Tak terasa sudah setengah jam lebih dihabiskan Anne untuk menerima panggilan dari Mama. Ditambah ada beberapa hal yang harus dipersiapkannya tadi. Sampai-sampai tidak sadar ternyata sudah cukup lama ia membiarkan Pramam dan Mara melakukan pemeriksaan.
Anne melangkah gontai melintasi lorong rumah sakit. Tiap melewati poli kesehatan, beberapa dokter praktek keluar dari ruangan dan pergi menuju kantin. Para suster dan karyawan lain pun demikian.
Anne melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Rupanya benar, sudah memasuki jam makan siang. Kalau begitu Dokter Mega pasti sudah selesai memeriksa suami beserta sahabatnya. Baru beberapa langkah melewati poli jantung, Anne menemukan seseorang yang dikenalnya.
“Hai, Sus Ani!” Anne memanggil salah seorang suster yang biasa melayaninya ketika ada urusan di rumah sakit.
Suster Ani mengerjap kaget setelah berhenti mendadak secara refleks. “Lho, Nyonya Anne ke mana aja?”
“Tadi ada urusan sedikit.” Anne meringis. “Suami dan teman saya apa masih diperiksa Dokter Mega, Sus?”
“Dokter Mega lagi makan di kantin, tapi kalau pemeriksaan, sih, sudah selesai,” jawab Suster Ani memberitahu. “Hanya saja Pak Pramam dan Nona Mara masih tinggal di ruangan.”
“Oh, begitu. Makasih, Sus.” Anne tersenyum ramah sebelum akhirnya pergi undur diri. “Mari.”
Sewaktu melintasi kantin rumah sakit yang sudah dipenuhi banyak orang, Anne mendapati sosok Dokter Mega tengah bercengkerama dengan dokter lain. Anne tersenyum sesaat, lalu melanjutkan perjalanan menuju Poli Ibu dan Anak. Setibanya di tempat tujuan, tidak ada Pramam dan Mara yang mengisi tempat tunggu di sana. Hanya satu-dua ibu hamil yang ditemani suami.
Anne berdiri di ambang pintu, hendak meraih kenop untuk mendorongnya. Meski sedikit ragu, ia memasuki ruang dan mendapati dua sosok yang dicarinya. Entah hanya perasaan Anne saja atau bukan, sikap Pramam dan Mara sedikit aneh. Seakan terkejut bukan main atas kemunculannya.
“Aku lihat Dokter Mega lagi brunch di kantin, tapi Mas Pram sama Mara nggak kelihatan. Tahunya masih di sini,” jelas Anne.
Pramam mendekati sang istri, merengkuhnya penuh perhatian. “Di luar panas soalnya, mending di sini dulu sekalian ngadem,” bohongnya yang jelas dibenci Mara.
Anne manggut-manggut mengerti. “Gimana sama pemeriksaannya, Mar?”
“Semua berjalan dengan baik, besok bisa langsung diproses.” Tanpa disuruh, Pramam menyambar lebih dulu daripada Mara.
Yang ditanya malah dipaksa bungkam seakan tidak diberi kesempatan untuk menjawab. Sebanyak apa pun perasaan tak terima itu, Mara harus menyikapinya senormal mungkin agar tidak Anne tidak menaruh curiga.
“Oh ya?” Mata Anne kontan berbinar-binar. Kemudian ia menghampiri Mara yang bergeming di tempat. “Makasih banyak ya, Mar. Aku nggak tahu harus gimana lagi mengucapkan banyak terima kasih ke kamu.”
Mara tersenyum kikuk. “Santai aja, Mbak. Aku senang bisa bantuin Mbak dan Mas Pramam, kok.”
Anne menatap Mara penuh haru, kemudian memberi pelukan hangat, seperti yang biasa mereka lakukan. Sesaat kemudian, Anne beralih pada sang suami. Merangkul lengan Pramam dengan manja seperti biasa.
“Mas, sore ini aku harus terbang ke Surabaya. Arian sakit dan nggak ada yang urus,” ujarnya. “Kamu nggak apa-apa, kan, kalau mengurus semua prosesnya tanpa aku?”
Arian, si bungsu sedang menempuh pendidikan jenjang S2 di universitas negeri Surabaya, mendadak jatuh sakit. Mama mengatakan kalau Arian terkena DBD, tidak ada yang menjaganya di sana selain teman indekos. Sementara itu, Mama-Papa yang sedang tinggal di Malaysia pun tidak bisa pulang tanpa rencana sebelumnya. Alhasil, harapan satu-satunya adalah Anne.
Bahu Pramam merosot bersamaan dengan embusan napas panjangnya. “Berapa hari, Sayang?”
“Mungkin seminggu?”
“Lama juga, ya.”
Mata Anne memicing. “Ini nggak selama waktu kamu ada perjalanan dinas ke luar negeri sampai setengah bulan lebih.”
“Kapan aku pergi selama itu?”
“Sering,” cibir Anne. “Kamu lupa ya, sesering itu sampai nggak ingat sama sekali?”
Pramam mengangkat sebelah tangan, meraih tengkuk dan menggaruknya kemudian. Berusaha mengingat-ingatnya. Sesekali melirik Mara yang langsung berpaling.
“Sebulan lalu kamu pergi ke Kanada, dan itu perjalanan bisnis terlama selama aku jadi istri kamu,” imbuhnya Anne.
Anne mengungkap fakta tentang suaminya cukup enteng tanpa menyadari orang asing tengah memerhatikannya. Tanpa Anne tahu, Pramam ingat betul jika tidak pergi ke Kanada untuk perjalanan dinas, melainkan tinggal di apartemen dengan embel-embel liburan panjang. Selama menetap bersama Mara, tentu mereka tidak hanya tinggal di atap yang sama, melainkan meneruskan hasrat liar yang menggelora.
Mungkin karena dua pekan itu, cukup membuat keberhasilan janin di rahim Mara berkembang dan hidup dengan baik. Ditambah mereka melakukan setiap hari dengan berbagai gaya yang lumrah untuk menghasilkan bayi. Dan sekarang, kegiatan mereka itu membuahkan hasil yang tak disangka-sangka.
***
“Nyonya Anne?”
Dokter Mega menyapa. Namun, muncul raut terkejut yang jelas tergambar di wajah kemudian. Irisnya juga bergerak pada dua orang di belakang Anne yang terlihat akan tercekik oleh suasana sekitar.
Anne tersenyum ramah. “Dok, tolong lakukan yang terbaik untuk program rahim pengganti saya, ya,” katanya sambil menggenggam tangan Dokter Mega erat dengan tatap yang melirik ke belakang. “Mas Pramam dan Mara sudah berjanji akan bekerjasama dengan dokter sebaik mungkin.”
Sebelah alis Dokter Mega terangkat. “Program rahim pengganti?”
Mengangguk pelan, Anne mengiyakan. “Saya buru-buru, Dok. Sisa penjelasannya bisa beritahu suami dan sahabat saya,” tandasnya sebelum berlalu begitu saja. “Terima kasih, mari Dokter Mega.”
Pramam dan Mara masih di tempat yang sama. Keduanya saling bertatapan sesaat dan duduk di kursi masing-masing selagi menunggu Dokter Mega ikut duduk. Kemudian siap melayangkan beberapa tanya.
“Pak Pramam, saya belum mengerti maksud dari perkataan istri Anda mengenai program yang sudah jelas kita batalkan tadi.” Dokter Mega memandangi dua orang itu bergantian. “Apa bisa Anda jelaskan, dan … soal Nona Mara, mohon maaf, saya tidak bisa menyanggupi keinginannya untuk aborsi.”
Pramam meletakkan kedua tangannya di atas meja, sorotnya berubah dua kali lebih serius. “Mara tidak akan melakukan aborsi dan program rahim pengganti akan terus dilaksanakan seperti kemauan istri saya, Dok.”
“Apa Pak Pramam sudah memberitahu Nyonya Anne?”
“Dok, saya harap Anda bisa membantu dan bekerjasama dengan kami.”
“Membantu dalam hal?” tanya Dokter Mega.
Seakan tidak memberikan hak Mara menjelaskan banyak pada Dokter Mega, Pramam kembali menyambar buru-buru, “Katakan saja pada istri saya kalau program rahim pengganti sudah terlaksana dan … pembuahannya berhasil karena janin dalam kandungan Mara—“
“Jadi, Bapak meminta saya untuk membohongi Nyonya Anne dengan memalsukan data janin itu?” simpul Dokter Mega.
“Kalau Dokter Mega keberatan, kita bisa batalkan dan mengungkapkan semuanya pada Mbak Anne,” pinta Mara kali itu.
Pendapat Mara nyatanya tak berguna sama sekali. Pramam membuatnya seperti angin lalu dan tidak akan didengar Dokter Mega sampai kapan pun. Toh, semua gampang diatur kalau uang sudah berbicara.
Mengingat sel telur dan sperma sudah dibekukan sejak lama di rumah sakit. Ditambah kepergian Anne yang mendadak. Semua akan berjalan dengan mudahnya jika program dipalsukan.
“Saya akan bayar Anda dengan jumlah fantastis, Dok,” tawar Pramam telak.
“Pak Pramam,” tegur Dokter Mega melepaskan kacamatanya tak habis pikir.
“Suami dan anak Anda sedang melakukan perawatan di Singapura, ‘kan? Tentu harganya tidak semurah yang dibayangkan. Itulah mengapa, biarkan saya membayar tagihan rumah sakitnya, sementara Dokter membantu saya.”
Kedua alis Pramam terangkat, lalu ia mengusap dagu dengan telunjuk. Dalam situasi pelik seperti ini pun, cukup mudah bagi Pramam yang memiliki kemampuan berbisnis tingkat tinggi. Lahir dengan otak yang mumpuni sekaligus tumbuh dari keluarga berada.
Semua tampak semudah itu menggoyahkan perasaan seorang dokter yang dikenal anti suap seperti Dokter Mega. Pramam memutar otak dan menemukan titik kelemahan sang dokter dan memanfaatkannya kemudian. Melihat bagaimana perubahan air muka Dokter Mega yang terlalu signifikan, satu lengkungan sempurna muncul di bibir Pramam.
Tangannya terulur ke depan sambil berujar, “Bagaimana … deal?”
Begitu mendapati sosok Mara yang melangkah mendekati mejanya, Pramam segera mematikan putung rokok yang semula menyala. Tinggal separuh kiranya, ia memilih menghentikan sejenak. Tak ingin kandungan Mara berubah buruk, sebab ia begitu menyayangi si jabang bayi.Bersama kemeja coklat muda serta celana pendek yang dibandrol harga puluhan juta, pria itu melepas kacamata hitamnya. Memandang dari ujung kaki hingga kepala Mara yang terlihat memanjakan mata. Ia lantas tersenyum dan mempersilakan gadis itu duduk.Mara menempatkan diri, menaruh tas di sampingnya. Hingga kemudian, Pramam melempar sebuah dokumen yang dibalut amplop coklat. Mengedikkan dagu agar Mara mengambilnya.“Kamu bisa baca syarat dan ketentuan di berkas itu,” titahnya pada Mara.Hanya melirik sesaat, Mara memalingkan wajah. “Mbak Anne udah kirim salinannya ke aku.”Tepatnya sore di hari yang sama sewaktu Pramam membuat kesepakatan dengan Dokter Mega, rupanya Anne mengirimkan sesuatu pada Mara melalui surel. Mungkin benar, s
Anne tidak merasa aneh awalnya. Ketika Pramam mendadak menelepon dan meminta Mara untuk tinggal bersama di rumah mereka. Namun, sejalan dengan langkahnya yang bergerak kembali ke kamar sang adik di rawat, pikirannya menjadi penuh. Beragam kemungkinan dan dugaan memenuhi kepala. Lagi pula urusan berkas perjanjian sudah disetujui Mara. Lalu mendadak suaminya justru memohon agar Mara pindah tempat tinggal sementara. Meskipun Anne sudah menyiapkan banyak hal di suatu apartemen untuk kebutuhan Mara, tetap saja suaminya kekeh memaksa. Dan satu hal yang menyorot kecurigaan, dalam berkas yang dibuatnya, Mara akan mulai tinggal ketika sel embrio mulai berkembang. Dokter Mega pun belum mengatakan apa pun pada Anne tentang proses itu. Rasanya ada yang kurang beres kalau begini. “Mbak Ann apa nggak sebaiknya pulang aja ke rumah?” ujar Arian. “Aku nggak enak sama Mas Pram. Kesannya aku nahan Mbak di sini, jadi nggak bisa urus suami.” Anne berjengkit, lamunannya disudahi begitu saja akibat tutu
Anne menutup wajah, air mata sudah membanjiri pipi. Buru-buru ia menyeka dan beranjak pergi ke toilet. Alasannya mengurusi Arian merupakan dalih agar telepon dari Ina tadi bisa dihentikan secepat mungkin. Air mata Anne tak terbendung lagi jika ditahan terus-menerus. Begitu sampai di bilik toilet, Anne menghempaskan diri dan duduk di atas kloset. Tangisnya tumpah dan kian menderas tanpa suara. Dering gawai yang nyaring mengambil alih atensi Anne. Ia merogoh tas dan meraih ponsel. Rupanya Arian yang menelepon. “Mbak di mana? Mas Pram datang nih, Mbak. Aku baru bangun, udah ada orangnya aja di sini.” Begitu kata Arian di awal pembicaraan. Anne mengerjap kaget. “Mas Pram?” tanyanya tak peduli seberapa parau suaranya sekarang. “Mbak Ann lagi nangis?” Sedikit menjauhkan ponsel, Anne menenangkan diri sejenak. Kemudian ia kembali menyahuti Arian. “Sebentar lagi Mbak ke kamar kamu, ini masih di luar,” sergahnya yang langsung mematikan telepon. Wanita itu menarik napas dalam-dalam. Menga
Pramam membuang napas kasar ke sekian kali. Ditatapnya pintu ruang VIP sembari memanggil salah satu staffnya. Barangkali Anne kembali dari toilet tanpa sepengetahuannya. Itu jelas akan membahayakan rumah tangga serta kehamilan Mara nantinya.Ia berhasil menghubungi Adrin. Pria yang sudah bertahun-tahun bekerja dengannya dan mampu menjaga rahasia. Belum lagi ketika masih menjalin hubungan dengan Mara, Adrinlah yang kerap membantu Pramam mengatasi segala kemungkinan terburuk.“Pokoknya kamu urus Mara di rumah selagi Ibu saya datang, jangan sampai gadis itu mengatakan hal-hal di luar rencana,” titah Pramam pada Adrin yang langsung disetujui.“Kalau ada masalah sedikit saja, saya bisa lenyapkan kamu, Drin,” sambungnya.Sambungan itu lekas dimatikan sebelum Anne kembali. Tepatnya satu menit setelahnya, sosok istri Pramam membuka pintu dan memberikan senyum manis. Parasnya yang ayu tampak jauh lebih segar daripada tadi di rumah sakit.Pramam kontan mendekat, memeluk tubuh Anne dan mengusap
Pramam mengangsurkan piring berisi buah-buahan segar, seperti anggur merah kesukaan Anne. Wanita yang baru saja menuntaskan mandinya kini melangkah menuju bibir ranjang. Tubuhnya sudah dibalut bathrobe bersama rambut yang dilapisi handuk.Anne akhirnya bermalam di kamar hotel yang dipesan sang suami. Begitu mendapati izin dari Arian, tentu saja Pramam girang dan meminta jatah untuk ke sekian kali. Meski Anne sudah menolak karena lelah, tapi mereka tetap melakukannya hingga Pramam terlelap demi menghindari pertanyaan sang istri soal Dokter Mega.“Coba dulu, Sayang.”Pramam memberikan sebutir anggur untuk disuapkan pada Anne. Wanita itu membuka mulut lebar dan menerimanya. Gigitan pertama berhasil membuat irisnya membulat akibat rasa manis yang menyegarkan memenuhi mulut.“Enak banget, mau lagi!” pintanya kemudian yang langsung dipenuhi Pramam.Setelah puas menyuapi istri, Pramam merebahkan diri dengan menumpu kepala menggunakan tangan. Tatapnya terus tertuju pada pesona Anne yang kini
Menggigit bibir, Anne meraih gelas dan menenggaknya pelan. Di hadapannya, Pramam masih sibuk mengunyah potongan melon dan beberapa butir anggur. Pria itu memang rutin mengonsumsi buah dan sayur, pantang memakan gorengan.“Mas?”Sekembalinya di meja yang ditempati Pramam, Anne disergap kebingungan juga kaget. Apa benar yang dibahas beberapa orang tadi soal suaminya?“Ada apa?”Pramam spontan menatap Anne, tangannya terulur hendak menyuapi potongan melon di garpu. Namun, Anne menolak karena sudah kenyang. Sebuah pertanyaan sudah mengendap di kepala, tapi mendadak Anne membatalkannya karena ragu. Kalau Anne melakukan konfrontasi sekarang, apa mungkin Pramam akan mengaku?Lagi pula, Pramam kerap datang bersama sekretarisnya ke hotel untuk melakukan meeting atau menjalankan perjalanan bisnis ke luar kota. Bukankah wajar jika petugas hotel menganggap sekretaris tersebut adalah istri atau pasangan Pramam?Lantas Anne menggeleng. “Aku harus buru-buru ke rumah sakit, takut Ari ada perlu,” kata
Tak banyak perbedaan yang Anne sadari ketika menapaki jejak di rumah. Salah satunya yang mudah terlihat adalah bunga segar yang diletakkan di meja dan beberapa sudut ruang. Aroma masuk dengan baik ke hidungnya. Membuat perasaan menghangat setelah dibuat gondok.“Selamat datang, Bu,” sapa Rina, si asisten muda yang kerap mengurusi keperluannya.“Rumah baik-baik aja, ‘kan?”“Baik, Bu, semua aman.”“Terus ini?” tunjuk Anne pada hiasan bunga yang tersebar. “Bapak yang sengaja buat ide begini buat penyambutan kepulangan saya?”Mengerjap bingung, Rina pun menggeleng pelan. “Anu … ini buat Non Mara yang katanya ngidam harum bunga.”Kepala Anne kontan meneleng. Ditambah kedua alisnya yang bertaut dan membentuk kerutan jelas di kening. Perlahan matanya pun bergerak menyipit, berusaha mencerna ucapan Rina.“Ngidam, kamu bilang?”“Iya, Bu.”Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, Anne memejamkan mata sejenak. Kalau Mara sudah berada di tahap ngidam, bukankah sudah jelas kalau gad
Perkara nasi putih di meja makan pun mampu membuat mood Anne kembali berantakan. Beruntung Rina cepat-cepat mempersiapkan nasi merah kesukaan sang majikan. Piring dengan satu centong nasi itu sudah disodorkan dihadapan Anne.Wanita itu mengambil lauk seadanya dan menyantap dalam diam. Sementara Mara memilih duduk dengan tampang was-was. Rina turut melarikan diri dengan memanggil Pramam untuk ikut serta.Pria itu betulan datang tak lama kemudian. Menangkap dua wanita yang duduk berseberangan dengan suasana mencekam. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya jika Anne dan Mara akan hidup satu rumah begini. Terlebih keduanya tampak normal dan tentunya akrab.“Makannya kok cemberut begitu, Sayang?” celetuk Pramam seraya memberi kecupan di kepala Anne.Si wanita menengadah, menangkap paras tampan suaminya. Lantas ia tersenyum geli dan meraih lengan Pramam untuk duduk di sampingnya. Tak lupa jemarinya menyangkut di milik Pramam seperti enggan berpisah, meski ada Mara dan Rina di sana.“Ada dada ay