Setelah membuatkan susu untuk Adinda aku dan sopir Kevin berangkat ke rumah sakit tempat Mbak Linda di rawat."Pak, tolong cek ke ruang IGD, kakak saya ada di sana atau tidak, atas nama Mbak Linda.""Baik, Bu."Aku tidak mungkin bisa masuk ke IGD karena membawa bayi, beberapa saat kemudian sopir Kevin kembali."Permisi Bu, di ruang IGD tidak ada, tapi saya sudah menghubungi Pak Kevin ternyata kakak ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat yang ada di lantai dua, mari saya antar.""Oh baiklah."Di depan ruangan Mbak Linda dirawat ternyata sudah ada Kak Dimas, Mbak Wati dan Kevin, mereka menatapku yang datang menghampirinya."Seharusnya kamu di rumah saja Rah, kasihan Adinda," ucap Mbak Wati."Aku tidak tenang kalau di rumah Mbak, aku takut anak buah Fransisca datang dan membawa Adinda pergi.""Ya kamu benar, lebih baik kamu di sini dulu karena sudah pasti anak buah Fransisca tidak akan tinggal diam," sahut Kak Dimas.Setelah beberapa menit memeriksa akhirnya perawat memanggil pihak keluar
Aku baru tahu ternyata Mang Ujang bukan hanya sekedar pekerja melainkan saudara Sulis juga, lagi pula selama ini Rama tidak pernah cerita."Iya kami memang saudara jauh dan kami juga masih satu buyut, tetapi sayangnya Sulis tidak pernah mau mengganggap saya sebagai saudara.""Tapi apa alasannya?" tanyaku."Ya karena saya ini orang miskin, makanya dikasih pekerjaan saja saya sudah senang," ujar Mang Ujang."Lalu, kata dokter bagaimana keadaan luka Sulis?" tanyaku.Ia terlihat menghela nafas, lalu memandang Sulis dengan pasrah."Dokter sudah menyerah, berbagai macam obat-obatan yang terbaik sudah diberikan tetapi tetap saja luka bekas gigitan dan cakaran binatang buas itu tidak kunjung mengering, malah semakin lama semakin parah. Bahkan luka itu seolah-olah membuat tubuh Sulis membusuk," jawabnya."Itulah akibatnya kalau suka dzalim sama orang!" sahut Mbak Wati mencebik.Aku tidak bisa menghakimi ucapannya itu salah, karena yang Mbak Wati ucapkan itu memang benar adanya. "Kamu benar Ti
Setelah meminta nomor telepon Mang Ujang aku pun pamit untuk turun ke lantai bawah, selain tidak tahan dengan bau yang berasal dari luka Sulis, aku juga merasa ngeri melihat ia yang begitu kesakitan."Sarah, apa yang terjadi pada Sulis merupakan sebuah hukum karma, gara-gara dia motor Kakak hilang entah kemana, padahal motor itu Kakak beli cash kalau bisa kamu jangan maafkan dia supaya Sulis semakin tersiksa," ujar Kak Dimas ketika kami berada di dalam lift.Aku masih ingat ketika ia pertama kali membeli motor itu, ia terlihat bahagia karena bisa membeli sebuah motor dari hasil kerja kerasnya sendiri. Tapi dalam sekejap motor itu hancur dan masuk ke dalam jurang, entah dimana motor itu sekarang?"Sudahlah Kak, dia sudah sekarat, dia tidak akan bisa menyakiti siapapun lagi, jadi jangan menghakimi Sulis lagi ya, Kak! Siapa tahu saja dosanya itu bisa terampuni setelah ia berhasil melewati rasa sakit yang ia rasakan saat ini," jawabku.Aku tidak setuju saja Kak Dimas menghina orang lain
Mataku terpejam erat, tidak terasa air mataku luluh seketika, rasanya hatiku sakit sekali saat ini."Apa?! Mbak Linda meninggal?!" tanyaku lagi merasa tidak percaya lalu terisak.Malang betul nasib kakakku itu, sejak kecil hidupnya sudah menderita akibat perbuatan Sulis, dan sekarang setelah bebas dari jerat kejahatannya ia tidak bisa menikmati kebahagiaan walau pun sedikit."Iya Rah, dia sudah meninggal. Sekarang Dimas sedang mengurus administrasi dan menyiapkan ambulance untuk membawa jenazahnya pulang. Kamu jangan kemana-mana dulu ya! Kasihan Adinda, besok pagi saja kamu pulang ke rumahnya."Ya Tuhan, kenapa ia harus pergi secepat itu? Seharusnya ia bisa menikmati hidup yang bahagia sebelum ia pergi meninggalkan kami semua."Kira-kira jenazah Mbak Linda tiba di rumah jam berapa, Mbak?""Entahlah nanti Mbak kabari lagi, oh iya kamu punya nomor ponsel para tetangga dekat rumah tidak? Mbak ingin mengabarkan kematian Linda pada RT setempat.""Kak Dimas punya tuh nomor ponsel Pak RT, Mb
Aku memang bukan orang yang suci, aku juga memiliki banyak dosa karena sudah pernah melenyapkan banyak nyawa anak buah Sulis. Namun, itu merupakan suatu bentuk pembelaan diri, semoga saja Tuhan masih bisa mengampuni dosa-dosaku.Malam ini aku membuka akun sosial media Fransisca, teman-temannya ramai mengucapkan bela sungkawa. Ada juga yang mendoakan sambil mengunggah videonya yang tertidur di dalam peti, hanya saja bagian wajahnya disamarkan entah kenapa? Mungkin karena wajah Fransisca hancur akibat kecelakaan itu.Keesokan paginya pintu rumahku diketuk oleh seseorang, dan ternyata Amanda yang datang, ia tersenyum sambil mengulurkan tangan."Mbak, apa kabar?" tanya wanita itu."Aku baik, ayo masuk."Amanda pun masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu."Ini minum dulu! Maaf ya cuma ada teh manis, karena kita masih dalam keadaan berduka jadi kami belum sempat membeli stok bahan makanan," ucapku sambil menaruh segelas teh hangat."Memangnya siapa yang meninggal, Mbak?" tanya Ama
Satu Minggu berlalu, akhirnya kami semua diundang ke pengadilan negeri tempat Rama disidang. Kami pun berangkat pagi-pagi sekali ke kota kecil yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Sulis dan Rama.Bahkan air mataku sempat menitik saat melihat dan melewati gapura menuju desa itu. Banyak kejadian mengerikan yang sudah aku alami disana, rasanya aku tidak ingin lagi kembali ke desa itu.Aku menatap Adinda yang tertidur di pangkuan, aku sangat bersyukur Tuhan sudah mempertemukan kami disaat aku akan bertemu lagi dengan Rama.Menunggu cukup lama hingga akhirnya aku melihat Rama yang dikawal oleh beberapa orang personil kepolisian, lelaki itu berjalan menggunakan tongkat kruk."Itu Rama," bisik Mbak Wati.Tubuhku bergetar melihat Rama berjalan semakin dekat, bahkan kini dapat kulihat tubuhnya semakin kurus. Beberapa detik kemudian mata kami saling memandang, ia tampak terkejut tatkala melihatku menggendong seorang bayi. Rama memberi instruksi pada salah satu polisi untuk berhenti, se
"Sudah ditangkap dan diazab tapi kau masih berlagak sombong ya, Reza!" jawab Mbak Wati tak kalah ketusnya."Apa kalian sudah puas melihat keadaanku seperti ini?" tanya Reza lagi, matanya mengisyaratkan kebencian. Berbeda dengan Rama yang terlihat sendu saat menatap kami semua di persidangan."Tentu saja belum! Jika kau dan adikmu itu belum bernasib sama seperti Sulis, aku tidak akan pernah puas!" tegas Mbak Wati.Terlihat jelas jika Mbak Wati sangat membenci Reza, mungkin selama ini Rezalah yang sering memperlakukan Mbak Wati dengan semena-mena."Kau salah, Wati, nasibku tidak akan seperti itu. Lihat saja nanti, sebentar lagi aku pasti akan terbebas dari tempat sampah ini!" Reza tersenyum sinis.Mendengar itu amarahku langsung bangkit, percaya diri sekali lelaki ini!"Reza, Reza, kalau mimpi tuh jangan tinggi-tinggi, kalau jatuh sakit loh!" Mbak Wati meremehkan."Kau ini sudah cacat masih saja bersikap sombong! Lihat tuh, tanganmu itu sudah buntung, bukannya tobat malah semakin menjad
Aku pun membicarakan kabar itu pada Kak Dimas dan Mbak Wati, mereka pun setuju aku datang ke rumah sakit tetapi Adinda harus tetap ada di rumah."Lebih baik, kalian berdua saja yang pergi biar Kakak yang di rumah menjaga Adinda," ucap Kak Dimas memberi usul karena Mbak Wati ingin ikut ke rumah sakit, katanya ingin menyaksikan penderitaan Sulis.Akhirnya kami berdua pergi menggunakan motor, susu dan perlengkapan Adinda pun sudah kusiapkan sebelum meninggalkan rumah.Kami pun datang ke ruangan tempat dimana Sulis dirawat, ternyata sekarang diluar ruangan Sulis ada dua orang polisi yang berjaga, mungkin itu karena status Sulis yang kini merupakan buronan."Permisi Pak, kami ingin menjenguk Ibu Sulis.""Bisa lihat kartu identitasnya?" tanya salah satu polisi itu.Aku dan Mbak Wati pun memberikan tanda pengenal pada mereka."Ada hubungan apa Ibu dengan Ibu Sulis?""Saya menantunya, Pak.""Ya sudah, silahkan masuk."Saat membuka pintu ruangan, seketika bau busuk itu menyeruak. Di dalam sana