Jantungku berdebar makin hebat, ketika membaca pesan dari Kak Dimas.(Setelah satu jam barulah mereka keluar dari dalam gudang, tetapi mereka keluar tidak dengan membawa bayi itu)Aku tercengang dengan tatapan kosong menatap layar ponsel, sebenarnya apa yang mereka lakukan pada bayi itu? Lalu apakah bayi itu anakku?Sedih rasanya, disaat kita sudah mengandungnya selama sembilan bulan dan bertaruh nyawa untuk melahirkannya ke dunia. Akan tetapi aku tak diberi kesempatan untuk melihat bayi itu?Mereka begitu jahat, lihat saja suatu saat nanti akan kubalas mereka dengan setimpal meskipun mereka memiliki banyak pengawal tetapi aku sama sekali tidak takut dengan mereka.(Lalu kemana bayi itu Kak?) balasku.(Entahlah Rah. Karena kakak tidak bisa masuk kedalam gudang itu. Karena pintunya digembok dan diatas tembok pembatas nya dikelilingi dengan kawat berduri)Dulu, aku sudah pernah sekali diajak berkunjung ketempat itu dengan Mas Rama. Lokasinya lumayan jauh dari rumah ini, akan tetapi saa
Tubuhku rasanya lemas saking paniknya, aku tidak bisa mendengar hal buruk yang terjadi pada Kak Dimas. Jika bukan dia, siapa lagi yang akan membantuku memecahkan misteri keluarga ini."Lalu, dimana kalian sekarang?" tanyaku dengan suara bergetar."Di kampung Wonocolo, apa kamu bisa kesini?" tanya perempuan itu.Aku terdiam sejenak, seingatku kampung itu lumayan terpencil dan letaknya berada dekat dengan kawasan hutan."Aku akan kesana, tolong kamu kirimkan share lock nya sekarang ya, saya tunggu."Panggilan pun dimatikan setelah itu masuk sebuah pesan yang berisi sebuah alamat yang letaknya lumayan jauh dari desa ini.Segera aku berganti pakaian memakai celana jeans dan hoodie hitam tak lupa juga memakai sepatu boot agar tak ada orang yang bisa mengenaliku. Celingukan keluar, semoga tidak ada pengawal Ibu yang sedang berkeliaran.Dirasa sudah aman, segera aku keluar lewat pintu belakang setelah itu membuka pintu kecil pada tembok pembatas yang diperlihatkan Mbak Wati waktu itu.Berunt
Entah kenapa setelah mendengar ucapan Kak Dimas rasanya hati ini seperti diiris pisau tajam. Jangan sampai bayi itu adalah anakku. Meskipun aku tak memiliki bukti yang kuat tetapi aku yakin menghilangnya bayiku itu ada campur tangan dari Ibu dan Mas Rama."kira-kira itu bayi siapa ya Kak?" tanyaku dengan tatapan gelisah."Entahlah, Rah. Yang jelas bayi itu diambil Ibu mertuamu dari seseorang, lalu ia menyuruh pengawalnya untuk mengubur bayi itu di belakang gudang,"Kenapa harus di belakang gudang? Bukankah desa itu memiliki tempat pemakaman umum yang cukup luas? Rasanya aku semakin tak sabar ingin mengungkap semua kasus ini."Jangan sedih ya, Rah. Kita harus kuat dan berani untuk menghadapi semua ini," ucap Kak Dimas sembari menyentuh punggung tanganku."Tapi yang kita lawan itu bukan orang sembarangan Kak, dia suamiku, keluargaku sendiri Kak," jawabku sambil menatapnya putus asa.Bagaimana caraku untuk menang? Memang terkadang aku merasa yakin terhadap diriku sendiri, tetapi tak da
"Maaf ya kak, karena aku Kakak jadi seperti ini,""Gak masalah Rah, kalau bukan Kakak yang melindungi kamu, siapa lagi? Sekarang kamu pulang ya dan jangan cerita apa-apa pada Mama. Kakak sudah berbohong padanya jika Kakak hanya pergi liburan saja. Kakak disini punya waktu dua minggu, jadi kita harus cepat bertindak," ucap Kak Dimas menggenggam tanganku."Ya sudah, kalau gitu aku pulang dulu. Jaga diri baik-baik ya, Kak. Dan ini uang untuk pegangan Kakak selama disini," ucapku sembari memberikan beberapa lembar uang."Makasih ya, Rah. Kebetulan Kakak nggak ada uang cash," ucapnya tersenyum."Iya Kak. Sama-sama."Setelah berpamitan dengan Bu Yanti aku kembali menghampiri tukang ojek tadi, ia sedang duduk disebuah warung sambil meminum secangkir kopi."Sudah Neng?" tanya tukang ojek itu padaku."Sudah, Mas. Ayo kita pulang sekarang."Kami pun pergi meninggalkan kampung ini. Rasa takut mulai timbul, bagaimana jika nanti Ibu dan Mas Rama sudah di rumah dan mendapati aku tidak ada di rumah?
Benih? Harga tinggi? Apakah yang dimaksud pria asing itu adalah keturunan Mbak Wati? Mengingat jika Mbak Wati sudah pernah melahirkan sebelumnya. Bisa dikatakan jika Mbak Wati memiliki paras yang begitu cantik, jika ia melahirkan pasti ia akan melahirkan bayi yang tak kalah cantik darinya.Tubuhnya tinggi kurus, memiliki kulit putih, wajah yang bersih dan rambutnya pun panjang dengan bentuk wajah yang sempurna, hanya saja ia tidak telaten merawat dirinya, sehingga membiarkan kecantikan itu pudar dengan penampilannya yang sederhana.Tetapi yang menjadi pertanyaan ku saat ini, siapa yang sudah menghamili Mbak Wati? Bukankah ia hanya ada didalam rumah setiap harinya?Dan pria asing itu mengatakan jika benih dari Mbak Wati dihargai tinggi. Apakah mungkin bayi yang dilahirkan Mbak Wati itu sudah dijual dan diuangkan?Aku harus menyelidiki siapa laki-laki itu."Aku tidak akan memberikanmu barang jelek kali ini. Sekarang kamu berikan barang itu padaku," sahut Ibu."Aku sudah membawanya, ber
Sore ini terlihat Mbak Wati yang sedang memasak Untuk makan malam nanti. Saking sibuknya ia tak menyadari keberadaan ku dibelakangnya."Ehh.. Nona. Bikin kaget saja," ucapnya sembari mengelus dada."Lagian serius amat sih, Mbak." ucapku tertawa."Kemari Nona, saya mau bicara."Untuk pertama kalinya Mbak Wati menarik lenganku untuk memulai pembicaraan. Ia celingukan kearah dalam, lalu mengambil sesuatu dari keranjang cucian."Apakah pakaian ini milik Nona?" tanya Mbak Wati padaku sembari mengeluarkan hoodie dan celana jeans yang ku sembunyikan di keranjang cucian."Cepat sembunyikan, Mbak." titahku pada Mbak Wati."Berarti benar ini milik Nona?" tanya Mbak Wati penasaran."Iya, memangnya kenapa? Awas ya jika kamu buka mulut dengan Ibu atau Mas Rama," ancamku padanya.Mbak Wati menghela nafas pelan."Sebenarnya apa yang Nona lakukan dengan memakai baju itu? Untung saja Edy dan yang lainnya tak berhasil menangkap Nona," ucap Mbak Wati khawatir."Apa kamu mau tahu, apa yang sudah aku laku
"Tolong jawab pertanyaanku, Mbak?""Sudah pasti iya, Nona. Kemana lagi jika bukan dijual?"Kaki ini rasanya tak kuat lagi menopang tubuh yang mulai lemas, aku terduduk bersimpuh dilantai dengan bergelimang air mata. Rasanya aku tak percaya dengan ucapan Mbak Wati barusan.Tidak! Tidak! Anakku tidak boleh dijual!Jari jemariku mengepal erat. "Keterlaluan kamu, Mas. Lihat saja, suatu saat nanti aku akan membunuhmu! Lihat saja, aku akan membuat kalian menyesal dengan perbuatan yang sudah kalian lakukan!" ucapku penuh amarah."Sabar. Bukan hanya Nona, tetapi kedua anak saya juga sudah menjadi korban kejahatan mereka. Dan saya harap yang ketiga ini bisa selamat," ucap Mbak Wati memelukku.Dunia rasanya hancur dan langit terasa runtuh. Anakku, darah dagingku dijual oleh ayahnya sendiri. Apa laki-laki itu pantas dipanggil seorang ayah?Dengan nafas yang masih terasa sesak, akupun berdiri lalu berjalan ke arah kursi di meja makan. Duduk disana dengan hati yang tak karuan. "Ayo, kita harus me
Mas Rama terasa merebahkan diri di belakangku, melingkarkan tangannya di pinggangku."Apa kamu ingin punya anak lagi, Rah?" bisik Mas Rama."Iya tentu saja," jawabku singkat."Kalau begitu, bagaimana kalau kita buat sekarang, sayang?" ucap Mas Rama mengendus tengkukku.Dengan segera aku menepis tubuhnya lalu duduk di tepi ranjang. Luka bekas lahiran sebelumnya saja belum kering, tetapi dia sudah meminta berhubungan intim lagi? Dasar pria gila."Kenapa, sayang?" Ia bangkit, mencoba merangkulku lagi dari belakang."Apa kamu mencintaiku, Mas?" tanyaku tanpa menoleh."Tentu saja, Mas sangat mencintaimu," ucapnya mencium pipi serta leherku.Entahlah, aku seolah tidak yakin kalau Mas Rama benar-benar mencintaiku. Rasanya aku tak ingin disentuh olehnya lagi. Rasanya aku ingin berteriak dan marah dihadapan wajahnya jika ia adalah seorang penjahat."Kalau kamu memang mencintaiku, tolong jangan menyentuhku ataupun meminta itu lagi sebelum aku siap, Mas. Ini belum ada empat puluh hari, belum sel