Share

Chapter 3: Dwi Menyukai Yuxuan, Mungkin

Musim semi di Inggris. Berlatar di Stadion Nasional Birmingham. Indonesia berharap pada ganda putri ajaib untuk sebuah kebanggaan. Pasangan ganda putri muda Arina Handikusuma Oktaviani dan Dwi Astriani Aprilliani. Mereka baru berusia 17 dan 16 tahun.

“Bismillah Dwi,” ucap Arina sambil mengikat rambut merahnya.

“Iya bismillah,” Dwi pun membenarkan tali sepatunya.

Tak lama kemudian mereka dipanggil masuk lapangan. Disambut meriah oleh orang – orang yang mengibarkan bendera merah putih di tribun penonton.

Dwi menangkap A Prawira di tribun penonton. Dia menonton sendirian. Rekan yang lain sudah pulang duluan ke Jakarta. Turnamen ini begitu bergengsi karena termasuk kejuaraan bulu tangkis tertua. Jadi yang juara di sini akan mempunyai privilage yang bagus.

Sebelum pertandingan, para atlet diperbolehkan pemanasan dengan saling melempar shuttlecock bersama partnernya bagi sektor ganda. Bagi sektor tunggal, pemanasannya dengan lawannya. Waktunya lima menit.

Ko Ranja dan Kak Dena mendampingi Dwi dan Arina. Mereka duduk di kursi pelatih. Menatap harapan dihadapannya.

Pertandingan dimulai berdasarkan pelemparan koin oleh wasit. Arina dan Dwi pun dinyatakan pemain yang memulai. Mereka pun bersiap.

“Di sisi kanan saya, Dwi Astriani Aprilliani/ Arina Handikusuma Oktaviani, Indonesia! Di sisi kiri saya, Wei Na/ Li Ying, China, ready, love all, play!” wasit memberi aba – aba bahwa pertandingan sudah dimulai.

Di set pertama, Arina tampak kokoh menjaga pertahanan bagian depan walaupun dia yang menjadi sasaran empuk lawan karena smash – nya selalu meleset. Sedangkan Dwi selalu menghujani lawannya dengan jumping smash yang kuat, cepat, dan tepat. Indonesia unggul 15 – 10.

Saat break set, Kak Dena dan Ko Ranja memberikan wejangan dan ketenangan untuk Arina dan Dwi. Kak Dena menepuk bahu Arina. Di sela break, Dwi memarahi Arina sebab kecerobohannya di tengah pertandingan. Membuat bola out.

“INDONESIA, INDONESIA, INDONESIA!” sekilas WNI di Inggris mendukung satu – satunya wakil Indonesia di final.

Yuxuan mengintip sedikit dari tirai tempat para pemain menunggu giliran pertandingan. Dia terpesona dengan Dwi yang mengenakan jersey dan celana pendek merah, ada bendera merah putih di sisi kanan jerseynya. Rambutnya diikat namun poninya dibiarkan di pinggir.

“Hoi!” ujar Fengying menyadarkan partnernya.

“Apa?” kata Yuxuan kaget.

“Ngapain ngeliatin sepupu aku?”

“Bukan! Aku cuman liat suasana lapangan saat final, inikan final pertama kita.”

“Oh, Oke.” Fengying duduk di kursi tunggu.

Yuxuan menunduk. Memikirkan perasaan apa yang ada di hatinya. Dia ingin terus memperhatikan perempuan asal Indonesia itu.

“Fengying, aku mau ngomongin strategi buat kemenangan kita.”

“Oh iya.”

# # #

“Dwi, makan dulu!” ujar Sari dari balik pintu kamar. Menyadarkan Dwi dari lamunannya.

“Padahal baru memikirkan pertandingan bergengsi pertama aku.” Dwi melempar pandangannya keluar jendela. Lima jari kirinya menyentuh cincin yang ada di jari manisnya. Wanita itu pun segera ke ruang makan.

“Sebentar lagi kita lanjut ceritanya.”

# # #

Di set kedua, Dwi kehilangan fokus. Akhirnya harus merelakan China menang. Skor 7 – 15.

Dwi mendadak merasa kepalanya berputar. Sekilas di hadapannya seperti ada Yuxuan. Padahal Dwi sedang memegang handuknya sendiri. Kak Dena menenangkan Dwi tapi Ko Ranja menegaskan untuk kembali fokus.

“Fokus Dwi, Indonesia butuh kamu!”

Dwi tersentak. Dia pun bersiap ke tengah lapangan dengan tegap. Bersiap menjadi juara. Arina mengikuti dengan serius.

“Rin, nanti pokoknya loe ke belakang!” ucap Dwi sebelum akhirnya mereka menerima servis dari lawan.

“Strategi lu ribet!”

Hanya kemenangan yang ada di pikiran Dwi, dan voilaaaaa!

 Skor akhir, Indonesia 15 – 10, 7 – 15, 15 – 11 China. Dwi pun melompat girang sampai raketnya lepas. Dwi pun sujud dan memeluk Arina.

  “Sektor ganda putri dimenangkan oleh Indonesia!” wasit pun menutup pertandingan.

 Arina dan Dwi bersalaman dengan lawan. Selanjutnya mereka memeluk pelatihnya. Bersalaman dengan wasit dan service judge. Kedua gadis itu pun mengibarkan bendera merah putih.

  “Hebatnya perempuan yang gak sengaja gue tarik ke dunia bulu tangkis,” komentar Prawira.

   Di podium juara, Dwi dan Arina memamerkan senyumannya tentu kecantikan mereka terpancar. Seseorang tersenyum dari balik tirai ruang tunggu pemain, saat Dwi dan Arina kembali dari lapangan dengan banyaknya hadiah berupa piala, bunga, dan tulisan hadiah uang.

  “Selamat ya... Dwi,” ucapan itu meluncur dari mulut seorang lelaki.

   “Yuxuan,” degup aneh muncuh di dada seorang Dwi Astriani Aprilliani.

   “Iya, aku tanding setelahmu.”

    Yuxuan bersama Fengying dan lawannya dari Denmark memasuki lapangan. Sontak Dwi ingin melihat pertandingan mereka.

                “Dwi, mau ke mana? Kita harus bersiap pulang!” ujar Ko Ranja.

                “Aku pengen liat sektor ganda putra dulu, boleh?” tanya Dwi.

                “Aneh banget kamu pengen liat pertandingan negara lain,” pikir Ko Ranja.

                “Arina, kamu gak mau ngeliat sepupu kamu tanding gitu?” Dwi mencari semacam pembelaan kepada partnernya.

                “Aaahhh Arina capek! Tuh ada A Prawira, minta temenin dia aja!”

                “Udah Dwi, kamu istirahat aja, kamu udah terlalu bekerja keras.” Prawira mendorong bahu Dwi dari belakang.

                “Gak mau!” Dwi berbalik dan pergi ke tribun penonton.

                “Lha nekat,” ujar Arina sembari menyusul partnernya ditemani Prawira.

                “ Ya sudah lah, anggap saja Dwi dan Arina mau belajar strategi baru dari pertandingan ganda putra,” jelas Kak Dena.

                “Merepotkan saja!” Ko Ranja membawa perlengkapan dan hadiah milik Dwi sementara milik Arina dibawakan Kak Dena.

                Di tribun penonton, Dwi merasakan ‘bahagia’ melihat lelaki yang dikaguminya bertanding. Dia lebih tampan saat membela negaranya. Sayang, mereka tidak membela negara yang sama.

                “Dwi...” panggil Arina. “Istirahat di hotel yuk, temenin aku nonton drakor terbaru!” lirih Arina mengingat dia membawa DVD drama Korea terbaru dari negara Papinya.

                “Ih, aku gak suka drama! Udah kamu duluan aja kali, ngapain ngikutin aku?!”

                “Kan kamu minta aku buat nemenin!”

                “Kan kamu udah nolak!”

                “Berantem mulu! Kalian tuh ada kedekatan apa sih sama dua orang itu?!” Prawira mencoba melerai dua orang yang berdebat tak jelas itu.

                “Apaan sih A, udah deh jangan ngurusin aku mulu!” Dwi kesal dan berniat mencari spot baru untuk menonton lelaki yang menarik perhatiannya.

                Yuxuan mendapatkan hasil pertandingan yang sama dengan Dwi. Mereka sama – sama juara All England di tahun 2005. Dwi segera meninggalkan tribun penonton. Berniat memberi selamat pada Yuxuan.

                “Yuxuan, selamat!” Dwi menyodorkan tangannya disambut Yuxuan.

                “Sama – sama, kalau gitu ayo kita rayakan dengan membeli makanan manis!” dia kegirangan sampai menarik Dwi sampai ke depan stadion.

                “Aku tau ada yang jual makanan manis dekat sini,” ucap Yuxuan, matanya menyapu toko yang berjejer di seberang jalan.

                “Eh, partner kamu, pelatih, dan yang lain, gimana kalau mereka nyariin kamu, aku juga khawatir kalau partner aku, pelatih, dan yang lain nyariin aku...” lirih Dwi.

                Yuxuan menatap wajah Dwi. Berharap dia menghilangkan kekhawatiran Dwi. Dia pun meyakinkan Dwi kalau mereka pergi tidak akan terlalu lama.

                Toko yang dipilih Yuxuan menjual cokelat sebagai produk utama. Mereka juga membuat permen susu kenyal dan beberapa hiasan boneka–boneka kecil.

                “Ini, permennya lucu, cuiw, cuiw, hahaha,” Yuxuan menekan – nekan permen berbentuk kepala kucing. “Ini pegang.”

                Gadis itu memperhatikan wajah yang tadi tertawa. Tahi lalat di dekat mata kanannya bergeser sedikit saat dia menarik ujung bibirnya. Dwi pun memegang dadanya. Ada suara aneh, berharap suara itu tidak sampai ke telinga Yuxuan.

                “Kamu mau beli apa, Dwi?”

                Pertanyaan yang membelah lamunannya.

                “Yuxuan. Aku, kayaknya benda ini mahal,” Dwi melihat boneka kecil perempuan menggunakan gaun ala disney princess dan boneka laki–laki yang berpakaian ala pangeran. Sebenarnya gadis desa itu tidak ada keinginan membicarakan boneka. Hanya saja dia tidak tahu harus membicarakan apa dengan kenalannya ini.

                “Hmm, oke, kita beli ini ya, sama aku mau kasih kamu cokelat juga.”

                ‘Waduh kenapa aku malah ngomongin harga sih, aku kan punya uang hasil juara pertandingan sebelumnya,’

                “Eh Yuxuan, ini aku ada uang,” ucap Dwi sambil merogoh kantung di jaketnya. Ternyata dompetnya tertinggal di tas raket yang dibawa Ko Ranja.

                “Maaf, dompet aku ketinggalan di hotel,” Dwi bingung bagaimana menutup wajah sungkannya.

                “Oh, pakai uang aku aja.” Yuxuan membelikan cokelat dan boneka untuk Dwi.

                “Besok kita masih di Birmingham kan?” tanya Yuxuan.

                “Oh iya, besok aku sama Arina mau beli oleh–oleh buat temen di Pelatnas, mungkin.” Dwi rasa dia mengucapkan hal basa basi yang basi.

                “Oke, yuk kita ke hotel.”

                “Ayo.” Mereka pun berjalan beriringan.

                # # #     

                “Dwi!!! Hayoloh kabur ke mana?” Arina menodong partnernya dengan pertanyaan pengadilan.

                “Jalan – jalan bentar.”

                “Besok pagi kita balik ke Jakarta!” tegas A Prawira.

                Dwi tidak peduli dengan partner dan tetangganya. Dia langsung membuka pintu kamar hotelnya. Lalu ke kamar mandi. Menyalakan air di bathub. Dia pun melepaskan kain yang menutupi tubuh eksotis khas Sunda. Di perendamannya, dia memikirkan, perasaan apa yang dia miliki untuk Yuxuan yang baru saja ditemuinya.

                Sementara Arina di ranjang menerka–nerka.

                “Dwi menyukai Yuxuan, mungkin...”

# # #

                “Dwi, hei! Ngalamun wae!!” Sari menggoncangkan tubuh anak keduanya yang mematung.

                “Ah Ibu, Dwi ke atas dulu ya...” Dwi kembali ke kamarnya. Setelah makan dia menonton TV dulu dengan Ibu dan kakak iparnya.

                Hati Dwi berbicara, “ Sungguh cinta pertama sulit dilupakan, walau sudah ada yang jauh lebih baik.”

Catatan Penulis:

[1] A/ Aa: panggilan kakak laki – laki di Suku Sunda.

[2] Ngalamun: melamun dalam Bahasa Sunda.

[3] Wae: saja

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status