Share

Chapter 4: Dasar Gadis Miskin!

Seorang perempuan berambut hitam tebal dan bergelombang terlihat sedang kesal. Dia adalah anak dari pemilik perkebunan teh terluas di Pangalengan. Tentunya, dia tidak mau ada gadis lain yang menyaingi kepintaran dan kecantikan dirinya.

                “Heh, Rini, inget ya, pokoknya hari ini kita harus bisa bikin si Dwi codet!”

                “Eh Siska, kamu bisa kan bersaing secara sehat aja?” gadis yang bernama Rini menimpali.

                “Iya tuh bener,” lelaki satu–satunya di antara mereka angkat bicara.

                “Endin ndesooo!!! Kamu suka ya sama Dwi hah?!” Siska kesal dengan teman – temannya yang membela si gadis miskin itu.

                “Iya, iya kita bikin dia codet, gimana caranya bos?” tanya Endin.

                “Caranya, di tengah perjalanan Dwi lagi ke sekolah, kita cegat dia, udah gitu kita geret mukanya pake penggaris besi!” jelas Siska penuh kemenangan.

                “Parah banget sih! Tapi demi Nona ya boleh lah.” ucap Rini ngikut aja.

# # #

                Dwi perlahan membuka pintu menuju balkon. Dia sekilas menatap sepasang boneka kecil yang memakai pakaian adat Tiongkok. Lalu dia alihkan wajahnya ke depan. Rumahnya menjadi luas dan bertingkat dua karena kerja kerasnya sebagai atlet bulu tangkis nomor satu dunia.

                Gadis berkerudung hitam itu melirik ke sebelah kanan. Ternyata di balkon sebelah ada Prawira dan keluarga kecilnya. Prawira menatap Dwi. Belum sempat gadis itu memalingkan mukanya.

                “Dwi, kita ngobrol yuk di lapang!”

                “Oh, ayo.” Dwi menyetujui ajakan Prawira.

                Mereka pun meninggalkan balkon rumah masing–masing bersamaan. Lalu berjalan ke lapangan bulu tangkis desa beriringan.

                “Dwi, loe kenapa sih ama laki loe?”

                “Gak apa–apa..”

                “Dasar cewek!”

                “Gue cuman pengen ngelanjut S2 di ITB, A!”

                “Ah pikiranmu dari dulu belajar mulu, eh gue mau ngobrolin awal kita ketemu dulu, lucu deh, loe dari kecil udah galak soalnya.”

                “Galak gimana?”

                “Ya, gitu.”

# # # #

                Pagi–pagi sekali Dwi sudah mengemasi leupeut buatan ibunya. Sebulan lagi Sari akan lahiran anak ketiganya.

                “Ibu, Dwi pamit dulu ya,” ucap Dwi sambil menalikan sepatunya.

                “Iya Wi, hati–hati ya.” Sari kagum dengan anak perempuannya yang tidak kenal malu harus berjualan di sekolah.

                “Assalamu a’laikum,”

“W*’alaikumussalam geulis.”

(W*'alaikumussalam cantik.)

                Dwi berjalan kaki ke sekolahnya. Gadis itu mempunyai kecepatan berjalan di atas rata – rata anak seusianya. Jarak dari rumah ke sekolah 3km ditempuh dalam waktu 15 menit saja.

                Di sisi lain, Siska dan anak buahnya sudah bersiap dengan penggaris besi. Mereka bertiga bersembunyi di balik pohon liar yang besar dan lebat. Dilihatnya Dwi sudah mendekati mereka.

                “Endin! Tahan dia!” teriak Siska.

                Endin memegang erat kedua tangan Dwi. Rini juga memegang kedua kakinya. Siska pun menggoreskan penggaris besi ke pipi kiri Dwi. Tidak puas dengan itu, Rini merebut kotak berisi leupeut buatan Bu Sari dan ingin memporak – porandakan isinya.

                “Eh kalian, apa–apaan!!!” teriak Prawira. Ayahnya Prawira adala kolega dari ayahnya Siska. Prawira adalah anak dari juragan sayur di Pangalengan.

                Sontak Siska, Rini, dan Endin kabur. Mereka sadar siapa yang mereka hadapi. Seorang laki – laki kebanggaan Pangalengan. Juara dunia bulu tangkis junior.

                “Aww,” rintih Dwi sambil meratapi darah yang mengalir di sisinya.

                “Dwi, pulang yuk, eta kamu berdarah,” Prawira membantu menyapu darahnya Dwi dengan sapu tangannya.

                 (Dwi, pulang yuk, iyu kamu berdarah)

                “Gak apa – apa A... Dwi mau lanjut ke sekolah aja, lagian ada pemilihan wakil sekolah buat olimpiade matematika sekecamatan, Dwi gak mau peluang itu hilang.”

                “Eta darahna kumaha Neng?” Prawira berusaha mengajak Dwi menyembuhkan lukanya dulu. Tetapi gadis itu tetap berjalan ke sekolah membawa leupeut yang terselamatkan.

                  (Itu darahnya gimana Neng?)

                Dwi berbalik arah karena melupakan sesuatu, “Hatur nuhun nya A.”

                 (Terima kasih Kak)

                “Sami – sami, Dwi.” Prawira menatap Dwi yang cantik dengan luka di pipi kirinya.

                 (Sama - sama, Dwi)

                Sesampainya di sekolah, Dwi terlambat lima menit. Alhasil dia dihukum mengerjakan soal matematika paling sulit untuk anak kelas 3 SD. Bu Rinda ternyata salah memberi hukuman. Soal–soal kuadrat itu ternyata bisa dikerjakan oleh Dwi. Dan Pak Trino sebagai kepala sekolah bilang kalau Dwi adalah wakil dari SD Negeri 1 Sukaasih untuk mengikuti seleksi olimpiade matematika tingkat kecamatan.

                “Wah, bukannya Siska ya yang selalu dapet nilai bagus di mata pelajaran matematika!” Siska mengangkat tangannya tidak terima dengan keputusan kepala sekolah.

                “Siska, Dwi itu punya kelebihan, cepat mengambil keputusan dalam mencari jawaban di mata pelajaran matematika, kalau kamu agak lama ngerjainnya Sis..” jelas Pak Trino.

                Dengan wajah datarnya, Dwi menatap Siska. Dwi tahu, anak itu didatangkan guru privat khusus ke rumahnya. Namun, Dwi secara otodidak selalu membaca buku pelajarannya A Ridho. Dan sekarang A Ridho berusia 16 tahun, berada di kelas 1 SMA. Itu artinya di kelas 3 SD, Dwi sudah mampu menyelesaikan soal matematika di jenjang SMA.

                “Ah, kapan sih aku bisa menang dari si gadis miskin itu!”

                “Siska jaga sikap kamu!” bela Bu Rinda.

                Jam istirahat pun tiba. Di mana anak–anak lain asyik jajan dan bermain, Dwi menghabiskan waktunya berjualan di kantin sekolah. Jika sudah mau habis dagangannya, dia pergi ke perpus sekolah untuk berlatih mengerjakan soal.

# # #

                Keesokan harinya. Bu Rania, ibunya Prawira, memesan leupeut untuk acara syukuran. Dwi mendatangi rumahnya untuk mengambil uang muka. Setelahnya, Dwi kembali ke rumah untuk memberikannya pada Sari.

                “Dwi, Bapak mau ngasih kamu sesuatu.” Ageung menunjukkan sepeda ontel tua yang baru diganti bannya dan dicat badannya.

                “Sepeda?”

                “Iya Dwi, biar kamu gak capek sekolah sama jualan teh jalan kaki mulu atuh.” Ageung pun mengajak Dwi berlatih mengendarai sepeda di lapang.

                Dwi awalnya kesulitan menyeimbangkan badannya. Namun gadis itu tidak akan berhenti sampai bisa mengendalikan kendaraan yang dikayuh itu. Sampai akhirnya, dia bisa seimbang. Dwi pun mengendarai sepeda itu sampai ke batas Desa Sukaasih.

                “Sepeda baru nih?” Pak Haryo, ayahnya Prawira menyapa Dwi. Dia baru datang dari kota sepertinya bersama Prawira di belakangnya.

                “Gaya eung!” ucap Prawira.

                Dwi menatap Prawira dengan tatapan tajam dan langsung meninggalkannya dengan mengayuh sepedanya. Prawira hanya tersenyum. Gadis delapan tahun itu sudah lebih dewasa dari anak seusianya.

# # #

                Di hari keluarganya Prawira merayakan syukuran untuk kakaknya yang akan berkuliah di Yogyakarta. Dwi melihat Prawira asyik mengayunkan raketnya pada Bi Sus. Bi Sus hanya bisa pasrah kena shuttlecocknya Prawira.

                “A, kalau mau nantangin bulu tangkis jangan ke Bi Sus! Sini sama aku aja!” inilah titik awal lahirnya sang juara dunia bulu tangkis putri dari Pangalengan.

                “Emang kamu bisa main bulu tangkis?” tanya Prawira menantang.

                “Kalau belajar mah pasti bisa atuh!”

                “Hayu atuh urang ka lapang!”

                  (Ayo dong kita ke lapang)

                Di lapang bulu tangkis yang usang, Dwi kewalahan tidak bisa menyaingi permainan Prawira. Yang pasti seorang pemula tidak akan langsung bisa menang melawan juara dunia junior.

                “Yeuh Wi, kalau kamu mau menang lawan Aa, kamu harus latihan di PB. Tarumanagara,” ajak Prawira.

                “Bayar teu?”

                “Bayar, sabulannya dua puluh rebu!”

                “Mahal ih!”

                “Arek moal meunang teh?”

                 (Mau menang nggak?)

                “Enya atuh, Dwi rek nabung heula,” Dwi pun pulang dengan rasa kecewa.

                 (Iya dong, Dwi mau menabung dulu)

# # #

                Di lapangan bulu tangkis awal mereka bermain bersama. Dwi dan Prawira tertawa mengenang masa lalu mereka. Prawira pun mengajak Dwi melanjutkan menceritakan pengalamannya. Berharap Dwi bisa tertawa lagi.

               

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status