“Apa?! Masa cuma begini sampai tiga hari?” Aliya meradang, ketika karyawan service ponsel tersebut mengatakan jika butuh waktu tiga hari untuk memperbaiki ponselnya.
“Kalau ibu tidak mau silahkan ke service center lain. Pasti sama kok, paling cepat tiga hari pengerjaanya. Karena ponsel ini keluaran terbaru, dan belum banyak yang memiliki alatnya untuk mengganti layarnya.”
“Sudahlah Al, tidak apa-apa. Cuma retak layarnya, masih bisa dipakai kan?” Vanya yang saat itu menemani temannya tersebut untuk memperbaiki ponselnya merasa kesal juga dengan sikap Aliya yang berlebihan.
“Kamu seperti baru mengenalku saja Van, aku tidak mau melihat sesuatu yang tidak sempurna seperti ini.”
Aliya berpikir sejenak. Sepertinya tidak apa-apa dia menaruh ponselnya di sana selama tiga hari. Toh kantornya akan menghubunginya melalui Vanya.
“Ya sudah. Tolong perbaiki ya. Saya akan datang lagi setelah tiga hari.”
“Baik bu.” Karyawan service center itu menerima ponsel milik Aliya dan memberikan nota untuk wanita itu.
“Al! Kamu serius? Kamu bukan manusia ya? Di mana-mana tidak ada orang yang betah berjauhan dengan ponselnya. Apalagi tiga hari.”
“Kenapa tidak bisa?” tanya Aliya. Dia memang lain dari pada yang lain.
“Lalu bagaiman kamu menghubungi Reza? Kamu mau pinjam ponselku?” Vanya memberikan ponselnya untuk Aliya. Dan memintanya untuk memberi tahu Reza mengenai apa yang terjadi dengan ponselnya.
“Tidak usah. Reza tahu kalau aku sedang bekerja. Justru bagus, jadi dia tak bisa menganggu waktu kerjaku. Dan aku bisa istirahat setelah selesai.”
“Apa?” Vanya menatap Aliya dengan pandangan yang aneh. Bagaimana bisa ada manusia seperti Aliya di dunia ini? Kenapa dia begitu santainya saat tidak bisa saling menghubungi dengan suaminya selama tiga hari?
Aliya berjalan mendahului Vanya yang masih menatapnya heran. Dan tidak lama Vanya langsung menyusulnya.
“Aku tahu, kamu begini karena kamu yakin suami kamu tidak akan macam-macam di belakangmu kan? Kamu yakin dia sangat mencintaimu dan tidak akan pernah meninggalkanmu kan?”
“Ding dong deng!” Aliya masih sempat-sempatnya tertawa dan membuat gurauan dengan hal tersebut.
“Wah, aku tahu kamu cantik dan pintar. Tapi ku rasa kamu jangan terlalu sombong Al. Karena suatu kejahatan terjadi bukan karena niat, tapi karena ada kesempatan.”
“Apa sih? Memangnya iklan berita?” Aliya terkekeh mendengarnya.
“Terakhir aku mau menawarkanmu ponselku. Setidaknya kamu harus memberi tahu suami kamu agar dia tidak khawatir.”
Aliya akhirnya berhenti dan menatap ke arah Vanya. Temannya itu kelihatan lebih khawatir ketimbang dirinya sendiri.
“Iya. Nanti,” jawab Aliya seperti niat tak niat. Dia kemudian kembali berjalan untuk kembali ke hotel, karena pekerjaanya akan dimulai besok.
***
Sementara itu Reza yang saat ini berada di kantornya gelisah karena tak bisa menghubungi nomor istrinya.
“Kenapa nomornya tidak aktif?” gumam Reza.
“Apa dia sedang sibuk sekarang?” lanjutnya lagi. Dia akhirnya mengurungkan niatnya untuk terus berusaha menghubungi Aliya, karena mungkin wanita itu sedang tak ingin diganggu.
Tiba-tiba saja pintu ruangan Reza terbuka dan ibunya datang dengan kemarahan di wajahnya.
“Ibu? Ada apa?” tanya Reza terkejut.
“Kamu tidak jadi mengajak Aliya untuk memeriksakan kesuburannya ke dokter?” tanya Yulia langsung pada intinya.
“Bu, Reza pikir itu tidak perlu. Kalau Aliya mendengarnya dia pasti akan tersinggung.”
“Kenapa dia harus tersinggung? Ibu memberi saran kan demi kebaikan kalian. Seharusnya kalian senang karena ibu mendukung kalian untuk berusaha cepat punya anak. Kecuali kalau kalian memang tidak berniat untuk punya anak.”
Ekspresi wajah Reza tiba-tiba berubah ketika ibunya mengatakan hal tersebut. Dia jadi teringat dengan keinginan Aliya yang memang tidak ingin memiliki anak.
“Kenapa wajah kamu seperti itu? Jangan-jangan benar apa yang ibu katakan tadi. Iya Reza? Jawab ibu!”
“Bu—bukan bu—”
“Jangan berbohong. Kamu itu anak ibu. Jadi ibu tahu kalau kamu menyembunyikan sesuatu dari ibu. Katakan yang sebenarnya apa benar apa yang ibu katakan tadi?”
Reza menunduk. Dia bingung harus menjawab apa. Jika jujur, dia tak tahu bagaimana nasib Aliya nantinya. Namun jika ia berbohong, sudah pasti ibunya akan mengetahuinya.
“Jawab Za!” bentak Yulia pada anaknya tersebut.
“I—Iya bu. Kami memutuskan untuk tidak memiliki anak,” jawab Reza dengan suara yang bergetar.
“Reza kamu membunuh ibumu ini?!”
“Maaf bu. Ini sudah keputusan kami. Ibu harus menghargainya.” Reza meraih tangan ibunya untuk meminta maaf padanya.
“Hubungi istri kamu sekarang.”
“Aliya sedang bekerja di luar kota bu, sampai lima hari ke depan.”
“Suruh dia pulang sekarang juga. Urusan rumah tangga lebih penting dari pekerjaanya.”
“Tidak bisa begitu bu. Kita bicarakan nanti setelah dia pulang saja.”
“Kalau kamu tidak mau biar ibu yang menghubunginya.” Yulia mengambil ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Aliya. Dan Reza yang melihat hal itu menjadi gugup, karena baru saja dia tak bisa menghubungi nomor Aliya.
“Kenapa nomornya tidak aktif?” Yulia bertanya pada anaknya setelah dia tak bisa menghubungi menantunya.
“Mungkin dia sedang bekerja sekarang bu.”
“Apa pekerjaanya sehebat itu sampai dia harus mematikan ponselnya?”
Reza hanya diam menanggapinya. Dia takut salah menjawabnya dan mengakibatkan keadaan menjadi semakin runyam.
“Pokoknya kamu bilang padanya kalau ibu mau bicara dengannya secepat mungkin. Kamu itu anak ibu satu-satunya Za. Siapa yang jadi penerus keluarga kita kalau kamu tidak punya anak?”
“Maaf bu.” Reza hanya menunduk dan terus menerus meminta maaf pada ibunya.
Setelah ibunya pergi, Reza kembali duduk di kursinya. Dia mengusap wajahnya dengan frustasi. Dia sadar masalah iini tidak akan berakhir sampai di sini. Ibunya pasti akan memperjuangkan keinginannya untuk memiliki seorang cucu.
“Bagaimana aku bisa memberikan cucu untuk ibu jika Aliya saja tidak mau memiliki anak?” gumam Reza.
“Aku harus berusaha membujuk Aliya lagi.” Reza mencoba menghubungi istrinya lagi, namun tetap tak bisa.
“Kamu sedang apa sih Al? kenapa nomormu tidak aktif?” Reza terus gelisah. Dia takut jika sampai terjadi sesuatu pada istrinya tersebut.
Saat ini Yulia baru keluar dari kantor anaknya. Ketika dia mau menaiki taksi yang sudah berhenti di depannya dia tak sengaja melihat gambar menantunya berada di tabloid yang sedang dibaca oleh satpam di sana.
Di artikel itu tertulis rahasia kecantikan dan kesuksesan Aliya Puspa. Yulia langsung merebut tabloid itu untuk membacanya.
“Eh, ibu Yulia.” Satpam yang terkejut melihat keberadaan Yulia langsung berdiri dan beriskap sopan padanya.
“Ini punya kamu?”
“Iya bu.”
“Saya bawa ya.”
Satpam tersebut bengong. Dia belum sempat menjawabnya namun Yulia sudah membawa tabloidnya pergi dan masuk ke dalam taksi.
Di dalam taksi Yulia membaca artikel tentang menantunya tersebut. Setelah lama membaca dia terkejut dengan akhir dari kalimat artilel yang menyatakan jika Aliya memang berencana untuk tidak memiliki anak karena itu hanya akan menghambat karirnya.
Yulia meremat tabloid tersebut dengan kesal.
“Jadi kamu mau membunuhku pelan-pelan Aliya,” desisnya.
Aliya sedang membaca naskahnya untuk event hari pertama yang diselenggaran hari ini. Ketika dia sedang duduk sendiri, tiba-tiba seorang lelaki berdiri di depannya. Meskipun ia tak menatapnya, namun Aliya yakin jika orang tersebut adalah laki-laki, tercium dari aroma parfume maskulinnya sama dengan yang Reza pakai.“Selamat siang, saya Sean Ravindra kameramen yang baru bergabung hari ini. Salam kenal dan mohon bantuannya.” Laki-laki itu menyapa dengan sopan dan semangat. Mungkin karena ini adalah pekerjaan pertamanya.“Hmm,” sahut Aliya tanpa menoleh. Dia masih fokus dengan naskah yang dia baca.Sean masih berdiri di depan Aliya. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi ragu karena sepertinya wanita tersebut tidak menyambutnya dengan baik.Sampai akhirnya Aliya menoleh ke arah Sean, karena laki-laki itu tak kunjung pergi setelah menyapanya.“Apa lagi?&
“Aliya!” Ini adalah suara tertinggi yang pernah Reza keluarkan untuk istrinya, “Apa-apaan kamu ini?”Aliya sama sekali tak menghiraukan suaminya yang terus mengatakan rasa keberatannya akan keputusan istrinta tersebut. Fokus Aliya masih menatap ibu mertuanya yang tak bisa berhenti menatapnya dengan tegang.“Ibu cukup, lebih baik ibu pulang dulu sekarang. Biar Reza bicara berdua sama Aliya.” Tanpa menunggu persetujuan dari ibunya, Reza membawa istrinya masuk ke dalam kamar.Apa yang baru saja dikatakan oleh Aliya, sama sekali tak bisa ia terima dengan akal sehatnya. Bagiamana mungkin istri yang sangat dicintainya selama ini tega mengatakan hal seperti itu di depannya sendiri.“Lepasin Za, sakit!” Aliya melepaskan cengkeraman tangan Reza pada pergelangan tangannya.“Bilang padaku kalau apa yang kamu katakan tadi cuma bercanda.&r
“Kamu pasti mau kan?” Aliya meraih pergelangan tangan Rubi dan mencengkeramnya dengan kuat. Sehingga Rubi yang terkejut pun sontak melangkahkan satu kakinya ke belakang.“Jangan membuatku takut! Ada apa dengan kamu sebenarnya?” Rubi benar-benar tidak mengerti dengan sikap Aliya kali ini. Apa benar wanita itu serius ingin mencarikan istri untuk suaminya? Tapi kenapa?Berbagai pertanyaan itu terus bersarang di kepala Rubi saat ini. Dia dapat melihat tatapan mata Aliya yang tampak memohon padanya.“Tolong kamu terima tawaran aku ini. Aku janji aku akan melunasi semua hutang kamu, dan memberikanmu hidup yang lebih layak dari pada kehidupanmu saat ini.”Perkataan dari Aliya membuat Rubi teringat dengan pekerjaan kotornya selama ini. Selama dia bekerja sebagai wanita malam dia selalu menangisi nasibnya setelah selesai melayani pelanggan hidung belang yang datang padanya.Dia bukannya tak ingin mencari pekerjaan lainnya. Rubi sudah pernah mencobanya, namun dia selalu gagal karena latar belak
Malam harinya Aliya sudah sampai di depan rumah Ruby pukul tujuh malam kurang lima menit. Dia menatap jam tangan mahal yang melingkar di tangannya. Jari-jarinya yang lentik ia ketukkan berkali-kali di kemudi setirnya, menunggu waktu yang tepat untuk keluar agar ia tak perlu membuang-buang waktunya menunggu di rumah kumuh itu.Dan setelah waktu sudah menunjukkan pukul tujuh tepat, Aliya keluar dari dalam mobilnya. Ia menurunkan satu persatu kakinya yang mengenakan sepatu heels edisi terbatas yang hanya ada lima di Indonesia. Aliya melakukannya bukan tanpa alasan. Ia ingin dirinya tetap menjadi pusat perhatian meskipun akan ada dua wanita dalam rumahnya nanti.Belum sempat Aliya mengetuk pintu rumah Ruby, pintu sudah lebih dulu terbuka. Ruby keluar dengan penampilan barunya. Rambutnya yang sebelumnya berwarna terang kini sudah ia cat menjadi warna hitam kecokelatan. Ruby juga mengenakan dress berwarna hitam di bawah lutut dan sepatu berwarna senada.Aliya menatap wanita di yang berdiri
“Kamu harus tahu ini Ruby. Kepiting saus tiram ini adalah makanan kesukaan Reza. Apa kamu bisa memasaknya untuk suami kamu nanti?” tanya ibu Reza yang sudah mulai akrab dengan Ruby setelah mengobrol beberapa saat.“Bisa nyonya,” jawab Ruby menambah poin tambahan Ruby di mata ibu Reza saat ini.“Aliya juga bisa bu. Kenapa ibu menanyakan hal itu pada Ruby?” sahut Aliya yang tidak mau kalah.“Ibu tahu. Tapi kan kamu jarang memasakannya untuk Reza. Kamu terlalu sibuk, apa kamu lupa itu Aliya?” “Bu…” Reza kali ini berbicara. Melihat istrinya tampak kecewa untuk kedua kalinya membuat perasaanya juga menjadi tidak enak.“Kenapa Za? Benar kan apa yang ibu katakan?”Reza menghela napasnya. Dia tak bisa menyangkalnya memang Aliya lebih sering melakukan kesibukannya sendiri dari pada melakukan tugasnya menjadi seorang istri. Namun Reza mengerti itu semua. Dia sangat tahu apa yang membuat istrinya bahagia, yaitu dengan membiarkannya menjadi wanita karir.“Tidak apa-apa Za. Memang benar apa yang
“Ya?!” Aliya terkejut bukan main ketika atasannya memberikannya tugas untuk mengunjungi dan melakukan wawancara untuk korban bencana alam yang berada di tempat pengungsian. Ia tak bisa menerimanya karena itu bukanlah pekerjaannya. Dia sudah sekian lama berada di di balik meja studio dan tidak mungkin ia kembali ke pekerjaan seperti itu. Lagipula dia sudah lama menjadi pembawa program acara fashion.“Bagaimana bisa kamu memintaku untuk melakukan hal itu?” tanya Aliya tak mengerti.“Ini perintah langsung dari direktur. Aku tak bisa menolaknya.”“Lalu bagaimana dengan program acaraku?”“Itu—“ Atasan Aliya bernama Damar tersebut matanya lantas bergetar dan melirik ke suatu sudut. Aliya yang menyadari hal itu lalu mengikuti pandangan Damar dan melihat seroang wanita muda cantik sedang memegang kertas berisi scrip untuk acara program miliknya selama ini.“Kamu menggantikanku dengan anak muda itu?!” tanya Aliya yang marah karena ia tak diberitahu apa-apa mengenai hal tersebut.“Ini juga buka
“Ada Aliya di rumah, dan kamu tidak akan merasa kesepian lagi,” lanjut Reza membuat Ruby benar-benar kecewa saat ini. Dia pikir Reza mengatakan itu dengan maksud jika orang yang akan membuatnya tidak kesepian adalah dirinya. Namun ternyata Ruby salah besar.“Sebenarnya aku cukup lega ketika mendengar jika kamu dan Aliya adalah teman dekat dulu. Jadi kamu dan Aliya bisa bernostalgia tentang masa lalu kalian yang indah,” kata Reza dengan senyum yang merekah. Namun tidak dengan Ruby. Dia sama sekali tak bisa tersenyum setipis apapun.“Masa lalu yang indah setan! Bagiku itu adalah masa-masa yang buruk. Penyesalanku karena aku pernah begitu mempercayai wanita itu,” umpat Ruby dalam hati.Ponsel Reza tiba tiba berdering, dan itu adalah panggilan dari ibunya. Reza pun segera mengangkatnya.“Iya bu?” ucap laki-laki itu begitu dia mengangkat telepon dari ibunya.“Apa kamu sudah sampai di rumah Ruby?”“Oh, iya sudah bu.”pergi dan kunci rumahmu ibu bawa. “Baguslah kalau begitu. Ibu cuma mau bi
Setelah membeli dua buah bohlam Reza kembali ke rumah Ruby dan hari sudah malam. Ketika ia akan keluar dari mobilnya, ponselnya kembali berdering dan itu adalah telepon dari Aliya.“Aliya? Apa dia sudah pulang?” gumam Reza. Dia pun mengangkat telepon dari istrinya tersebut setelah seharian ini tak bisa menghubunginya.“Halo Aliya?”“Kamu di mana sekarang?” tanya Aliya cepat.“Aku—“ Reza ragu untuk menjawabnya. Dia takut mungkin Aliya akan salah paham padanya jika ia mengatakan yang sebenarnya. “Di rumah Ruby?” Reza terkejut ketika Aliya menanyakan hal itu. Mungkinkah Aliya menngetahuinya dari ibunya? Dia lalu berpikir mungkin tak apa jujur pada Aliya, karena toh dia yang sudah menjodohkan Ruby padanya.“Iya. Aku baru mau mengganti—”“Cepat pulang sekarang,” potong Aliya. Dia tak mau jika Reza berlama-lama berada di dekat Ruby. Bukan karena dia tak percaya diri. Namun mendengar hal itu rasanya sangat mengesalkan baginya.“Baiklah.” Reza menghela napas pelan. Dia tak mau membuat istri