Seorang perempuan berambut hitam tebal dan bergelombang terlihat sedang kesal. Dia adalah anak dari pemilik perkebunan teh terluas di Pangalengan. Tentunya, dia tidak mau ada gadis lain yang menyaingi kepintaran dan kecantikan dirinya.
“Heh, Rini, inget ya, pokoknya hari ini kita harus bisa bikin si Dwi codet!”
“Eh Siska, kamu bisa kan bersaing secara sehat aja?” gadis yang bernama Rini menimpali.
“Iya tuh bener,” lelaki satu–satunya di antara mereka angkat bicara.
“Endin ndesooo!!! Kamu suka ya sama Dwi hah?!” Siska kesal dengan teman – temannya yang membela si gadis miskin itu.
“Iya, iya kita bikin dia codet, gimana caranya bos?” tanya Endin.
“Caranya, di tengah perjalanan Dwi lagi ke sekolah, kita cegat dia, udah gitu kita geret mukanya pake penggaris besi!” jelas Siska penuh kemenangan.
“Parah banget sih! Tapi demi Nona ya boleh lah.” ucap Rini ngikut aja.
# # #
Dwi perlahan membuka pintu menuju balkon. Dia sekilas menatap sepasang boneka kecil yang memakai pakaian adat Tiongkok. Lalu dia alihkan wajahnya ke depan. Rumahnya menjadi luas dan bertingkat dua karena kerja kerasnya sebagai atlet bulu tangkis nomor satu dunia.
Gadis berkerudung hitam itu melirik ke sebelah kanan. Ternyata di balkon sebelah ada Prawira dan keluarga kecilnya. Prawira menatap Dwi. Belum sempat gadis itu memalingkan mukanya.
“Dwi, kita ngobrol yuk di lapang!”
“Oh, ayo.” Dwi menyetujui ajakan Prawira.
Mereka pun meninggalkan balkon rumah masing–masing bersamaan. Lalu berjalan ke lapangan bulu tangkis desa beriringan.
“Dwi, loe kenapa sih ama laki loe?”
“Gak apa–apa..”
“Dasar cewek!”
“Gue cuman pengen ngelanjut S2 di ITB, A!”
“Ah pikiranmu dari dulu belajar mulu, eh gue mau ngobrolin awal kita ketemu dulu, lucu deh, loe dari kecil udah galak soalnya.”
“Galak gimana?”
“Ya, gitu.”
# # # #
Pagi–pagi sekali Dwi sudah mengemasi leupeut buatan ibunya. Sebulan lagi Sari akan lahiran anak ketiganya.
“Ibu, Dwi pamit dulu ya,” ucap Dwi sambil menalikan sepatunya.
“Iya Wi, hati–hati ya.” Sari kagum dengan anak perempuannya yang tidak kenal malu harus berjualan di sekolah.
“Assalamu a’laikum,”
“W*’alaikumussalam geulis.”
(W*'alaikumussalam cantik.)
Dwi berjalan kaki ke sekolahnya. Gadis itu mempunyai kecepatan berjalan di atas rata – rata anak seusianya. Jarak dari rumah ke sekolah 3km ditempuh dalam waktu 15 menit saja.
Di sisi lain, Siska dan anak buahnya sudah bersiap dengan penggaris besi. Mereka bertiga bersembunyi di balik pohon liar yang besar dan lebat. Dilihatnya Dwi sudah mendekati mereka.
“Endin! Tahan dia!” teriak Siska.
Endin memegang erat kedua tangan Dwi. Rini juga memegang kedua kakinya. Siska pun menggoreskan penggaris besi ke pipi kiri Dwi. Tidak puas dengan itu, Rini merebut kotak berisi leupeut buatan Bu Sari dan ingin memporak – porandakan isinya.
“Eh kalian, apa–apaan!!!” teriak Prawira. Ayahnya Prawira adala kolega dari ayahnya Siska. Prawira adalah anak dari juragan sayur di Pangalengan.
Sontak Siska, Rini, dan Endin kabur. Mereka sadar siapa yang mereka hadapi. Seorang laki – laki kebanggaan Pangalengan. Juara dunia bulu tangkis junior.
“Aww,” rintih Dwi sambil meratapi darah yang mengalir di sisinya.
“Dwi, pulang yuk, eta kamu berdarah,” Prawira membantu menyapu darahnya Dwi dengan sapu tangannya.
(Dwi, pulang yuk, iyu kamu berdarah)
“Gak apa – apa A... Dwi mau lanjut ke sekolah aja, lagian ada pemilihan wakil sekolah buat olimpiade matematika sekecamatan, Dwi gak mau peluang itu hilang.”
“Eta darahna kumaha Neng?” Prawira berusaha mengajak Dwi menyembuhkan lukanya dulu. Tetapi gadis itu tetap berjalan ke sekolah membawa leupeut yang terselamatkan.
(Itu darahnya gimana Neng?)
Dwi berbalik arah karena melupakan sesuatu, “Hatur nuhun nya A.”
(Terima kasih Kak)
“Sami – sami, Dwi.” Prawira menatap Dwi yang cantik dengan luka di pipi kirinya.
(Sama - sama, Dwi)
Sesampainya di sekolah, Dwi terlambat lima menit. Alhasil dia dihukum mengerjakan soal matematika paling sulit untuk anak kelas 3 SD. Bu Rinda ternyata salah memberi hukuman. Soal–soal kuadrat itu ternyata bisa dikerjakan oleh Dwi. Dan Pak Trino sebagai kepala sekolah bilang kalau Dwi adalah wakil dari SD Negeri 1 Sukaasih untuk mengikuti seleksi olimpiade matematika tingkat kecamatan.
“Wah, bukannya Siska ya yang selalu dapet nilai bagus di mata pelajaran matematika!” Siska mengangkat tangannya tidak terima dengan keputusan kepala sekolah.
“Siska, Dwi itu punya kelebihan, cepat mengambil keputusan dalam mencari jawaban di mata pelajaran matematika, kalau kamu agak lama ngerjainnya Sis..” jelas Pak Trino.
Dengan wajah datarnya, Dwi menatap Siska. Dwi tahu, anak itu didatangkan guru privat khusus ke rumahnya. Namun, Dwi secara otodidak selalu membaca buku pelajarannya A Ridho. Dan sekarang A Ridho berusia 16 tahun, berada di kelas 1 SMA. Itu artinya di kelas 3 SD, Dwi sudah mampu menyelesaikan soal matematika di jenjang SMA.
“Ah, kapan sih aku bisa menang dari si gadis miskin itu!”
“Siska jaga sikap kamu!” bela Bu Rinda.
Jam istirahat pun tiba. Di mana anak–anak lain asyik jajan dan bermain, Dwi menghabiskan waktunya berjualan di kantin sekolah. Jika sudah mau habis dagangannya, dia pergi ke perpus sekolah untuk berlatih mengerjakan soal.
# # #
Keesokan harinya. Bu Rania, ibunya Prawira, memesan leupeut untuk acara syukuran. Dwi mendatangi rumahnya untuk mengambil uang muka. Setelahnya, Dwi kembali ke rumah untuk memberikannya pada Sari.
“Dwi, Bapak mau ngasih kamu sesuatu.” Ageung menunjukkan sepeda ontel tua yang baru diganti bannya dan dicat badannya.
“Sepeda?”
“Iya Dwi, biar kamu gak capek sekolah sama jualan teh jalan kaki mulu atuh.” Ageung pun mengajak Dwi berlatih mengendarai sepeda di lapang.
Dwi awalnya kesulitan menyeimbangkan badannya. Namun gadis itu tidak akan berhenti sampai bisa mengendalikan kendaraan yang dikayuh itu. Sampai akhirnya, dia bisa seimbang. Dwi pun mengendarai sepeda itu sampai ke batas Desa Sukaasih.
“Sepeda baru nih?” Pak Haryo, ayahnya Prawira menyapa Dwi. Dia baru datang dari kota sepertinya bersama Prawira di belakangnya.
“Gaya eung!” ucap Prawira.
Dwi menatap Prawira dengan tatapan tajam dan langsung meninggalkannya dengan mengayuh sepedanya. Prawira hanya tersenyum. Gadis delapan tahun itu sudah lebih dewasa dari anak seusianya.
# # #
Di hari keluarganya Prawira merayakan syukuran untuk kakaknya yang akan berkuliah di Yogyakarta. Dwi melihat Prawira asyik mengayunkan raketnya pada Bi Sus. Bi Sus hanya bisa pasrah kena shuttlecocknya Prawira.
“A, kalau mau nantangin bulu tangkis jangan ke Bi Sus! Sini sama aku aja!” inilah titik awal lahirnya sang juara dunia bulu tangkis putri dari Pangalengan.
“Emang kamu bisa main bulu tangkis?” tanya Prawira menantang.
“Kalau belajar mah pasti bisa atuh!”
“Hayu atuh urang ka lapang!”
(Ayo dong kita ke lapang)
Di lapang bulu tangkis yang usang, Dwi kewalahan tidak bisa menyaingi permainan Prawira. Yang pasti seorang pemula tidak akan langsung bisa menang melawan juara dunia junior.
“Yeuh Wi, kalau kamu mau menang lawan Aa, kamu harus latihan di PB. Tarumanagara,” ajak Prawira.
“Bayar teu?”
“Bayar, sabulannya dua puluh rebu!”
“Mahal ih!”
“Arek moal meunang teh?”
(Mau menang nggak?)
“Enya atuh, Dwi rek nabung heula,” Dwi pun pulang dengan rasa kecewa.
(Iya dong, Dwi mau menabung dulu)
# # #
Di lapangan bulu tangkis awal mereka bermain bersama. Dwi dan Prawira tertawa mengenang masa lalu mereka. Prawira pun mengajak Dwi melanjutkan menceritakan pengalamannya. Berharap Dwi bisa tertawa lagi.
Hari Minggu pagi tepatnya pukul 6. Dwi sudah mulai berlatih pencak silat. Abah Encep terlihat sedang menguatkan pertahanan Dwi. Perempuan itu pun mengangkat wajahnya seperti menantang orang. “Dwi, kamu itu jangan jadi sok jagoan,” nasehat Abah Encep. Dwi yang mengubah posisi tubuhnya dari posisi kuda–kuda di pencak silat menjadi berdiri tegap. “Siapa yang pengen sok jadi jagoan Bah?” dia protes. “Ya kamu, dari kelas satu sampai kelas tiga SD selalu peringkat satu. Terus nanti bakalan ikut seleksi olimpiade matematika di Kecamatan. Dwi, pencak silat itu membela diri, kamu harus mempunyai kepala yang sedamai suhu di Pangalengan,” jelas Abah Encep. &n
Setiap pagi, Dwi melesat dengan sepedanya. Membawa serta leupeut buatan ibunya. Menebar senyum ke seluruh Desa Sukaasih. Dan dia memarkirkan sepedanya di depan SDN 1 Sukaasih. “Dwi!!!” teriak Ita, dia adalah teman sebangkunya Dwi. “Hai Ta, alhamdulillah sampai.” Dwi senang melihat wajah temannya. “Dwi, kalau kamu teh risih gak sih diliatin lalaki?” “Cuek we atuh,” kata Dwi sambil berjalan menuju kelas. (Cuek aja dong) Ibu Rinda
Tahun 1996, Sari mengeluarkan isi dompetnya. Berkali–kali dia berharap isi dompetnya bertambah. Kemarin, Ageung baru mendapat uang dari kerjaannya membangun rumah anaknya Pak Amat yang kerja di Jakarta. Harusnya dapat uang banyak buat bayar sekolah dan perlengkapan anak–anaknya. Tapi malah dibelikan sepasang raket yang cukup mahal. “A Ageung!!! Kumaha sih? Eh bentar...” Sari seperti mendapat secercah cahaya. (Kak Ageung!!! Gimana sih? Eh bentar...) “Ya kan si Dwi potensial, kata Ibu Yosi pelatih putri di PB. Tarumanagara,” jelas Ageung meyakinkan istrinya. “Kalau Si Prawira dapet uang dari bulu tangkis sabaraha?” Sari mend
Dwi saling berdiam diri dengan Ridho, kakaknya. Niat Ridho memang untuk menemani Dwi merenung saja. Bukan menunggu pengakuan adiknya. Soal siapa yang sudah membuatnya sedih. Braga yang sepi dan estetik. “A, kenapa ya Dwi teh sibuk pisan baheula?” (Kak, kenapa ya Dwi tuh sibuk banget dulu?) Ridho merasa lega, adiknya masih bisa bicara. Dia menatap kecantikan adiknya. Dan mencoba menjawab. “Karena doa Ibumu, yang selalu berharap kalau kamu tidak akan pernah menjadi yang kedua.” # # # # # Pak Trino menatap jam di tangannya. Dwi sang wakil sekolah untuk olimpiade matematika tingkat kecamatan belum juga hadir. Destia dan Bu Rinda sama gelisahnya. “Maaf, Dwi telat bangunnya, kemar
Tibalah hari pengumuman seleksi Olimpiade Matematika tingkat kecamatan menuju tingkat Kota/Kabupaten Bandung. Pak Trino dengan seksama menunggu hasil, apakah Dwi dan Destia akan mewakili Pangalengan? “Nilai tertinggi Olimpiade Matematika posisi ketiga ditempati oleh...” panitia memulai pengumumannya. Dwi hanya duduk dengan tenang. Mencoba tidak resah. “Christian dari SD Tristan!!” “Wah, siswa dari SD swasta terbaik di Pangalengan saja posisi ketiga...” lirih Pak Trino. “Posisi kedua ditempati oleh, Raisa dari SD Negeri 4 Pangalengan!” tepuk tangan mengiringi pengumuman. “Dan yang akan mewakili kecamatan Pangalengan ke Olimpiade Matematika tingkat Kabupaten/Kota Bandung adalah...” Semua peserta yang belum disebut namanya berharap merekalah yang akan mewakili Pangalengan. “Dwi dari SD Negeri 1 Sukaasih!” Pak Trino dengan terharu bertepuk tangan sambil berdiri. Dilihatnya Dwi yang masih duduk tenang di aula Kantor Kecamata
Beijing, China, Tahun 2005. Seorang pria setinggi 182 cm, dengan tahi lalat khas di pipi kanannya sedang merapikan baju di kopernya. Dia akan menghabiskan liburannya selama dua minggu di kampung halamannya, Suzhou. Lagi pula dia telah memberikan kemenangan untuk negara Republik Rakyat China. “Hei, naik apa kau ke sana?” tanya Fengying memecah keheningan, teman sekamarnya di asrama putra Pelatihan Bulu Tangkis Nasional China di Beijing. “Dari sini naik taksi, lalu pesawat,” jawab Yuxuan seperti sedang memikirkan sesuatu. “Ada yang tertinggal?” Fengying menyelidiki. &nbs
Suasana yang damai di Buah Batu. Sebuah wilayah di Kota Bandung. Tepatnya di perumahan kuno yang elit. Tinggal lah seorang perempuan berusia 14 tahun. Dia sedang memijat–mijat lutut kanannya yang menggunakan deker.* “Aurora, sudahlah, menyerahlah dengan keadaanmu, Ayah akan sediakan sekolah yang bagus buat kamu di Finlandia,” ujar seorang lelaki mencoba menghibur anaknya. “Aurora sebentar lagi akan dipanggil ke Pelatnas Ayah.” “Badan kamu itu rapuh, tidak cocok menjadi seorang atlet.” Perem
Di malam hari, Dwi memerhatikan raket yang diberikan Aurora kepadanya. Bosan pun menghampirinya. Dia turun ke lantai satu rumahnya dan memegang beberapa pialanya. Hadiah yang dia dapatkan dari membunuh harapan banyak orang dari berbagai negara... # # # # Seoul, Korea Selatan Tahun 1998 “Ri Na, mau ke mana??” Joo Won, seorang anak laki–laki berusia 10 tahun mengejar temannya yang sudah pamit mau pindah sekolah. “Aku bakal pindah sekolah ke Indonesia,” jawabnya sambil terburu–buru. “Jangan lupakan kami Ri Na!” pesan Ha Neul. “Aku gak akan lupain teman–teman pertama aku.” Seseorang