Share

Rahasia sang Pewaris Kembar
Rahasia sang Pewaris Kembar
Author: Cherry Charlotte

Prolog

Uap panas tampak mengepul-ngepul di atas secangkir kopi yang baru saja tiba ke atas meja. 

Ia menarik nafas sambil sesekali menolehkan pandangan keluar jendela kafe menatap ke arah keramaian lalu lintas di sore hari itu. 

Sebelum kemudian memutuskan menegur Ann yang sedari tadi hanya duduk diam seribu bahasa di hadapannya tersebut. 

Seolah berusaha menelan seluruh keresahannya sendiri, di matanya wanita itu tampak sangat gusar saat ini. 

Bahkan tangan yang menyuapkan sup ke bibir merah muda wanita tersebut pun tampak bergetar mengatasi rasa yang tengah disamarkan sosok di hadapannya itu. "Ada apa, Ann? Apakah hari ini rasa supnya berbeda dari biasanya?" ujarnya mencoba memulai pembicaraan dengan gurauan ringan. 

Meski Ann tampak sempat tertegun namun tetap saja bibir wanita itu masih mengatup rapat. Alih-alih menanggapi dengan jawaban, Ann meletakkan sendok sup yang ada di tangan serta menjauhkan tatapan. 

Will terhenyak. Entah mengapa diam-diam hati kecilnya merasa ada hal yang sungguh serius tengah menantinya kala wanita itu membuka mulut. 

Diraihnya tangan Ann yang ada di seberang meja dan meremasnya lembut. 

"Bukankah tadi saat di kantor kamu menelepon untuk membicarakan sesuatu? Pasti sesuatu itu sangat penting kan?"

Ia kembali berusaha memancing Ann untuk segera mengutarakan keresahannya.

Ann melepaskan tangannya perlahan dan menyembunyikannya di bawah meja.

Walaupun sempat mendelik menahan keterkejutannya, dengan cepat ia mengatasinya. Diseruputnya kopi yang mulai kehilangan kepulan uap tersebut dua kali serta kembali melontarkan dugaannya. 

“Apakah ada masalah dengan pekerjaanmu di kampus?”

Ann hanya menggeleng perlahan tanpa kata-kata. 

Lagi-lagi ia tak berhasil. Ia kembali menarik nafas dan kemudian menghelanya dengan sangat hati-hati. 

Apakah ada sesuatu yang lebih mengusik Ann? Apakah sesuatu itu hal yang selama ini nyaris terlupakan olehnya akibat kenyamanan? 

Seketika ia terhenyak oleh sebuah pemikiran yang hinggap begitu saja di benaknya kini. Dan serta merta melontarkannya ke permukaan dengan wajah yang mengencang. 

“Apakah Abe menemukan keberadaan kita?” ujarnya setengah berbisik dan mencondongkan tubuh.

Sontak kata-kata yang hanya terdengar bagai desiran angin tersebut membuat Ann tersentak dan membelalak. 

Merasa ucapannya barusan mengundang kekhawatiran besar pada lawan bicaranya, ia segera berusaha meralatnya. 

Segera ia tersenyum tipis ke arah Ann. 

“Sepertinya aku terlalu berprasangka, ya. Bukankah kita telah menyamarkan segalanya hingga merubah identitas?” gumamnya lagi separuh pada diri sendiri. 

Ia menarik diri serta menyandarkan tubuh ke belakang. Diputuskannya untuk berhenti. Semakin ia memutar otak untuk memancing pembicaraan semakin liar dugaan-dugaan yang bermunculan di benaknya. Kesemuanya itu hanya akan semakin menambah kegelisahan di antara mereka. 

Kembali diseruputnya kopi pekat miliknya itu hingga nyaris habis. Dan juga memutuskan untuk menanti hingga Ann bersedia membuka mulut untuk mengungkapkan maksud wanita itu memanggilnya pulang kerja lebih awal hari ini.    

Wanita itu mengulum bibir sesaat seakan tengah mengumpulkan segenap keberanian untuk bersuara. Dan kemudian mulai berbicara. 

"Will, mengenai hubungan kita. Maksudku, perasaan di antara kita sebaiknya disudahi saja..." ucap Ann dengan bibir yang bergetar. 

Kali ini giliran dirinya yang tersentak. Ia mendelik tak percaya. Hatinya serta merta bergejolak hebat. Keresahan besar sontak menular padanya kini. Namun dicobanya untuk mengendalikan diri dan tetap bersikap tenang. Sembari mengulum nafas, ia melemparkan pandangan keluar jendela dengan pikiran yang mulai mencerna.

Mungkin saat ini Ann tengah lelah dengan semuanya. Lelah dengan kehidupan mereka yang selalu di bawah bayang-bayang pengejaran. Dan bahkan lelah dengan hubungan 'tak lazim' yang membelit mereka berdua tanpa tercegah.

Ia menghela nafas, memutar tatapan kembali kepada wanita di hadapannya itu. 

"Ann, dari awal aku memutuskan untuk mencintaimu secara ‘lebih’, aku benar-benar telah siap menghadapi segala resiko dan akibatnya..."

Dilekatkannya tatapan pada wanita itu menyatakan kesungguhannya. Kemudian kembali melanjutkan ucapan.

“Katakan padaku apa yang mengusikmu hingga berpikir untuk menyudahinya?” pintanya dengan nada membujuk lembut. 

Ann terisak tertahan. Dengan air mata yang tengah menganaksungai wanita itu menatapnya. Sebuah tatapan yang dipenuhi beban tak terperi. 

"Tapi aku hamil, Will. Aku...aku takut. Aku bingung harus bagaimana..."

Sekali lagi Will tersentak kuat. Nafasnya seketika tercekat. Seluruh tubuhnya mengencang kelu. Sekonyong-konyong pandangan matanya baru membuka penuh, kini ia menyadari masalah pelik yang tengah dihadapi Ann. Ternyata wanita yang dicintainya ini mencoba menghadapi hal itu seorang diri. Ternyata aku membiarkan Ann berjuang seorang diri selama ini! Astaga, betapa tidak pekanya aku! Makinya pada diri sendiri. 

Kesekian kalinya ia mengulum nafas. Dan kini ia memutar pandangan ke segala arah. 

Seakan memaksakan diri untuk tetap tenang, kembali diraihnya cangkir kopi dengan gerak patah-patah. Kemudian meletakkan kembali cangkir tersebut sebelum sempat mendekatkan benda itu ke depan bibirnya. Ia berusaha sekuat mungkin mengatasi tremor pada tangannya. Juga kekeluan lidahnya yang menghambatnya untuk berkata-kata. Dengan upaya yang sangat besar ia berjuang memutar otak menyusun kata-kata secara kilat untuk dilontarkan.

"Ini tidak benar...sebaiknya kita sudahi saja, Will..."

Kembali terdengar ucapan Ann berdesir di sela isak tangis wanita itu. 

Ia kembali terhenyak. Melihat kedua bahu yang bergetar hebat di hadapannya itu membuatnya sadar betapa besar penderitaan serta pergelutan batin Ann. Didekatkannya tubuh ke arah Ann, meraih bahu wanita itu. Dipautkannya tatapan dengan Ann. Segera ia melontarkan kata-kata yang dirasanya harus disampaikan berharap mampu menenangkan sosok yang kalut marut tersebut. 

“Ann, aku akan menjagamu dan anak itu. Apapun masalahnya akan kuhadapi. Aku janji. Kalau perlu malam ini juga kita pindah ke pinggiran atau kemana saja –dimana tak seorang pun mengenal kita..." bisiknya mantap menyakinkan Ann. 

Wanita itu menggeleng-geleng ditenggarai isak. Kemudian menunduk sesaat dan kembali mengangkat wajah. 

"Kamu sudah kehilangan akal,Will. Kita berdua sudah terlalu jauh. Aku tahu yang kamu lakukan selama ini adalah menjaga dan melindungiku dengan amat sangat hingga tanpa sadar kita telah melampaui batas..." gumam getir Ann yang terdengar lebih menyerupai sederatan kalimat penyesalan.

Will terkesiap. Sekalipun masih membuka, bibirnya tak mampu mengeluarkan ucapan apapun.  Ia menghela nafas panjang, melepaskan tangannya perlahan dari bahu Ann. Sejenak ia merasa telah kehilangan seluruh kata-kata. Hanya mampu menoleh resah ke sana ke mari sambil mengusap-usapkan telapak tangannya pada cangkir kopi kosong yang masih menyisakan rasa hangat itu. Kesekian kalinya ia menelan nafas. 

"Apakah penyesalan mampu mengembalikan langkah kita, Ann? Apakah dengan menyudahi hubungan ini dapat menghentikan cinta diantara kita?" bisiknya seakan tengah berbicara dengan diri sendiri. 

Terdengar Ann terisak, rambut panjang cokelatnya tergerai menghalangi wajah wanita itu dari pandangan. 

"Ini tidak benar...kita sudahi saja, Will..."

Entah mengapa rintihan Ann itu terdengar begitu jelas di telinganya. Ia sungguh gusar. Lidahnya kian kelu membeku. 

Kini tiada sepatah katapun terlintas di benaknya untuk menenangkan hati wanita itu. Yang dapat ia rasakan hanyalah hati yang bagai tertindih oleh sebongkah batu. Sekali lagi ia mencoba meraih tangan Ann yang tengah bergetar hebat di hadapannya. 

Belum sempat jarinya menyentuh tangan Ann, tiba-tiba wanita itu bangkit berdiri dan melesat keluar meninggalkannya. 

Sontak ia turut bangkit menyusul Ann. 

"Ann!" serunya berharap wanita tersebut akan menghentikan langkah untuk menantinya. 

Alih-alih berhasil menyusul Ann, langkahnya sempat tercekat sesaat di dekat pintu keluar oleh seorang pelayan yang tergopoh-gopoh menyodorinya sebuah bon tagihan. Ia mendengus gusar. Tanpa mempertimbangkan lebih lama lagi dengan segera ia menarik dompetnya, buru-buru memberikannya pada pelayan itu. Dan segera melesat keluar melanjutkan langkahnya menyusul Ann tanpa ingin tercegah.

Hiruk-pikuk suara klakson kendaraan serta merta menyergap ruang dengarnya begitu ia menghambur keluar dari pintu kafe menghadapi jalanan yang membentang di hadapan mata. 

Pandangannya dengan liar bergerak menyapu ke sekeliling, mencari sosok Ann di antara keriuhan jalan sore hari itu. 

Dan, dengan segera menemukan sosok tersebut tengah berdiri linglung di tengah lautan kendaraan. Kedua mata wanita itu masih tampak basah oleh deraian air mata yang belum terhentikan. 

Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, ia segera memulai langkah menuju ke tengah jalanan menjemput sosok tersebut. 

Suara klakson-klakson terdengar memekik protes seolah mewakili keresahan para pengemudi yang melihatnya melintas tergesa-gesa menyeberangi jalan nan pikuk. 

Saat langkah yang tersisa hanya tinggal dua bentangan tangan, pandangannya dan Ann saling beradu. Wanita itu menggeleng ke arahnya mengisyaratkan padanya untuk tidak melanjutkan langkah. Kemudian terdengar sosok mungil ringkih tersebut berkata, "Jangan kemari. Aku ingin pergi saja karena aku tak bisa berhenti mencintai dirimu, Will..."

Masih bergelut dengan keriuhan lautan kendaraan yang tengah diterabasnya itu, ia hanya memberi tanggapan sekenanya berupa kernyitan tanpa terlalu memperhatikan ucapan Ann barusan. 

Baik mata maupun perhatiannya terlalu sibuk melihat kesana kemari menghindari arus lalu lintas yang mendadak kusut karena kehadiran mereka di tengah-tengah. 

Sebuah truk biru tua yang seakan tak mau kalah dengannya tampak tengah melesat kencang membelah paksa lautan kendaraan tanpa terkendali serta merta menarik perhatiannya. 

Seketika ia terhenyak kala menyadari truk tersebut telah berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Ann. 

Segera diselesaikannya sisa langkah menuju Ann, meraih tubuh wanita itu dengan sigap gesit. Ditariknya tubuh Ann ke pinggir jalan namun wanita itu memberatkan langkah, tak ingin bergeming. 

"Aku harus pergi, Will. Demi masa depanmu..." ujar Ann dengan suara bergetar. 

Will tertegun. Tatapan sendu penuh tekad nekad wanita itu padanya membuatnya serta merta menyadari niat wanita tersebut.  Dan bersamaan dengan itu pula, ia juga menyadari tiada langkah yang tersisa bagi mereka untuk sempat beranjak kini. 

Ia menarik nafas dalam sembari mengambil keputusan kilat. Dilingkarkannya dekapan melingkupi tubuh mungil Ann erat. 

Dilekatkannya tatapan yang disertai senyuman pada wanita itu.

"Kalau begitu, ayo kita pergi bersama..." bisiknya yakin dengan tekad bulat. 

Sebagaimana tekad tubuh yang tengah meronta dalam dekapannya itu, sebulat itu pula tekadnya untuk tak ingin bergeming dari niatnya melindungi wanita itu. Ditariknya nafas panjang dan kemudian menangkupkan wajah ke atas Ann. Dalam waktu yang nyaris bersamaan, sebuah hantaman kuat menghajar tubuh mereka berdua.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status