Share

Pulang

Penulis: Syarlina
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-10 21:38:12

Part 5

 "Ya sudah Ya, bawa Ibu masuk, awannya sudah mulai menghitam, sepertinya bakalan turun hujan, padahal tadi cerah ya, cuaca sekarang memang tidak bisa ditebak." Aku mendorong kembali kursi roda Ibu masuk ke dalam rumah.

 "Bintang bawa jas hujan nggak Ya? Katamu Bintang hari ini pulang cepat," tanya Ibu duduk diatas kursi roda sepanjang aku mendorongnya.

  Ibu bertanya begitu karena beliau tahu kalau dua hari ini Mas Bintang tidak memakai mobilnya ke kantor, tapi menggunakan kendaraan roda dua--ku.

 "Di dalam joknya sudah ada jas hujan Aya Bu, itupun kalau Mas Bintang tahu," sahutku.

 "Kalau begitu kamu telepon Bintang, kasih tahu dia kalau di jok kendaraan kamu ada jas hujannya."

 "Iya Bu," jawabku sambil mengunci kursi roda Ibu dan mengangkat tubuh Ibu ke sofa dan mendudukkan beliau disana. 

 "Ibu berat ya Ya?" tanya-lnya dengan wajah sendu. Mungkin Ibu melihatku kepayahan mengangkat tubuhnya ke sofa.

 "Nggak papa Bu, malah Aya suka, itu artinya Ibu sehat, makannya banyak, berarti Ibu suka masakan Aya," ucapku sambil tersenyum ke arahnya. 

 "Ibu beruntung mempunyai menantu kayak kamu Ya, Ibu nggak salah pilih, kamu memang istri yang pas untuk Bintang," yakinnya dengan suara yang parau dan mata yang mengembun.

 "Sudah Bu, jangan ngomong gitu terus, tuh matanya berair, mau nangis lagi kan? Aya dosa lo, Bu, bikin mertuanya nangis mulu," jawabku mencebik berpura kesel.

Ibu hanya tersenyum. "Bukan dosa sayang, tapi pahala, karena kamu sudah membahagiakan Ibu. Ibu yang akan menjadi saksinya kalau malaikat nanti nanya kenapa kamu sering bikin Ibu nangis," ucapnya sambil menyeka air matanya dengan ujung kerudungnya.

 Aku ikut mengusap kedua pipinya.

 "Ibu tunggu dulu disini, Aya mau kirim pesan buat Mas Bintang, ngasih tahu soal jas hujan tadi, takut Mas Bintangnya keburu pulang." Aku beranjak pergi naik ke lantai atas setelah melihat Ibu mengangguk. 

***

 [Mas, di jok kendaraan--ku ada jas hujan, pakai saja.] Done. Akhirnya terkirim juga pesan tersebut ke nomer Mas Bintang.

 Dari tadi aku sibuk mengetik lalu menghapusnya. Berulang kali. Begitu terus. Hanya untuk menyampaikan pesan sesingkat itu saja sungguh menyulitkan bagiku.

 Kutunggu beberapa detik, belum juga dibacanya pesan di aplikasi hijau tersebut.

 Mondar-mandir di dalam kamar menunggu balasan darinya. Lalu pandanganku tertuju keluar jendela. Kulihat hujan telah turun dengan perlahan. Awalnya hanya gerimis saja, lama-kelamaan semakin deras turunnya disertai bunyi Guntur dan kilatannya.

Kuintip lagi ponselku. Tujuanku langsung ke aplikasi W*. Aku terseyum, pesanku sudah dibacanya. Kutunggu lagi beberapa menit, ternyata belum ada balasan darinya. Sepuluh menit berlalu, masih sama. Dia jarang membalas pesanku, mungkin menurutnya pesanku tidak penting, makanya hanya dibacanya saja. Seperti yang sekarang terjadi. Lagi, aku cuma bisa menghela nafas. Akhirnya ponsel kuletakkan kembali ke atas tempat tidur dan kutinggal pergi keluar kamar.

 Aku mendekati Ibu yang masih duduk sambil menonton televisi. 

 "Sudah Ya?" tanyanya. Aku mengangguk dan tersenyum. Ibu bertanya tentang jas hujan tersebut.

 "Baguslah, tuh hujan benaran kan, deras lagi. Terus Bintang bilang apa?" tanya Ibu lagi.

 "Hm ..., Makasih, katanya," sahutku berbohong, aku menatap ke arah lain. Takut Ibu tahu kalau aku sudah membohonginya.

 Ibu tersenyum. "Sini!" pintanya menyuruhku duduk disampingnya. Aku mendekat dan duduk disana.

 "Nanti Ibu minta Bintang carikan orang buat jaga Ibu," ucapnya.

 Aku mengernyit mendengarnya. "Maksudnya?" tanyaku bingung tak mengerti.

 Matanya menyipit karena tersenyum padaku. "Ibu tidak mau nyusahin kamu terus Ya, gara-gara Ibu, kamu tidak punya waktu buat ngurus diri sendiri. Nggak bisa pergi kemana pun kamu mau, kamu juga sudah jarang kan ikut pengajian Ibu-Ibu disini karena jagain ibu."

 "Nggak papa Bu, Aya tidak pernah merasa berat melakukannya, Aya suka dan Aya ikhlas Bu. Aya senang bisa merawat ibu dengan baik. Jadi ibu nggak usah khawatirkan Aya."

 "Ibu tahu, tapi hati ibu yang nggak enak Ya, sejak enam bulan yang lalu, saat ibu mengalami stroke, ibu selalu membutuhkan bantuanmu. Nanti ibu jadi keenakan dan tergantung sama kamu terus. Bagaimana kalau nanti kalian punya anak, kan tambah repot. Jadi mulai sekarang ibu mau orang lain saja yang ngurus ibu supaya waktumu lebih banyak bersama Bintang." Ibu menggenggam tanganku erat.

 Aku tersenyum mendengarnya. "Kan kami belum punya anak, jadi nanti saja kalau memang nanti Aya kerepotan, baru kita cari orang Bu. Ibu nggak senang ya kalau Aya yang urus Ibu?" Aku berpura merajuk dengan memajukan bibir lima senti.

 "Ibu sangat senang Ya, senang banget. Tapi jangan tolak keinginan ibu ya, ini juga demi kebaikan kamu dan Bintang. Ibu pengennya kalian bulan madu. Atau jalan-jalan, tapi cuma berdua saja, ibu nggak ikut dan jangan paksa ibu untuk ikut. Kalian ini aneh, tahun kemarin bulan madunya masa bertiga sama ibu, ibu merasa jadi obat nyamuk, ngintilin kalian kesana-kemari," sewot Ibu.

 Aku tertawa mendengarnya. Iya, memang lucu sih. Waktu itu kami selalu pergi bertiga, bahkan aku lebih sering bersama ibu pergi jalan atau shopping. Sedang Mas Bintang lebih suka sendiri berdiam diri di dalam hotel.

 "Terserah Ibu saja kalau memang itu yang terbaik dan ibu inginkan. Tapi Aya masih boleh kan merawat ibu? Bikinkan ibu makanan atau ngajak ibu jalan-jalan kalau bosan di rumah," ujarku menawar.

Ibu mengangguk dan tersenyum. Akupun ikut tersenyum. Tiba-tiba kami malah berpelukan kembali. Aku suka memeluk beliau. Merasa seperti memeluk tubuh ibuku sendiri. Ada rasa hangat setiap kali memeluknya. Namanya juga pelukan dengan ibu. Seorang ibu akan selalu memberikan kehangatan untuk anaknya.

 ***

Terdengar suara deru mesin motor berhenti di depan rumah bersamaan dengan suara air hujan yang masih turun dan semakin deras membasahi bumi ini.

 Kutengok lewat jendela depan nampak terlihat suamiku–Mas Bintang yang sedang membuka pintu pagar dengan mengenakan jas hujanku. Aku tersenyum melihatnya. Lucu. Jasnya berwarna pink dan dia mau mengenakannya tanpa merasa malu.

 Ibu sudah berada di kamarnya. Aku sudah membantu ibu mandi dan menemaninya solat ashar bersama. Lalu meninggalkannya sendiri untuk beristirahat sebelum waktu Maghrib tiba.

 Langkahku terhenti saat aku sudah berada di dekat pintu depan. Ku urungkan niat untuk menyambutnya pulang dan membukakan pintu depan. Aku berbalik ingin beranjak pergi dari sana sampai kudengar suara pintu berderit dibuka. Memang pintu depan cuma kututup tanpa dikunci. Itu kebiasaan lku waktu Mas Bintang pulang cepat. Komplek rumah kami cukup aman. Dan kurasa dia pun mengingatnya, sehingga langsung membuka pintu tanpa harus mengetuknya terlebih dahulu.

 Aku berbalik lagi ke arahnya. Tatapan kami beradu. Belum lima menit, aku terlebih dahulu menyudahinya dengan membuang muka ke arah lain. Namun aku sempat melihatnya menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan, menyapu sisa air yang masuk mengenai kepalanya. Tampan. Aku menggumam dalam hati. Tidak bisa kutolak pesonanya, memang selalu bisa menghipnotisku. Lalu aku sadar dan pura-pura terlihat sibuk menggosok lemari panjang yang diatasnya berderet pigura-pigura foto Mas Bintang waktu kecil hingga dewasa. Untung di tanganku ada serbet bekas waktu aku membersihkan meja makan tadi. Aku juga tidak sadar kalau benda tersebut berada di tanganku, dan kubawa kemana-mana.

 "Ehem," Mas Bintang Berdeham. Aku pura-pura tidak mendengar. 

 "Ya!" Akhirnya dia memanggilku saat melihatku ingin pergi melangkah ke dalam. "Jas hujanmu kutaruh di atas kursi di depan, basah, takut membasahi lantai ini kalau kubawa masuk," ujarnya kemudian.

 Tanpa berbalik aku mengangguk. Kurasa dia mengerti maksud gerakan kepalaku. Lalu aku tetap pergi meninggalkannya, tak tahu bagaimana reaksinya melihat sikapku yang memang berbeda dari sebelumnya. Aku tak peduli. Ternyata, Aku tidak pandai untuk menyembunyikan kekecewaanku yang sejak tadi pagi masih kupendam terhadapnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia Suamiku    Takdir Hidupku

    Akhirnya aku menikah dengan Mas Daffa setelah dua bulan dari lamaran kemarin. Keluarga Mas Daffa sangat open kepadaku. Mereka menerima keadaanku dengan tangan terbuka. Tidak ada nyinyiran atau sindiran pedas dari mulut mereka. Apalagi orangtuanya. Mas Daffa sekarang cuma mempunyai Ibu saja, ayah Mas Daffa sudah tiada. Mama Lola sangat baik kepadaku. Perlakuannya sama seperti Ibunya Mas Bintang dulu, penuh kasih sayang.Aku ikut tinggal bersama Mas Daffa ke rumahnya. Masih satu kota dengan Fajar. Untuk kedua kalinya, aku meninggalkan Fajar sendirian lagi di rumah. Tidak apa, untung dia anak lelaki. Aku yakin ia bisa jaga diri dan pergaulan.***Baru kali ini kurasakan kebahagiaan berumah tangga, setelah menikah dengan Mas Daffa. Kami saling terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari diri kami masing-masing. Barang pribadi bebas dipegang siapa saja, entah aku ata

  • Rahasia Suamiku    Merajut ada(pov Cahaya)

    Sepanjang jalan pulang ke kota asalku, aku merenung. Sungguh bukan impianku mempunyai pernikahan yang sesingkat ini. Kuikhlaskan hati pada Ilahi, dengan memantapkan hati tetap teguh melangkah membuka lembaran baru di hidupku. Mencoba berprasangka baik terhadap Sang pencipta atas ujian hidup yang telah ditakdirkan kepada hambaNya. Akhirnya aku kembali kesini, ke tempat masa kecilku dulu dan meniti hidup yang baru.Bulan silih berganti, aku sudah bergelut beraktivitas mengajar di salah satu taman kanak-kanak. Rasanya senang bisa berinteraksi dengan mereka. Berteman baik dengan kepolosan dan tingkah polah lucu mereka. Tak pernah kudengar lagi kabar mantan suamiku. Terakhir saat berkunjung ke rumahnya, aku dibuat terkejut dengan kenyataan menyedihkan kalau Mas Bintang mengalami depresi berat. Keadaan Ibu yang cuma berbaring di tempat tidur lebih mengiris hatiku. Aku tidak bisa berbuat

  • Rahasia Suamiku    Terpuruk dan Mencoba Bangkit

    "Mas, itu sudah nggak penting, sekarang keselamatan Kia yang harus kita pikirkan, bukankah kamu sangat menyayanginya?" ucapnya dengan sesegukan dan menatapku sendu.Aku tidak habis pikir, begitu mudahnya ia bilang tidak penting. Kia bukan anak kandungku. Golongan darah kami berbeda. Lalu anak siapa dia?Aku masih mendebatnya dan memaksanya memberitahuku yang sebenarnya. Ia tergugu menangis dan bersujud di kakiku. Memohon ampun dan memintaku memaafkannya. Dia sendiri bilang tidak tahu siapa lelaki yang merupakan ayah kandung Kia. Aneh, bagaimana mungkin? Jadi benar kata Ibu selama ini kalau Salma bukan wanita baik-baik. Berapa lelaki yang sudah menidurinya? Aku menolaknya dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Salma mencoba mengejarku tapi tidak kugubris. Hatiku hancur mengetahui semua kebenaran ini. Kia, maafkan Ayah, aku tidak sanggup untuk tetap di sini menunggumu pulih. Aku perlu wak

  • Rahasia Suamiku    Rahasia Lagi

    Kukira bisa mengendalikan semuanya dengan mudah, ternyata salah. Tidak mungkin dua kursi bisa duduk bersama. Entah apa yang terjadi, Salma dan Cahaya bisa saling bertemu. Apakah mereka janjian atau tidak disengaja, mungkin semua ini sudah takdir Allah. Yang tidak kumengerti kenapa bisa mendadak seperti ini? Di saat aku belum siap untuk mempertemukan mereka dan sesuatu yang tidak kuinginkan malah terjadi. Aku tahu dari cara Cahaya melihatku ia sangat marah. Bahkan panggilan dan penjelasanku tak digubrisnya. Ia pergi dengan emosi yang memuncak hingga mengalami kecelakaan. Bukan cuma Aya, tapi Ibu pun jatuh sakit karena jantungnya kumat lagi mendengar Aya kecelakaan. Yang menyakitkan aku harus kehilangan anak yang sangat kunantikan kehadirannya. Aya keguguran. Kecelakaan itu penyebabnya. Sebab itu pula hubunganku dengan Aya kembali memburuk. Fajar sudah tahu kisah sebenarnya dan ikutan marah padaku. Ia juga melarangku mendekati kakaknya bahkan mereka akan pulang ke rumah mereka.

  • Rahasia Suamiku    Kabar Baik

    "Sudahkan, Mas tutup teleponnya. Tenangin Kia, kamu ibunya, masa tidak bisa menenangkan anak sendiri," ucapku sewot. Lalu sambungan panggilan benar kuputus sepihak. Biarlah kali ini tidak kuhiraukan Kia, aku yakin Salma bisa mengatasi anaknya sendiri.Untuk saat ini aku fokus ke Cahaya. Aku harus memikirkan cara agar Aya membatalkan keinginannya untuk pergi dari rumah ini.***Kulihat Aya membereskan baju dan memasukkannya ke dalam koper. Aku memberitahunya agar jangan lama berada disana, kasihan Ibu, ujarku. Lagi-lagi kata Ibu yang terucap, Aya menoleh ke arahku sekilas, dapat kulihat masih ada sorot kemarahan dari matanya. Aya hanya diam, dia tidak menggubris omonganku. Untungnya ia masih mau memasak dan menyiapkan sarapan pagi kami. Aku terus menatapnya, Ibu menyuruhku mengantarkan Aya pulang, tapi Aya menolak, ia bahkan hampir berkata dengan nada marah kepada Ibu,

  • Rahasia Suamiku    Maaf

    "Ya, sini duduk," pintaku, dengan menepuk atas kasur di sebelahku. Aya menolak, ia lebih memilih berdiri memandangi luar jalanan dari balik jendela. Kulihat di sudut matanya tampak buliran air mata. Hatiku semakin terenyuh, sesakit itukah rasanya Ya, maaf, lirihku dalam hati.Kutarik nafas panjang sebelum memulai kebenaran ini. "Wanita itu namanya Salma. Dia ... Istriku." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari bibirku.Aya tampak syok, raganya merosot kebawah, dan terduduk di lantai. Dia menangis. Tak tega melihatnya, kulangkahkan kaki menghampirinya."Stop! berhenti disana!" teriaknya dengan berlinang air mata sambil mengangkat telapak tangan ke udara. Aku terdiam membeku di tempatku berdiri. Aya terlihat bukan dirinya, untuk pertama kali kulihat kilatan kemarahan di kedua netranya. Ia juga berani membentakku."Kapan kalia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status