Share

Bab 6. Ancaman Mas Salman

Penulis: Ida Andriani
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-22 23:31:49

"An, jika ada apa-apa dengan ibu kamu, jangan sampai kami tidak tahu ya, An. Ibu tidak akan memaafkan diri ibu jika sampai ibu menelantarkan kamu juga ibu kamu."

Aku mengangkat wajahku menatap ibu mertua yang sangat menyayangiku. "Iya, Bu. Terima kasih karena ibu menyayangi Ana dengan tulus, juga begitu perhatian pada ibu Ana."

"Kamu ini apaan sih, An? Kamu menantu ibu dan sudah pasti ibumu juga adalah ibu Salman, besan ibu," ujarnya meremas tanganku lembut. "Jangan bilang apa-apa lagi selain kata iya, okey!"

Aku tersenyum tipis sedikit bahagia karena ternyata masih ada orang yang menyayangiku dengan tulus dari keluarga Mas Salman. "Iya, Bu."

"Nah, begitu kan cantik, seperti menantu yang ibu inginkan, he he."

Aku pun sedikit melupakan rasa sakit dan juga sesak di dadaku ketika ibu mertuaku menceritakan berbagai cerita padaku. Sampai ku dengar suara mobil Mas Salman memasuki garasi rumah kami. Ibu mertuaku begitu senang saat melihat putranya telah pulang ke rumah di siang hari.

"Bu, Ibu di sini?" ujar Mas Salman menyalami ibunya.

"Kamu ini, Al. Tidak sopan benar bertanya seperti itu pada ibu," gerutu ibu mertuaku membuat Mas Salman tertawa renyah.

"He he, bukan begitu, Bu. Al hanya sedikit terkejut saja Ibu sudah berada di rumah jam segini, kan biasanya Ibu masih sibuk dengan berbagai kegiatan Ibu."

Aku hanya mendengarkan dengan malas ucapan dan tutur kata dari Mas Salman yang begitu lembut. Tutur kata yang selalu membuatku meleleh itu, kini membuatku begitu jijik mendengarnya. Mungkin semua ucapan dan kata-kata baik dari mulut Mas Salman kini bagiku sangat menjijikkan karena semua itu tak sesuai dengan akhlak Mas Salman yang sebenarnya.

"An, kok tumben diam saja? Biasanya'kan kamu selalu antusias menyambut suamimu pulang?" tegur Ibu dengan lembut penuh godaan seperti biasanya.

Aku sedikit tersentak karena aku pun melupakan jika ibu mertuaku tak tahu dengan apa yang terjadi padaku dan rumah tanggaku. Bahkan mungkin Mas Salman akan terus membuat ibu mertuaku tidak akan tahu dengan terus menekanku dan mengancamku. Entah sampai kapan aku akan berpura-pura dengan semua kebohongan suamiku.

Aku beranjak menghampiri Mas Salman dan mengambil tangannya untuk ku kecup punggungnya. Perasaan jijik itu aku rasakan saat aku menyentuh tangan yang aku bayangkan sudah di pakai Mas Salman untuk menyentuh Sandy juga. Namun, aku harus bisa bertahan untuk berpura-pura jika rumah tanggaku dengan Mas Salman baik-baik saja di depan ibu mertuaku.

"Oh iya, An. Bagaimana datang bulanmu? Apa lancar?"

Deg!!

Mulutku seketika kelu, saat ibu mertuaku bertanya tentang bagaimana keadaan kesuburanku. Ya, apalagi kelanjutan dari pertanyaan tentang datang bulan? Sudah pasti tujuannya adalah bertanya tentang keturunan bukan?

"Ana selalu datang bulan dengan sangat lancar setiap bulannya, iya'kan sayang?"

'Cih, jijik sekali aku mendengar ucapan mesramu, Mas,' bantinku. Bulu kudukku merinding dibuatnya. "Ana memang suka sedikit telat datang bulan, Bu."

"Kalian ini bagaimana, sih? Tadi Salman bilang Ana selalu datang bulan tepat waktu dan lancar. Ana bilang memang tidak lancar, mana yang benar?"

Mas Salman menatapku tak suka karena jawabanku tak sesuai dengan jawaban yang diucapkan olehnya pada Ibu. 'Heuh, aku puas sekali melihatnya kesal,' gumamku dalam hati.

"Terserah, deh. Yang jelas ibu itu pengen cepat-cepat punya cucu. Kalian juga kan sudah 2 bulan menikah, jadi Ibu harap kalian bisa cepat memberikan kabar baik untuk ibu ya." Ibu menatapku dengan senyum lembutnya penuh harap.

Entah aku harus merasa berdosa atau tidak karena telah mengikuti kebohongan yang dibuat oleh Mas Salman pada keluarganya karena di sini aku pun korban. Ingin rasanya aku mengatakan pada ibu tentang apa yang sebenarnya terjadi diantara kami. Namun, aku pun masih bingung dengan apa yang akan terjadi pada ibuku nanti.

"Bagaimana mungkin aku bisa hamil, Bu?"

"Sayang, bagaimana keadaan ibumu?" potong Mas Salman dengan cepat, dan menatapku dengan senyum menyungging penuh arti.

Lagi-lagi Mas Salman selalu saja bisa mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Aku pun tak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada ibu karena sesungguhnya pertanyaan Mas Salman barusan adalah ancaman halus bagiku. Mungkin sebaiknya aku pasrah untuk kebaikan ibuku yang terbaring lemah.

"Looh, kok pertanyaan suaminya tidak dijawab, An?"

Aku menarik napasku dengan sangat berat berat. Bagaimana mungkin aku sudi harus mengatakan keadaan ibuku jika kenyataannya Mas Salman malah mengancamku dengan memanfaatkan keadaan Ibu. Tak ada jalan lain untuk sekarang selain pasrah dan mengikuti kemauan Mas Salman.

"Alhamdulillah baik, Mas. Semalam aku rindu pada Ibu jadi aku tidur di sana."

Ibu menoleh pada Salman. "Apa kamu tidak tahu istrimu tidur di rumah sakit, Al?" tanyanya pada Mas Salman dengan panggilan sayang seorang Ibu pada putranya.

Mas Salman lagi-lagi menatapku tajam karena mungkin ucapanku membuat dirinya harus kembali berbohong pada ibu. "Oh, pasti Ana sudah mengirim pesan'kan? Al, belum buka-buka handphone Bu, karena sibuk," ucapnya dengan tersenyum manis pada ibu.

Ibu terdiam sejenak mungkin merasa ada yang aneh dengan interaksi antara Mas Salman denganku. "Ooh, begitu? Baiklah, An. Terima kasih ya, kamu sudah menemani ibu sarapan, terus juga sudah menemani ibu ngobrol sampai jam segini, he he."

"Sama-sama, Bu."

"Ibu pulang dulu, kebetulan ibu juga sudah ditunggu oleh para ibu-ibu yang mau belajar ngaji bareng."

"Iya, Bu. Hati-hati ya Ibu di jalan! Semoga amal ibadah Ibu selalu dilimpah curahkan dengan rahmat dan maghfirah dari Allah," ucapku saat mengingat kelakuan putranya yang keluar dari ajaran agama yang diajarkan oleh orang tuanya pada orang lain.

Sedih, dilema dan sungguh aku merasa sangat berdosa saat aku ingat pada kebohonganku pada Ibu. Aku begitu iba pada ibu dan ayah mertuaku yang selalu mengajarkan anak-anaknya tentang hukum-hukum agama Islam, bahkan pada sanak saudara juga pada orang-orang sekitarnya yang ingin belajar ngaji karena mereka termasuk orang a'lim yang banyak tahu ilmu Allah. Lalu, bagaimana nanti perasaan mereka saat mereka tahu tentang Mas Salman yang memanfaatkan pernikahan hanya untuk menutupi akhlak menyimpang yang aku tebak menyukai sesama jenisnya?

Aku hanya mampu menarik napas dan pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti. Sesuai prediksiku setelah kepergian Ibu, Mas Salman langsung saja mencercaku dengan berbagai pertanyaan. Namun, kali ini aku tidak merasa takut sedikit pun padanya karena rasa takutku telah tertutup oleh rasa benci padanya.

Mas Salman menarik tanganku dengan kasar. "Apa saja yang kau katakan pada Ibu, hah?" sentaknya membuatku meringis karena cengkeraman Mas Salman yang kuat. "Berani kamu melanggar janji, maka bukan saja nyawa ibumu yang jadi taruhannya melainkan orang-orang yang ada di sekelilingmu juga, ingat itu, Ana!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei anjing, kau punya mertua yg baik tapi lebih memilih jd anjing g berguna
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Rahasia Suami yang Tidak Pernah Menyentuhku   Bab 49. Akhir Cerita

    Aku, Mas Al dan Ibu juga Ayah hanya menatap bingung pada Akilah yang begitu kekeh ingin mempertahankan pernikahannya dengan Mas Azzam. Walau aku tahu mungkin karena besarnya cinta Akilah pada Mas Azzam. Seperti halnya dulu saat Mas Al meminta maaf padaku.Akikah menarik napasnya. "Mas, aku tanya sama kamu. Apa kamu benar-benar tidak bisa mencintaiku, Mas? Aku tahu mungkin cintamu hanya untuk Kak Ana. Tapi, Kak Ana itu istri dari Mas Al. Jika saja kamu bisa menerimaku seperti hal nya Mas Al dulu menerima Kak Ana, insya Allah aku akan memaafkanmu dan menerimamu."Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan dari Akilah. "Astaghfirullah, Kila.""Kila, putri Ayah, pikirkan baik-baik tentang keputusanmu, Nak." Ayah merangkul Akilah meyakinkan keputusan Akilah.Mas Azzam menatap Akilah. "Kila, apa kamu benar-benar mau memaafkanku?"Semua orang pun menoleh pada Mas Azzam. Ada hati yang tergores mendengar ucapan Mas Azzam karena aku pikir apa yang dilakukan oleh Mas Azzam sungguh j

  • Rahasia Suami yang Tidak Pernah Menyentuhku   Bab 47.

    "Aaarrggghh!" Bugh!Bugh! Bugh! Mas Al memukul Mas Azzam tanpa henti. Amarahnya mungkin sudah tidak bisa ditahannya lagi setelah beberapa menit Mas Al menahannya. Aku dan Akilah pun berusaha untuk menarik tubuh Mas Al karena Mas Azzam semakin babak belur sebab tidak melawan sama sekali. "Mas, hentikan!" Kami menarik tubuh Mas Al dengan sekuat tenaga kami, namun, tenaga Mas Al masih bukan tandingan untuk kami. "Mas, Ku mohon hentikan! Jangan sakiti suamiku, Mas!" Akilah akhirnya menghalangi tubuh Mas Azzam dari depan, sehingga pukulan itu terkena juga pada Akilah. "Aw!" "Kila, astaghfirullah. Hentikan, Mas!" Aku menghalangi Mas Salman. Perlahan Mas Al pun berhenti memukul wajah Mas Azzam. "Aku akan menghabisimu." Bugh! "Akh!" Aku terkena pukulan Mas Al, setelah Akilah kini aku pun terjatuh karena terpukul oleh Mas Al. "Ana." Mas Al segera menghampiriku. "Maaf, sayang."Akilah kembali menghampiri Mas Azzam. "Mas, kamu tidak apa-apa? Kita ke dokter sekarang." Akilah merangkul t

  • Rahasia Suami yang Tidak Pernah Menyentuhku   Bab 46.

    "Mas, kamu kenapa sih? Aku lihat kamu itu murung terus? Ada apa?" Aku mengapit wajah Mas Salman dengan lembut. "Aku mohon jangan ada rahasia diantara kita." Mas Salman menatapku begitu dalam. "Tidak ada, sayang. Aku hanya tidak ingin banyak bicara aja." Aku menatap Mas Salam tak percaya. Setelah semua yang terjadi, aku tahu bagaimana keadaan raut wajah suamiku saat kesal, saat marah dan saat bahagia. Aku yakin Mas Salman menyembunyikan sesuatu dariku. "Ooh. Mas, aku ...." Aku menggantung ucapanku. "Enggak jadi deh." Aku pun beranjak dari duduk, namun, Mas Salman tak membiarkanku pergi dan menarik tubuhku. "Kamu apa, Ana?" tanya Mas Salman yang begitu penasaran karena ucapanku yang tergantung. Aku menarik napas panjang. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin menghirup udara sore di balkon," dalihku kembali beranjak, namun, lagi-lagi Mas Salman tak membiarkanku. "Jangan bohong, Ana. Kamu tidak bisa membohongiku." Aku pun kembali menarik napas dan duduk di samping Mas Salman dan mera

  • Rahasia Suami yang Tidak Pernah Menyentuhku   Bab 45. Amarah Mas Salman

    "Aw!" Akilah sedikit terkejut karena tangannya di tarik oleh Mas Azzam. "Ada apa sih, Mas?" Mas Azzam menatap tajam Akilah dengan cekalan tangan yang semakin kuat. "Jika sampai mereka tahu keadaan rumah tangga kita. Itu berarti salah kamu, Kila!" Akilah meringis karena cengkeraman tangan Mas Azzam tidak main-main. "Kamu benar-benar sakit, Mas. Aku pikir pria sepertimu tidak memiliki penyakit seperti itu, tapi nyatanya kamu benar-benar gila." Mendengar cemohan Akilah, tangan Mas Azzam beralih mencengkram dagu Akilah. "Ya, aku memang sakit. Dan itu semua karena Kakakmu, Kila. Jadi, kamu yang harus menanggung akibatnya. Jika aku sakit dan gila karena aku tidak bisa memiliki Ana, maka kamu pun harus merasakan hal yang sama." Akilah kembali merembeskan air matanya, dengan sekuat tenaga Akilah mencoba untuk menghentikan cengkeraman Mas Azzam. "Sakit, Mas, hiks! Kenapa? Kenapa harus aku yang harus menanggung akibatnya? Aku mencintaimu tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti ini, Mas? Ji

  • Rahasia Suami yang Tidak Pernah Menyentuhku   Bab 44. Curiga

    Setelah Akilah akhirnya hilang dari pandangan kami, aku dan Mas Al bersiap-siap untuk membereskan barang-barangku. Pandanganku tertuju pada benda pipih yang tergeletak di kursi tempat Akilah tadi. Aku mengambilnya dan benar saja itu adalah handphone milik Akilah."Astaghfirullah, ini handphonenya Akilah ketinggalan, Mas." "Handphone Kila?" "Heem,, ini." Aku memberikan handphonenya itu pada Mas Al."Heeh dasar, masih muda udah pikun!" "Ist, ko gitu amat sih, Mas? He he. Nanti kita mampir dulu aja ke rumah mereka gimana? Kita juga akhirnya enggak jadi ikut antar mereka kan kemaren?"Mas Al terlihat berpikir. "Ya, baiklah." Setelah selesai membereskan barang-barangku, Mas Al membereskan administrasi terlebih dahulu sebelum kami keluar dari rumah sakit. Setelah itu kita pun segera menuju rumah Akilah karena kebetulan letak rumah Akilah lebih dekat dari rumah sakit di banding ke rumahku atau Ibu. Hanya beberapa menit kita pun sampai di rumah baru Akilah. "Assalamualaikum, Bi, Kila ada

  • Rahasia Suami yang Tidak Pernah Menyentuhku   Bab 43. Kembali Cemas

    "Mas, alhamdulillah." Aku segera memeluk Mas Al saat Mas Al datang setelah beberapa jam menghilang. "Kamu ke mana aja, Mas? Aku khawatir." Mas Al memeluk dan mengecupi wajahku. "Maafkan aku, Ana. Aku terlalu lemah dan tidak bisa mengendalikan diriku."Aku mengapit wajah Mas Al. "Aku takut kamu melakukan hal bodoh, Mas."Mas Al menatapku dengan sendu. "Tidak, Ana. Aku tidak akan membiarkanmu menjanda." Aku mengerutkan kening dan sedikit mengerucutkan bibirku. "Apa maksudmu, Mas?"Mas Al tersenyum tipis penuh arti. "Bukankah kamu pikir aku akan melakukan hal bodoh? Kamu pikir aku akan bunuh diri begitu?""Ist, bukan itu. Aku pikir kamu sama Santi ...." Aku menunduk tak sanggup melanjutkan ucapanku. Mas Al menatapku dengan tersenyum getir. Nyatanya tidak hanya bagiku, trauma masa lalu itu tidak mudah bagi Mas Al. Sungguh, luka itu tidak hanya untukku, tapi juga untuk Mas Al. "Maaf, Mas. Maaf aku membuatmu-" Cup!"Kamu tidak salah, sayang. Aku yang salah." Dalam sejenak kami terdiam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status