“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
Anne baru menuangkan kopi hangat ke cangkir ketika suaminya menuruni anak tangga terakhir. Ia menyunggingkan senyum semringah dan mengucap selamat pagi seperti biasa. Pramam membalas dengan mendaratkan kecupan singkat nan manis di kening Anne, lalu tangannya terulur pada perut menggembung sang istri. Pramam mengusap lembut, dan mengecupnya berkali-kali hingga Anne merasa diterjang rasa geli yang aneh. Ia tertawa kecil sambil membelai rambut Pramam pelan. “Kamu udah dibilangin jangan capek-capek ngurus ini dan itu, tapi kenapa masih ngerjain pekerjaan rumah?” Pramam bertanya begitu duduk di kursi. “Astaga, Mas, aku cuma buatin kamu kopi. Ini nggak akan menguras tenagaku dan jabang bayi kita,” balas Anne dengan mengerucutkan bibir. Pramam mengerlingkan mata, lantas ia menyeduh kopi buatan istrinya. Sesaat irisnya membulat, menunjukkan rasa nikmat tiada tara. Diambilnya roti panggang yang sudah dipersiapkan asisten rumah tangga untuk sarapan. “Dokter Mega terus ingatkan aku buat jaga
Pramam mengaduk saku celana saat ponselnya bergetar tak karuan, buru-buru ia mengeluarkannya. Siapa tahu orang penting memanggilnya, salah satunya Anne. Begitu melihat nama yang muncul di layar, napas Pramam tertahan.Ia memijat sesaat pangkal hidung sembari memejamkan mata. Di awal hari seperti ini, pasti ibunya baru melakukan panggilan dengan Anne. Lalu sesi berikutnya, sang ibu mengeluh sifat Anne yang inilah, itulah. Pramam mencoba mengumpulkan kesabaran sebelum akhirnya menggeser layar.“Pram, kamu udah di kantor?”“Iya, Bu. Ada meeting pagi sama klien sebentar lagi,” balas Pramam berusaha tenang. “Ada apa, Bu?”“Itu lho, istri kamu, si Anne.”Benar, ‘kan? Perbincangan ini tak akan jauh dari persoalan Anne dan ibunya yang kerap menjadi bahan keluhan. Hingga kini Pramam belum bisa mengerti, mengapa ibunya setega itu menyimpan rasa benci pada menantunya sendiri. Dalam situasi di mana Anne tengah mengandung cucunya.“Bisa nggak, sih, dia ngurus kamu dengan benar? Kerjanya cuma makan
Tanpa berucap, Pramam merengkuh Anne. Meletakkan kepala istri di dadanya. Tangannya pun ikut sibuk membelai punggung Anne yang terkesan ringkih.Hingga kemudian, bibirnya bergerak dan mengucapkan sesuatu, “Kita harus relakan dia, Ann. Aku yakin, kamu kuat.”Detik berikutnya, dorongan kuat menghantam Pramam. Ada kilat amarah sekaligus kecewa tergambar di mata indah itu. Anne menggeleng cepat, air matanya tumpah ruah, tapi tak ada isak tangis menyertainya.“Aku masih ngerasain dia hidup di perutku, Mas. Anak kita … baik-baik aja,” tandas Anne sambil membelai perutnya. “Jangan iseng gitu, deh. Soal pendarahan, kamu tahu sendiri kalau aku sering mengalami itu. Ini bukan apa-apa, Mas.”“Ann, tolong,” ujar Pramam lirih. “Kita harus ikhlaskan dia, sekarang waktunya kita biarkan dia keluar, ya?”Anne menyeka dagu yang terus meneteskan air di sana, gelengan itu muncul lagi dan semakin cepat. “Masih beberapa bulan lagi, kamu yang sabar dong. Jangan paksa anak kita!”“Anne! Ini demi kebaikan kam
“Rupanya kamu udah menikah, Mas.” Mara terkekeh geli. “Dan kamu suaminya pelanggan VIP, sahabat, sekaligus orang yang udah aku anggap kakakku sendiri.”Pramam bergeming di tempat. Dapat ia lihat betapa frustasinya si gadis. Ditambah sorot geli bercampur jijik mengarah padanya. “Sejak kapan kamu berteman sama Anne, Ra?” tanya Pramam pada akhirnya.“Itu bukan urusan kamu!” tandas Mara yang disertai amarah berapi-api. “Aku nggak nyangka bisa menjalin hubungan, bahkan setahun lamanya sama suami orang.”“Ra.” Tangan Pramam mengulur, berniat menggapai bahu Mara yang tersengal. Namun, ditepis wanita muda itu. “Tega benar kamu mengkhianati orang sebaik Mbak Anne,” isak Mara sambil menggeser duduknya. “Dan berani-beraninya kamu bilang sama aku kalau statusmu selama ini single. Astaga, udah seberapa banyak hal yang kamu sembunyikan, Mas?” “Ra, maafkan aku.”Pramam sengaja berlutut di depan gadis yang memanggilnya dengan sebutan ‘Mas Uki’ setiap kali bertemu. Dan puncaknya, sewaktu berada di
“Maksud kamu, rahim pengganti? Apa aku harus membuahi perempuan lain sampai dia hamil?” tanya Pramam bersamaan dengan pelukan yang mengendur dan munculnya kerutan di kening. “Enak aja!” seru Anne, sebal. “Itu sih keenakan kamu nanti. Prosesnya kayak bayi tabung, kok, bedanya cuma di tempat janin berkembang. Dia akan tumbuh di tempat lain, bukan di rahimku.”Tatapan Pramam kosong, lalu ia kembali pada kesadarannya kini dan bertanya, “Ann, kamu serius?”“Ya, aku udah memikirkan hal ini matang-matang,” sahut Anne antusias. “Jauh sebelum ini, aku udah konsultasi ke Dokter Mega dan dia menyanggupi untuk membantu kita.”Kini giliran Anne yang meraih tangan Pramam. Menggenggam milik suaminya yang dipenuhi guratan otot di sana. “Mas mau, ‘kan?” tanyanya memastikan. “Aku yang akan mempersiapkan semuanya, Mas tinggal hadir saat prosesnya aja nanti.”Pramam mengembuskan napas panjang. “Memang perempuan mana yang mau rahimnya kita sewa, Ann?”“Ada, kok.”Laki-laki itu masih tak habis pikir pada
Sudah beberapa menit berselang, Anne tak juga mendapat jawaban. Lantas ia memilih menyesap cangkir tehnya perlahan. Tatapnya masih terpaku pada wajah Mara yang tampak kaku di tempat.“Kalau kamu nggak mau jawab juga nggak masalah, kok.” Anne tersenyum simpul. “Mungkin aku yang salah dengar.”Mara mengangguk pelan. Maniknya terus bergerak seakan menghindari tatapan Anne. Hingga kemudian, ia meraih minuman dan menenggaknya asal. Tanpa berpikir betapa menyiksanya menelan air yang lumayan panas itu.“Berarti kamu nggak masalah sama sekali kalau harus ambil cuti dari klinik, ‘kan?”“Aku udah sempat ngobrol-ngobrol ke managerku, Mbak, jadi … aman-aman aja,” balas Mara seraya mengusap tenggorokan. Efek panas benar-benar membuatnya kepayahan.Anne mengangkat alis. “Bagus deh, soalnya aku nggak mau kalau kamu kecapekan. Nanti bayinya kenapa-napa.”“Mbak tenang aja, aku pasti selalu jaga diri.” Mara meraih tangan Anne dan menggenggamnya. “Ini semua demi kebahagiaan Mbak Ann, demi keturunan Mbak