Malam itu Alana merasa resah. Hatinya terasa gundah-gulana. Ia tengah menunggu Ronald, sang suami yang tak kunjung pulang ke rumah. Wanita itu berjalan mondar-mandir dari ruang tamu ke kamarnya.
"Ke mana dia? Tidak biasanya Ronlad pulang telat begini," gumam Alana khawatir.
Wanita berusia tiga puluh empat tahun itu mulai menggigit-gigit kukunya karena khawatir. Alana punya kebiasaan seperti itu sejak belia. Ketika dirinya merasa cemas refleks ia akan menggigit-gigit kukunya sambil berjalan mondar-mandir.
[Sayang, kau di mana? Kenapa belum pulang juga? Ini sudah hampir jam dua belas malam]
Alana yang semakin cemas mengirim pesan ke nomor suaminya. Ini sudah pesan ketiga belas. Namun, meskipun centang dua terlihat di aplikasi hijau milik suaminya tak satu pun pesan Alana dibaca, bahkan dibalas oleh Ronald.
"Mungkin aku harus meneleponnya sekarang," desis Alana yang mulai tak sabar. Hatinya dipenuhi kekhawatiran atas suaminya.
Sembari menggigit-gigit kuku jemari di tangan kanannya, tangan kiri Alana cekatan memencet nomor Ronald untuk dihubungi. Suara dering nada sambung ke handphone Ronald terdengar. Namun sampai deringannya habis tak juga diangkat.
"Nomor yang anda tuju, sedang sibuk. Anda bisa tinggalkan—"
Alana mematikan panggilan saat suara operator telepon belum menyelesaikan kalimatnya. Artinya semakin khawatir pada kondisi Ronald. Suaminya tidak pernah seperti ini selama sepuluh tahun pernikahan mereka.
Ronald adalah sosok suami yang baik. Pria itu adalah seorang ayah yang selalu hangat terhadap istri dan anak-anaknya. Ia adalah seorang pria yang lurus dan tidak pernah terlibat skandal meski jabatannya di perusahaan cukup tinggi.
"Ronald, ya Tuhan. Kau ini ke mana sih?" keluh Alana mulai kesal. Wanita itu menjadi sangat tidak sabar dan semakin khawatir pada suaminya.
Meski sudah jelang tengah malam akhirnya Alana memutuskan untuk menelepon sekretaris suaminya. Ia yakin sekali sang sekretaris akan tahu apa yang dilakukan suaminya terakhir sebelum pulang ke rumah.
Dering nada sambung kembali terdengar di handphone Alana. Wanita itu dengan sabar menunggu sampai sekretaris suaminya mengangkat telepon.
"Halo selamat malam." Sebuah suara mengantuk seorang perempuan muda terdengar di ujung telepon.
"Malam, Livia. Maaf saya mengganggumu malam-malam begini. Boleh saya menanyakan sesuatu?" tanya Alana sedikit tidak nyaman. Alana tahu sikapnya tidak sopan, tetapi ia tidak bisa menemukan cara lebih efisien dari yang harus di lakukan saat ini.
"Nyo-nyonya Alana, a-ada apa malam-malam begini menelepon?" tanya Livia. Suaranya terdengar takut-takut itu mengetahui siapa yang menelepon.
"Begini, Livia. Saya ingin menanyakan apa kamu tahu suami saya tadi pulang kantor jam berapa?" sahut Alana to the poin.
Tidak langsung menjawab, Livia sempat terdiam beberapa saat. Wanita muda itu seperti mengingat-ingat pukul berapa tepatnya atasannya itu pulang.
"Tuan Ronald pulang tepat waktu, Nyonya Alana. Saya ingat tadi tepat pukul 17.00 Tuan Ronald meninggalkan kantor. Saya lalu pulang tiga puluh menit kemudian," jelas Livia kemudian.
"Apa suami Saya tidak ada janjian lain di luar kantor? Biasanya kau tahu semua jadwal suami saya," tanya Alana kembali mengorek keterangan dari Livia. Dirina semakin panik mendengar penjelasan sang sekretaris.
"Jadwal Tuan Ronald sore ini kosong. Saya tidak tahu urusan Tuan Ronald di luar jam kerja kantor. Sebaiknya Nyonya bertanya saja kepada Bang Rahman," jelas Livia menyebutkan nama sopir pribadi sekaligus tangan kanan Ronald.
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak, Livia. Maaf jika aku mengganggu waktu tidurmu," sahut Alana langsung mengakhiri panggilan. Setelah mematikan sambungan telepon dengan sekretaris sang suami, Alana lalu menelpon Rahman.
"Halo selamat malam, Nyonya Alana. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Rahman yang sepertinya masih belum tidur. Lelaki muda yang masih bujang itu mungkin sedang begadang malam ini.
"Man, kau sudah pulang ke rumah? Apa kau tahu di mana suami saya berada?" tanya Alana sama seperti ketika menelepon Livia. Wanita itu langsung to the point menanyakan tentang suaminya tanpa basa-basi.
"Apa Tuan Ronald belum pulang, Nyonya?" Rahman balik bertanya.
"Belum, Man. Apa tadi Tuan tidak langsung minta di antar pulang ke rumah?" sahut Alana semakin tegang.
Berbagai pikiran buruk menggelayut semakin tak karuan di kepala Alana. Pada detik itu ia sangat yakin ada yang tidak beres dengan Ronald. Rahman jelas-jelas tidak sedang bersama Ronald.
"Begini, Nyonya. Itu tadi kami sudah setengah jalan pulang. Tiba-tiba saja Tuan Ronald mendapat telepon. Tuan lalu meminta saya turun di mal terdekat dan memberikan ongkos pulang menggunakan taksi online pada saya," jelas Rahman panjang-lebar.
"A-apa? Menurunkanmu di mal terdekat? Memangnya siapa yang menelepon, Man? Suamiku tidak biasanya seperti itu kan?" Alana langsung memberondong Rahman dengan banyak pertanyaan karena panik.
Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ketegangan dalam dirinya semakin meningkat. Sambil mondar-mandir dan memegang telepon Alana terus mengobrol dengan Rahman. Sesekali wanita cantik itu menggigit-gigit kuku di jemarinya pada tangan yang bebas tidak memegang handphone.
"Saya kurang paham, Nyonya Alana. Tapi yang saya lihat, raut wajah Tuan Ronald mendadak berubah muram sesaat setelah mengangkat telepon," jelas Rahman lebih terperinci.
"Lalu setelah menurunkanmu di mall suamiku pergi ke mana?" tanya Alana terus mengejar.
"Saya tidak tahu, Nyonya Alana," jawab Rahman yang membuat Alana langsung terduduk lemas.
Wanita itu sangat cemas dengan kondisi suaminya. Sambil menelepon Rahman, ia sempat memeriksa obrolan pribadi dengan Ronald pada aplikasi hijau. Pesannya sama sekali tidak dibaca bahkan dibalas.
"Apa ada masalah dengan Tuan Ronald, Nyonya?" tanya Rahman seperti bisa membaca kecemasan yang sedang melanda Alana.
Alana menghela napas berat, sebelum menjawab pertanyaan Rahman. Ia menguatkan hatinya agar tidak lepas kendali dan menjadi emosional karena panik.
"Suamiku belum pulang hingga saat ini, Man. Handphonenya kuhubungi aktif tapi tidak menjawab telepon. Bahkan pesanku sejak pukul delapan tadi tak satu pun yang dibalas," jelas Alana sesingkat mungkin.
Meskipun suaranya terdengar bergetar karena air mata yang sudah mengambang di pelupuk mata, tetapi Alana masih berusaha berbicara dengan tenang. Ia tidak ingin Rahman tahu kecemasan yang ia rasakan.
“Ini sudah tengah malam, Nyonya. Harusnya Tuan Ronald sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu!" sergah Rahman ikut panik.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan Ronald?
"Ya, aku tahu itu. Lalu jika sudah kejadian seperti ini aku harus menghubungi siapa lagi, Man?" tanya Alana resah dan gelisah. Kekhawatiran dalam dirinya sudah semakin memuncak. Alana lalu meraih jaket tebal di gantungan baju dalam kamarnya. Ia bersiap untuk pergi mencari Ronald saat itu juga. "Aku akan pergi mencari suamiku, Man. Pikiranku sudah tak karuan rasanya dengan situasi ini," lanjut Alana sembari bergerak mengambil kunci mobilnya di nakas dekat garasi. "Nyonya! Ini sudah larut malam. Saya mohon jangan gegabah dan membahayakan diri anda sendiri!" larang Rahman yang khawatir akan terjadi hal yang lebih buruk saat Alana mencoba mencari suaminya. "Aku punya firasat buruk soal suamiku, Man. Dan aku tidak bisa lagi hanya bersabar dan menunggu Ronald pulang!" tegas Alana berkeras. "Nyonya, biar saya yang mencari keberadaan Tuan Ronald. Nyonya tenang saja di rumah. Tolong hubungi Tuan Prasodjo dulu, Nyonya. Siapa tahu Tuan Ronald sedang ada bisnis dengan paman bungsunya itu," u
Rahman menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Alana. Pria itu langsung mengenali mobil tersebut benar milik majikannya. "Ya, Nyonya. Itu adalah mobil Tuan Ronald," jawab Rahman serba salah. Sebagai sopir pribadi Ronald ada kode etik yang harus dijaga Rahman terhadap majikannya itu. Namun fakta di lapangan membuat Rahman tidak bisa menutupi semuanya dari Alana. Alana segera berlari ke resepsionis dan menanyakan kamar yang dipesan Ronal. Ia menunjukkan bukti bahwa Ronald sedang berdiri di meja resepsionis seperti mengorder kamar hotel. "Maaf, Bu. Kami tidak bisa memberikan informasi tamu hotel kami pada Ibu," tolak resepsionis hotel tersebut. Alana segera mengeluarkan sebuah kartu member Platinum dari beberapa jaringan hotel bintang lima di Indonesia. Kartu itu adalah sebuah tanda keanggotaan eksklusif yang membuat setiap pegawai hotel harus memberikan pelayanan ekstra pada pemilik kartu. "A-ah ... jadi Ibu adalah member Platinum ya. Se-sebentar saya carikan. Atas nama siapa, Bu?"
"Kau ini tidak tahukah bagaimana perasaanku? Aku ini istri dari pria yang bersimbah darah itu. Bagaimana bisa kau melarangku memastikan bahwa tubuh ini benar suamiku?" bentak Alana penuh kemarahan. Wanita itu segera maju untuk bergerak mengangkat bantal yang menutupi setengah tubuh Ronald. Ia ingin melihat benar sosok yang terbujur kaku di hadapan mereka itu adalah Ronald. Namun rupanya Rahman lebih cekatan. Pria itu segera maju mendahului Alana dan mengangkat bantal tersebut. Pemandangan yang selanjutnya mereka lihat sungguh membuat Alana syok hingga jatuh terduduk dan menangis meraung-raung. "Ro-ro ... Ronald! Itu suamiku, Man!" seru Alana terkejut. "Ronald, ka-kau! Apa yang kau lakukan di tempat ini? Mengapa sampai harus meregang nyawa seperti ini?" jerit Alana di sela isak tangisnya. Rahman mendekap tubuh sang Nyonya agar tidak bergerak menyentuh jasad sang suami yang sudah kaku dan membiru tersebut. Petugas hotel itu benar mereka tidak boleh menyentuh apa pun hingga polisi ti
Alana terbangun dengan kondisi kepala pening. Ia baru bisa tidur sebentar setelah salat subuh tadi. Sekarang tubuhnya terasa begitu berat.Untungnya ada asisten rumah tangga yang membantu Alana untuk menyiapkan kebutuhan anak-anak Alana. Jadi meskipun Alana tak turun tangan, anak-anak masih ada yang menyiapkan kebutuhan mereka sebelum berangkat sekolah. "Ronald," desis Alana sambil menahan air mata. Alana sebetulnya berharap, kejadian semalam hanyalah mimpi buruk saja. Namun sebuah panggilan telepon membuat Alana harus meyakini bahwa Ronald memang benar-benar mati terbunuh dengan sangat tragis."Dengan Ibu Alana?" sapa sang penelepon dengan sopan."Ya benar, Pak," jawab Alana sambil mengerjapkan mata."Bu Alana, bisakah Ibu ke kantor polisi segera untuk memberikan keterangan lebih lanjut? Kami membutuhkan itu untuk membuat BAP," jelas sang penelepon yang sepertinya dari kepolisian tersebut.Alana menghela napas berat sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan si penelepon. Seluruh d
"Aku sudah bilang pada Kak Lana. Aku ini Maria, istri kedua Mas Ronald!" tegas Maria tak gentar. Wanita muda berpakaian seksi itu terlihat berani menghadapi Alana yang terlihat gusar dan emosional. Maria justru lebih tenang dibanding Alana. "Mana buktinya kalau kau adalah istri kedua suamiku? Aku tak bisa mempercayaimu begitu saja," pinta Alana pada Maria. "Ada, aku punya bukti! Tunggu akan kutunjukkan pada Kak Lana!" tegas Maria sambil membuka ponsel smartphone miliknya dan mulai menggulirkan layar untuk mencari foto-foto yang menunjukkan kedekatannya dengan Ronald. Alana meremas jemarinya kesal. Belum juga reda kesedihan dan rasa penasaran atas kematian Ronald. Kini muncul masalah baru yang dibawa wanita bernama Maria itu. "Ini, lihatlah! Ini foto pernikahan siriku dengan Bang Ronald," ujar Maria kemudian. Alana memperhatikan layar smartphone milik Maria dengan saksama dan teliti, mencoba mencari kebenaran dalam deretan gambar digital di dalamnya. "Foto itu tidak menunjukka
Bab 7 "Halo, Bik. Saya masih repot di luar rumah. Ada apa ya?" tanya Alana menyapa. "Nyonya, ada situasi genting di rumah. Tuan Muda Milan mengamuk dan menghancurkan perabotan di ruang tamu," jelas sang asisten rumah tangga yang tengah menelepon Alana tersebut. "A-ada apa, Bik? Kenapa putraku melakukan itu?" tanya Alana seketika menjadi panik. "Tuan Muda Milan su-sudah tahu bahwa Tuan Ronald meninggal, Nyonya," jawab sang asisten rumah tangga terbata-bata. Alana melirik Rahman yang nampak kikuk berada di sampingnya. Pria itu seperti menunggu perintah dari sang Nyonya untuk bergerak. "Ya sudah, coba tenangkan Milan. Saya akan segera pulang," ujar Alana yang kemudian menutup telepon. "A-ada apa, Nyonya? Apa ada masalah?" tanya Rahman seolah bisa membaca gurat kekhawatiran di wajah Alana. Alana menghela napas berat sebelum memerintah Rahman untuk bertindak. Wanita itu terlihat lelah namun tak punya waktu untuk beristirahat. "Jalan, Man. Kita pulang ke rumah. Milan sudah tahu ba
"Lana sepertinya kau harus segera berangkat ke rumah sakit sekarang. Ada beberapa hal yang harus kau setujui sebelum jenazah Ronald bisa di bawa pulang," ujar Om Prasodjo sangat baik hati. "Oh ... apakah harus sekarang, Om? Saya masih akan menemani Milan makan siang dulu. Kebetulan ini Lana ada di rumah," sahut Alana meminta sedikit penundaan. "Baiklah kalau begitu. Tapi jika kau terlambat itu tandanya kau tak bisa melihat wajah suamimu untuk yang terakhir kali loh," jelas Om Prasodjo pada Alana. Alana jadi berpikir ulang untuk menunda-nunda lagi. "Baiklah, Om Pras. Lana segera berangkat ke sana saja. Bilang petugasnya untuk menunggu Lana dulu sebelum mengambil tindakan selanjutnya," ujar Alana sambil segera bersiap. "Mami mau ke mana? Katanya mau makan siang dengan Milan," protes Milan saat melihat Alana sudah akan pergi."Ada urusan yang sangat penting di rumah sakit, Milan. Mami harus segera ke sana untuk memberi persetujuan. Maafkan Mami tidak bisa menemanimu makan siang. Tap
"Om Pras, saya tahu Om adalah orang yang paling dekat dengan Mas Roanld. Mas Ronald juga banyak cerita tentang Om Pras. Jadi aku mohon jangan kejam padaku, Om," rengek Maria mencoba mencari simpati.Wanita itu lalu mulai menangis sesenggukan dengan bersimpuh di kaki Om Prasodjo. Om Prasodjo yang diperlakukan begitu oleh Maria jadi tak tega. Pria itu lalu mengangkat tubuh Maria. "Sudah, diamlah dulu. Urusanmu nanti akan aku pikirkan. Tapi untuk saat ini jangan mengacau, jangan mencari perhatian dengan dramamu dan jangan dulu muncul selama proses pemakaman Ronald," pinta Om Prasodjo pada Maria. "Om, saya ini istrinya. Bagaimana bisa Om berbuat demikian pada saya? Apa kalian memang bersekongkol untuk tidak mengakui saya sebagai istri kedua almarhum Mas Ronald?" protes Maria sambil beruraian air mata. "Wanita ini sepertinya memang sengaja tampil di saat kekacuan ini terjadi, Om. Kita suruh saja Rahman mengusirnya!" tegas Alana tak sabar. Wanita itu segera berdiri di antara Maria dan O