Part 4
"Biar Aya antar Ibu ke kamar ya, buat istirahat," ujarku sambil mendorong kursi rodanya.
"Jangan Ya, Ibu mau duduk disana saja," tunjuknya ke arah meja makan yang berada di ruang dapur.
"Apa Ibu mau Aya buatkan makanan? Ibu lapar?" tanyaku sambil mengarahkan kursi roda Ibu menuju dapur.
Ibu menggeleng. "Ibu masih kenyang, kan barusan makan, ini juga baru jam sebelas siang, nanti kamu makan siangnya pesan saja, kan sudah banyak jasa order makanan."
Aku mengangguk pelan. "Ibu mau pesan apa? Biar sekalian, Aya pesankan," tawarku pada wanita paruh baya yang sudah kuanggap seperti ibu sendiri.
Ibu tersenyum, "Ibu mau makan lauk pagi tadi saja, masih ada kan? Kamu urus diri kamu sendiri, kalau ada yang diinginkan, bilang, beli, jangan dipendam, diam aja. Uang Bintang toh nggak akan habis. Manjakan dirimu Ya, kamu menantu Ibu disini, bukan pembantu." Perkataan Ibu barusan membuat mataku berkaca-kaca.
Ibu sangat menyayangiku layaknya anak kandung sendiri. Beliau memang selalu mengatakan begitu. Mungkin karena dia hanya memiliki anak tunggal yaitu Mas Bintang, jadi saat mendapatkanku sebagai menantunya, Ibu selalu menunjukan kasih sayangnya kepadaku.
"Iya Bu, kalau ada yang Aya mau, nanti Aya beli kok, makasih Bu sudah baik sama Aya. Aya bersyukur memiliki Ibu mertua seperti Ibu, membuat Aya merasa masih memiliki Ibu kandung," balasku padanya. Kulihat Ibu malah meneteskan air mata. Aku malah membuatnya menangis.
"Kok Ibu menangis, maafin Aya ya, Bu. Perkataan Aya salah ya, maaf Bu." Berulang kali kata maaf terucap dari bibirku.
"Kenapa Aya yang minta maaf, nggak tahu nih air mata jatuh dengan sendirinya. Aya nggak salah, Ibu aja yang baperan. Ini bukan sedih, Ya, tapi air mata bahagia karena Ibu pun senang bisa mempunyai menantu rasa anak," selorohnya tertawa kecil.
Aku ikut tersenyum dan memeluknya.
"Bintang masih sering pulang malam Ya?" tanyanya sembari menatapku, mengurai pelukan kami.
"Mas Bintang katanya lembur Bu, banyak kerjaan. Pulangnya juga larut malam, kasihan Bu, Aya malah tidur duluan," ujarku menjelaskan kepada Ibu.
" Ya, kamu proteslah. Bilang jangan lembur. Kalau bisa bawa saja kerjaannya ke rumah. Jangan diam terus Ya, nanti begitu terus Bintangnya. Istri di rumah masa dianggurin, gimana mau punya anak," sewot Ibu dengan muka kesalnya.
Aku hanya tersenyum menanggapi kekesalan Ibu. Apa yang dikatakan Ibu memang benar. Tapi, aku tak berani melarangnya seperti yang Ibu inginkan. Mas Bintang sangat irit bicara denganku. Dia juga bukan suami yang romantis, yang bisa bilang cinta, atau sayang setiap hari.
Bagaimana mau romantisan, dia berangkat ke kantor pagi sekali, katanya takut macet di jalan. Siang tidak pulang, katanya mepet waktunya kalau harus makan siang di rumah. Aku juga sering menawarinya bekal, tapi selalu ditolak, padahal kata Ibu masakanku enak, dan malamnya, pulang diatas jam sebelas malam. Aku bahkan yang berniat ingin menunggunya malah tertidur lebih dulu.
"Ya, i--tu seperti dering telepon? Jangan-jangan ponsel kamu, Ya, yang bunyi?" tebak Ibu sambil memiringkan kepala, menajamkan pendengaran ke sumber suara, arah tangga.
Akupun mengikuti gerak Ibu. "Dari atas Bu, bunyinya. Kayaknya memang ponsel Aya yang bunyi. Aya ke atas dulu, Bu, siapa tahu Mas Bintang," pamitku berlalu pergi setelah ijin dulu dengannya.
Sempat kulihat Ibu mengangguk mengiyakan.
"Mas Bintang," gumamku saat melihat siapa orang yang menghubungi. Garis senyum terpancar di kedua sudut bibirku. Dugaanku benar.
"Halo, assalamualaikum," sapaku lebih dulu.
"Waalaikum salam. Aya, dompet Mas tertinggal di rumah ya?" Suaranya terdengar ragu saat bertanya.
"Iya, Mas. Tuh, ada diatas meja, tertinggal. Mas terlalu buru-buru sampai lupa dibawa," sahutku cepat.
"Oh, syukurlah. Hm ..., kamu nggak buka isinya kan?" Mataku membulat.
Degh.
Mas Bintang ternyata menanyakan hal tersebut. Membuatku yakin kalau ada yang disembunyikannya. Terutama tentang foto itu.
" Mas ini, takut amat kalau Aya buka dompetnya, jadi penasaran, memang isinya banyak ya Mas? takut Aya minta uangnya ya? Makanya nggak dibolehi buat intip," selorohku menggodanya agar dia tak curiga.
"Eh, bukan begitu, kamu ada yang mau dibeli? Bilang saja, nanti uangnya langsung Mas transfer biar cepat. Di dompet uangnya nggak banyak kok, cuma ada kartu penting aja, hehehe …. Mas kan sudah bilang kalau Mas nggak terbiasa barang pribadi Mas disentuh orang lain, Ibu juga nggak pernah Mas ijinkan, sudah kebiasaan Ya, maaf," ujarnya memberikan penjelasan.
"Iya Mas, Aya ngerti kok. Tenang aja, dompet Mas aman kok. Itu aja Mas? Aya mau masak dulu," sahutku dengan berbohong.
"Iya, itu aja, maaf ganggu kamu masak, Ibu gimana? Baik kan? Nanti malam Mas usahakan pulang cepat."
"Ibu baik Mas, sudah ya Mas, assalamualaikum," ucapku mematikan sambungan. Aku tak berniat menunggu jawabannya.
Hatiku merasa sakit saat dia bilang kalau aku masih orang lain di hidupnya. Jadi selama ini apa artinya aku, baginya?
***
Aku menemani Ibu duduk di depan teras di sore hari. cuacanya adem dan tidak panas. Ditambah sejuknya semilir angin yang berhembus membuat kami enggan untuk beranjak masuk ke dalam.
Menikmati tanaman dan bunga yang memang sengaja kutanam di depan sana. Aku tahu Ibu juga menyukainya. Malah dia menyuruhku menambah banyak tanaman yang lagi viral. Kalau perlu seluruh halaman ini isinya tanaman kata Ibu. Biar jadi taman. Waktu itu aku tertawa mendengarnya, sedangkan Mas bintang hanya tersenyum tipis dan menolak keinginan ibunya.
"Ibu tidak tahu, kalau rumah kita seperti taman, yang ada mengundang banyak binatang kecil singgah ke rumah ini. Ada semut, lebah, kupu-kupu, terus ...," celetuk Mas Bintang sambil berpikir mengingat nama-nama hewan yang biasa hinggap di tanaman atau bunga.
Ibu serius mendengarkan perkataan Mas Bintang, "memang benar Ya begitu? tanyanya kepadaku.
"Mungkin Bu, kalau penuh seperti hutan, sahutku asal sambil tertawa lebar.
Ibu pun ikut tertawa bersamaku.
Aku terdiam berhenti ketawa saat netraku bersirobok dengan Mas Bintang. Matanya tajam menatapku. Apa aku salah bicara ya? Aku kan cuma bercanda.
Mungkin dia tidak suka cara bercandaku yang seperti itu kepada ibunya. Padahal kan biasa saja.
Mengingat waktu itu membuatku tersenyum getir. Aku baru sadar Mas Bintang memang tidak sehangat Ibu. Dia juga jarang mengajakku bicara. Dia hanya bertanya jika ada yang perlu ditanyakan, dan menjawab sekenanya jika dirasa harus.
Aku dan Mas Bintang menikah bukan karena keinginan kami, tapi karena keinginan orangtua kami masing-masing.
Ibuku dan ibu Mas Bintang berteman baik, dan lucunya mereka sudah menjodohkan kami sejak kecil, sejak aku masih bayi. Kata Ibu, dulu mereka berjanji akan menikahkan kami jika kami sudah besar.
Janji itu dipegang teguh oleh ibunya Mas Bintang. Sedangkan Ibuku meninggal sebelum sempat mengatakan hal tersebut kepadaku. Ayah apalagi, beliau lebih dulu pergi meninggalkan kami. Tidak pernah mereka bercerita, maupun membahas tentang perjodohan itu. Aku hanya tahu cerita tersebut dari ibunya Mas Bintang.
Sulit untuk mempercayainya, tapi bagaimana jika janji itu benar adanya, aku tak mau janji tersebut menyusahkan ibuku kelak, di akhirat.
Janji adalah hutang, dan Ibu Mas Bintang menagihnya kepadaku. Dalam kebingungan aku bertanya ke semua keluarga dari pihak Ayah maupun dari pihak Ibu. Mungkin saja mereka mengetahui tentang hal tersebut, hingga kudapat cuma satu orang yaitu kakak perempuan Ayah, beliau bilang pernah mendengarnya karena baik Ayahku maupun Ibu sering melontarkan janji tersebut.
Ragu hati untuk menerimanya, aku sempat berunding dengan adikku dan keluarga besar Ayah-Ibu, dan mereka menyerahkan semua keputusan di tanganku. Maka demi baktiku terhadap kedua orangtua, akupun menyetujui lamaran Mas Bintang.
Aku harap beliau tenang disana karena satu janjinya dapat kupenuhi.
Akhirnya aku menikah dengan Mas Daffa setelah dua bulan dari lamaran kemarin. Keluarga Mas Daffa sangat open kepadaku. Mereka menerima keadaanku dengan tangan terbuka. Tidak ada nyinyiran atau sindiran pedas dari mulut mereka. Apalagi orangtuanya. Mas Daffa sekarang cuma mempunyai Ibu saja, ayah Mas Daffa sudah tiada. Mama Lola sangat baik kepadaku. Perlakuannya sama seperti Ibunya Mas Bintang dulu, penuh kasih sayang.Aku ikut tinggal bersama Mas Daffa ke rumahnya. Masih satu kota dengan Fajar. Untuk kedua kalinya, aku meninggalkan Fajar sendirian lagi di rumah. Tidak apa, untung dia anak lelaki. Aku yakin ia bisa jaga diri dan pergaulan.***Baru kali ini kurasakan kebahagiaan berumah tangga, setelah menikah dengan Mas Daffa. Kami saling terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari diri kami masing-masing. Barang pribadi bebas dipegang siapa saja, entah aku ata
Sepanjang jalan pulang ke kota asalku, aku merenung. Sungguh bukan impianku mempunyai pernikahan yang sesingkat ini. Kuikhlaskan hati pada Ilahi, dengan memantapkan hati tetap teguh melangkah membuka lembaran baru di hidupku. Mencoba berprasangka baik terhadap Sang pencipta atas ujian hidup yang telah ditakdirkan kepada hambaNya. Akhirnya aku kembali kesini, ke tempat masa kecilku dulu dan meniti hidup yang baru.Bulan silih berganti, aku sudah bergelut beraktivitas mengajar di salah satu taman kanak-kanak. Rasanya senang bisa berinteraksi dengan mereka. Berteman baik dengan kepolosan dan tingkah polah lucu mereka. Tak pernah kudengar lagi kabar mantan suamiku. Terakhir saat berkunjung ke rumahnya, aku dibuat terkejut dengan kenyataan menyedihkan kalau Mas Bintang mengalami depresi berat. Keadaan Ibu yang cuma berbaring di tempat tidur lebih mengiris hatiku. Aku tidak bisa berbuat
"Mas, itu sudah nggak penting, sekarang keselamatan Kia yang harus kita pikirkan, bukankah kamu sangat menyayanginya?" ucapnya dengan sesegukan dan menatapku sendu.Aku tidak habis pikir, begitu mudahnya ia bilang tidak penting. Kia bukan anak kandungku. Golongan darah kami berbeda. Lalu anak siapa dia?Aku masih mendebatnya dan memaksanya memberitahuku yang sebenarnya. Ia tergugu menangis dan bersujud di kakiku. Memohon ampun dan memintaku memaafkannya. Dia sendiri bilang tidak tahu siapa lelaki yang merupakan ayah kandung Kia. Aneh, bagaimana mungkin? Jadi benar kata Ibu selama ini kalau Salma bukan wanita baik-baik. Berapa lelaki yang sudah menidurinya? Aku menolaknya dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Salma mencoba mengejarku tapi tidak kugubris. Hatiku hancur mengetahui semua kebenaran ini. Kia, maafkan Ayah, aku tidak sanggup untuk tetap di sini menunggumu pulih. Aku perlu wak
Kukira bisa mengendalikan semuanya dengan mudah, ternyata salah. Tidak mungkin dua kursi bisa duduk bersama. Entah apa yang terjadi, Salma dan Cahaya bisa saling bertemu. Apakah mereka janjian atau tidak disengaja, mungkin semua ini sudah takdir Allah. Yang tidak kumengerti kenapa bisa mendadak seperti ini? Di saat aku belum siap untuk mempertemukan mereka dan sesuatu yang tidak kuinginkan malah terjadi. Aku tahu dari cara Cahaya melihatku ia sangat marah. Bahkan panggilan dan penjelasanku tak digubrisnya. Ia pergi dengan emosi yang memuncak hingga mengalami kecelakaan. Bukan cuma Aya, tapi Ibu pun jatuh sakit karena jantungnya kumat lagi mendengar Aya kecelakaan. Yang menyakitkan aku harus kehilangan anak yang sangat kunantikan kehadirannya. Aya keguguran. Kecelakaan itu penyebabnya. Sebab itu pula hubunganku dengan Aya kembali memburuk. Fajar sudah tahu kisah sebenarnya dan ikutan marah padaku. Ia juga melarangku mendekati kakaknya bahkan mereka akan pulang ke rumah mereka.
"Sudahkan, Mas tutup teleponnya. Tenangin Kia, kamu ibunya, masa tidak bisa menenangkan anak sendiri," ucapku sewot. Lalu sambungan panggilan benar kuputus sepihak. Biarlah kali ini tidak kuhiraukan Kia, aku yakin Salma bisa mengatasi anaknya sendiri.Untuk saat ini aku fokus ke Cahaya. Aku harus memikirkan cara agar Aya membatalkan keinginannya untuk pergi dari rumah ini.***Kulihat Aya membereskan baju dan memasukkannya ke dalam koper. Aku memberitahunya agar jangan lama berada disana, kasihan Ibu, ujarku. Lagi-lagi kata Ibu yang terucap, Aya menoleh ke arahku sekilas, dapat kulihat masih ada sorot kemarahan dari matanya. Aya hanya diam, dia tidak menggubris omonganku. Untungnya ia masih mau memasak dan menyiapkan sarapan pagi kami. Aku terus menatapnya, Ibu menyuruhku mengantarkan Aya pulang, tapi Aya menolak, ia bahkan hampir berkata dengan nada marah kepada Ibu,
"Ya, sini duduk," pintaku, dengan menepuk atas kasur di sebelahku. Aya menolak, ia lebih memilih berdiri memandangi luar jalanan dari balik jendela. Kulihat di sudut matanya tampak buliran air mata. Hatiku semakin terenyuh, sesakit itukah rasanya Ya, maaf, lirihku dalam hati.Kutarik nafas panjang sebelum memulai kebenaran ini. "Wanita itu namanya Salma. Dia ... Istriku." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari bibirku.Aya tampak syok, raganya merosot kebawah, dan terduduk di lantai. Dia menangis. Tak tega melihatnya, kulangkahkan kaki menghampirinya."Stop! berhenti disana!" teriaknya dengan berlinang air mata sambil mengangkat telapak tangan ke udara. Aku terdiam membeku di tempatku berdiri. Aya terlihat bukan dirinya, untuk pertama kali kulihat kilatan kemarahan di kedua netranya. Ia juga berani membentakku."Kapan kalia