MasukDaisha menahan keras suara desahnya, bahkan sekadar lenguhan pun tidak dia biarkan lolos. Tak mau terkesan menikmati saat cara Garda mendatanginya tidak seperti di malam pertama yang Daisha kagumi. Kali ini berbeda, sangat.
Cengkeramannya di sprei kian menguat. Daisha memalingkan wajah. Baru kali ini dia ingin rungunya tak berfungsi, karena bunyi perjumpaan kulit yang dihantam-hantam tak ada unsur mesra. Daisha pejamkan mata, tak mau melihat bagaimana raut Garda detik ini. Tak mau meninggalkan jejak buruk dari yang namanya bercinta. Meski dulu pernah disenggama, tetapi Daisha tak pernah benar-benar tahu bagaimana kejadiannya. Garda masih yang pertama walau bukan si nomor satu. Ah, ya ... bukankah Daisha pernah bilang bahwa dirinya dilecehkan oleh si peneror? Daisha sudah jujur satu poin kepada suaminya di subuh itu. Sayangnya, karena ketidakjujuran di awal, kejujuran Daisha diragukan. Karena sempat menutupi, keterbukaan Daisha tidak mudah dipercayai. Lantas, yang Garda lakukan sekarang adalah buah dari kepercayaannya yang sudah Daisha cabik-cabik. Betul? Jadi, biarkan penyatuan ini berlangsung tanpa Daisha paksa rampung. Biarkan Garda bertingkah sepuas hati, Daisha ikhlas walau tidak menikmati. Daisha rasa Garda sangat berhak sekali pun menggoreskan kaca di lembar perasaannya. Membuat robek keping hati Daisha, Garda punya keistimewaan itu. Karena Daisha bahkan sudah lebih dulu mengoyak hati Garda. Benar demikian? Suara geraman lelaki itu lantas terdengar jelas, bahkan iringan decap erotis yang dihasilkan dari pertumbukan kulit. Sangat berisik. Garda menumbuknya dengan cepat. Tubuh Daisha mengikuti irama entakannya, tak bisa dia tahan-tahan agar tetap geming. Hanya suara dari mulutnya yang bisa Daisha kendalikan, meski sampai menggigit kuat-kuat bibir bagian dalam. Tidak mau. Daisha tak mau terbaca menikmati persetubuhan dengan cara yang semerendahkan ini walau dia memberikan izin. Akan jadi serendah apa lagi nanti dirinya di mata suami? Hingga kini ... Daisha mendapati dirinya terdampar cukup hina di kasur, di dalam kamar utama, yang baru saja Garda tingkahi. Lelaki itu sudah pergi tadi, bahkan di saat jutaan sel calon anak bangsa dimuntahkan di atas perutnya. Daisha menutup mata dengan lengan, masih tak tertutup sehelai benang, sementara Garda langsung mengenakan celananya kembali yang memang tidak benar-benar dia lepaskan sepanjang memesrai. Memesrai? Sepertinya bukan, ya? Daisha tidak merasa Garda mesra tadi, meski tubuh satu sama lain saling dipertautkan. Daisha bangun, diraihnya tisu, dia bersihkan perutnya. Lepas itu, dia ambil handuk yang teronggok di lantai. Kembali mandi. Di bawah guyuran air, Daisha tercenung. Menanyakan pada hati, pilihannya untuk bertahan dan mengembalikan kehangatan rumah tangga apa hanya karena cinta? Tidak. Ini sudah bukan lagi tentang cinta. Kalau hanya cinta yang Daisha emban, mungkin mundur dan menyudahi adalah putusan yang bisa diambil dengan mudah saat kata 'murahan' keluar dari lisan Garda. Dilemanya tidak sesederhana itu. Bukan hanya soal cinta. Lalu apa? Daisha basuh tubuhnya dengan sabun, tetapi masih merasa kotor walau kemudian sudah dia bilas. Bertahan untuk apa? Memerjuangkan kehangatan rumah tangga atas dasar apa? Citra orang tua? Tapi bukan cuma itu. Di sisi lain, Daisha merasa pantas mendapatkan kekecewaan Garda lebih daripada yang sudah-sudah. Sisi lainnya lagi, kalaupun bercerai detik ini, apa bisa menjamin hidupnya tidak lebih 'neraka' daripada yang sekarang? Daisha mengukur batas kesanggupan. Untuk saat ini, dia akan menganggap semua yang terjadi kini adalah risiko dari pilihan yang dia ambil. Pilihan apa memang? Menikah. Menutupi ketidaksempurnaan dengan sempurna hingga menjadi rahasia menahun. Jadi, mundur dan bercerai untuk sekarang adalah pilihan dalam daftar solusi paling akhir. Daisha ingin berbenah dulu, alih-alih melarikan diri dan menghadirkan neraka yang baru. Sekalian, anggap saja Daisha sedang membunuh cinta yang tumbuh itu. Dan ... anggap sedang menebus kekecewaan di diri pria sebaik suaminya. Sampai tiba jam makan malam, Daisha keluar. Pas sekali. Melihat Garda, Daisha senyumi. "Mau makan di luar, Kak?" Tatapan pria itu tidak bisa Daisha definisi. "Iya." Daisha mengangguk. Dia melenggang ke dapur. Terdengar suara motor meninggalkan pekarangan. Daisha meneguk air minumnya, lalu mengulum bibir. Apa yang terjadi sore tadi seolah tidak pernah terjadi. *** Keesokan harinya .... "Aku mau kerja, Kak." Bagaimanapun Garda masih suaminya. Daisha bukan minta izin memang, lebih kepada menginformasi langkah baru yang akan dia mulai. "Uang nafkah nggak cukup?" Begitu jawaban suami. Daisha menggeleng. "Aku pengin punya kesibukan." "Urus rumah aja. Itu juga bisa bikin kamu sibuk." "Nanti aku pekerjakan ART, aku mau sibuk yang lain." Tatapan Garda jatuh tepat di mata Daisha. "Kalo cuma pengin sibuk, urus rumah udah sibuk. Tapi kamu bahkan mau ngelimpahin urusan itu ke ART, dan kamu justru pengin cari kesibukan lain. Garis bawahi, intinya kamu pengin punya kegiatan di luar?" "Aku—" "Jawabannya cuma iya atau nggak," pangkas Garda. Daisha diam sesaat sebelum menjawab, "Iya." Biar cepat. Dan kalian tahu? Satu sudut bibir Garda terangkat. "Bener juga. Dulu, kan, kamu aktivis, ya? Jadi kalau cuma berkegiatan di rumah, mana betah." Itu benar, tetapi nada suara Garda saat mengatakannya terkesaan mencemooh. Atau hanya perasaan Daisha saja? Dia merasa kata 'aktivis' di sini bukan bermakna sekeren itu, tetapi sejenis ... apa, ya? Seolah memberi kesan 'cewek liar' alih-alih sosok perempuan aktivis. "Tapi sekarang nggak usah neko-neko." Garda teguk air minumnya. "Kamu diem di rumah aja. Banyak hal yang bisa bikin kamu sibuk tanpa harus dicari." Daisha menatap wajah putra Mama Gea. Ini Kak Garda yang dia kenal dulukah? Tentunya bukan, ini sosok Garda yang sudah Daisha buat hancur respeknya, kepercayaannya, dan hatinya. "Di luar kerja, di rumah juga kerja. Kalo kamu mau kerja, ya, kamu urus rumah aja kayak biasa. Sama kayak kesibukan. Di rumah juga kamu bakal sibuk." Oke, ralat. "Lebih tepatnya, aku mau menghasilkan uang sendiri." "Oh, iya. Yang kemarin belum dibayar, ya?" Kening Daisha mengernyit. "Maksudnya?" "Yang itu nanti Kakak transfer sekalian sama nafkah bulan ini." "Maksudnya apa, Kak? Yang kemarin ... apa maksudnya?" Daisha menekankan ketidakpahamannya. Bukan yang benar-benar tak paham, hanya saja Daisha butuh validasi. Benarkah yang dirinya pahami ini selaras dengan maksud dari ucapan suami? Tolong ... jangan. Garda meneguk habis air minum yang sisa setengah itu. Dia bilang, "Servis." Perasaan Daisha tak enak. Terbukti dengan kelanjutan ucapan Garda setelahnya. "Pas sore Kakak masuk ke kamar kamu, itu nanti Kakak bayar. Dengan begitu, di rumah aja pun kamu bisa menghasilkan uang tanpa harus nyari-nyari kerjaan." Serasa ada bunyi dentum keras di dada Daisha. Oh, seriuskah Garda dengan ucapannya? *** NOTE: Hai~ Terima kasih udah baca cerita ini. Ayo nantikan kelanjutannya dan pantau terus perkembangan karakter mereka. Jangan lupa masukkan ke perpus, komen, dan beri bintang, ya~ ♡ Big luv sekebon, Guys~"Mami, papi kelja, ya?" Adya menarik-narik gamis maminya sambil dia ayun-ayun dengan tangan kecil itu. "Mami, Mami. Papi kelja?""Iya, Sayang. Kerja." Sudah mulai mengoperasikan lagi kafenya, kali itu betul-betul diseriusi. Tidak seperti saat Daisha kabur.Rencana buka kafe dan museum lukis sungguh telah matang hari ini. Garda juga tidak sendiri, ada pegawai yang direkrut; hanya dua orang, sih. Namun, ini sudah merupakan awal yang baik daripada saat Daisha dulu—apa-apanya dilakukan sendiri, sedang hamil pula, wajar kalau keteteran. Syukur dibantu oleh Garda dan Abrasi—meskipun pada saat itu terasa menyebalkan.Demikianlah Coffee U di era Daisha tidak bertahan lama. Ya, lagi pula kafe itu dibangun dan dioperasikan dalam sebuah keputusan yang diambil dengan emosi, juga kungkungan ego plus niat buat survive seorang diri.Nyatanya, butuh bantuan.Nyatanya, Daisha tidak bisa.Segalanya kurang matang kala itu, ditambah sedang hamil. Ah, sudahlah. Yang penting sudah berlalu."Adya geser dul
"Pindah bentar, yuk?" Daisha terkesiap, menoleh dan mendapati putra Mama Gea di belakangnya. Posisi Daisha rebah menyamping menghadap Adya. Malam itu minta bobok di kamar mami katanya. Anak sekecil itu sudah dilatih tidur sendiri, di kamar sendiri pula. Lagi pula kamar Adya berada tepat di sebelah kamar Garda."Ais ...." Garda bisik-bisik lagi.Jangan bilang serius mau bikin adik? Selama ini Daisha KB, sih, jujur. Garda tahu, kok. Diizinkan, asal KB pil katanya biar kalau mau anak, tinggal tidak usah diminum.Tadinya sempat mau KB alami saja, tetapi setelah Daisha pikir-pikir ... tak apalah KB medis. Dibicarakannya dengan pak suami, syukur Garda langsung membolehkan.Oh, ya, ketidakjujuran Daisha di awal pernikahan itu menjadi sebuah pelajaran paling berharga bagi dirinya sendiri. Yang mana sekarang ini, mau apa-apa juga Daisha bilang dulu ke suami. Lapor, cerita, izin, dan diskusi.Tidak jauh beda dengan Daisha, Garda juga sekarang mengedepankan komunikasi. Tak lagi mendewakan emos
"Kenapa, Kak?"Sudah cukup banyak hari berlalu, sampai kini tak terasa Adya mulai bisa berjalan, mulai bisa diajak ngobrol dan nyambung. Di mana selama itu, Garda telah mempersiapkan bisnis galeri seninya di Coffee U. Namun, Daisha melihat Garda seperti termenung. Mungkin ada sesuatu yang menimpanya? Maka dari itu Daisha tanya kenapa."Ais ....""Hm?"Tuh, kan. Suaminya terlihat resah, seperti ada hal yang ingin dibicarakan, tetapi Garda bingung bagaimana bilangnya sampai-sampai termenung."Kenapa, Kak?""Kakak rasa ... pendapatan Kakak menurun." Garda sudah menggunakan seluruh tabungannya untuk perwujudan galeri tersebut. Saat itu dia yakin-yakin saja bila stok pundi-pundi dunia yang ada di rekening tabungannya akan mudah terisi lagi, mengingat penghasilan Garda sebagai konten kreator lukis tak bisa dikatakan sedikit.Awal terasa penurunannya tidaklah signifikan hingga di bulan-bulan itu Garda rasa 'wajar', nanti juga naik lagi. Namun, bulan ke bulan ... sampai satu tahun Garda ama
"Ais. Kamu inget, gak?" Garda bertanya, tetapi tatapannya di Adya, sedangkan pertanyaannya untuk Daisha.Mami Adya pun menoleh, dia sedang berbenah memasukkan pakaian ke dus, bersiap-siap mau pindahan. Furnitur sudah dikirim dan langsung dengan pengerjaan desain interior. Mungkin lusa atau besok juga selesai, sudah dari kemarin soalnya. Rencana pindahan juga diputuskan mundur beberapa hari sampai rumah benar-benar sudah tertata sampak ke isi-isinya."Ingat apa, Kak?"Adya tengkurap, Garda usap-usap punggungnya, sesekali dia juga jawil pipi si kecil. Gemas, jujur. Menatap Adya tak pernah bosan karena inilah hasil karya Garda yang sesungguhnya bersama Daisha. Bukan sekadar lukisan, tetapi buah hati mereka."Pas SMP kita camping. Tepatnya, waktu angkatan kamu kemah dan Kakak jadi seniornya."Gerak tangan Daisha henti untuk sepersekian detik, kembali menoleh menatap Garda yang tidur menyamping menghadap Adya—juga menghadap ke arah Daisha yang lesehan di dekat lemari."Ingat." Saat camping
[Kak.][Bagusan yang mana warna birunya buat langit?][Sore, Kak. Kalau buat lukis abstrak ....]Dan masih banyak lagi kiriman pesan lain dari nomor Leona, hanya saja kontak itu sudah tidak disimpan di ponsel Garda—sedang Daisha lihat-lihat, inspeksi suka-suka. Tahu bahwa itu nomor Leona karena namanya tercantum di profil.[Sedih banget Kak Garda udah nggak open jasa lukis buatku lagi, padahal langganan sejak Kak Garda baru netes. :( ]Kalau itu dari Ayla.Nomornya sudah dihapus juga di ponsel Garda. Tahu ini kontak Ayla karena dari riwayat chat sebelumnya.Garda: [Terima kasih, ya, Ayla. Selama ini udah jadi pelanggan tetap dan ....]Ungkapan macam itu kira-kira yang Garda kirim terakhir kali. Ke sini-sininya pesan Ayla tidak pernah Garda balas lagi.Kalau begini sama saja dengan memutus tali silaturahmi tidak, sih? Tapi kalau mereka masih kontakan, Daisha juga kurang senang. Salahkah? Atau sudah benar seperti ini?Suami tidak berkontak dengan lawan jenis mana pun yang berpotensi mem
Bangun tidur, habis mandi, lalu bertatapan dengan Garda menjadi hal yang membuat perut Daisha digelitiki sayap kupu-kupu imaji. Ini pasti karena kejadian semalam. Ah, tidak mau Daisha jabarkan dengan rinci. Terlalu intim, Daisha malu. Garda tersenyum-senyum, masih di kasur. Oh, azan Subuh sudah berkumandang. Makanya itu Daisha bangun dan mandi suci lekas-lekas. "Aku udah wudu, Kak," tukas Daisha saat Garda hendak menempel. Takutnya bersentuhan dengan iringan nafsu sisa semalam. Garda mengerti. "Tunggu, ya? Jangan salat duluan. Kakak imamin." "Iya ...." Lagi, pipi Daisha memanas. Ini baru benar. Ini baru rumah tangga sungguhan, serasa malam pertama yang sebenarnya, tanpa ada kekhawatiran apa pun karena tak ada kebohongan yang dirawat. Lekas Daisha siapkan alat salatnya. Hal-hal kecil macam ini jadi terasa manis, menyiapkan seperangkat alat salat untuk suami. Di sisi lain, Baby Adya masih terpejam. Oh, tentu di jam-jam tertentu Daisha sempatkan bangun untuk menyusui putranya.







