"Apa maksudnya ini, Pa? Papa dengar suara tadi kan? Papa dan bik Uti? Kapan dan ---" Bunga tak sanggup meneruskan kalimatnya. Wanita itu terduduk karena syok. Perutnya pun terasa keram. "Kamu gak papa, Bunga?""Papa gak perlu khawatirkan Bunga, yang perlu Papa khawatirkan itu adalah bik Uti. Dia melahirkan anak Papa. Emangnya Papa gak tahu? Papa pernah berhubungan dengan bik Uti? Papa--- Bunga kecewa banget nih! Papa berhubungan dengan bik Uti, tapi Papa malah gila sama perempuan jadi-jadian seperti Sofi!""Bunga, sudah, nanti perut kamu sakit. Maafin, Papa. I-itu kejadiannya kurang lebih sekitar delapan bulan lalu, setelah kamu nikah beberapa hari, tapi Papa itu... maksud Papa----" Aji pun terkejut dengan penuturan orang tua dari bik Uti. Benar-benar melahirkan atau hanya kabar bohong saja? Jika benar pembantunya itu hamil, kenapa ia tidak tahu? "Kasihan bik Uti, Pa. Pantesan dia waktu itu aku lihat murung waktu Papa akad nikah. Kirain karena murung takut dipecat, rupanya karena di
"Ada itu, Nak, mm... ini karyawan di kantor bilang, di kantor--- eh, maksudnya di ruangan Papa, ditemukan banyak tikus, ada yang udah jadi bangkai tiga ekor. Pada bingung mau buang ke mana, makanya Papa ledek aja buang ke hutan, gak mungkin buang ke tempat sampah'kan?""Kenapa gak mungkin, Pa? Nanti juga dibawa tukang angkut sampah." Lanjut Bunga menimpali. Keningnya masih mengerut dalam karena ia merasa ada yang aneh dengan ucapan papanya. "Makanya, urusan begini saja mereka gak tahu. Udah, ayo, kita balik. Biar cepet sampai rumah, Papa belum minum obat. Oh, iya, jangan lupa telepon bik Uti, minta ke rumah lagi biar jagain kamu dan urus rumah. Setelah dari rumah Helmi, kita langsung pulang ya.""Oke, Pa." Aji terpaksa mengambil kopi susu dingin di dalam lemari es di dalam minimarket, lalu ia bawa ke kasir untuk sekedar memudarkan jejak bahwa ia masuk ke minimarket hanya untuk menelepon seseorang. Bunga pun tidak curiga lagi. Mereka melanjutkan perjalanan menuju toko kue. Bunga membe
"Dokter, apakah pasien sudah selesai perawatannya? Jika kami bawa sekarang, apa sudah bisa?" dokter berkaca mata itu tersenyum tipis. Ia membetulkan letak kaca mata yang sedikit turun dari pangkal hidungnya. "Apa tidak sebaiknya menunggu pihak keluarga? Katanya ada saudaranya bernama Gio dan dia ingin bertemu. Tapi saat pihak rumah sakit menelepon, nomor ponselnya gak aktif.""Oh, itu biar menjadi urusan kami saja, Dok. Kami hanya butuh kejelasan kondisi kesehatan pasien," ujar polisi lagi dengan nada tegas. "Sudah, bisa." "Makasih, biar anggota yang urus berkasnya karena pasien ini tersangka penipuan bersama mantan suaminya bernama Gio. Lelaki itu sudah masuk dalam daftar DPO. Itu saja yang bisa kami jelaskan sedikit, Dok." Sofi mendengar percakapan itu dari balik pintu kamar perawatannya. Air matanya turun tidak terbendung. Ia takut masuk penjara, tetapi tidak tahu harus bagaimana. Ia tidak tahu di mana keberadaan Gio karena ponsel lelaki itu tidak aktif. Ia sudah minta tolong d
"Semua yang ada di dalam tas dan ponsel kamu sudah aku ketahui. Termasuk KTP ha ha ... dan satu lagi, kamu bukan ibunya Gio, tapi kamu istrinya. Kalian menjebak Bunga dan aku untuk mendapatkan harta. Kamu penjahat, begitu juga Gio. Kalian berdua harusnya berada di penjara, tapi karena kamu sedang hamil, maka kamu tuntaskan pengobatan, setelah itu kamu baru dibawa ke penjara. Ada polisi yang berjaga di depan, jadi kamu gak perlu takut apapun. Satu lagi, saya tidak amnesia, saya hanya pura-pura amnesia demi membuktikan kecurigaan Bunga dan juga saya. Terbukti, kalian berdua adalah penjahat! Kasihan bayi kamu dan Gio harus jadi korban, tapi ada bagusnya juga karena ia akan lahir di penjara jika ia tetap bertahan di rahim kamu.""M-mas, a-apa yang kamu bilang? A-ku gak ngerti maksud ucapan kamu. A-aku----" Sofi merasa sesak napas. Ia tidak sanggup meneruskan kalimatnya karena ia pun sangat terkejut dengan kalimat yang baru saja diucapkan suaminya. Pria itu pura-pura amnesia? "Kamu harus
"Jadi, kamu sama Bunga sudah benar-benar selesai? Apa sudah sidang putusan pengadilan?" tanya Aji pada Gio yang hari itu juga ia jaminan keluar dari penjara. "Saya sebenarnya gak mau pisah dari Bunga, t-tapi gak mungkin juga Bunga maafin saya. Jadi biarin Bunga yang gugat, Pa." Aji menghela napas. "Ya sudah, kita bicara nanti lagi. Kamu habiskan makan kamu dulu." Gio mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak mau menoleh pada Sofi karena masih kesal dan marah. Meskipun sampai saat ini, lelaki itu masih terheran-heran karena papa mertuanya kenapa tidak marah padanya dan pada Sofi, malah membebaskannya. Sofi pun makan dengan lahap. Ia memesan menu terbaik di restoran seafood yang ada di salah satu mall di Jakarta. Aji hanya bisa memperhatikan ibu dan anak itu dalam diam. Setelah makan, Sofi minta ditemani berbelanja beberapa lembar pakaian untuknya dan juga untuk Gio. Tentu saja suaminya juga. Bayar kontrakan lima puluh juta sudah, menjaminkan Gio agar bisa bebas juga sudah. Kini saatnya
Sofi langsung mematikan panggilan dari dari wanita bernama Kemal itu. Prak! "Aduh!" Wanita itu sengaja menjatuhkan ponselnya agar benda pipih itu mati total, sehingga suaminya tidak perlu langsung mencari tahu kontak wanita yang baru saja meneleponnya. "Yah, HP kamu jadi mati gini!" Aji memegang ponselnya istrinya dari lantai. Bagian layarnya retak, rusak parah. "Mas, maaf, itu tadi... jadi gini, rumah lama saya itu yang saya kontrak, masih nunggak bayar dua tahun. Setahunnya dua puluh enam juta. Jadi dua tahun lima puluh dua juta, Mas. Maaf ya, Mas, saya jadi diuber-uber sama pemilik rumah.""Oh gitu, ya ampun, saya gak tahu rekening saya ada berapa jumlahnya. Pin nya juga lupa. Biar saya yang bayar saja. Besok pagi kita ke bank. Sekarang tidur, gak usah pikirin utang kamu." Sofi mengangguk pelan sambil mengucap syukur dalam hati. Suaminya benar-benar tidak ingat apapun dan ini sangat menguntungkannya. Keduanya masuk dalam selimut yang sama. Namun, wanita itu tidak langsung meme