Share

8. Ide Gila Pramam

Kiranya butuh waktu setengah jam bagi Pramam dan Anne untuk meminta Ina Basuki pulang. Meski ada perdebatan alot yang memusingkan kepala, beruntungnya wanita dengan mulut pedas itu menuruti kemauan sang putra. Anne langsung ngptot memaksa Pramam ke rumah sakit begitu mertuanya pergi.

Setibanya di rumah sakit, langkah Anne terjeda karena panggilan mendesak. Pramam lekas mengijinkan istrinya pergi. Sementara itu, ia memasuki ruangan yang sudah ada Dokter Mega serta Mara di dalam.

“Maaf, Dok, tadi ada urusan mendadak di rumah, jadi saya telat datang,” kata Pramam tak enak hati. “Sementara istri saya sedang mengangkat telepon penting, sebentar lagi mungkin menyusul.”

“Baik, Pak Pram.” Dokter Mega mengiyakan, seolah tak keberatan jika pasangan suami istri itu lumayan membuang waktunya. “Jadi, begini Pak—“

Lekas Mara memotong dan memohon seperti tadi. “Dok, saya mohon ….”

Vokal gadis itu terdengar parau, menyulut perhatian Pramam yang seketika mengkhawatirkannya. Ia hendak menanyakannya langsung, tapi situasinya akan semakin rumit jika Dokter Mega mulai curiga. Alhasil, Pramam hanya menunggu respon sang dokter.

Si dokter berdeham pendek. “Setelah saya cek, rupanya ada kesalahan dan sepertinya Nona Mara tidak cocok dijadikan kandidat rahim pengganti Nyonya Anne.”

“Tidak cocok?” ulang Pramam setengah terkejut. “Apa ada yang salah dengan tubuh Mara? Dia sakit?”

Sekali lagi, pria itu berupaya memasang raut terkejut dan juga kecewa. Tentu bagi Pramam itu merupakan kabar baik yang ia ingin dengar. Rupanya kekhawatirannya soal Mara akhirnya selesai tanpa harus membongkar semua aksi bejatnya di belakang Anne. Akan tetapi, jika alasannya karena kondisi Mara kurang baik, mungkin Pramam akan berubah khawatir.

“Kondisi Nona Mara baik-baik saja dan sangat sehat.”

Kening Pramam berkerut-kerut. “Terus apa masalahnya, Dok?”

Di tempat duduknya, Mara menundukkan kepala. Sudah berserah dengan apa yang akan terjadi nanti. Enggan menatap kedua manusia di sekeliling, terutama Pramam yang mudah sekali membaca ekspresinya.

Sesaat Dokter Mega melirik Mara. Kemudian ia angkat suara, “Nona Mara … hamil.”

Jantung Pramam mencelus. Tubuh mendadak lemas dan seketika ia menjatuhkan punggung di sandaran kursi. Beruntung tangannya memiliki refleks baik hingga berpegangan di ujung meja. Mendapati reaksi Pramam yang berlebihan, Dokter Mega memicing di balik kacamata tebalnya.

“Kalau sudah begini, program rahim pengganti tidak bisa dilanjutkan bersama Nona Mara, Pak.”

Pramam terdiam, masih kelihatan syok. Bingung harus merasa bahagia atau sedih karena jabang bayi yang tengah dikandung Mara adalah darah dagingnya sendiri. Pramam tak mungkin melupakan tiap momen manis berselimut panas tiap kali menginap di apartemen. Bersama Mara, ia habiskan malam yang dipenuhi lenguhan di atas ranjang, meja makan, dapur, atau kalau sedang tinggi-tingginya, mereka melanjutkan sesi di kamar mandi sekalian membersihkan diri.

Dari sekian momen yang terjadi, Pramam biasa melakukannya tanpa pengaman. Tanpa mengeluarkannya di luar. Lagi pula Mara suka sekali jika Pramam sengaja menyemburkannya di dalam. Itu bukan masalah bagi Mara jika hamil karena ia belum tahu status Pramam kala itu, meskipun ia tahu kalau si gadis kerap mengonsumsi kontrasepsi darurat setelahnya.

Akan tetapi, sekarang? Semua berubah. Tatapan Pramam beralih pada Mara yang masih tertunduk saat itu. Perlahan Pramam meraih pundak Mara agar kepalanya terangkat dan mereka bisa saling menatap.

“Kamu benar hamil, Ra?”

Mara menggigit bibir bawah. Menghindari tangis yang hendak luruh saat itu juga. Bukannya langsung menjawab, Mara justru menatap tajam dokter.

“Ini bisa dilanjutkan kalau saya merelakan janin ini, ‘kan, Dok?” tanya si gadis memastikan.

“Nona—“

Pramam langsung menyambar, “Mara, jangan gila kamu!”

Dokter Mega tampak bingung melihat dua pasiennya yang mendadak berdebat. Suasananya juga sedikit aneh, gambaran kemarahan yang tersorot dari wajah Pramam seakan ia tujukan pada pasangannya sendiri. Sementara itu Mara yang berusaha memberi sekat pada Pramam untuk memahami batasan yang ia buat.

“Sebaiknya kita bicarakan ini dengan Nyonya Anne,” cetus Dokter Mega setengah pasrah.

“Jangan!” Seruan itu muncul bersamaan dari Pramam dan Mara.

Dari sana, Dokter Mega sudah mengambil kesimpulan bahwa dugaannya memang benar. Memang ada sesuatu di antara dua orang di hadapannya. Entah hubungan apa, yang jelas janin Mara kemungkinan besar adalah anak Pramam.

“Dok, bisa lakukan USG sekarang?” tanya Pramam setelah beberapa waktu terdiam.

Mara mengerutkan kening, refleks bertanya, “Buat apa, Mas?”

“Tolong, Dok,” kata Pramam lagi, mengabaikan gadis di sampingnya.

“Bisa,” balas Dokter Mega yang kemudian memandang Mara. “Silakan Nona Mara berbaring di atas sana.”

Pramam ikut beranjak, mengajak Mara untuk menuruti perintah dokter, hingga gadis itu tak mampu berkutik. Lantas ia beringsut dan menaiki ranjang dengan pakaian yang kembali disingkap. Bagian perutnya terasa dingin ketika Dokter Mega mengolesi sebuah cairan seperti gel.

Di hadapannya, sudah ada layar monitor yang menunjukkan seperti apa pemandangan di dalam rahimnya. Begitu ditempeli alat, Dokter Mega memberitahu bentuk janin Mara. Pramam tak henti-hentinya memandangi layar itu, senyum samar terlihat dan menandakan betapa bahagianya si pria.

“Masih sangat kecil, tapi dia sangat sehat sejauh ini,” ungkap Dokter Mega seraya tersenyum.

Mara enggan menatap layar. Malah sengaja memalingkan wajah agar tidak melihat seperti apa bentuk anaknya. Ia terus menggigit bibir hingga sentuhan merayapi tangan.

“Lihat anak kamu, Ra.” Pramam menggenggam tangan Mara yang terkepal kuat. “Darah dagingmu sendiri, apa kamu tega mau bunuh dia yang nggak berdosa sama sekali.”

Mara masih terdiam. Masih memejamkan mata, sementara Pramam baru meminta hasil USG untuk dicetak pada Dokter Mega. Matanya berbinar-binar, tak sabar menerima hasilnya untuk dikenang.

“Terima kasih bantuannya, Dok,” kata Pramam. “Apa Dokter bisa membiarkan kami berdua sebentar di sini? Dan jangan dulu mengatakan soal kehamilan Mara pada Anne.”

Dokter Mega menghela napas sesaat, lalu mengangguk dan meminta suster untuk mematuhi keinginan Pramam. Berhubung jam makan siang sudah berlangsung, dokter tidak akan menolak. Pintu tertutup rapat, menandakan tidak ada orang selain Pramam dan Mara di ruangan itu. Mara bangkit duduk di pinggiran ranjang, merapikan pakaiannya yang setengah kusut.

“Apa hak kamu bilang kayak gitu di depan Dokter Mega, Mas?” Mara memulai pembicaraan.

Pramam menoleh. “Itu anakku. Aku ayahnya.”

Mara menyeringai. “Tapi aku yang berhak atas tubuhku sendiri, kamu jangan seenaknya ikut campur hanya karena ada benih kamu tumbuh di rahimku.”

Pramam kembali diperingatkan dengan ucapan yang sama seperti sebelumnya. Kalau kemarin ia bisa mengalah, tapi tidak dengan sekarang. Pramam tak mungkin membiarkan Mara membunuh anaknya sendiri hanya karena ingin memenuhi permintaan Anne. Dari sikapnya yang tampak, Mara hanya ingin menunjukkan rasa bersalahnya terhadap Anne hingga ia rela melakukan apa pun, terutama merelakan jabang bayinya.

“Kalaupun aku membiarkan anak ini lahir, kami akan menjadi sampah masyarakat,” tukas Mara dengan suara parau. “Anak ini akan hidup tanpa sosok ayah karena kesalahan ibunya sendiri.”

Pramam menelan ludah kepayahan. Memandang lurus Mara, hendak memeluk gadis itu, tapi diurungkannya kemudian. Jelas jika anak itu lahir, Pramam tak mungkin membiarkan Mara berjuang seorang diri sebab ia sadar tanggungjawabnya. Namun, bagaimana jika Anne tahu?

 “Aku akan merasa sangat bersalah jika membiarkannya hidup dan lahir ke dunia nanti, Mas,” sambung Mara.

Suasana mendadak hening. Pramam menjatuhkan diri di bangku sambil memangku kedua sisi wajahnya. Tatapannya gamang bersama raut wajah yang berubah kusut, tidak secerah sebelumnya.

“Pertahankan bayi itu, aku mohon.” Perkataan Pramam tidak terdengar seperti permohonan, melainkan bagai titah yang sulit ditolak.

Iris Mara bergetar. “Maksud kamu … kamu akan beritahu semua pada Mbak Anne soal masa lalu kita?”

Pramam mengangkat wajahnya, membalas tatapan bingung Mara. “Nggak akan, tapi program itu tetap bisa berjalan.”

“Mas, jangan bilang kamu mau—“ Mara tak sanggup melanjutkan kata-katanya begitu paham maksud Pramam.

Dalam kepala, muncul Anne yang kontan memberikan tamparan telak di pipi. Lalu sumpah serapah yang biasa wanita lontarkan pada orang ketiga dalam hubungannya. Menggeleng cepat, Mara enggan meneruskan karena terasa sangat menyeramkan.

“Mungkin apa yang ada dalam bayanganmu itu benar, Dokter Mega nggak perlu memasukkan sel sperma dan sel telur ke rahim kamu. Anggap saja janin itu hasil pembuahan dari milikku dan Anne.”

Seketika Mara menggeleng cepat. “Itu ide gila yang pernah aku dengar.”

Pramam bergerak bangkit dan melangkah menghampiri Mara. Ikut duduk di samping si wanita dan mencoba mempersingkat jarak dengan mencondongan tubuh. “Anne nggak akan tahu kalau kita bisa melobi Dokter Mega,” bisiknya masih berusaha membujuk.

Mara menarik mundur tubuhnya. Menggeser agar menjauh dari radar Pramam. “Setelah kita berkhianat pada Mbak Anne, sekarang kamu meminta aku untuk membohongi dia juga?” Mara mengesah kasar, tak habis pikir. “Ke mana hati nuranimu sebagai suami Mbak Anne, Mas?”

“Justru ini demi kebaikan Anne dan anakku,” tandas Pramam yang nada suaranya naik setingkat. “Aku nggak mungkin membiarkan kamu membunuh bayiku, Ra. Jangan harap aku akan tinggal diam.”

“Mas!”

Lagi, Pramam mendekatkan diri. Meraih pundak Mara dan mencengkeramnya kuat-kuat. “Kadang kejujuran bisa menyakiti manusia berkali lipat, aku mana tega membuat Anne menangis dan menjauh. Aku nggak bisa hidup tanpa Anne dan … kamu, Ra.”

“Kamu tahu? Selama aku hidup, baru kali ini aku ketemu orang yang serakus dan seegois kamu, Mas.” Mara terkekeh geli bersama gelengan kepalanya yang menunjukkan rasa jijik. “Sungguh aku nggak menyangka pernah jatuh cinta sama pria brengsek kayak kamu!”

“Kalau begitu jangan tinggalin aku,” perintah Pramam santai. “Lebih baik kamu setuju dengan usulan ideku ini. Karena kalau kamu menolak—“

“Apa? Aku akan jatuh miskin dan dijauhi orang-orang?” tebak Mara yang tahu sekali tabiat orang kaya seperti Pramam. “Lebih baik aku mati!”

Pramam tersentak. “Jaga omongan kamu, Mara! Kamu sedang mengandung, tidak sepantasnya kamu berkata seperti itu!”

“Persetan!” maki Mara yang seraya bangkit dari duduk. “Aku … akan gugurkan kandungan ini,” tandasnya begitu yakin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status