Part 5
"Ya sudah Ya, bawa Ibu masuk, awannya sudah mulai menghitam, sepertinya bakalan turun hujan, padahal tadi cerah ya, cuaca sekarang memang tidak bisa ditebak." Aku mendorong kembali kursi roda Ibu masuk ke dalam rumah.
"Bintang bawa jas hujan nggak Ya? Katamu Bintang hari ini pulang cepat," tanya Ibu duduk diatas kursi roda sepanjang aku mendorongnya.
Ibu bertanya begitu karena beliau tahu kalau dua hari ini Mas Bintang tidak memakai mobilnya ke kantor, tapi menggunakan kendaraan roda dua--ku.
"Di dalam joknya sudah ada jas hujan Aya Bu, itupun kalau Mas Bintang tahu," sahutku.
"Kalau begitu kamu telepon Bintang, kasih tahu dia kalau di jok kendaraan kamu ada jas hujannya."
"Iya Bu," jawabku sambil mengunci kursi roda Ibu dan mengangkat tubuh Ibu ke sofa dan mendudukkan beliau disana.
"Ibu berat ya Ya?" tanya-lnya dengan wajah sendu. Mungkin Ibu melihatku kepayahan mengangkat tubuhnya ke sofa.
"Nggak papa Bu, malah Aya suka, itu artinya Ibu sehat, makannya banyak, berarti Ibu suka masakan Aya," ucapku sambil tersenyum ke arahnya.
"Ibu beruntung mempunyai menantu kayak kamu Ya, Ibu nggak salah pilih, kamu memang istri yang pas untuk Bintang," yakinnya dengan suara yang parau dan mata yang mengembun.
"Sudah Bu, jangan ngomong gitu terus, tuh matanya berair, mau nangis lagi kan? Aya dosa lo, Bu, bikin mertuanya nangis mulu," jawabku mencebik berpura kesel.
Ibu hanya tersenyum. "Bukan dosa sayang, tapi pahala, karena kamu sudah membahagiakan Ibu. Ibu yang akan menjadi saksinya kalau malaikat nanti nanya kenapa kamu sering bikin Ibu nangis," ucapnya sambil menyeka air matanya dengan ujung kerudungnya.
Aku ikut mengusap kedua pipinya.
"Ibu tunggu dulu disini, Aya mau kirim pesan buat Mas Bintang, ngasih tahu soal jas hujan tadi, takut Mas Bintangnya keburu pulang." Aku beranjak pergi naik ke lantai atas setelah melihat Ibu mengangguk.
***
[Mas, di jok kendaraan--ku ada jas hujan, pakai saja.] Done. Akhirnya terkirim juga pesan tersebut ke nomer Mas Bintang.
Dari tadi aku sibuk mengetik lalu menghapusnya. Berulang kali. Begitu terus. Hanya untuk menyampaikan pesan sesingkat itu saja sungguh menyulitkan bagiku.
Kutunggu beberapa detik, belum juga dibacanya pesan di aplikasi hijau tersebut.
Mondar-mandir di dalam kamar menunggu balasan darinya. Lalu pandanganku tertuju keluar jendela. Kulihat hujan telah turun dengan perlahan. Awalnya hanya gerimis saja, lama-kelamaan semakin deras turunnya disertai bunyi Guntur dan kilatannya.
Kuintip lagi ponselku. Tujuanku langsung ke aplikasi W*. Aku terseyum, pesanku sudah dibacanya. Kutunggu lagi beberapa menit, ternyata belum ada balasan darinya. Sepuluh menit berlalu, masih sama. Dia jarang membalas pesanku, mungkin menurutnya pesanku tidak penting, makanya hanya dibacanya saja. Seperti yang sekarang terjadi. Lagi, aku cuma bisa menghela nafas. Akhirnya ponsel kuletakkan kembali ke atas tempat tidur dan kutinggal pergi keluar kamar.
Aku mendekati Ibu yang masih duduk sambil menonton televisi.
"Sudah Ya?" tanyanya. Aku mengangguk dan tersenyum. Ibu bertanya tentang jas hujan tersebut.
"Baguslah, tuh hujan benaran kan, deras lagi. Terus Bintang bilang apa?" tanya Ibu lagi.
"Hm ..., Makasih, katanya," sahutku berbohong, aku menatap ke arah lain. Takut Ibu tahu kalau aku sudah membohonginya.
Ibu tersenyum. "Sini!" pintanya menyuruhku duduk disampingnya. Aku mendekat dan duduk disana.
"Nanti Ibu minta Bintang carikan orang buat jaga Ibu," ucapnya.
Aku mengernyit mendengarnya. "Maksudnya?" tanyaku bingung tak mengerti.
Matanya menyipit karena tersenyum padaku. "Ibu tidak mau nyusahin kamu terus Ya, gara-gara Ibu, kamu tidak punya waktu buat ngurus diri sendiri. Nggak bisa pergi kemana pun kamu mau, kamu juga sudah jarang kan ikut pengajian Ibu-Ibu disini karena jagain ibu."
"Nggak papa Bu, Aya tidak pernah merasa berat melakukannya, Aya suka dan Aya ikhlas Bu. Aya senang bisa merawat ibu dengan baik. Jadi ibu nggak usah khawatirkan Aya."
"Ibu tahu, tapi hati ibu yang nggak enak Ya, sejak enam bulan yang lalu, saat ibu mengalami stroke, ibu selalu membutuhkan bantuanmu. Nanti ibu jadi keenakan dan tergantung sama kamu terus. Bagaimana kalau nanti kalian punya anak, kan tambah repot. Jadi mulai sekarang ibu mau orang lain saja yang ngurus ibu supaya waktumu lebih banyak bersama Bintang." Ibu menggenggam tanganku erat.
Aku tersenyum mendengarnya. "Kan kami belum punya anak, jadi nanti saja kalau memang nanti Aya kerepotan, baru kita cari orang Bu. Ibu nggak senang ya kalau Aya yang urus Ibu?" Aku berpura merajuk dengan memajukan bibir lima senti.
"Ibu sangat senang Ya, senang banget. Tapi jangan tolak keinginan ibu ya, ini juga demi kebaikan kamu dan Bintang. Ibu pengennya kalian bulan madu. Atau jalan-jalan, tapi cuma berdua saja, ibu nggak ikut dan jangan paksa ibu untuk ikut. Kalian ini aneh, tahun kemarin bulan madunya masa bertiga sama ibu, ibu merasa jadi obat nyamuk, ngintilin kalian kesana-kemari," sewot Ibu.
Aku tertawa mendengarnya. Iya, memang lucu sih. Waktu itu kami selalu pergi bertiga, bahkan aku lebih sering bersama ibu pergi jalan atau shopping. Sedang Mas Bintang lebih suka sendiri berdiam diri di dalam hotel.
"Terserah Ibu saja kalau memang itu yang terbaik dan ibu inginkan. Tapi Aya masih boleh kan merawat ibu? Bikinkan ibu makanan atau ngajak ibu jalan-jalan kalau bosan di rumah," ujarku menawar.
Ibu mengangguk dan tersenyum. Akupun ikut tersenyum. Tiba-tiba kami malah berpelukan kembali. Aku suka memeluk beliau. Merasa seperti memeluk tubuh ibuku sendiri. Ada rasa hangat setiap kali memeluknya. Namanya juga pelukan dengan ibu. Seorang ibu akan selalu memberikan kehangatan untuk anaknya.
***
Terdengar suara deru mesin motor berhenti di depan rumah bersamaan dengan suara air hujan yang masih turun dan semakin deras membasahi bumi ini.
Kutengok lewat jendela depan nampak terlihat suamiku–Mas Bintang yang sedang membuka pintu pagar dengan mengenakan jas hujanku. Aku tersenyum melihatnya. Lucu. Jasnya berwarna pink dan dia mau mengenakannya tanpa merasa malu.
Ibu sudah berada di kamarnya. Aku sudah membantu ibu mandi dan menemaninya solat ashar bersama. Lalu meninggalkannya sendiri untuk beristirahat sebelum waktu Maghrib tiba.
Langkahku terhenti saat aku sudah berada di dekat pintu depan. Ku urungkan niat untuk menyambutnya pulang dan membukakan pintu depan. Aku berbalik ingin beranjak pergi dari sana sampai kudengar suara pintu berderit dibuka. Memang pintu depan cuma kututup tanpa dikunci. Itu kebiasaan lku waktu Mas Bintang pulang cepat. Komplek rumah kami cukup aman. Dan kurasa dia pun mengingatnya, sehingga langsung membuka pintu tanpa harus mengetuknya terlebih dahulu.
Aku berbalik lagi ke arahnya. Tatapan kami beradu. Belum lima menit, aku terlebih dahulu menyudahinya dengan membuang muka ke arah lain. Namun aku sempat melihatnya menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan, menyapu sisa air yang masuk mengenai kepalanya. Tampan. Aku menggumam dalam hati. Tidak bisa kutolak pesonanya, memang selalu bisa menghipnotisku. Lalu aku sadar dan pura-pura terlihat sibuk menggosok lemari panjang yang diatasnya berderet pigura-pigura foto Mas Bintang waktu kecil hingga dewasa. Untung di tanganku ada serbet bekas waktu aku membersihkan meja makan tadi. Aku juga tidak sadar kalau benda tersebut berada di tanganku, dan kubawa kemana-mana.
"Ehem," Mas Bintang Berdeham. Aku pura-pura tidak mendengar.
"Ya!" Akhirnya dia memanggilku saat melihatku ingin pergi melangkah ke dalam. "Jas hujanmu kutaruh di atas kursi di depan, basah, takut membasahi lantai ini kalau kubawa masuk," ujarnya kemudian.
Tanpa berbalik aku mengangguk. Kurasa dia mengerti maksud gerakan kepalaku. Lalu aku tetap pergi meninggalkannya, tak tahu bagaimana reaksinya melihat sikapku yang memang berbeda dari sebelumnya. Aku tak peduli. Ternyata, Aku tidak pandai untuk menyembunyikan kekecewaanku yang sejak tadi pagi masih kupendam terhadapnya.
Part 6Aku menuju dapur, meletakkan serbet kotor tadi ke dalam keranjang tempat pakaian kotor dan mencuci tangan di wastafel. Aku terkejut ketika tangan ingin menyentuh pegangan kulkas ternyata ada tangan lain yang lebih dulu meraihnya. Tangan kami saling menumpuk.Aku menelan salivaku saat jarak pandang kami sangat dekat. Kami saling tatap dan lalu sama-sama membuang pandang ke arah lain.Sekaku itulah kami walau sudah tinggal serumah selama hampir dua tahun. Kadang kami masih merasa malu hanya karena tidak sengaja saling tatap.Aku mundur satu langkah kebelakang dan ingin berbalik pergi. Namun ada tangan yang mencengkramku kuat."Kamu mau minum? Ini!" ucapnya, sembari menyodorkan botol air mineral dingin dari dalam sana."Tidak, a--aku mau ke at
Part 7Aku memantapkan hati pergi ke dalam kamar setelah hampir tiga jam berada diluar. Setelah selesai makan malam, dan berberes sebentar di dapur, aku tidak langsung menyusul Mas Bintang ke atas. Tapi malah masuk ke kamar Ibu. Aku suka berada di kamarnya. Kami sering bertukar cerita atau bersenda gurau layaknya ibu dan anak. Dan diakhiri dengan memijit kaki dan tangannya sampai beliau tertidur. Walau kutahu salah satu kakinya tidak dapat berfungsi dengan baik.***"Hufh ...." Menarik nafas panjang sebelum menarik kenop pintu kamar.Aku membuka pintu dengan sangat pelan, lalu berjinjit masuk ke dalamnya. Takut suara langkahku terdengar nyaring di keheningan malam. Terkejut. Lampu kamar masih menyala. Mas Bintang ternyata belum tidur. Dia sedang berkutat di depan laptop, bekerja d
Part 8 "Ya Allah," ucapku saat terbangun. Kulihat jam menunjukkan pukul Lima subuh. Mas Bintang sudah tidak ada disebelahku. Apa Mas Bintang sudah pergi? Aku ingat malam tadi dia berjanji akan pergi pagi ini, tapi kemana? Bertemu siapa? Terdengar suara guyuran air dari dalam kamar mandi. Oh, Mas Bintang sedang mandi, gumamku dalam hati bernapas lega. Syukurlah. Tumben sepagi ini? Biasanya selalu kubangunkan dulu. Namun sekarang ia bangun sendiri, bahkan lebih awal dariku. Malam tadi aku berniat membuka ponsel Mas Bintang. Menunggu dia tertidur pulas karena ingin menyelidiki siapa orang yang telah menghubunginya semalam. Namun kenyataannya aku malah ketiduran karena kelamaan menunggu waktu yang pas. Gagal. Kulihat ponsel Mas Bintang masih tergeletak di atas nakas. Mataku awas ke arah pintu kamar mandi. Aman. Deng
Aku tak sadar, benda berbentuk persegi panjang dengan layar yang masih menyala itu terjatuh ke lantai. Lepas dari genggaman tanganku. Tubuhku pun ikut merosot ke bawah, turun dari sofa yang kududuki saat ini. Ada nyeri yang mengiris hati melihat gambar yang barusan kubuka. Penglihatanku mengabur bersamaan dengan embun yang berada di pelupuk mata. Aku kalah. Sudah kutahan sekuat mungkin buliran air itu tetap turun juga membasahi kedua pipi. Jadi ini kebenaran foto di dompetmu Mas. Wanita di gambar yang baru kudapat dari Mas Daffa sama persis dengan foto yang ingin kutahu siapa orang yang ada di dalam dompetmu itu. Satu hal yang dapat kutangkap dari gambar ini adalah potret keluarga bahagia. Lengkap dengan seorang anak kecil lucu berumur sekitar setahun lebih. Layar ponsel masih menyala dan terus berderin
Part 10 "Aya!""Suara itu, aku mengenalnya. Mas Bintang! apa aku sedang bermimpi?"Sayang, bangun!" Mataku mengerjap. Kurasakan sentuhan hangat di pipi.Tersentak kaget, ternyata aku tak bermimpi. Tetiba refleks kutepis tangannya yang menyentuh pipiku dengan kasar. Mas Bintang terperangah melihat tindakanku yang spontan tersebut."Aya? kamu kenapa sayang, kata mama, kamu sakit? kita ke dokter ya?" Manis sekali Mas Bintang bicara kepadaku. Mungkin setelah mendapatkan moodbooster dari dua orang tersebut, kepekaannya meningkat.Ibu mengatakan kepadanya aku sakit? iya Mas, aku sakit, bukan fisik tapi hati.Aku menatapnya dengan tajam. Lalu menggeleng cepat. Aku beranjak bangun dari tempat tidur, menjauh darinya. Tapi le
Part 11Sebuah pernikahan dijalankan oleh dua orang yang saling mencintai. Jika cinta belum datang diantara mereka berdua, maka pupuklah dan siram agar cinta tumbuh dengan subur di hati keduanya. Namun saat cuma satu hati saja yang terpaut dan berjuang untuk menumbuhkan cinta, sedang yang satunya tidak, lalu bagaimana bisa pernikahan itu tetap bisa bertahan?***"Ibu ...!" lirihku memanggil nama yang sangat berarti di hidupku.Aku merindukanmu Bu, kenapa kau pergi secepat itu? Apakah benar kau menginginkanku menikah dengannya? Apakah dia lelaki terbaik untukku? lelaki yang kuanggap suamiku itu tidak pernah berusaha untuk mencintaiku Bu. Tidak sekeras putrimu ini, jadi, haruskah ku tetap bertahan? Atau kepaskan? Ibu ....Masih dengan derai air mata hati merindu akan soso
"Bu, bolehkah Aya besok pergi ke rumah Fajar? Aya kangen sama dia," bujukku padanya. Meminta lagi untuk yang kedua kalinya.Kulihat ibu terkejut mendengar keinginanku. Dia menatap Bintang dengan sorot mata cemas. "Besok Ya?" tanyanya mengulang permintaanku. Aku mengangguk. Aku tak tahu ekspresi wajah Mas Bintang mendengar permintaanku ini karena mataku fokus ke wajah Ibu.Ibu mengembuskan nafas berat. "Kalau itu yang Aya mau, ibu izinkan. Biar Bintang yang mengantarmu kesana. Pasti kamu kangen Fajar ya?""Tidak Bu. Aya bisa sendiri. Aya nggak enak sama Mas Bintang, dia sangat sibuk Bu dengan pekerjaannya." Tatapku sinis pada lelaki di sebelah Ibu."Jangan Ya, Ibu nggak tenang kalau kamu berangkat sendiri. Biar Bintang yang an--""TIDAK Bu!" Tanpa s
"Ibu," panggilku. Kulihat Ibu duduk di depan teras dengan mata menerawang memikirkan sesuatu. Aku rasa Ibu pasti mengkhawatirkan hubunganku dengan Mas Bintang."Bu, sarapan yuk, makanan sudah siap di meja makan," ujarku sambil mengusap bahunya pelan.Ibu tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku mendorong kursi roda Ibu, membawanya masuk ke dalam menuju meja makan. Mas Bintang sudah berada disana, duduk menunggu kedatangan kami. Dia tidak berhenti menatapku, namun tidak kupedulikan."Cukup Ya, Ibu takut tidak habis," ucap Ibu mencegahku menambahkan satu centong nasi lagi ke dalam piringnya. Sedangkan Mas Bintang tetap kulayani seperti biasa. Mengambilkan keperluan makannya sama seperti Ibu. Walaupun hati ini masih sakit karenanya, tapi tidak benar kalau aku bersikap buruk kepadanya dihadapan Ibu. Apalagi dia masih suamiku.