“Ridho, mau ke mana?” tanya seorang perempuan dengan kebaya sehari-harinya.
“Mau main bola sama Wira!” jawab anak laki–laki berambut tipis.
“Pulangnya jangan magrib–magrib ya Dho!” perempuan itu mengkhawatirkan anak sulungnya.
Kabut masih menyelimuti pemandangan di Desa Sukaasih. Sari mengelus perutnya yang semakin besar. Ageung sang suami tersenyum melihat istrinya yang tatapannya nanar. Dia selalu mengkhawatirkan anak laki–laki yang baru pamit.
“Aku pamit dulu ya Neng,” ucap Ageung sambil mencium kening istrinya.
“Assalamu a’laikum,” lanjutnya.
“W*’alaikumussalam warrahmatullahi wabarrakatuh,” jawab Sari melihat suaminya harus bekerja lebih giat sebagai tukang bangunan panggilan demi biaya persalinan.
# # #
“Ridho, ibu kamu hamil lagi ya?”
“Ngapain kamu ngomong gitu Prawira?!” Ridho heran dan kesal sambil menendang bola ke gawang.
“Ibu kamu kan cantik gitu lho, kalau adik kamu lahir perempuan ya aku mau ngabisin hidup aku sama dia gitu.”
“Alah dasar, udah yuk main lagi!” Ridho tidak mempedulikan sahabatnya yang jelas – jelas baru berumur tujuh tahun sudah ngomongin nikah.
“Aku takut Bapak aku datang, terus bola kita dibelah lagi pake golok.” Prawira menyisir setiap wilayah yang bisa dia lihat dari matanya.
“Segitunya Bapakmu pengen anaknya jadi atlet bulu tangkis,” ujar Ridho sambil menjaga bolanya agar tidak menjauh.
“Padahal aku pengen jadi pemain bola.”
“Yaudah kalau gitu kita pulang aja!” Ridho menyerah dengan keadaan.
“Ini kan hari Minggu pagi, males banget pulang, eh Dho, kamu bisa main bulu tangkis gak?”
“Kagak.” Ketus Ridho.
“Temenin aku latihan depan rumah bentar, buat yakinin Bapak aku aja kalau aku serius gitu.”
Dua sahabat itu pun pergi dari tanah kosong yang dijadikan lapangan bola oleh anak – anak di Desa. Ridho dan Prawira bertetangga makanya bisa akrab sekali. Mereka pun satu sekolah.
# # #
“Ibu.” Prawira menyapa perempuan berbaju seragam krem.
“Ada apa Prawira?”
“Ibu sebentar lagi mau lahiran ya?”
“In sya Allah Prawira, Ibu minta doanya aja ya.”
Sari adalah seorang guru di SD Sukaasih, sebuah SD di kampung. Ridho dan Prawira juga bersekolah di sana. Sari terperangah saat Prawira menanyakan perihal kehamilannya. Prawira ini seperti dewasa duluan, Sari berpikir mungkin ini hasil didikan Bapaknya yang ingin Prawira segera pergi ke Jakarta untuk menjadi atlet bulu tangkis.
“Iya Ibu, sebentar lagi masuk kelas, Prawira tunggu Ibu di kelas ya.”
Sari mengangguk dan tersenyum. Dia adalah wali kelas dua. Guru dari anaknya sendiri dan anak tetangganya itu. Sari mengelus perutnya yang sudah besar. Perkiraannya satu bulan lagi anak di dalam kandungannya akan lahir. Wajah Sari merona saat memikirkan kelak anak yang dilahirkannya berjenis kelamin perempuan. Karena dia sudah punya Ridho sang jagoan.
# # #
“Ayo Bu, tarik napas, keluarkan,” dukung Ibu Bidan di Puskesmas Pangalengan.
“Bismillah Sari, bertahanlah.” Ageung tak kalah memberi semangat.
Sari berusaha mengeluarkan harapan keluarga yang sudah sembilan bulan berada di rahimnya. Dan, bayi itu pun menangis, merasa lega telah menghirup hijaunya alam Pangalengan.
“Alhamdulillah, anaknya cantik,” ucap Ibu Bidan.
“Alhamdulillah, anak kita perempuan Sari.”
Keringat membanjiri seluruh tubuh Sari. Begitu pula darah yang tak hentinya keluar sebagai pembersihan dari rahim Sari. Sari pun bersyukur.
“Cantiknya seperti dewi dari kahyangan Ibu, Pak.” Ibu Bidan menambah pujiannya sambil memandikan bayi itu.
Sari masih terlalu lelah untuk menyuarakan perasaannya.
“Karena dia cantik seperti dewi, kita namakan dia Dewi Astriani Aprilliani ya Sari.”
Sari mengangguk.
# # #
Beberapa bulan kemudian, terjadi kesalahan dalam pengetikan nama anaknya Sari dan Ageung. Yang seharusnya namanya Dewi menjadi Dwi. Huruf e – nya hilang. Dan bila mengulang untuk mengurusnya lagi memakan waktu lebih lama. Sari dan Ageung yang berasal dari keluarga menengah ke bawah dan sibuk mencari uang demi bertahan hidup serta biaya pendidikan anak – anaknya. Mereka akan takut lupa. Akhirnya merelakan nama yang artinya menjadi berbeda jauh itu.
Dwi Astriani Aprilliani yang berarti anak kedua yang terlahir sebagai pemimpin di bulan April. Tadinya Sari berpikir namanya akan menjadi Dewi Pemimpin ternyata tidak.
“Bayi cantikku, kelak kamu akan menjadi wanita mandiri dan tidak boleh menjadi juara kedua di mana pun kamu berada.” Doa Sari untuk anak keduanya.
“Ridho, jadi kakak yang baik ya,” Ageung memberi amanat kepada Ridho yang sudah menjadi anak tertua.
“Iya,” Ridho takjub dengan warna kulit Dwi yang kuning eksotis. “Bu, Pak, dia bakal jadi rebutan pemuda desa nih!”
“Sok tahu kamu Dho! Masih bayi udah dikira bakal begitu,” ujar ayahnya.
Ridho menghela napas. Kedudukan kasih sayang orang tua terhadapnya sudah bergeser. Adiknya yang bernama Dwi pasti mampu menarik perhatian semua orang.
# # #
Setelah delapan tahun dari kejadian tanggal 21 April 1988. Anak kedua Sari tumbuh menjadi anak perempuan yang sangat cantik. Dwi selalu membantu pekerjaan rumah tangga ibunya di rumah. Sekarang Sari tengah hamil anak ketiga. Di samping itu Dwi juga membantu ibunya berjualan leupet yaitu makanan khas Sunda yang terbuat dari beras ketan.
“Dwi, tolong antarkan leupeut – leupeut ini ke warung – warung di Desa Sukaasih ya Nak, nanti uangnya kan buat kamu jajan juga,” jelas Sari.
“Iya Ibu, kalau gitu Dwi pamit dulu ya.” Dwi mencium tangan ibunya dilanjutkan mengucapkan salam.
Baju semi kebaya dipadukan dengan rok bermotif bunga – bunga menjelaskan bahwa Dwi adalah kembang desa asal Sukaasih. Dia membawa leupeutnya menggunakan nyiru. Nyiru adalah sebutan alat dari bambu yang dianyam berbentuk bundar yang biasa digunakan untuk menjemur makanan. Dia berjalan menghampiri warung – warung menitipkan dagangannya.
“Cantik euy! Kembang desa.” Para pemuda desa mulai terpikat dengan kehadiran Dwi.
“Dho, adik kamu secantik itu nanti kalau udah gede dia harus jadi milik aku ya!” Prawira menyenggol lengan sahabatnya.
“Yee terserah dia kali, kamu itu ya ngarep ama anak kecil,” ketus Ridho.
“Aelah Dho, kan aku cuman nandain doang, kalau udah gede baru aku nikahin,” tegas Prawira.
“Wira, umur kamu sama adik aku itu beda tujuh tahun lho, nggak ah, ketuaan tau buat adik aku!”
“Yah... gak dapat restu kakaknya hmm.”
“Udah ah, kita main bola aja yuk!” ajak Ridho agar sahabatnya tidak memikirkan adiknya terus.
# # #
Di malam hari, saat sedang makan bersama di rumah. Ageung menatap putrinya yang rawan dilecehkan oleh lelaki karena kecantikannya. Dia pun mempunyai ide.
“Dwi, mulai besok kamu ikut latihan pencak silat ya.”
“Hah, maksud Bapak?”
“Iya, kamu harus bisa jaga diri sendiri di luar sana, Bapak, Ibu, sama Aa gak bisa selalu jaga kamu, karena nanti kamu akan hidup sendiri,” jelas Bapak.
“Tapi biayanya?” tanya Sari cemas dengan keuangan keluarga.
“Tenang Sari, Abah Encep pasti ngerti soal keuangan kita, perlindungan untuk Dwi lebih penting,” Ageung menjawab dengan tenang.
“Lagipula, Ridho juga dulu belajar pencak silat.”
Sari pun menyetujui ide suaminya.
# # #
Dwi yang baru sampai di rumah dari bukit awalnya ingin istirahat. Namun ibunya menahannya agar tidak langsung ke kamar. Ternyata dia menceritakan betapa bersyukurnya Dwi telah lahir ke dunia. Dwi menangis. Bukan karena cerita ibunya. Tapi sebuah penyesalan yang datang karena daya tarik seseorang yang jauh di luar sana. Dia hampir rusak karenanya. Dwi masih ingin menceritakan kenangan pahitnya lain kali.
Catatan Penulis:
Aa/A : panggilan kakak laki - laki di Suku Sunda
Keringat membasahi kening hingga sekujur tubuh cantik Dwi Astriani Aprilliani. Dia tidak mengetahui penyebabnya. Pangalengan selama ini dingin. Tak memberikannya keringat.“Tuhan tadi itu apa?”Gadis itu bermimpi ada sesosok lelaki yang berada di atasnya. Duduk di antara kedua kakinya. Menatapnya seperti ingin memakannya. Dwi tidak bisa menjabarkan dengan jelas. Apa yang terjadi di dalam mimpi itu. Yang pasti... celana dalamnya basah, tetapi tidak menembus seperti ngompol. Dia ingin bertanya kepada ibunya, namun hatinya berkata, “Ini hal yang memalukan untuk ditanyakan.” Akhirnya dia diam-diam mencuci celana basahnya dan menjemurnya di jendela kamar.Sembilan jam, setelah mimpi. Di PB Tarumanagara, saat dia hendak men-smash shuttlecock perasaan licin ada di bawahnya. Perlahan, Dwi mulai merasakan sakit di bagian perut sebelah kanannya. Prawira yang melihat itu langsung menghampiri Dwi. Lelaki itu membopong Dwi hingga ke kamar mandi peremp
Lapangan bulu tangkis yang berukuran 610 x 1340 cm, menjadi saksi para anak-anak yang bermimpi atau terpaksa berada di atas lapangan karena kemampuannya. Di tempat ini, Dwi menerima servis dari Ci Lia. Arina bersiap untuk mempertahainkan skor. Untuk sementara, Dwi dan Arina unggul dua angka.# # # # Di Bandung, Dwi telah dipersiapkan menjadi wakil sekolah di Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Namun anak itu jarang berada di sekolah, membuat pihak sekolah agak ragu dengan kemampuannya. Sebenarnya, Dwi sudah ditawarkan bersekolah di sekolah khusus olahraga. Tetapi, dia meragukan sekolah olahraga, SMP dan SMA Kampiun. “Yosh!” Arina mengepalkan tangannya dilanjut
Dwi memandang lukisan alam di luar jendela dari kamarnya. Berharap dahulu dia tidak bertahan dengan kerasnya kehidupan seorang atlet. Wanita itu hanya menghela napas. Memegang kencang kerudung hitamnya. Memerhatikan ujung dari gamis birunya. Wanita berusia 32 tahun itu teringat awal mula sebuah kemenangan. “Kamu adalah harapan Indonesia.” # # # # Rambut hitam sebahunya tergerai rapi. Dwi memandang luasnya lapangan Pelatnas Jakarta. Rasa malas mulai menghantuinya. Rasanya tidak ingin melanjutnya apa yang telah terlanjur dimulai. “Assalamu alaikum cantik!!!” sapa gadis berambut kemerahan dan bermata sipit. “Waalaikumussalam, kok kamu balik juga sih?!” Dwi terkejut dengan kehadiran teman sekamarnya. “Kita bawa koper cukup besar ya?” tanya Arina. “Ya terus?” Dwi ingin tidak mendengarnya. Arina menjelaskan kalau dia ingin berlomba lari dengan Dwi. Dimulai dari gerbang Pelatnas Jakarta sampai ke kamar mereka di lantai
Udara Bandung kembali dihirup Dwi. Akhirnya dia bisa terlepas dari hukuman Ko Chand dan Ko Adi. Kini dia berada di kelas 7A SMP Negeri 1 Bandung, karena sekolah ini jauh dari rumahnya Dwi, dia pun berinisiatif untuk menyewa kos. Dengan tempat tidur, lemari, dan meja bekas dari penghuni kosan sebelumnya. Dwi berjalan dengan pikiran kosong hingga... “Pagi, sepertinya kamu orang baru ya?” tanya seorang perempuan di depan kelas. “Pagi, iya nama aku Dwi Astriani Aprilliani, kamu?” Tumben sekali Dwi mau berkenalan duluan dengan orang baru. “Oh ya nama aku Sandrina, kamu gak ikutan Masa Orientasi Siswa ya?”
Hari kelima Dwi dan Arina menjalani hukuman dari Ko Adi dan Ko Chand atas kekalahan mereka. Setiap pagi mereka sibuk mencuci dan menjemur, ditambah menyetrika sebelum pergi ke tempat latihan. Dua gadis itu mencoba tabah. Tiga hari lagi pun mereka harus kembali ke rumah masing–masing untuk bersekolah. “Sabarin aja, senioritas di sini emang kental...” Ko Ranja memecah keheningan di kursi pinggir lapangan. Ko Ranja duduk di antara dua gadis potensial itu. “Hmm, Dwi belum yakin buat masuk sektor ganda putri Ko...” lirih Dwi. “Ayolah, kita latihan lagi, Koko yakin kita pasti bisa jadi juara di mana pun.” Ko Ranja berusaha membujuk mereka untuk semangat.  
Suasana di Pelatnas menjadi gaduh. Dua orang anak perempuan yang baru saja bergabung dan berstatus magang, menerima tantangan dua orang pria, senior, dan baru saja meraih medali emas Olimpiade Sydney tahun 2000. Ko Adi memerhatikan raketnya. Dwi dan Arina bersiap di seberang lapangan dan terhalang oleh net atau jaring. Ko Chand tak kalah mempersiapkan diri. “Aku...” Arina berharap ada keajaiban dunia. “Aku udah pernah menang ngelawan Prawira Sastranagara,” ungkap Dwi terlihat tanpa beban. Arina melamun.