LOGIN"Kak." Daisha menahan langkah suaminya yang hendak beranjak dari ruang makan. "Kakak cukup dengan ngatain aku murahan, nggak harus bikin aku jadi bener-bener kayak perempuan murahan, kan?"
Mata Daisha berembun, tetapi tak dia izinkan ada setitik pun air yang menetes dari pelupuknya. "Aku yang nggak jujur dari awal, bukan berarti sampai sekarang semua yang kuomongin itu kebohongan." Untai kata Daisha dilisankan dengan suara pelan, ada desakkan perih di dada yang takutnya membuat air mata terpancing meluruh. "Aku salah, aku tahu. Aku ...." Henti di situ, Daisha melihat Garda meneruskan langkahnya. Seolah tak mau mendengar penuturan apa pun lagi darinya. Gegas saja Daisha susul. Mau sampai kapan seperti ini, ya, kan? Dan pergelangan tangan lelaki itu berhasil Daisha pegang, dia genggam erat-erat, dibuatnya langkah Garda kembali berhenti. Daisha berdiri di depan sang suami. Agak mendongak karena Garda lebih tinggi. Percayalah, telapak tangan Daisha mendingin. Tatapan keduanya bertumbukan. Daisha sejenak mencari cinta yang konon Garda memiliki itu untuknya, apa sungguh sudah tidak bersisa? Sama sekali? Yang bisa Daisha harapkan hanya soal perasaan lelaki itu, bukankah begitu besar sampai kegigihannya menaklukkan Papa Genta? "Aku dilecehkan, Kak." Daisha ulangi pernyataannya yang pernah dia sampaikan di hari pertama pindahan, terkait kejujuran soal ketidakperawanan di subuh pertama. "Dan aku sendiri yang menjamin kejujuranku soal ini." Karena waktu itu Garda membalas dengan: 'Siapa yang bisa menjamin kalo kamu jujur sekarang?' Daisha yakin sampai detik ini semua yang Garda ucap dan lakukan itu adalah bentuk dari kemarahan. Belum meluap semuanya. Karena alih-alih diluapkan hingga meledak-ledak, suaminya lebih pada bersikap dingin, diam yang terkesan tenang, lalu kejam. Tutur kata yang tidak membentak, tetapi isi penyampaiannya mengoyak. Sebuah keyakinan yang Daisha pegang walau mungkin itu salah satu caranya menghibur diri. "Oke kalau dilecehkan. Kasih tahu, siapa orangnya? Di mana alamatnya? Dan kirimkan nomor yang waktu itu ke Kakak, terus kita bicarakan semua ini ke—kamu bahkan nggak mau ngasih tahu semua itu, Daisha." Sebab, kepala Daisha geleng-geleng. Garda kontan menarik tangannya dari cekalan sang istri. "Kak ...." "Kalau iya kamu dilecehkan, responsmu ini nggak wajar. Tahu?" "Tapi Demi Allah aku—" "Kamu bawa sumpah Tuhan juga nggak guna kalau tingkahmu seolah ngelindungin si pelaku!" Tidak membentak walau berseru. Namun karenanya, ada urat di leher Garda yang eksis sebab menahan gertakan emosi. Daisha gemetar. Kembang-kempis dada Garda, matanya juga agak berkilat-kilat menatap putri Papa Genta. Alhasil, perlahan sorot mata Garda melembut, termasuk nada bicaranya. "Kan, kamu bilang dilecehkan. Terus buat apa kamu masih mau nutupin identitas si pelaku? Oh, ya. Pacar, ya, waktu itu?" Sekarang berubah mendesis. "Masih cinta?" "Nggak. Bukan gitu." Daisha ingin mengatakannya, tetapi ... ada hal yang lebih kuat dan besar menahan jawabannya. Garda mendengkus. Kesal. "Kamu tahu ke mana Kakak waktu nggak pulang hari itu?" Yang kata Dikara, Garda selingkuh? Soal hari itu? Waktu kedapatan digandeng lengannya oleh perempuan lain, terus pulang-pulang bawa paper bag pink isi mangkuk lucu? Daisha termundur karena Garda mengambil langkah maju, menyudutkannya. "Ke tempat kamu kuliah dulu. Tahu?" Mata itu kembali berkilat-kilat. Daisha melihat kekecewaan besar di obsidian suaminya. "Tapi nggak ada satu pun yang Kakak dapetin tentang kamu di sana. Bersih!" Daihsa terimpit dinding. Tanpa sadar air matanya mengalir, bahkan tanpa ada suara isak. Hanya airnya saja yang luruh melintasi pipi. Dan ... Daisha memejam kala ada kepalan tangan seolah hendak menghantam wajahnya, tetapi ternyata yang dihantam adalah dinding di sisi kepala Daisha. Air mata itu jatuh lagi. Tak berani menatap wajah Garda. "Bahkan informasi soal 'Daisha pernah pacaran sama siapa' aja pun nggak ada." Jadi, waktu itu ... Garda pergi ke luar kota? Datangi tempat di mana Daisha pernah menimba ilmu? Lalu yang Dikara lihat itu apa? "Mereka kenal kamu, tapi nggak ada yang tahu secuil pun informasi soal kisahmu, bahkan ibu kos yang pernah kamu sewa kamarnya." Mereka? Maksudnya, mereka siapa? Oh, mungkinkah orang-orang yang pernah muncul di media sosial dengannya? Dari foto unggahan? "Daisha anak baik. Nggak, dia nggak pernah bawa laki-laki. Ibu kosnya inget kamu karena si Daisha ini satu-satunya anak kos yang paling khas dengan jilbabnya." Dibukanya kelopak mata, Daisha menatap wajah Garda. Lelaki itu menatapnya sejak tadi, ya? Dan Daisha melihat ada seberkas kefrustrasian di mata itu. Garda menarik tangannya. Saat itulah tatapan Daisha teralih pada jemari yang ... berdarah! Daisha melirik tembok di sisinya. Orang gila mana yang secara sadar meninju tembok? Kontan dia raih telapak tangan lelaki itu. Suaminya. Daisha terisak di detik melihat luka fisik di punggung tangan Garda. Isakan yang tidak keluar di beberapa saat lalu, akhirnya lolos dan itu karena luka tinjuan suami ke tembok. Garda tidak menepis sentuhan Daisha di tangannya kali ini, hingga Daisha membawanya duduk di sofa, lalu dia meminta Garda menunggu sekadar untuk ambil kotak P3K. Tangis itu Daisha pupuskan. Lekas kembali. Dia obati luka yang memang tidak seberapa di jari suaminya, tetapi luka kecil ini sukses membuat tangis Daisha eksis lagi. Rasa bersalah. Banyak beban perasaan yang menggelayut dan Daisha kesulitan karena itu. "Maaf," bisiknya. *** Jadi, ini mangkuk lucu titipan dari siapa? Dan yang Dikara lihat waktu itu apa? Soal dugaan Garda selingkuh. Harusnya Daisha tanyakan, tetapi tak sempat karena waktu lisannya mau menyuarakan kalah cepat dari getar notifikasi di ponsel Garda. Sekarang suami Daisha sedang pergi. Tidak mengucapkan tutur kata apa pun lagi sesudah kesengitan pagi ini. Daisha letakkan kembali mangkuk lucu di bufet. Oh, ponsel Daisha yang kedapatan getar sekarang. Ada telepon masuk dari sepupu, Dikara. Kenapa bisa pas sekali di saat Daisha sedang menyebutnya dalam pikiran di beberapa waktu lalu. "Waalaikumsalam. Gimana, Ra?" Perasaan Daisha agak kurang menyenangkan gara-gara hal yang dia dengar di rumah Dikara saat itu. Habisnya, Daisha belum sempat mengonfirmasi kepada suami. "Mbak Ais ... lagi di mana?" Tapi mungkin sepertinya Dikara mau ke sini sampai menanyakan posisi. "Di rumah. Ada apa gitu? Mau main ke sini, ya?" Hening untuk sejenak. Tak lama alih jadi panggilan video. "Mbak kenal perempuan itu? Maaf sebelumnya, aku kira itu Mbak Ais makanya kutelepon." Jantung Daisha mulai berulah lagi, berdetak-detak menanjak. Menatap apa yang tersorot kamera. "Tapi yang laki-laki, aku kenal. Mungkin Mbak lebih tahu." Iya. Sangat. Bahkan hanya dengan melihat bajunya, Daisha tahu itu milik Garda. Suaminya. Namun, siapa perempuan yang Garda biarkan bergelayut di lengannya? *** . . NOTE: Coba tebak, siapa itu?"Kenapa, Kak?"Sudah cukup banyak hari berlalu, sampai kini tak terasa Adya mulai bisa berjalan, mulai bisa diajak ngobrol dan nyambung. Di mana selama itu, Garda telah mempersiapkan bisnis galeri seninya di Coffee U. Namun, Daisha melihat Garda seperti termenung. Mungkin ada sesuatu yang menimpanya? Maka dari itu Daisha tanya kenapa."Ais ....""Hm?"Tuh, kan. Suaminya terlihat resah, seperti ada hal yang ingin dibicarakan, tetapi Garda bingung bagaimana bilangnya sampai-sampai termenung."Kenapa, Kak?""Kakak rasa ... pendapatan Kakak menurun." Garda sudah menggunakan seluruh tabungannya untuk perwujudan galeri tersebut. Saat itu dia yakin-yakin saja bila stok pundi-pundi dunia yang ada di rekening tabungannya akan mudah terisi lagi, mengingat penghasilan Garda sebagai konten kreator lukis tak bisa dikatakan sedikit.Awal terasa penurunannya tidaklah signifikan hingga di bulan-bulan itu Garda rasa 'wajar', nanti juga naik lagi. Namun, bulan ke bulan ... sampai satu tahun Garda ama
"Ais. Kamu inget, gak?" Garda bertanya, tetapi tatapannya di Adya, sedangkan pertanyaannya untuk Daisha.Mami Adya pun menoleh, dia sedang berbenah memasukkan pakaian ke dus, bersiap-siap mau pindahan. Furnitur sudah dikirim dan langsung dengan pengerjaan desain interior. Mungkin lusa atau besok juga selesai, sudah dari kemarin soalnya. Rencana pindahan juga diputuskan mundur beberapa hari sampai rumah benar-benar sudah tertata sampak ke isi-isinya."Ingat apa, Kak?"Adya tengkurap, Garda usap-usap punggungnya, sesekali dia juga jawil pipi si kecil. Gemas, jujur. Menatap Adya tak pernah bosan karena inilah hasil karya Garda yang sesungguhnya bersama Daisha. Bukan sekadar lukisan, tetapi buah hati mereka."Pas SMP kita camping. Tepatnya, waktu angkatan kamu kemah dan Kakak jadi seniornya."Gerak tangan Daisha henti untuk sepersekian detik, kembali menoleh menatap Garda yang tidur menyamping menghadap Adya—juga menghadap ke arah Daisha yang lesehan di dekat lemari."Ingat." Saat camping
[Kak.][Bagusan yang mana warna birunya buat langit?][Sore, Kak. Kalau buat lukis abstrak ....]Dan masih banyak lagi kiriman pesan lain dari nomor Leona, hanya saja kontak itu sudah tidak disimpan di ponsel Garda—sedang Daisha lihat-lihat, inspeksi suka-suka. Tahu bahwa itu nomor Leona karena namanya tercantum di profil.[Sedih banget Kak Garda udah nggak open jasa lukis buatku lagi, padahal langganan sejak Kak Garda baru netes. :( ]Kalau itu dari Ayla.Nomornya sudah dihapus juga di ponsel Garda. Tahu ini kontak Ayla karena dari riwayat chat sebelumnya.Garda: [Terima kasih, ya, Ayla. Selama ini udah jadi pelanggan tetap dan ....]Ungkapan macam itu kira-kira yang Garda kirim terakhir kali. Ke sini-sininya pesan Ayla tidak pernah Garda balas lagi.Kalau begini sama saja dengan memutus tali silaturahmi tidak, sih? Tapi kalau mereka masih kontakan, Daisha juga kurang senang. Salahkah? Atau sudah benar seperti ini?Suami tidak berkontak dengan lawan jenis mana pun yang berpotensi mem
Bangun tidur, habis mandi, lalu bertatapan dengan Garda menjadi hal yang membuat perut Daisha digelitiki sayap kupu-kupu imaji. Ini pasti karena kejadian semalam. Ah, tidak mau Daisha jabarkan dengan rinci. Terlalu intim, Daisha malu. Garda tersenyum-senyum, masih di kasur. Oh, azan Subuh sudah berkumandang. Makanya itu Daisha bangun dan mandi suci lekas-lekas. "Aku udah wudu, Kak," tukas Daisha saat Garda hendak menempel. Takutnya bersentuhan dengan iringan nafsu sisa semalam. Garda mengerti. "Tunggu, ya? Jangan salat duluan. Kakak imamin." "Iya ...." Lagi, pipi Daisha memanas. Ini baru benar. Ini baru rumah tangga sungguhan, serasa malam pertama yang sebenarnya, tanpa ada kekhawatiran apa pun karena tak ada kebohongan yang dirawat. Lekas Daisha siapkan alat salatnya. Hal-hal kecil macam ini jadi terasa manis, menyiapkan seperangkat alat salat untuk suami. Di sisi lain, Baby Adya masih terpejam. Oh, tentu di jam-jam tertentu Daisha sempatkan bangun untuk menyusui putranya.
Rasanya seperti yang pertama. Debarannya sama. Saat ada tatapan Garda yang tidak biasa menjamah mulai dari wajahnya, tampak berkabut, seperti ada hasrat yang perlahan berkobar. Daisha merasakan semua itu sekadar dari sorot mata dan embusan napas papi Adya. Bayi kecil mereka sudah lelap, tetapi sejujurnya Daisha masih khawatir. Bagaimana jika Adya bangun saat dirinya dan Garda sedang di puncak keintiman? Kini ... kerudung Daisha sudah dilepas, jarak wajah ke wajah juga tak sampai satu jengkal, dapat Daisha rasakan buruan napas panas pria di atasnya. Oh, tentu. Adya tidur di dalam boks bayi. Agak tercekat napas Daisha kala bibir Garda mengecup-ngecup pipi hingga ke sekitaran daun telinga. Mulai intens. Lengan Daisha juga diusap-usap. Kecupan itu turun ke rahang, Daisha agak mendongak. Meremas sprei. Jantung makin heboh saja berdetak. Betul-betul seperti sedang malam pertamaan lagi. Di mana sekarang ... bibir dan bibir yang berjumpa. Daisha memejamkan mata, pun dengan Garda. Ada
Tanpa terasa, tiba waktu di mana Daisha mulai menyiapkan MPASI pertama untuk sang anak. Ada Mama Nuni yang memberi tahu variasi menunya. Di sisi lain, Garda sudah mulai nego harga terkait rumah. Untuk kali ini segalanya benar-benar dimulai dari nol. Dari awal lagi. Perihal rumah tangga. "Mama ... kok, dilepeh terus, ya? Susah banget nyuapinnya," ucap Daisha. Padahal tadi waktu membuatkan hidangan pertama untuk si kecil, Daisha sudah yakin pol bayi enam bulannya akan lahap menyantap. Namun, lihatlah itu. "Belum terbiasa dia," kata Mama Nuni. Oh, ya, katanya mama mertua Daisha juga sedang di perjalanan mau ke sini. Adya yang duduk di kursi makan khusus bayi itu menepuk-nepuk bagian mejanya. "Coba kasih minum dulu," sambung mama. Daisha pun menyodorkan sesendok air mineral kepada bayinya. Eh, eh, malah sendoknya digigit-gigit. Air minumnya tumpah meluber. Asli, celemotan dia—sampai ke dada-dada yang dilapisi celemek. "Ini, lho ... ini yang dimakan, Nak. Bukan sendoknya.







