolong kasih tau pendiri PB. Tarumanagara itu, Dwi harus jadi atlet bulu tangkis. Fokus! Jangan dijadiin sampingan,” saran Pak Johar.

“Iya Pak siap,” jawab Prawira yang ikut mendampingi Dwi.

“Smashnya itu lho Wir, seksi haha,” canda Pak Johar.

“Pak, hati–hati kalau bicara,” kata Prawira.

“A, Dwi mau ngalahin Aa, udah gitu Dwi mau fokus jadi matematikawati aja, Dwi gak mau jadi atlet.” Sungguh pernyataan yang mengecewakan untuk Pak Johar dan Prawira.

“Dwi, Aa udah bilang, syarat buat bisa ngalahin Aa, kamu harus juara di tingkat Kabupaten/Kota dulu!”

“Okay, uang Bapak buat beli raket aja belum Dwi lunasi, kalau uang Bapak sama udah juara nanti Dwi udahan aja main bulu tangkisnya..”

Prawira berpikir untuk menyusun strategi baru agar Dwi bertahan di dunia bulu tangkis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status