"I-ibu sedang sakit, Kak," ragu Lily menjawab tanya kakak sulungnya. Matanya membelalak lebar, kenapa Larasati diam saja? "Sakit apa, Ly?" todong tanya melody keras. Tanpa menunggu jawaban, Melody melenggang masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan ibunya yang ternyata tidak ada di kamar. "Ly, ibu di mana?" tanya Melody keras. "Di rumah sakit, Kak. I-ibu di rawat," jawabnya. Deg! "Dirawat?" degup jantungnya mulai tidak karuan. Lily hanya mengangguk pelan, ada apa dengan keluarganya ini? Beberapa waktu lalu, Larasati meneleponnya dengan biasa saja. Seolah tidak ada yang terjadi, tapi ini? "Ly, antar kakak ke rumah sakit sekarang!" tegasnya. Gontai langkah Lily mengantar Melody, sebuah taxi yang ia pesan akhirnya tiba. Dengan perasaan penuh kecemasan, Melody hanya bisa meremas roknya. 'Sial, kenapa selalu seperti ini sih!' gerutu Melody dalam batinnya. [Mas, adek ke rumah sakit ya. Ibu sakit ternyata, nanti adek kabarin lagi.] Melody. Pesan itu terkirim pada Andrean. Sepan
Lily mendongakkan kepalanya penuh keraguan, ditatapnya wajah Melody dengan penuh tanya. "Gak apa-apa kalau kamu mau, Ly. Biar sekalian Mas Andrean pulang ke rumah," ucap Melody. "Loh, Mel. Aku hanya akan mengantar Lily ke sekolah dan ke sini lagi," elaknya. "Tidak, Mas. Nona Nadea lebih membutuhkan kamu, tolong ya!" pinta Melody lembut. "Ya, oke." Setelahnya, Lily dan Andrean meninggalkan rumah sakit. Menyisakan Melody sendirian, lama ia menatap nanar wajah Larasati yang terlihat memar. "Bagaimana bisa ayah sekejam itu pada ibu? Padahal dulu hubungan ke duanya juga didasari cinta," lirih Melody penuh tanya. "Mel ...," panggil Larasati. Melody terperanjat, suara Larasati membuatnya tersadar dari lamunan singkatnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanya Melody tergagap. "Lily di mana?" Larasati menatap sekeliling, namun tidak ia temukan anak bungsunya itu. Hanya ada Melody dan seorang perawat yang mengecek dirinya. "Lily pergi ke sekolah," jawab singkat Melody. Ia hanya mengangguk paha
"Maksudmu apa, Nad!" hardik Andrean keras.Amarahnya meluap tatkala ia mendengar gumaman Andrean. Lagi-lagi nama Melody yang mulai diagung-agungkan. "Kenapa nama wanita itu yang selalu kau sebut-sebut, Mas! Tidak hanya kau, tapi ibu juga ... Semenjak ada wanita itu, aku selalu dinokor dua kan!" pekik Nadea keras. Andrean hanya memijat pelipisnya lembut, begitu lelah rasanya. Tapi apa dayanya? "Nad, maafkan aku. A-aku tidak bermaksud melakukan itu, tapi ...," ia menghentikan ucapannya. "Tapi, apa? Kamu mulai mencintainya 'kan?" hardik tanya Nadea. "Nad ...," lirih Andrean memanggil istrinya itu lembut. "Udahlah, Mas. Aku muak dengan semua ini," keluh Nadea kasar. Tangannya ditarik paksa oleh Andrean, membuatnya terperanjat kaget. Ia memberontak hebat tatkala Andrean memaksa mendekapnya. Tapi apa? Ia kembali luluh atas pelukan suaminya. "Nadea, aku sangat mencintaimu. Tidak mungkin aku menduakanmu ... Perkara aku pulang terlambat lalu kamu merasa aku sudah jatuh cinta pada Me
Brak!Seorang lelaki paruh baya itu menggebrak meja dengan kerasnya.“Hutang judi ayahmu itu harus lunas dalam waktu 2 kali 24 jam, jika tidak kamu akan menjadi istriku anak manis!” ucap Johar dengan tegas.“Hah, ini tidak masuk akal, Pak! Hutang ayah itu 75 juta, bagaimana bisa saya melunasinya dalam waktu 2 kali 24 jam?” pekik Melody keras dengan tatapan nyalang.Manik matanya kini tertuju pada seorang pria paruh baya yang menjadi tersangka hutang ini. Di sudut kursi ayahnya hanya diam tidak berkutik.“Ayah, katakan pada Pak Johar, dan mintalah keringanan untuk itu!” ujar Melody, dengan tangan yang mengoyak tubuh ayahnya perlahan.“Sudahlah, Mel. Kamu nikah saja dengan Pak Johar, tinggal nikah saja apa susahnya sih!” seru Rokim tanpa ragu.‘Sialan, ayah tidak tahu diri!’ umpat Melody dalam batinnya.Johar menatap Melody dengan penuh nafsu, sebelah tangannya menyentuh pelan dagu Melody. Jijik! Ingin sekali Melody memaki pria paruh baya itu, namun ia tidak ingin dicap menjadi wanita t
“Saya mau berpikir dulu,” ucap Melody dengan menarik kertas putih di hadapannya.“200 juta, deal!” tawar Andrean, dengan mengulurkan tangan kanannya.“200 juta?” ulang Melody dengan ragu.Seperti terhantam kenyataan berat, bahkan ia belum pernah menyentuh uang sebanyak itu. Tubuhnya memberi respons yang tidak tepat saat ini.“Tuan Andrean, saya ijin ke toilet dulu!” pamit Melody.‘Dasar tubuh tidak tahu diri, mau dapat rezeki nomplok malah segala kebelet boker,' gerutu Melody dalam batinnya.Kini ia terdiam sejenak dalam lamunannya, uang 200 juta akan cukup untuk melunasi hutang judi. Bahkan bisa untuk membiayai hidup ibu dan adiknya selama beberapa tahun.“Apa aku menerima tawaran itu ya? Menjadi seorang madu dan ... Istri siri dari anak tunggal keluarga paling kaya,” Melody bertanya-tanya pada dirinya sendiri.Hidup dengan pas-pasan sudah sering ia rasakan, bekerja di butik dengan gaji yang hanya cukup untuk makan dan transportasi.“Dengan uang itu aku bisa membayar hutang judi ayah
“Apa dia tidak tahu sopan santun dan … ah, sudah tidak ada waktu lagi untuk menggerutu!” gerutu Melody.Kini ia seperti wanita kalang kabut, bagaimana tidak? Ia akan dilamar oleh seorang anak pengusaha properti ternama.“Ibu,” teriak Melody dengan sayup-sayup keluar kamar.“Ada apa, Nak?” tanya Larasati pada ana sulungnya.Melody menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia sudah kehabisan kata untuk menjelaskan pada ibunya kali ini.“Ada apa, Mel? Kamu terlihat sangat cemas, coba bilang ke ibu tentang apa?” todong tanya Larasati. Manik matanya masih menatap lekat ke anak sulungnya itu.“Bu, aduh aku gak punya banyak waktu, aku jelaskan secara singkat aja ya. Jadi, tadi pagi Pak Johar datang menagih hutang judi ayah. Dan ibu tau? Ternyata ayah menjadikan aku jaminan untuk hutang 75 juta. Ibu aku berasa langsung gila saat itu juga,” jelas Melody yang cukup panjang.Ia terlihat menghela nafasnya cukup panjang, “Setelah Pak Johar keluar rumah, aku niatnya mau cari angin dan …,” pada part in
Melody membelalakkan matanya lebar saat mendapati seorang wanita berbisik padanya. Ia duduk di antara wanita paruh baya, yang sepertinya adalah ibu Andrean.“Mel, apa kamu tidak apa-apa?” tanya Larasati lirih.“Tidak apa-apa, Ibu.”Setelah itu, seorang penghulu dengan berjas hitam itu masuk ke ruangan. Ia menggulirkan manik matanya ke sekeliling.“Jadi, ini mempelai pria dan wanitanya?” tanyanya.“Iya.” Singkat jawaban Andrean pada pria itu.“Silakan jabat tangan saya,”Seorang penghulu yang mengulurkan tangan kanannya, dibalas dengan uluran tangan oleh Andrean.Ijab qobul itu berlangsung dengan lancar, Andrean memberikan seperangkat alat sholat dan uang 10 juta sebagai mahar.“Selamat atas pernikahan kalian,” ucap seorang wanita yang tidak asing di mata Melody.“Cukup, Nad Jangan seperti itu,” ucap Arsen dengan lembut.“Mas, memangnya aku salah memberikan selamat pada istri keduamu?” tanya wanita itu lagi.“Dia Nadea, istriku. Tolong hormati dia seperti kamu menghormati aku, Mel,” tu
"Saran seseorang?" tanya Melody dengan sangat terkejut. "Iya, orang yang cukup dekat denganmu sepertinya," jawab Andrean dengan ragu. "Oh ya, terima kasih untuk hari ini. Apa kamu keberatan tidur di sini sendiri?" tanya Andrean lirih. "Ti-tidak, Mas Suami-" Melody menutup mulutnya dengan dua tangannya. Andrean terlihat kikuk di depan Melody, panggilan yang sengaja ia berikan itu membuat siapa pun akan berpikir dua kali. "Baiklah, aku pamit! Selamat tidur, Mel," pamitnya. Pintu itu kembali tertutup rapat, Melody menatap kepergian Andrean dengan nanar. Menjadi madu tidak sepenuhnya menjadi keinginannya! "Ternyata seperti ini menjadi madu," gumamnya lirih. Melody merebahkan tubuhnya di ranjang, matanya menatap langit-langit kamar. Lampu yang sudah padam dan hanya tersisa cahaya dari balik jendela kaca. "Ibu, aku sudah rindu sekarang," ucapnya lirih. ***Tok tok tok!Ketukan pada pintu kamar itu membuyarkan tidur panjang Melody. Semalam iya tertidur nyenyak sampai lupa makan mal