Share

Rahasia Wanita yang Mengaku Istri Kedua Suamiku
Rahasia Wanita yang Mengaku Istri Kedua Suamiku
Author: Rintihan Rindu

Suami yang Tidak Pulang

Malam itu Alana merasa resah. Hatinya terasa gundah-gulana. Ia tengah menunggu Ronald, sang suami yang tak kunjung pulang ke rumah. Wanita itu berjalan mondar-mandir dari ruang tamu ke kamarnya. 

"Ke mana dia? Tidak biasanya Ronlad pulang telat begini," gumam Alana khawatir. 

Wanita berusia tiga puluh empat tahun itu mulai menggigit-gigit kukunya karena khawatir. Alana punya kebiasaan seperti itu sejak belia. Ketika dirinya merasa cemas refleks ia akan menggigit-gigit kukunya sambil berjalan mondar-mandir. 

[Sayang, kau di mana? Kenapa belum pulang juga? Ini sudah hampir jam dua belas malam]

Alana yang semakin cemas mengirim pesan ke nomor suaminya. Ini sudah pesan ketiga belas. Namun, meskipun centang dua terlihat di aplikasi hijau milik suaminya tak satu pun pesan Alana dibaca, bahkan dibalas oleh Ronald. 

"Mungkin aku harus meneleponnya sekarang," desis Alana yang mulai tak sabar. Hatinya dipenuhi kekhawatiran atas suaminya. 

Sembari menggigit-gigit kuku jemari di tangan kanannya, tangan kiri Alana cekatan memencet nomor Ronald untuk dihubungi. Suara dering nada sambung ke handphone Ronald terdengar. Namun sampai deringannya habis tak juga diangkat. 

"Nomor yang anda tuju, sedang sibuk. Anda bisa tinggalkan—"

Alana mematikan panggilan saat suara operator telepon belum menyelesaikan kalimatnya. Artinya semakin khawatir pada kondisi Ronald. Suaminya tidak pernah seperti ini selama sepuluh tahun pernikahan mereka. 

Ronald adalah sosok suami yang baik. Pria itu adalah seorang ayah yang selalu hangat terhadap istri dan anak-anaknya. Ia adalah seorang pria yang lurus dan tidak pernah terlibat skandal meski jabatannya di perusahaan cukup tinggi. 

"Ronald, ya Tuhan. Kau ini ke mana sih?" keluh Alana mulai kesal. Wanita itu menjadi sangat tidak sabar dan semakin khawatir pada suaminya. 

Meski sudah jelang tengah malam akhirnya Alana memutuskan untuk menelepon sekretaris suaminya. Ia yakin sekali sang sekretaris akan tahu apa yang dilakukan suaminya terakhir sebelum pulang ke rumah. 

Dering nada sambung kembali terdengar di handphone Alana. Wanita itu dengan sabar menunggu sampai sekretaris suaminya mengangkat telepon. 

"Halo selamat malam." Sebuah suara mengantuk seorang perempuan muda terdengar di ujung telepon. 

"Malam, Livia. Maaf saya mengganggumu malam-malam begini. Boleh saya menanyakan sesuatu?" tanya Alana sedikit tidak nyaman. Alana tahu sikapnya tidak sopan, tetapi ia tidak bisa menemukan cara lebih efisien dari yang harus di lakukan saat ini. 

"Nyo-nyonya Alana, a-ada apa malam-malam begini menelepon?" tanya Livia. Suaranya terdengar takut-takut itu mengetahui siapa yang menelepon. 

"Begini, Livia. Saya ingin menanyakan apa kamu tahu suami saya tadi pulang kantor jam berapa?" sahut Alana to the poin. 

Tidak langsung menjawab, Livia sempat terdiam beberapa saat. Wanita muda itu seperti mengingat-ingat pukul berapa tepatnya atasannya itu pulang. 

"Tuan Ronald pulang tepat waktu, Nyonya Alana. Saya ingat tadi tepat pukul 17.00 Tuan Ronald meninggalkan kantor. Saya lalu pulang tiga puluh menit kemudian," jelas Livia kemudian. 

"Apa suami Saya tidak ada janjian lain di luar kantor? Biasanya kau tahu semua jadwal suami saya," tanya Alana kembali mengorek keterangan dari Livia. Dirina semakin panik mendengar penjelasan sang sekretaris.

"Jadwal Tuan Ronald sore ini kosong. Saya tidak tahu urusan Tuan Ronald di luar jam kerja kantor. Sebaiknya Nyonya bertanya saja kepada Bang Rahman," jelas Livia menyebutkan nama sopir pribadi sekaligus tangan kanan Ronald. 

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak, Livia. Maaf jika aku mengganggu waktu tidurmu," sahut Alana langsung mengakhiri panggilan. Setelah mematikan sambungan telepon dengan sekretaris sang suami, Alana lalu menelpon Rahman. 

"Halo selamat malam, Nyonya Alana. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Rahman yang sepertinya masih belum tidur. Lelaki muda yang masih bujang itu mungkin sedang begadang malam ini. 

"Man, kau sudah pulang ke rumah? Apa kau tahu di mana suami saya berada?" tanya Alana sama seperti ketika menelepon Livia. Wanita itu langsung to the point menanyakan tentang suaminya tanpa basa-basi. 

"Apa Tuan Ronald belum pulang, Nyonya?" Rahman balik bertanya. 

"Belum, Man. Apa tadi Tuan tidak langsung minta di antar pulang ke rumah?" sahut Alana semakin tegang. 

Berbagai pikiran buruk menggelayut semakin tak karuan di kepala Alana. Pada detik itu ia sangat yakin ada yang tidak beres dengan Ronald. Rahman jelas-jelas tidak sedang bersama Ronald. 

"Begini, Nyonya. Itu tadi kami sudah setengah jalan pulang. Tiba-tiba saja Tuan Ronald mendapat telepon. Tuan lalu meminta saya turun di mal terdekat dan memberikan ongkos pulang menggunakan taksi online pada saya," jelas Rahman panjang-lebar. 

"A-apa? Menurunkanmu di mal terdekat? Memangnya siapa yang menelepon, Man? Suamiku tidak biasanya seperti itu kan?" Alana langsung memberondong Rahman dengan banyak pertanyaan karena panik. 

Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ketegangan dalam dirinya semakin meningkat. Sambil mondar-mandir dan memegang telepon Alana terus mengobrol dengan Rahman. Sesekali wanita cantik itu menggigit-gigit kuku di jemarinya pada tangan yang bebas tidak memegang handphone. 

"Saya kurang paham, Nyonya Alana. Tapi yang saya lihat, raut wajah Tuan Ronald mendadak berubah muram sesaat setelah mengangkat telepon," jelas Rahman lebih terperinci. 

"Lalu setelah menurunkanmu di mall suamiku pergi ke mana?" tanya Alana terus mengejar.

"Saya tidak tahu, Nyonya Alana," jawab Rahman yang membuat Alana langsung terduduk lemas. 

Wanita itu sangat cemas dengan kondisi suaminya. Sambil menelepon Rahman, ia sempat memeriksa obrolan pribadi dengan Ronald pada aplikasi hijau. Pesannya sama sekali tidak dibaca bahkan dibalas. 

"Apa ada masalah dengan Tuan Ronald, Nyonya?" tanya Rahman seperti bisa membaca kecemasan yang sedang melanda Alana. 

Alana menghela napas berat, sebelum menjawab pertanyaan Rahman. Ia menguatkan hatinya agar tidak lepas kendali dan menjadi emosional karena panik. 

"Suamiku belum pulang hingga saat ini, Man. Handphonenya kuhubungi aktif tapi tidak menjawab telepon. Bahkan pesanku sejak pukul delapan tadi tak satu pun yang dibalas," jelas Alana sesingkat mungkin. 

Meskipun suaranya terdengar bergetar karena air mata yang sudah mengambang di pelupuk mata, tetapi Alana masih berusaha berbicara dengan tenang. Ia tidak ingin Rahman tahu kecemasan yang ia rasakan. 

“Ini sudah tengah malam, Nyonya. Harusnya Tuan Ronald sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu!" sergah Rahman ikut panik. 

Apa sebenarnya yang terjadi dengan Ronald?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status