공유

Bab 5. Keputusan

작가: Ida Andriani
last update 최신 업데이트: 2023-07-16 00:02:37

Tut ... tut ... tut ...

( Nomer yang anda yang tuju saat ini tidak dapat di hubungi )

Aku mengusap wajahku begitu berat. Mas Azzam tidak aktif. Aku kembali memberikan semangat pada diriku sendiri. Aku memutuskan untuk ke pergi kantor Mas Azzam karena aku benar-benar tak punya pilihan. Sesampainya di kantor Mas Azzam, aku pun di buat kecewa karena nyatanya Mas Azzam tengah di luar kota.

"Ooh, gitu, Pak? Sejak kapan Mas Azzam ke luar kota?"

"Tadi pagi, Bu Ana," kata asistennya.

"Baik, terima kasih, ya Pak."

Aku kembali meremas dadaku yang tak henti-hentinya sesak. Pupus sudah harapanku sekarang. Pria satu-satunya yang selalu peduli padaku pun kini tak bisa membantuku. Aku kembali ke rumah sakit karena hari sudah mulai sore. Pasrah, aku pasrah.

"Selamat sore, istriku." Mas Salman kembali menyeringai mengejekku.

Aku tidak menghiraukan Mas Salman dan lebih memilih fokus pada aktifitasku membereskan bajuku. Aku tahu maksud dan tujuannya mengejekku, tentu saja karena kini waktu yang diberikan olehnya sudah terus berjalan. Mungkin karena kesal Mas Salman aku abaikan, Mas Salman menarik tanganku.

"Kamu berani mengabaikan'ku, Ana?"

Aku menatap Mas Salman dengan dada yang kembali kembang kempis. "Apa maumu, Mas?"

Mas Salman menyeringai. "Kamu masih belum menyerah, Ana? Waktumu memang masih 4 jam lagi, ya 4 jam lagi. Tapi, jangan sampai aku menguranginya lagi karena kamu mengabaikan'ku."

"Kamu tidak punya hati, Mas!"

"Terserah kamu mau bilang apa, Ana," ejeknya lagi.

"Nona Ana, Dokter memanggil Anda."

Aku menatap suster yang memanggilku. Pikiranku pun sudah bisa menebak apa yang akan terjadi jika Dokter sudah memanggilku. Aku menoleh pada Mas Salman yang semakin menyeringai.

"Baik, Sus. Saya akan segera ke sana, terima kasih."

Dengan langkah yang semakin gontai, aku membuka pintu ruangan sang dokter yang sudah menungguku.

"Apa maksud, Dokter?"

"Ya, Nona. Kondisi Ibu Anda hari ini semakin memburuk dan harus segera mendapatkan penanganan ektra. Anda harus segera membereskan administrasinya, agar kita bisa langsung mengambil langkah terbaik."

Hancur, sesak, bingung juga lelah yang tak berkesudahan itu kembali mendera tubuhku. Aku tidak mungkin bisa membayar biaya pengobatan Ibu yang memang tidak sedikit. Dengan berat hati aku kembali ke ruangan Ibu yang ternyata Mas Salman masih asik bermain handphonenya. Padahal dia bilang akan ke rumah sakit lagi nanti jam delapan malam.

Aku memejamkan mata dengan bibir bergetar, aku pasrah karena aku pun merasa lelah dengan semuanya. "Baiklah, Mas. Aku akan tutup mulut asal kamu menjamin semua pengobatan Ibu."

Semalam aku bermunajat pada sang Kholiq untuk jalan keluar dari ujian yang aku hadapi. Nyatanya, Allah menginginkan aku untuk menjadi wanita yang lebih kuat lagi dengan mengikuti keinginan Mas Salman. Aku tak punya pilihan, karena aku tak punya saudara yang bisa membantuku. Aku pun mungkin tidak diizinkan untuk meminta bantuan Mas Azzam. Karena nyatanya, kini Mas Azzam tengah berada di luar kota dan tidak bisa dihubungi. Aku juga tidak tahu kapan Mas Azzam akan pulang, sedangkan waktu yang diberikan oleh Mas Salman sudah mepet.

Aku juga sedikit trauma jika harus mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang banyak dengan cepat. Karena nyatanya tak ada yang instan kecuali dengan jalan yang sesat. Aku tak ingin kejadian semalam terjadi lagi. Mungkin lebih baik aku menutup mulut dan aku akan tetap hidup tenang walau aku harus kuat dengan kebohongan Mas Salman pada keluarganya.

Mas Salman tersenyum lebar mendengar keputusanku dan langsung beranjak melemparkan surat perjanjian kemaren. "Kenapa kamu selalu membuang-buang waktu sih, Ana?"

Lelehan bening dari mataku pun terus mengalir dan tak bisa di hentikan lagi. "Sudahlah, aku akan tanda tangan surat perjanjian itu."

Mas Salman kembali tersenyum menyeringai puas. "Cepat tanda tangan! Aku ada meeting pagi ini dan aku tidak ingin membuang-buang waktuku hanya untuk mengurusimu." Mas Salman kembali melemparkan dokumen perjanjian itu ke hadapanku. "Cepat, Ana!"

Aku pun tak ingin banyak bicara dan banyak berpikir lagi selain pasrah. Aku membubuhkan namaku di atas dokumen perjanjian batil itu dengan pasti. "Sudah," ucapku langsung memberikan dokumen itu pada Mas Salman. "Ingat ya Mas, jika sampai kamu tidak menjamin pengobatan Ibu, maka-"

"Kamu tidak perlu mengancam ku seperti itu, Ana! Aku bukan orang bodoh," ucapnya hendak pergi meninggalkanku.

Aku menatap benci Mas Salman dengan begitu jijik karena bahkan dirinya tak merasa berdosa pada sang Ilahi lalu bagaimana mungkin dia bisa merasa bersalah padaku. "Apa kamu tidak merasa berdosa, Mas? Itu dosa besar, Mas!"

Mas Salman menghentikan langkahnya dan menoleh padaku. "Ck, sudahlah, An! Aku tak mau membahas ini sekarang, kamu sudah tanda tangan ini dan kamu bebas melakukan apapun termasuk jika kamu mau mencari pria lain."

"Sadarlah, Mas! Kmu sudah mempermainkan pernikahan, Mas. Itu dosa besar, Mas!"

Mas Salman langsung menatapku dengan sorot mata merah tajam. " Diam, Ana! Tahu apa kamu tentang dosa, hah? Kamu hanya cukup menutup mulut dan hubungan kita akan tetap baik-baik saja."

Begitu entengnya dia mengatakan bahwa hubungan kita akan baik-baik saja tanpa mempedulikan bagaimana perasaanku sebagai istrinya. "Aku bahkan tak lebih dari seorang isteri pajangan," ucapku dengan sedikit lantang karena sesak di dadaku yang sudah tak tertahankan. "Hentikan hubungan terlarang kalian, Mas!"

Plakk!!

"Tutup mulutmu, Ana! Atau aku akan berbuat yang lebih kejam dari ini padamu!"

Lelehan bening itu kembali mengalir deras dari mataku tatkala suamiku telah berani menampar istrinya hanya karena membela pasangannya. Mas Salman pergi meninggalkan aku tanpa punya rasa iba sedikit pun. Mas Salman begitu bahagia setelah aku menandatangani surat perjanjian batil itu. Aku masih mematung meraba pipiku yang perih walau hatiku lebih perih.

Setelah beberapa menit aku merenung. Aku segera beranjak untuk pulang dulu ke rumah. Walau bagaimanapun ibu mertuaku pasti tahu aku tidak pulang ke rumah. Sebab, hampir setiap waktu ibu mertuaku bertanya tentang keadaan di rumahku pada irt yang dipercayainya.

Ya, mungkin salah satu alasan aku untuk mau bertahan adalah karena keluarga suamiku begitu menyayangiku. Aku sungguh merasa kasihan pada mereka yang ternyata telah tertipu oleh perilaku Soleh dari Mas Salman. Mungkin jika aku tak terlalu merasa kecewa karena bisa saja aku mencari pria pengganti Mas Salman. Akan tetapi, bagaimana dengan keluarganya? Tentu mereka akan sangat terpukul ketika mereka tahu kelakuan Mas Salman yang menyimpang.

Apa yang aku khawatirkan ternyata tak meleset. Ibu mertuaku sudah berada di rumah dalam keadaan yang sangat cemas padaku. Bahkan sudah hampir dua hari aku tidak pulang ke rumah dan aku lupa memberi kabar padanya agar dia tak terlalu mengkhawatirkan'ku.

"An, Kamu dari mana? Kamu nggak pulang semalam, Ibu khawatir," kata ibu mertuaku lalu memelukku dengan erat.

"Maaf, Bu. Ana lupa memberi kabar Ibu kalau Ana tidur di rumah sakit." ucapku pada ibu mertuaku.

"Tidur di rumah sakit?" tanyanya sedikit heran. "Apa ada sesuatu pada ibumu, An?" tanyanya lagi khawatir.

Aku begitu bahagia karena ternyata walaupun Mas Salman seperti sudah mencampakkan'ku, tapi ibu mertuaku begitu menyayangiku. "Tidak, Bu. Ana hanya merasa sedikit rindu jadi Ana tidur bersama Ibu," ucapku berbohong karena tak ingin membuat ibu mertuaku semakin khawatir.

"Alhamdulillah, ibu khawatir jika terjadi sesuatu sama kamu juga ibu kamu." Ibu mertuaku kembali memelukku. "Kamu pasti belum mandi kan? Mandilah dulu nanti kita makan! Ibu sudah bawa makanan dari rumah. Kebetulan Akilah ada tugas pagi jadi katanya tak bisa sarapan bareng ibu. Kamu temenin ibu sarapan ya," pintanya dengan lembut seperti bagaimana Mas Salman berbicara denganku awal kita bertemu.

Aku pun segera membersihkan diri mencoba melupakan apa yang terjadi dalam kehidupanku yang pahit. Mencoba tetap tegar dan menerima ujian yang begitu pahit itu. Aku yakin jika suatu hari nanti aku bisa keluar dari belenggu dalam hidupku. Namun, mungkin untuk kali ini aku harus bersabar dan mengikuti kemauan Mas Salman seperti perjanjian ku dengannya.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kapanlah otak penulis2 yg ada utk sedikit kreatif dlm menulis cerita. cerita szmpah yg cuma mampu menceritakan wanita g berguna yg lebih bodoh dari anjing. cuma bisa ngebacot,menye2 dan menjadi benalu
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • Rahasia Suami yang Tidak Pernah Menyentuhku   Bab 49. Akhir Cerita

    Aku, Mas Al dan Ibu juga Ayah hanya menatap bingung pada Akilah yang begitu kekeh ingin mempertahankan pernikahannya dengan Mas Azzam. Walau aku tahu mungkin karena besarnya cinta Akilah pada Mas Azzam. Seperti halnya dulu saat Mas Al meminta maaf padaku.Akikah menarik napasnya. "Mas, aku tanya sama kamu. Apa kamu benar-benar tidak bisa mencintaiku, Mas? Aku tahu mungkin cintamu hanya untuk Kak Ana. Tapi, Kak Ana itu istri dari Mas Al. Jika saja kamu bisa menerimaku seperti hal nya Mas Al dulu menerima Kak Ana, insya Allah aku akan memaafkanmu dan menerimamu."Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan dari Akilah. "Astaghfirullah, Kila.""Kila, putri Ayah, pikirkan baik-baik tentang keputusanmu, Nak." Ayah merangkul Akilah meyakinkan keputusan Akilah.Mas Azzam menatap Akilah. "Kila, apa kamu benar-benar mau memaafkanku?"Semua orang pun menoleh pada Mas Azzam. Ada hati yang tergores mendengar ucapan Mas Azzam karena aku pikir apa yang dilakukan oleh Mas Azzam sungguh j

  • Rahasia Suami yang Tidak Pernah Menyentuhku   Bab 47.

    "Aaarrggghh!" Bugh!Bugh! Bugh! Mas Al memukul Mas Azzam tanpa henti. Amarahnya mungkin sudah tidak bisa ditahannya lagi setelah beberapa menit Mas Al menahannya. Aku dan Akilah pun berusaha untuk menarik tubuh Mas Al karena Mas Azzam semakin babak belur sebab tidak melawan sama sekali. "Mas, hentikan!" Kami menarik tubuh Mas Al dengan sekuat tenaga kami, namun, tenaga Mas Al masih bukan tandingan untuk kami. "Mas, Ku mohon hentikan! Jangan sakiti suamiku, Mas!" Akilah akhirnya menghalangi tubuh Mas Azzam dari depan, sehingga pukulan itu terkena juga pada Akilah. "Aw!" "Kila, astaghfirullah. Hentikan, Mas!" Aku menghalangi Mas Salman. Perlahan Mas Al pun berhenti memukul wajah Mas Azzam. "Aku akan menghabisimu." Bugh! "Akh!" Aku terkena pukulan Mas Al, setelah Akilah kini aku pun terjatuh karena terpukul oleh Mas Al. "Ana." Mas Al segera menghampiriku. "Maaf, sayang."Akilah kembali menghampiri Mas Azzam. "Mas, kamu tidak apa-apa? Kita ke dokter sekarang." Akilah merangkul t

  • Rahasia Suami yang Tidak Pernah Menyentuhku   Bab 46.

    "Mas, kamu kenapa sih? Aku lihat kamu itu murung terus? Ada apa?" Aku mengapit wajah Mas Salman dengan lembut. "Aku mohon jangan ada rahasia diantara kita." Mas Salman menatapku begitu dalam. "Tidak ada, sayang. Aku hanya tidak ingin banyak bicara aja." Aku menatap Mas Salam tak percaya. Setelah semua yang terjadi, aku tahu bagaimana keadaan raut wajah suamiku saat kesal, saat marah dan saat bahagia. Aku yakin Mas Salman menyembunyikan sesuatu dariku. "Ooh. Mas, aku ...." Aku menggantung ucapanku. "Enggak jadi deh." Aku pun beranjak dari duduk, namun, Mas Salman tak membiarkanku pergi dan menarik tubuhku. "Kamu apa, Ana?" tanya Mas Salman yang begitu penasaran karena ucapanku yang tergantung. Aku menarik napas panjang. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin menghirup udara sore di balkon," dalihku kembali beranjak, namun, lagi-lagi Mas Salman tak membiarkanku. "Jangan bohong, Ana. Kamu tidak bisa membohongiku." Aku pun kembali menarik napas dan duduk di samping Mas Salman dan mera

  • Rahasia Suami yang Tidak Pernah Menyentuhku   Bab 45. Amarah Mas Salman

    "Aw!" Akilah sedikit terkejut karena tangannya di tarik oleh Mas Azzam. "Ada apa sih, Mas?" Mas Azzam menatap tajam Akilah dengan cekalan tangan yang semakin kuat. "Jika sampai mereka tahu keadaan rumah tangga kita. Itu berarti salah kamu, Kila!" Akilah meringis karena cengkeraman tangan Mas Azzam tidak main-main. "Kamu benar-benar sakit, Mas. Aku pikir pria sepertimu tidak memiliki penyakit seperti itu, tapi nyatanya kamu benar-benar gila." Mendengar cemohan Akilah, tangan Mas Azzam beralih mencengkram dagu Akilah. "Ya, aku memang sakit. Dan itu semua karena Kakakmu, Kila. Jadi, kamu yang harus menanggung akibatnya. Jika aku sakit dan gila karena aku tidak bisa memiliki Ana, maka kamu pun harus merasakan hal yang sama." Akilah kembali merembeskan air matanya, dengan sekuat tenaga Akilah mencoba untuk menghentikan cengkeraman Mas Azzam. "Sakit, Mas, hiks! Kenapa? Kenapa harus aku yang harus menanggung akibatnya? Aku mencintaimu tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti ini, Mas? Ji

  • Rahasia Suami yang Tidak Pernah Menyentuhku   Bab 44. Curiga

    Setelah Akilah akhirnya hilang dari pandangan kami, aku dan Mas Al bersiap-siap untuk membereskan barang-barangku. Pandanganku tertuju pada benda pipih yang tergeletak di kursi tempat Akilah tadi. Aku mengambilnya dan benar saja itu adalah handphone milik Akilah."Astaghfirullah, ini handphonenya Akilah ketinggalan, Mas." "Handphone Kila?" "Heem,, ini." Aku memberikan handphonenya itu pada Mas Al."Heeh dasar, masih muda udah pikun!" "Ist, ko gitu amat sih, Mas? He he. Nanti kita mampir dulu aja ke rumah mereka gimana? Kita juga akhirnya enggak jadi ikut antar mereka kan kemaren?"Mas Al terlihat berpikir. "Ya, baiklah." Setelah selesai membereskan barang-barangku, Mas Al membereskan administrasi terlebih dahulu sebelum kami keluar dari rumah sakit. Setelah itu kita pun segera menuju rumah Akilah karena kebetulan letak rumah Akilah lebih dekat dari rumah sakit di banding ke rumahku atau Ibu. Hanya beberapa menit kita pun sampai di rumah baru Akilah. "Assalamualaikum, Bi, Kila ada

  • Rahasia Suami yang Tidak Pernah Menyentuhku   Bab 43. Kembali Cemas

    "Mas, alhamdulillah." Aku segera memeluk Mas Al saat Mas Al datang setelah beberapa jam menghilang. "Kamu ke mana aja, Mas? Aku khawatir." Mas Al memeluk dan mengecupi wajahku. "Maafkan aku, Ana. Aku terlalu lemah dan tidak bisa mengendalikan diriku."Aku mengapit wajah Mas Al. "Aku takut kamu melakukan hal bodoh, Mas."Mas Al menatapku dengan sendu. "Tidak, Ana. Aku tidak akan membiarkanmu menjanda." Aku mengerutkan kening dan sedikit mengerucutkan bibirku. "Apa maksudmu, Mas?"Mas Al tersenyum tipis penuh arti. "Bukankah kamu pikir aku akan melakukan hal bodoh? Kamu pikir aku akan bunuh diri begitu?""Ist, bukan itu. Aku pikir kamu sama Santi ...." Aku menunduk tak sanggup melanjutkan ucapanku. Mas Al menatapku dengan tersenyum getir. Nyatanya tidak hanya bagiku, trauma masa lalu itu tidak mudah bagi Mas Al. Sungguh, luka itu tidak hanya untukku, tapi juga untuk Mas Al. "Maaf, Mas. Maaf aku membuatmu-" Cup!"Kamu tidak salah, sayang. Aku yang salah." Dalam sejenak kami terdiam

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status