Pedro berjalan menyusuri koridor markas yang sepi, berkas misi itu masih tergenggam di tangannya. Langkahnya berhenti di ruangannya sendiri. Ia menjatuhkan diri ke kursi, menatap foto Nina di meja. Matanya kembali kepada kilau safir di leher perempuan itu. Ia mengangkat tangannya, tanpa sadar menyentuh bagian dadanya sendiri—tempat kalung yang selalu tersimpan di bawah pakaian. Ia menariknya keluar: liontin safir tua, sedikit tergores, tapi bentuknya identik dengan yang ada di foto. Pedro membalik liontin itu perlahan. Di baliknya, terukir samar satu kata: O’Meisceall. Jantung Pedro berdetak keras. "Apa...?" bisiknya pelan, matanya membelalak, napasnya tercekat. Tiba-tiba pintu diketuk, Marcus masuk. Sejenak ia terdiam memperhatikan boss sekaligus sahabatnya itu. “Belum pulang, Pedro?” tanya Marcus sambil duduk di sofa. Pedro menghela napas, alih-alih menjawab dia balik bertanya. “Apa Victor sudah balik?” “Sudah, baru saja,” jawab Marcus, tatapannya masih lekat pada sosok yang sudah dikenalnya sejak kecil.
“Ada apa Pedro, sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu, aku tidak pernah melihatmu seperti ini, apa misi kali ini terlalu berat, tapi apa yang aneh? Hanya seorang wanita, kan?“ Pedro tersenyum tipis, dia segera berdiri dan mengenakan mantelnya. “Tidak ada yang aneh, ayo balik, Avril pasti sudah menunggu sang pujaannya.” “Huh, kami sudah putus,” jawab Marcus sambil ikut berdiri. “Oops, dasar playboy recehan.”
Keduanya terkekeh, namun kemudian Pedro kembali terdiam. Ia menatap lurus pada Marcus. “Mark, besok siang aku akan menemu bibi Mayra. Tolong kamu standby di sini dan jangan beritahu siapapun. Kalau Victor tanya, bilang saja aku ada urusan pribadi sebelum berangkat ke New York, kamu pasti mengerti.” “Oke, aku ngerti,” jawab Marcus singkat, dan tanpa banyak tanya. Dia paham betul, jika Pedro ingin bertemu wanita itu dan melarangnya memberitahu Victor, pasti ada masalah penting terkait masa lalunya. Keduanya bergegas meninggalkan ruangan itu, dan kembali ke apartemen masing-masing. Setiba di kamarnya, Pedro langsung merebahkan diri ke tempat tidur. Diperhatikannya kembali kalung safir biru yang masih menyisakan misteri baginya. Pedro memperhatikan dengan lebih seksama ukiran di bagian belakang liontin safir miliknya. O’Meisceall....
Baru kali ini Pedro menyadari dan memperhatikan ukiran kecil itu, karena selama ini dia tidak pernah memperhatikannya secara khusus. Dia hanya menganggap kalau kalung itu adalah benda keberuntungannya, yang selalu menemaninya dalam menjalankan setiap misi-misinya. Lalu, apa hubungannya dengan nama keluarga bangsawan yang akan menjadi targetnya itu? Siapa wanita yang juga memakai kalung dengan liontin safir biru yang unik itu? Mengapa kalung dengan ukiran O’Meisceall ada padanya?
Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di benaknya, hingga Pedro merasa sulit memejamkan mata. Dia harus mencari tahu mengenai kalung itu. Dan kemungkinan yang tahu adalah bibi Mayra selain Victor sendiri.
Jauh di dalam hatinya, Pedro merasakan hal yang ganjil. Dia merasa misteri ini terkait masa lalunya yang memang ingin dia tahu. Selama ini dia tidak pernah tahu orang tuanya, seakan dia ada begitu saja dan terlempar dari langit. Yang dia tahu hanya bibi Mayra yang merawat dan mengurusnya sejak kecil, dan Victor yang mendidiknya dengan sangat keras dan kejam.
Pernah di satu waktu Pedro bertanya mengenai siapa orang tuanya, tapi baik Mayra ataupun Victor tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskannya. Bahkan Victor dengan tegas membentaknya agar tidak menanyakan soal keluarga.
"Untuk apa kau bertanya soal orang tua Pedro? Siapa yang membesarkanmu itulah keluargamu yang harus kau patuhi dan kau letakkan loyalitasmu sepenuhnya. Aku tidak mau dengar pertanyaan bodoh itu lagi!"
Victor menjawab dengan dingin dan tatapan mengerikan saat Pedro bertanya tentang orang tuanya. Sejak saat itu, Pedro tidak pernah bertanya lagi. Keesokan harinya, Pedro melajukan jeep kesayangannya ke sebuah rumah di pinggiran kota. Rumah yang tidak asing baginya, karena di sana dia pernah dibesarkan. Seorang wanita paruh baya menyambutnya hangat. “Apa kabar, bi?” tanya Pedro sambil merangkul wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya itu. “Baik, Pedro. Wah mimpi apa aku, jagoan rupawan ini mau datang ke mari.” Pedro terkekeh mendengar jawaban Mayra, wanita yang telah mengasuhnya sejak kecil. “Maaf, bi. Aku sibuk, misi yang diberikan Victor tiada habisnya.” Pedro duduk di sofa, di samping wanita itu. “Nanti malam aku akan berangkat ke new York, makanya aku ke mari mau berpamitan sekalian menanyakan sesuatu....” “Apa? New York?” potong Mayra. Pedro tertegun melihat reaksi wanita di hadapannya, yang terkejut seperti melihat hantu. “Kenapa, bi? Ada apa dengan New York memangnya?” “Ah, tidak apa-apa,” jawab Mayra sambil tersenyum, namun Pedro yang memiliki analisa tajam bisa melihat sesuatu yang disembunyikan wanita itu. “Apa terkait misi dari Victor?” “Benar, memburu dan membunuh seorang wanita bangsawan di New York, Nina Wilson O’Mesceal.” “Apa…?!” Mayra tercekat, wajah wanita itu menjadi pucat, ia gemetar hingga cangkir yang dipegangnya terjatuh. “Kamu kenapa, bi?” tanya Pedro heran, “Apa kamu mengenal wanita itu?” Mayra menghela napas panjang, ia mencoba tersenyum untuk menetralkan kegugupannya. “Tidak ada, tentu aku tidak mengenal wanita itu. Belakangan pikiranku memang kurang baik, terobsesi dengan film yang aku tonton.” “Bi, tolong jawab dengan jujur pertanyaanku!” Kali ini, Pedro berkata dengan tegas dan sedikit dingin, jika sudah begitu Mayra tidak bisa berkutik. Dia kembali duduk sambil mengangguk. “Apa yang ingin kau tanyakan, Nak?” Pedro mengeluarkan kalung safir biru dari kantong jaketnya. “Bi, tolong jelaskan padaku mengenai kalung ini? Kamu pasti tahu, asal usul kalung ini.” Mayra membeku menatap kalung di genggaman Pedro. Pikirannya kembali mengembara ke masa-masa dua puluhan tahun lalu. Bibir wanita itu bergetar. “Kalung itu….” Tiba-tiba ponsel Pedro berdering, satu panggilan yang tidak mungkin dia tolak, Victor. “Shit!” gerutu Pedro kesal sebelum akhirnya dia menjawab panggilan itu. “Pedro, dengar. Kamu harus segera kembali ke markas, ada hal penting yang harus kita diskusikan sebelum berangkat. Dan keberangkatan ke New York dimajukan lebih cepat. Sudahlah, lupakan gadis-gadismu itu, nanti di New York kamu akan dapat yang jauh lebih cantik dan seksi.” Pedro mendengus, sedangkan Victor terkekeh di ujug sana. Dia mengira jika Pedro sedang menghabiskan waktu dengan para gadis, sesuai laporan Marcus. “Oke, aku segera ke markas.” Pedro segera menyimpan kalungnya, ia berdiri dan kembali menatap wanita yang masih terlihat ketakutan. “Bi, aku berangkat. Ingat, kau masih punya hutang untuk menceritakan semuanya.” Tanpa menunggu jawaban Mayra, Pedro bergegas meninggalkan wanita itu. Ia masuk ke mobilnya dan diam sejenak. Dimainkannya kembali kalung safir di genggamannya.
"New York, huh…" gumamnya lirih. Namun dibalik ekspresi datarnya, pikirannya kacau—nama itu, kalung itu dan sikap aneh bibi Mayra, semuanya menyisakan misteri besar yang harus dia ungkap.
"Nina Wilson O'Meiseall, siapa sebenarnya dirimu? Jika engkau adalah bagian dari masa lalu yang kubenci, maka aku sendiri yang akan mengakhiri."
Pedro segera mengenakan kalung keberuntungannya itu dan menyimpannya di bawah bajunya. Ia bergegas melajukan mobilnya kembali ke markas Victor, dimana mereka menunggunya untuk segera berangkat ke New York.
“Hallo, siapa ini—”“Malam, Liv. Apa aku mengganggu?” terdengar jawaban seorang wanita di ujung sana.“Ini dengan….”“Vla. Apa kamu tidak mengenali suaraku?”“Oh, iya. Aku memang baru menebak kamu. Kamu dan Pedro sudah sampai di tempat?”“Ya, ini lagi santai juga. Kamu belum tidur? Apa aku mengganggu?”“Oh nggak. Sama sekali nggak mengganggu kok, Vla. Santai aja.”“Uhm, gini Liv. Aku ingin ketemu sama kamu, berdua aja. Tapi ini rahasia, hanya kita berdua.”“Rahasia? Apa sangat penting?”“Ya sangat penting. Tapi kamu harus janji dulu untuk merahasiakan ini, termasuk pada kedua orang tuamu. Apa kamu bisa?”“Hmm, oke. Tapi soal apa?”“Nanti akan aku jelaskan. Yang penting kamu atur supaya pengawalmu juga tidak tahu.”Livy terdiam sejenak. “Kalau di kampusku bagaimana? Biasanya mereka nggak masuk kedalam. Kita bisa ketemu di taman belakang kampus.”“Oke, aku setuju.”Setelah berbincang-bincang ringan keduanya pun menutup panggilan. Livy tertegun, rahasia apa yang dimaksud Vla? Mengapa ked
Pedro menatap Vla dengan penuh rasa penasaran. Sesuatu yang sudah lama ingin dia tanyakan, namun selalu terbentur hal-hal lain yang lebih mendesak.“Jangan sembunyikan apapun dariku, Vale.”Vla tersenyum, dia kembali menyesap kopinya. “Aku tidak akan menyembunyikan apapun darimu, Pedro. Bukankah kita sudah berjanji untuk saling terbuka satu sama lain dan tidak ada hal apapun yang kita sembunyikan?”Vla menatap sekeliling, lalu berdiri dan menarik tangan Pedro. Keduanya pun pindah ke kamar. “Maaf Pedro, ini sangat penting dan rahasia. Aku hanya mengantisipasi dari dinding bertelinga.” Vla berbisik. Pedro mengangguk, ia duduk di sofa. “Di kamar ini aman, tidak ada yang bisa masuk, tidak juga Victor. Karena aku selalu menguncinya.”Vla melangkah ke jendela, menatap kelap-kelip pemandangan kota di kejauhan. Cukup lama terdiam sebelum akhirnya dia berkata pelan. “Sebenarnya nama Lucas adalah Antonio Luca Russo.”Pedro mengernyitkan kening, mencoba mengingat. “Russo? Apa hubungannya dia d
Pedro segera melempar wig dan mencuci wajahnya dari make-up tebal yang terasa seperti topeng. Ia juga segera mengganti pakaian yang menggelikan itu.“Huh, akhirnya wajahku bisa terbebas dari makeup menjijikkan itu,” ujar Pedro lega, dia segera ke pantry untuk membuat kopi.Vla hanya tersenyum melihat sikap Pedro. “Makeup kok menjijikkan, itu kan bisa membuat wajah cantik dan menutupi kekurangan.”Pedro menoleh pada Vla. “Iya kalau makeup yang normal dan yang memakai wanita. Kalau tadi, aku sudah seperti mayat hidup.” Ia terdiam sebentar dan menatap Vla. “Sana bersihkan makeup horormu itu. Bibirmu malah jadi hitam gitu, seperti hantu.”Vla terkekeh mendengar ucapan Pedro, namun dia segera ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya.Tidak lama berselang Vla keluar dengan wajah yang sudah bersih, dia juga sudah mengganti bajunya dengan pakaian santai. Pedro sedang duduk di sofa sambil menikmati kopi.“Nah begini lebih baik, lebih fresh lebih menggairahkan, dibanding tadi seperti zombie.”
“Apa? Rencana apa, Vale?”Pedro menatap Vla penuh tanda tanya. Nadanya terdengar mendesak, seolah ia takut Vla akan menahan sesuatu darinya.Vla menghela napas, kemudian duduk lebih dekat, menatap Pedro dengan serius. “Rencanaku sederhana, Pedro. Kita harus bicara langsung dengan Livy. Tentu bukan dalam pertemuan biasa, melainkan untuk menyocokkan kalung kalian berdua. Dari sana, kita bisa lanjut ke tahap berikutnya—tes DNA. Diam-diam. Tidak ada yang tahu, bahkan Nathan dan Nina sekalipun.”Pedro menegang. Kata-kata itu seolah menohok tepat di dadanya. “Tes DNA? Vale… apa kau tahu apa risikonya? Kalau ternyata aku bukan Oliver, apa yang akan terjadi? Bagaimana dengan Livy? Dia mungkin akan kecewa, atau bahkan membenciku karena sudah menaruh harapan.”Vla menggeleng, ekspresinya penuh keyakinan. “Justru sebaliknya. Kalau memang bukan, maka rasa penasaranmu akan berhenti. Kamu tidak akan terus dihantui kemungkinan yang tak berujung. Dan bagi Livy, dia akan mengerti bahwa semua ini hanyal
“Putar arah, kita ke Hudson Yards Hotel.” Vla memberikan intruksi kepada sopir. Ucapan Vla mengejutkan dan membuyarkan lamunan Pedro.“Ada apa? Bukannya harusnya kita ke Broklyn?” tanya Pedro heran.Alih-alih menjawab Vla menatap rear vision mirror, Pedro mengikuti arah tatapan Vla. Seketika wajahnya menjadi serius sambil terus melihat. Dari spion dalam itu, jelas terlihat gerak-gerik mobil di belakang yang mencurigakan.“Ada yang membuntuti kita,” gumam Pedro pelan. Vla mengangguk. “Mereka sudah mengikuti begitu kita keluar dari N&N Hotel.”“Hmm, berarti banyak yang pasang mata saat kita di gala tadi,” sahut Pedro, matanya menyipit namun tak berpindah dari spion itu. “Kita jebak, dan cari tahu siapa mereka.”“Tidak perlu,” sahut Vla sambil tersenyum.“Maksudmu,” tanya Pedro menatap Vla.“Mereka hanya orang-orang yang penasaran tentang siapa sebenarnya kita, terutama kamu. Kemunculanmu dan OIL malam ini cukup membuat banyak pihak yang penasaran.”“Hmm, jadi kita akan menginap di hote
"Pedro, maukah kamu menjadi kakakku?" tanya Livy sambil menatap Pedro. Tatapannya sendu, penuh luka dan kerinduan, matanya berkaca-kaca. Ada gumpalan awan yang siap tumpah di kedua mata cantik kehijauan itu.Pedro dan Vla terkejut mendengar perubahan sikap Livy. Pedro merasakan hantaman besar di dadanya, bukan hanya karena ucapan Livy tapi melihat gadis itu yang terlihat merasakan kesedihan dan luka yang dalam. Entah mengapa hatinya merasakan sakit dan teriris.“A-apa? Kamu bercanda, Liv. Aku Pedro bukan Oliver kakakmu.” Pedro menjawab dengan gugup, namun dia segera mengalihkan tatapannya ke arah lain, merasa tidak sanggup jika menatap wajah cantik yang sedang menatapnya dengan penuh kesedihan dan harapan.“Aku tahu. Aku tidak peduli siapa kamu. Tapi, hatiku mengatakan kalau kamu mirip Ollie.” Livy terdiam sejenak, matanya tak lepas dari menatap Pedro, meskipun Pedro telah membuang pandangannya. “Dan, secara fisik, kamu mirip daddy sewaktu muda.”Pedro menegang, ia mengepalkan tangann