LOGINLondons Docklands
Hujan tipis menetes di dermaga London yang sunyi. Lampu gudang tua berpendar redup, menyorot sosok tegap yang berdiri mematung. Pedro, 24 tahun, tampan, nyaris sempurna—garis wajah tegas warisan sang ayah, mata kehijauan tajam khas keluarga O’Meisceall, dan rambut coklat terang berkilau basah di bawah lampu jalan. Ketampanannya memancarkan aura bangsawan, tapi tatapan dinginnya mematikan, mencerminkan didikan keras dunia kelam.'Berapa banyak darah lagi yang harus kutumpahkan?' Pedro membanthin. Malam ini dia kembali akan memimpin misi berdarah yang ditugaskan oleh Victor. Nama yang selalu membawa tekanan. Sebuah nama yang disembah dengan ketakutan, tapi tak pernah dipahami siapa sosok di baliknya. Sore tadi Victor memanggil Pedro. Seperti biasa, ia duduk santai di kursi kulit, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan meja, nada yang selalu menandakan pikirannya sedang menghitung sesuatu. "Target bergerak malam ini," suara Victor terdengar dalam, tenang namun menusuk. "Aku ingin kau yang memimpin tim. Tak ada kesalahan, Pedro. Kau tahu konsekuensinya." Pedro mengangguk sekali. "Aku sudah memetakan rute keluar-masuk. Dua orang di pintu depan, satu di atap. Aku ambil target langsung." Victor mencondongkan tubuh, matanya yang gelap menatap Pedro tajam. "Bagus. Itulah kenapa aku memercayaimu." Bibirnya melengkung tipis, namun senyuman itu tak pernah terasa hangat. "Kau berbeda dari yang lain. Disiplin. Efisien. Kau... seperti anakku sendiri." Ucapan Victor itu seharusnya memberi rasa bangga pada Pedro. Tapi entah kenapa, dada Pedro terasa sesak sejenak. Dia selalu merasakan kegelisahan yang dia sendiri tak mengerti. Dia tidak pernah gagal dalam menjalankan misi, tapi ada rasa hampa yang ia rasakan dari dalam dirinya. Victor berdiri, meraih mantel panjangnya. "Bawa dia hidup-hidup. Aku ingin dia bicara sebelum kita—" Ia berhenti, menatap Pedro seolah membaca pikirannya. "Kau tampak melamun. Ada masalah?" Pedro menggeleng cepat. "Tidak, Victor. Fokus aku penuh pada misi." "Bagus," Victor menepuk bahunya—gerakan yang terasa lebih seperti tanda kepemilikan daripada kasih sayang. "Ingat, dunia ini penuh pengkhianat. Satu-satunya keluarga yang bisa kau percayai adalah yang kau pilih sendiri. Dan aku memilihmu." Pedro menahan rahang yang mengeras, hanya mengangguk sekali lagi. "Aku tidak akan mengecewakanmu." Victor tersenyum puas. "Pergilah. London menunggu darah baru malam ini." Pedro berbalik, langkahnya mantap keluar ruangan. Di dalam dadanya, sesuatu berdenyut—bukan rasa takut, tapi sekali lagi, sebuah kegelisahan yang tidak bisa ia jelaskan. "Tim siap di posisi masing-masing, target ada di dalam. Kau yakin mau sendiri?" ujar Marcus membuyarkan lamunan Pedro. Ia muncul dengan tergesa- tergesa dari balik gudang, napasnya terengah-engah. Pedro hanya melirik dingin, bibirnya melengkung tipis. "Aku tidak butuh bantuan.” Dengan tenang Pedro melangkah masuk. Dan dalam sekejap, gudang berubah jadi medan maut. Gerakannya cepat, presisi, penuh perhitungan. Satu demi satu penjaga bersenjata jatuh tanpa sempat melawan. Pistol berperedamnya menyalak tenang, dingin, seolah membunuh hanyalah rutinitas. Seorang pria tersudut ketakutan, gemetar di sudut gudang. Pedro menodongkan pistol ke pelipisnya. "Tunggu! Jangan bunuh aku!" Pedro tersenyum dingin, "Salahmu adalah menyebut nama Victor di kota ini." Satu tembakan sunyi. Pria itu ambruk. Pedro memutar pistolnya santai, lalu memasukkannya ke dalam sarung kulit. Di luar gudang, Marcus menunggu dengan info baru. "Ada misi baru dari Victor. Target berikut: Nina Wilson O’Miesceall.” Pedro berhenti. Jemarinya mengepal. Nama itu… entah kenapa, seperti gema samar di pikirannya. "Nina Wilson…O'Meisceall…?" gumam Pedro seperti bertanya pada dirinya sendiri. “Ada masalah?” tanya Marcus curiga. Pedro menatap bayangan dirinya di kaca mobil hitam di depannya. Mata hijau bangsawan, wajah dingin nyaris sempurna—seolah bayangan seseorang yang tak pernah ia kenal, tapi terasa… familiar. Pedro tersenyum tipis, menutupi ragu. "Tidak. Ini hanya pekerjaan," jawabnya santai. Ia masuk ke mobil yang melesat di bawah langit London, dan tenggelam dalam kabut malam yang menutup banyak rahasia. Hujan masih menetes dari atap markas ketika Pedro masuk kembali ke ruangan Victor untuk melapor. Bau logam senjata dan asap rokok bercampur di udara. Luka tipis di pelipisnya masih berdarah, hasil baku tembak di pelabuhan tadi, tapi dia tidak mempedulikannya. Victor berdiri menghadap jendela, siluetnya terpantul di kaca. "Kerja bagus malam ini," ucapnya tanpa menoleh. "Kau membuat mereka gemetar hanya dengan satu langkahmu." Pedro menjawab datar, "Target utama sudah diamankan. Tim menunggu perintah lanjutan." Victor berbalik perlahan, menyeringai tipis. "Tinggalkan sisanya pada anak buahmu. Ada misi lain menunggu. Lebih… istimewa." Ia melemparkan sebandel berkas di meja. Pedro meraihnya, membuka perlahan. Foto seorang perempuan cantik dengan rambut cokelat terang dan mata hazel menatap balik. Elegan, berkelas, dengan senyum yang anehnya terasa hangat… ada sensasi samar, bergetar dalam dada Pedro yang membuat napasnya tertahan sejenak. "Siapa dia?" tanya Pedro, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya. "Nina Evans Wilson O’Meisceall," jawab Victor dingin. "Pengusaha sukses di New York. Istri Sir Nathan Wilson O’Meisceall. Pasangan bangsawan kaya yang terlalu banyak menarik perhatian media dan politik." Pedro mengerutkan kening. "O’Meisceall?" Nama itu seperti memicu gema samar di kepalanya. Pernah ia dengar entah di mana, tapi tak pernah bisa mengingat jelas. Victor mengangguk, berjalan mendekat. "Nama keluarga tua Irlandia Utara. Nathan mendapat gelar Sir, sementara Nina dianugerahi gelar Lady Alice O’Meisceall. Lihat ini—" Ia menarik foto lain dari berkas: Nina sedang menghadiri acara amal, kalung safir berkilauan di lehernya, liontinnya berbentuk unik. Pedro menatap foto Nina lebih lama, matanya tak bisa lepas dari senyum lembut perempuan itu. Entah kenapa, ada rasa aneh—seolah bagian kecil dirinya ingin melindunginya, bukan memburunya. Dan ada sesuatu yang tak asing—kilau safir itu, bentuk liontinnya. "Kalung itu terkenal," ujar Victor pelan, memperhatikan ekspresi Pedro. "Katanya di balik liontin safir itu terukir nama keluarga O’Meisceall. Lambang darah bangsawan mereka." Pedro kembali menahan napas tanpa alasan yang jelas. Gambaran samar muncul di pikirannya: sepasang tangan wanita yang menimang bayi… dan kilau safir biru di dekat matanya."Kau terlihat terganggu," suara Victor memotong lamunan Pedro.
Pedro segera memulihkan ekspresinya. "Tidak. Apa instruksinya?" "Aku ingin dia dipantau dulu," lanjut Victor, suaranya dingin. "Lihat jadwalnya, rutinitasnya. Kalau perlu… dekati dia. Pastikan dia tak sempat melawan." Pedro menggenggam berkas itu, mencoba menyingkirkan rasa ganjil yang mengganggunya. "Baik.” Victor menepuk bahunya lagi. "Jangan kecewakan aku, Pedro. Ingat siapa yang membesarkanmu. Sekarang kamu istirahat dulu, besok malam kamu akan berangkat ke New York.” Pedro hanya mengangguk, tapi ketika ia berbalik dan keluar ruangan, nama itu kembali bergema di pikirannya: O’Meisceall….Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa misi ini lebih rumit daripada sekadar perintah.
“Miss Wilson?” tanya seorang pria tinggi kekar di depan pintu menuju lorong. Ia adalah security kampus yang sedang berpatroli dan mengenali Livy. “Anda dari mana, Miss? Tidak masuk kelas?” “Oh, dari taman. Aku sedikit penat, jadi cari udara segar sebentar sebelum lanjut ke studio.” Livy menjawab dengan tenang sambil tersenyum. Security guard itu mengangguk dan memberikan jalan padanya. Livy segera melangkah menyusuri lorong menuju studio seni tempat ia dan teman-temannya melukis. Dia mengeluarkan id card khusus sebagai akses masuk ke ruangan itu.Sementara itu, Pedro dan Vla melanjutkan tujuan mereka ke sebuah lab swasta yang sudah dipercaya oleh Vla. Pedro masih terdiam, tidak banyak berbicara. Pikirannya masih berusaha untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.Tidak lama berselang, mereka pun tiba di sebuah area yang belum terlalu ramai. Di kiri kanan jalan itu berderet ruko-ruko dan cafe yang biasanya mulai ramai pengunjung saat menjelang sore hingga malam hari.
Vla menarik napas panjang, dia berusaha menetralkan dirinya. Apa pun kebenarannya dia harus tenang dan siap, untuk mendukung kekasihnya. Sedangkan Livy nampak semakin bingung, namun dia sudah mulai bisa menangkap apa yang sedang dilakukan Vla dan pedro. Jauh di dalam hatinya ada sesuatu yang bergetar, benarkah Pedro adalah Oliver?“Liv, apakah semua kalung yang kalian miliki sama? Maksudku kalungmu, kakakmu dan juga kalung ibu dan pamanmu?”“Ya, sama.” Livy mengangguk.“Ada ukiran dan lambang O’Meisceall di belakang liontinnya?”“Ya,” jawab Livy lagi. Ia menatap Vla dan Pedro bergantian, keduanya terlihat tegang. Meskipun Pedro membelakanginya, dia bisa melihat ketegangan lelaki itu. Livy gadis yang cerdas, dia bisa membaca dan meraba apa yang sebenarnya terjadi.“Vla, tolong jelaskan dengan jujur. Apa arti semua ini? Mengapa kamu membawaku ke mari? Apakah orang yang kamu maksud….”“Ya, Liv.” Vla memotong ucapan Livy. Dia berdiri lalu mendekati Pedro dan menepuk bahunya dengan lembut.
“A-apa? K-kakakku…?” tanya Livy tergagap, dia menatap Vla dengan heran. “Apa kamu tahu di mana Oliver berada?”“Untuk persisnya aku belum tahu, tapi kita akan mencari tahu.” Vla menjawab diplomatis yang membuat Livy semakin linglung.“Maksudmu bagaimana, Vla? Kok aku tambah penasaran.”Vla menghela napas, ia meluruskan posisi duduknya. “Kamu sangat ingin mencari keberadaan kakakmu, kan?”“Ya,” jawab Livy cepat.“Aku tidak tahu orang itu benar-benar kakakmu atau bukan. Makanya aku ingin kamu memvalidasinya.”“Tolong katakan yang jelas, Vla. Orang itu siapa dan di mana?” Livy menjadi sedikit gugup. Dia menoleh ke kanan dan kiri, namun tidak ada siapa-siapa di sana selain mereka berdua.“Tenang, Liv. Dia tidak ada di sini. Aku akan mempertemukanmu dengannya, tapi….”“Tapi apa, Vla?” potong Livy tak sabar.Vla kembali memutar tubuhnya menghadap Livy. “Ada syaratnya, Liv.”“Syarat? Apa maksudmu? Tolong jangan membuatku bingung, Vla.”“Oke. Aku akan mempertemukanmu dengannya. Tapi apapun ha
“Hallo, siapa ini—”“Malam, Liv. Apa aku mengganggu?” terdengar jawaban seorang wanita di ujung sana.“Ini dengan….”“Vla. Apa kamu tidak mengenali suaraku?”“Oh, iya. Aku memang baru menebak kamu. Kamu dan Pedro sudah sampai di tempat?”“Ya, ini lagi santai juga. Kamu belum tidur? Apa aku mengganggu?”“Oh nggak. Sama sekali nggak mengganggu kok, Vla. Santai aja.”“Uhm, gini Liv. Aku ingin ketemu sama kamu, berdua aja. Tapi ini rahasia, hanya kita berdua.”“Rahasia? Apa sangat penting?”“Ya sangat penting. Tapi kamu harus janji dulu untuk merahasiakan ini, termasuk pada kedua orang tuamu. Apa kamu bisa?”“Hmm, oke. Tapi soal apa?”“Nanti akan aku jelaskan. Yang penting kamu atur supaya pengawalmu juga tidak tahu.”Livy terdiam sejenak. “Kalau di kampusku bagaimana? Biasanya mereka nggak masuk kedalam. Kita bisa ketemu di taman belakang kampus.”“Oke, aku setuju.”Setelah berbincang-bincang ringan keduanya pun menutup panggilan. Livy tertegun, rahasia apa yang dimaksud Vla? Mengapa ked
Pedro menatap Vla dengan penuh rasa penasaran. Sesuatu yang sudah lama ingin dia tanyakan, namun selalu terbentur hal-hal lain yang lebih mendesak.“Jangan sembunyikan apapun dariku, Vale.”Vla tersenyum, dia kembali menyesap kopinya. “Aku tidak akan menyembunyikan apapun darimu, Pedro. Bukankah kita sudah berjanji untuk saling terbuka satu sama lain dan tidak ada hal apapun yang kita sembunyikan?”Vla menatap sekeliling, lalu berdiri dan menarik tangan Pedro. Keduanya pun pindah ke kamar. “Maaf Pedro, ini sangat penting dan rahasia. Aku hanya mengantisipasi dari dinding bertelinga.” Vla berbisik. Pedro mengangguk, ia duduk di sofa. “Di kamar ini aman, tidak ada yang bisa masuk, tidak juga Victor. Karena aku selalu menguncinya.”Vla melangkah ke jendela, menatap kelap-kelip pemandangan kota di kejauhan. Cukup lama terdiam sebelum akhirnya dia berkata pelan. “Sebenarnya nama Lucas adalah Antonio Luca Russo.”Pedro mengernyitkan kening, mencoba mengingat. “Russo? Apa hubungannya dia d
Pedro segera melempar wig dan mencuci wajahnya dari make-up tebal yang terasa seperti topeng. Ia juga segera mengganti pakaian yang menggelikan itu.“Huh, akhirnya wajahku bisa terbebas dari makeup menjijikkan itu,” ujar Pedro lega, dia segera ke pantry untuk membuat kopi.Vla hanya tersenyum melihat sikap Pedro. “Makeup kok menjijikkan, itu kan bisa membuat wajah cantik dan menutupi kekurangan.”Pedro menoleh pada Vla. “Iya kalau makeup yang normal dan yang memakai wanita. Kalau tadi, aku sudah seperti mayat hidup.” Ia terdiam sebentar dan menatap Vla. “Sana bersihkan makeup horormu itu. Bibirmu malah jadi hitam gitu, seperti hantu.”Vla terkekeh mendengar ucapan Pedro, namun dia segera ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya.Tidak lama berselang Vla keluar dengan wajah yang sudah bersih, dia juga sudah mengganti bajunya dengan pakaian santai. Pedro sedang duduk di sofa sambil menikmati kopi.“Nah begini lebih baik, lebih fresh lebih menggairahkan, dibanding tadi seperti zombie.”







