Kiranya butuh waktu setengah jam bagi Pramam dan Anne untuk meminta Ina Basuki pulang. Meski ada perdebatan alot yang memusingkan kepala, beruntungnya wanita dengan mulut pedas itu menuruti kemauan sang putra. Anne langsung ngptot memaksa Pramam ke rumah sakit begitu mertuanya pergi.
Setibanya di rumah sakit, langkah Anne terjeda karena panggilan mendesak. Pramam lekas mengijinkan istrinya pergi. Sementara itu, ia memasuki ruangan yang sudah ada Dokter Mega serta Mara di dalam.
“Maaf, Dok, tadi ada urusan mendadak di rumah, jadi saya telat datang,” kata Pramam tak enak hati. “Sementara istri saya sedang mengangkat telepon penting, sebentar lagi mungkin menyusul.”
“Baik, Pak Pram.” Dokter Mega mengiyakan, seolah tak keberatan jika pasangan suami istri itu lumayan membuang waktunya. “Jadi, begini Pak—“
Lekas Mara memotong dan memohon seperti tadi. “Dok, saya mohon ….”
Vokal gadis itu terdengar parau, menyulut perhatian Pramam yang seketika mengkhawatirkannya. Ia hendak menanyakannya langsung, tapi situasinya akan semakin rumit jika Dokter Mega mulai curiga. Alhasil, Pramam hanya menunggu respon sang dokter.
Si dokter berdeham pendek. “Setelah saya cek, rupanya ada kesalahan dan sepertinya Nona Mara tidak cocok dijadikan kandidat rahim pengganti Nyonya Anne.”
“Tidak cocok?” ulang Pramam setengah terkejut. “Apa ada yang salah dengan tubuh Mara? Dia sakit?”
Sekali lagi, pria itu berupaya memasang raut terkejut dan juga kecewa. Tentu bagi Pramam itu merupakan kabar baik yang ia ingin dengar. Rupanya kekhawatirannya soal Mara akhirnya selesai tanpa harus membongkar semua aksi bejatnya di belakang Anne. Akan tetapi, jika alasannya karena kondisi Mara kurang baik, mungkin Pramam akan berubah khawatir.
“Kondisi Nona Mara baik-baik saja dan sangat sehat.”
Kening Pramam berkerut-kerut. “Terus apa masalahnya, Dok?”
Di tempat duduknya, Mara menundukkan kepala. Sudah berserah dengan apa yang akan terjadi nanti. Enggan menatap kedua manusia di sekeliling, terutama Pramam yang mudah sekali membaca ekspresinya.
Sesaat Dokter Mega melirik Mara. Kemudian ia angkat suara, “Nona Mara … hamil.”
Jantung Pramam mencelus. Tubuh mendadak lemas dan seketika ia menjatuhkan punggung di sandaran kursi. Beruntung tangannya memiliki refleks baik hingga berpegangan di ujung meja. Mendapati reaksi Pramam yang berlebihan, Dokter Mega memicing di balik kacamata tebalnya.
“Kalau sudah begini, program rahim pengganti tidak bisa dilanjutkan bersama Nona Mara, Pak.”
Pramam terdiam, masih kelihatan syok. Bingung harus merasa bahagia atau sedih karena jabang bayi yang tengah dikandung Mara adalah darah dagingnya sendiri. Pramam tak mungkin melupakan tiap momen manis berselimut panas tiap kali menginap di apartemen. Bersama Mara, ia habiskan malam yang dipenuhi lenguhan di atas ranjang, meja makan, dapur, atau kalau sedang tinggi-tingginya, mereka melanjutkan sesi di kamar mandi sekalian membersihkan diri.
Dari sekian momen yang terjadi, Pramam biasa melakukannya tanpa pengaman. Tanpa mengeluarkannya di luar. Lagi pula Mara suka sekali jika Pramam sengaja menyemburkannya di dalam. Itu bukan masalah bagi Mara jika hamil karena ia belum tahu status Pramam kala itu, meskipun ia tahu kalau si gadis kerap mengonsumsi kontrasepsi darurat setelahnya.
Akan tetapi, sekarang? Semua berubah. Tatapan Pramam beralih pada Mara yang masih tertunduk saat itu. Perlahan Pramam meraih pundak Mara agar kepalanya terangkat dan mereka bisa saling menatap.
“Kamu benar hamil, Ra?”
Mara menggigit bibir bawah. Menghindari tangis yang hendak luruh saat itu juga. Bukannya langsung menjawab, Mara justru menatap tajam dokter.
“Ini bisa dilanjutkan kalau saya merelakan janin ini, ‘kan, Dok?” tanya si gadis memastikan.
“Nona—“
Pramam langsung menyambar, “Mara, jangan gila kamu!”
Dokter Mega tampak bingung melihat dua pasiennya yang mendadak berdebat. Suasananya juga sedikit aneh, gambaran kemarahan yang tersorot dari wajah Pramam seakan ia tujukan pada pasangannya sendiri. Sementara itu Mara yang berusaha memberi sekat pada Pramam untuk memahami batasan yang ia buat.
“Sebaiknya kita bicarakan ini dengan Nyonya Anne,” cetus Dokter Mega setengah pasrah.
“Jangan!” Seruan itu muncul bersamaan dari Pramam dan Mara.
Dari sana, Dokter Mega sudah mengambil kesimpulan bahwa dugaannya memang benar. Memang ada sesuatu di antara dua orang di hadapannya. Entah hubungan apa, yang jelas janin Mara kemungkinan besar adalah anak Pramam.
“Dok, bisa lakukan USG sekarang?” tanya Pramam setelah beberapa waktu terdiam.
Mara mengerutkan kening, refleks bertanya, “Buat apa, Mas?”
“Tolong, Dok,” kata Pramam lagi, mengabaikan gadis di sampingnya.
“Bisa,” balas Dokter Mega yang kemudian memandang Mara. “Silakan Nona Mara berbaring di atas sana.”
Pramam ikut beranjak, mengajak Mara untuk menuruti perintah dokter, hingga gadis itu tak mampu berkutik. Lantas ia beringsut dan menaiki ranjang dengan pakaian yang kembali disingkap. Bagian perutnya terasa dingin ketika Dokter Mega mengolesi sebuah cairan seperti gel.
Di hadapannya, sudah ada layar monitor yang menunjukkan seperti apa pemandangan di dalam rahimnya. Begitu ditempeli alat, Dokter Mega memberitahu bentuk janin Mara. Pramam tak henti-hentinya memandangi layar itu, senyum samar terlihat dan menandakan betapa bahagianya si pria.
“Masih sangat kecil, tapi dia sangat sehat sejauh ini,” ungkap Dokter Mega seraya tersenyum.
Mara enggan menatap layar. Malah sengaja memalingkan wajah agar tidak melihat seperti apa bentuk anaknya. Ia terus menggigit bibir hingga sentuhan merayapi tangan.
“Lihat anak kamu, Ra.” Pramam menggenggam tangan Mara yang terkepal kuat. “Darah dagingmu sendiri, apa kamu tega mau bunuh dia yang nggak berdosa sama sekali.”
Mara masih terdiam. Masih memejamkan mata, sementara Pramam baru meminta hasil USG untuk dicetak pada Dokter Mega. Matanya berbinar-binar, tak sabar menerima hasilnya untuk dikenang.
“Terima kasih bantuannya, Dok,” kata Pramam. “Apa Dokter bisa membiarkan kami berdua sebentar di sini? Dan jangan dulu mengatakan soal kehamilan Mara pada Anne.”
Dokter Mega menghela napas sesaat, lalu mengangguk dan meminta suster untuk mematuhi keinginan Pramam. Berhubung jam makan siang sudah berlangsung, dokter tidak akan menolak. Pintu tertutup rapat, menandakan tidak ada orang selain Pramam dan Mara di ruangan itu. Mara bangkit duduk di pinggiran ranjang, merapikan pakaiannya yang setengah kusut.
“Apa hak kamu bilang kayak gitu di depan Dokter Mega, Mas?” Mara memulai pembicaraan.
Pramam menoleh. “Itu anakku. Aku ayahnya.”
Mara menyeringai. “Tapi aku yang berhak atas tubuhku sendiri, kamu jangan seenaknya ikut campur hanya karena ada benih kamu tumbuh di rahimku.”
Pramam kembali diperingatkan dengan ucapan yang sama seperti sebelumnya. Kalau kemarin ia bisa mengalah, tapi tidak dengan sekarang. Pramam tak mungkin membiarkan Mara membunuh anaknya sendiri hanya karena ingin memenuhi permintaan Anne. Dari sikapnya yang tampak, Mara hanya ingin menunjukkan rasa bersalahnya terhadap Anne hingga ia rela melakukan apa pun, terutama merelakan jabang bayinya.
“Kalaupun aku membiarkan anak ini lahir, kami akan menjadi sampah masyarakat,” tukas Mara dengan suara parau. “Anak ini akan hidup tanpa sosok ayah karena kesalahan ibunya sendiri.”
Pramam menelan ludah kepayahan. Memandang lurus Mara, hendak memeluk gadis itu, tapi diurungkannya kemudian. Jelas jika anak itu lahir, Pramam tak mungkin membiarkan Mara berjuang seorang diri sebab ia sadar tanggungjawabnya. Namun, bagaimana jika Anne tahu?
“Aku akan merasa sangat bersalah jika membiarkannya hidup dan lahir ke dunia nanti, Mas,” sambung Mara.
Suasana mendadak hening. Pramam menjatuhkan diri di bangku sambil memangku kedua sisi wajahnya. Tatapannya gamang bersama raut wajah yang berubah kusut, tidak secerah sebelumnya.
“Pertahankan bayi itu, aku mohon.” Perkataan Pramam tidak terdengar seperti permohonan, melainkan bagai titah yang sulit ditolak.
Iris Mara bergetar. “Maksud kamu … kamu akan beritahu semua pada Mbak Anne soal masa lalu kita?”
Pramam mengangkat wajahnya, membalas tatapan bingung Mara. “Nggak akan, tapi program itu tetap bisa berjalan.”
“Mas, jangan bilang kamu mau—“ Mara tak sanggup melanjutkan kata-katanya begitu paham maksud Pramam.
Dalam kepala, muncul Anne yang kontan memberikan tamparan telak di pipi. Lalu sumpah serapah yang biasa wanita lontarkan pada orang ketiga dalam hubungannya. Menggeleng cepat, Mara enggan meneruskan karena terasa sangat menyeramkan.
“Mungkin apa yang ada dalam bayanganmu itu benar, Dokter Mega nggak perlu memasukkan sel sperma dan sel telur ke rahim kamu. Anggap saja janin itu hasil pembuahan dari milikku dan Anne.”
Seketika Mara menggeleng cepat. “Itu ide gila yang pernah aku dengar.”
Pramam bergerak bangkit dan melangkah menghampiri Mara. Ikut duduk di samping si wanita dan mencoba mempersingkat jarak dengan mencondongan tubuh. “Anne nggak akan tahu kalau kita bisa melobi Dokter Mega,” bisiknya masih berusaha membujuk.
Mara menarik mundur tubuhnya. Menggeser agar menjauh dari radar Pramam. “Setelah kita berkhianat pada Mbak Anne, sekarang kamu meminta aku untuk membohongi dia juga?” Mara mengesah kasar, tak habis pikir. “Ke mana hati nuranimu sebagai suami Mbak Anne, Mas?”
“Justru ini demi kebaikan Anne dan anakku,” tandas Pramam yang nada suaranya naik setingkat. “Aku nggak mungkin membiarkan kamu membunuh bayiku, Ra. Jangan harap aku akan tinggal diam.”
“Mas!”
Lagi, Pramam mendekatkan diri. Meraih pundak Mara dan mencengkeramnya kuat-kuat. “Kadang kejujuran bisa menyakiti manusia berkali lipat, aku mana tega membuat Anne menangis dan menjauh. Aku nggak bisa hidup tanpa Anne dan … kamu, Ra.”
“Kamu tahu? Selama aku hidup, baru kali ini aku ketemu orang yang serakus dan seegois kamu, Mas.” Mara terkekeh geli bersama gelengan kepalanya yang menunjukkan rasa jijik. “Sungguh aku nggak menyangka pernah jatuh cinta sama pria brengsek kayak kamu!”
“Kalau begitu jangan tinggalin aku,” perintah Pramam santai. “Lebih baik kamu setuju dengan usulan ideku ini. Karena kalau kamu menolak—“
“Apa? Aku akan jatuh miskin dan dijauhi orang-orang?” tebak Mara yang tahu sekali tabiat orang kaya seperti Pramam. “Lebih baik aku mati!”
Pramam tersentak. “Jaga omongan kamu, Mara! Kamu sedang mengandung, tidak sepantasnya kamu berkata seperti itu!”
“Persetan!” maki Mara yang seraya bangkit dari duduk. “Aku … akan gugurkan kandungan ini,” tandasnya begitu yakin.
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu