Makan berdua, tapi rasanya seperti sendirian. Gara-gara pengakuan Armand yang mengejutkan, semua kosakata dalam otakku raib entah ke mana. Aku juga tidak tahu bagaimana harus bersikap. Daripada salah bertindak dan menyakiti perasaannya, diam adalah solusi terbaik sepanjang masa.
Selesai menghabiskan dua burger, satu porsi kentang goreng, serta satu paket nasi dan ayam kentaki, aku benar-benar kekenyangan. Sepertinya Armand juga sama. Dia bersendawa nyaring sambil mengelus perutnya yang begah.
Aku membereskan bekas kemasan makanan, sementara Armand pergi ke toilet. Kepergiannya membuatku menghela napas lega. Bukan apa-apa. Sepanjang acara makan, aku rasanya begitu sulit bernapas, khawatir jika adegan-adegan khilaf yang sering dikisahkan dalam novel terjadi dalam kisahku. Maksudku, aku takut Arman menciumku dan aku keenakan hingga kami terjerumus dalam perselingkuhan. Aku ke sini hanya untuk menghilangkan rasa sedihku, bukan menambah permasalahan baru dengan pria yang su
Aku membuka mata dalam keadaan disorientasi waktu dan tempat. Aku sempat lupa di mana tempatku berada saat ini sampai kemudian bau balsem yang terendus hidungku membuatku teringat dengan Armand.Aku tidak sadar, sejak kapan mulai tertidur. Aku hanya tahu, ketika membuka mata, semua badanku justru terasa semakin pegal dari sebelumnya. Suasana kamar juga tampak temaram. Hanya sedikit cahaya kuning yang masuk melalui kaca jendela yang belum tertutup tirai.Kutengok jam bulat yang menempel tinggi di tembok seberang kasur. Ternyata sudah jam enam.'Udah sore ternyata. Berarti gue lama banget tidurnya.'Aku bangun dalam keadaan kepala yang pening. Sebenarnya aku ingin kembali berbaring. Namun, mengingat Armand terpaksa mengungsi ke kamar tetangga demi memberikanku tempat yang nyaman untuk tidur, aku jadi merasa tidak memiliki waktu untuk hanya sekadar menunggu peningku reda.Aku turun dari kasur, menyalakan lampu, dan menutup tirai. Aku juga merapikan ka
“Mas aku enggak mau pergi,” rengekku sambil mengguncang lengan Jevin yang sudah terlihat tampan dan rapi dengan setelan jas formal. Aku sendiri sudah mengenakan dress longgar warna hitam. Aku berubah pikiran di detik-detik terakhir menjelang kepergian kami ke pesta syukuran kehamilan—palsu—Vivian.Kemarin malam, Jevin mendapat telepon dari Dewa--suaminya Vivian. Dia mengundang kami ke pestanya. Jevin yang ketika itu menyalakan loadspeaker membuatku yang berbaring di sampingnya ikut mendengar semua yang dikatakan Dewa. Lelaki itu kedengarannya sangat senang dan excited dengan kabar kehamilan-palsu-sang istri. Dia sampai mencurhatkan momen bahagia yang dia rasakan ketika Vivian memperlihatkan test pack positif. Entah dari mana Vivian mendapatkan test pack palsu itu.“Mas,” rengekku lagi. Kali ini sambil menghentak kaki. “Aku pengin rebahan aja di kamar. Mas aja, ya, yang pergi.” Aku kembali membujuknya agar tidak membawaku
Selesai merapikan diri, kami keluar mobil berbarengan. Syukurlah supir tidak sok mengide membukakan pintu sejak mobil berhenti. Kalau tidak, aku dan Jevin mungkin sama-sama kelabakan saat menaikkan underwear. Supir yang pengertian itu ternyata sabar menunggu di depan pintuku.Sesampainya di ballroom hotel yang didekorasi dengan mewah, aku kembali manyun saat Vivian dan Dewa menyambut kedatangan kami.“Kirain enggak datang, habisnya ditungguin dari tadi enggak nongol-nongol,” kata Vivian seraya menarikku untuk cipika-cipiki.Aku tidak menjawab. Bahkan tersenyum pun malas. Ya, walaupun aku menyetujui memberikan anakku padanya, tetap saja aku tidak menyukai tindakannya yang membohongi suami, mertua, dan seluruh keluarga besarnya.Menurutku, dia akan mendapat masalah besar jika kebohongannya terbongkar. Permasalahan itu juga bisa menyeretku dan Jevin. Hal itulah yang membuatku tidak bisa tersenyum palsu lagi kepada Vivian. Aku muak melihatnya.
“Mas! Mas Jevin! Maaaaaas!”Aku meringis sebal karena panggilanku tak ditanggapi, padahal lelaki itu tidak sibuk. Dia justru sedang menonton berita politik yang menyebalkan.“Mas, kalau istri manggil itu nyahut, dong! Aku, ‘kan, butuh perhatian,” protesku yang pada akhirnya ditanggapi dengan lirikan datar. Itu pun singkat saja. Setelah itu, dia kembali menatap layar datar di depan sana.Aku menghela napas, lalu menopang pipi sambil memasang muka cemberut. Aku menyerah. Mengajak Jevin bicara di saat dia tidak mau hanya akan membuang waktuku. Mending aku mengisi kekosongan waktu dengan mengkhayal makan durian atau minum air kelapa sambil memandangi gulungan ombak di laut.Aku beranjak dari sofa. Niatnya, sih, ingin mengambil HP yang tertinggal di kamar, lalu kembali lagi. Namun, langkahku tercekal gara-gara tangan yang mencengkeram pergelanganku. Tentu saja tangan itu milik Jevin.“Kalau mau bicara atau minta sesua
“Tck! Kok, kepala gue pusing banget, sih?” dumalku sambil memijat dahi. Aku sedang berdiri di depan wastafel kamar mandi. Salah satu tanganku berpegangan di putaran keran karena sebelumnya tubuhku sempat merasa oleng.Sebelumnya, setelah sarapan bubur ayam buatan Bi Rahmah, aku memuntahkan semua isi perutku. Biasalah, morning sick.Setelah merasa lebih baik, rencananya aku ingin meninggalkan kamar mandi. Nyatanya hingga detik ini aku masih terkurung dalam kamar mandi yang terkunci karena tubuhku merasa terombang-ambing seperti terbawa arus ombak ketika berada dalam kapal.Ini memang bukan yang pertama kali. Mual, muntah, dan pusing adalah makanan sehari-hariku sejak hamil. Namun, kali ini rasa pusingku lebih parah dari sebelumnya. Aku bahkan merasa gemetaran. Debaran jantungku pun lebih cepat dari keadaan normal.“Duduk dulu, deh,” putusku sambil berpindah perlahan ke bawah wastafel. Aku duduk dengan kaki berselonjor, mata terpejam
HB rendah. Itulah satu-satunya alasan pihak rumah sakit menyarankanku di-opname. Alasan itu jugalah yang katanya membuatku mengalami pusing parah.Sebenarnya jika tidak ada alasan itu pun Jevin akan tetap menginapkanku di rumah sakit ini. Dia pasti malas merawatku sendirian. Setidaknya kalau di sini, ‘kan, ada suster-suster cantik yang stand bymerawatku.Oh, ya. Soal bercak kecokelatan di celana dalamku, kata dokter itu bukanlah masalah besar. Janinku baik-baik saja. Aku hanya perlu beristirahat dan menerima beberapa suntikan untuk menaikkan HB-ku.“Mas, kamu enggak ngomong sama Mama-Papaku, ‘kan?” tanyaku ketika Jevin masuk kamar inap sambil memainkan HP. Barusan dia keluaruntuk menjawab telepon. Entah dari siapa.Jevin menggeleng. “Mau saya kasih tau?”“Kalau kamu mau aku ketahuan hamil sih, it’s okay,” tantangku sambil menggedikkan bahu.Kupikir Jevin tidak memberikan balas
Aku :Kangeeeeeeen!Pulang dong MasGak ada kamu, gak ada yg enak dipelukAku membekap mulut, malu sendiri membaca chat yang kukirimkan pada Jevin.“Gatel banget, sih, gue? Iiii!” Aku bergidik, merasa jijik pada diri sendiri.Ini adalah hari ke dua Jevin berada di Jepang. Katanya, sih, ada pertemuan dengan calon investor yang tertarik ingin memberikan modal tambahan kepada Stencilindo. Aku tidak bertanya dia pergi bersama siapa karena teringat dengan syarat pernikahan. Aku juga tidak ingin menanyakan berapa lama dia di sana. Aku takut jika mengetahuinya maka aku akan menghabiskan hari untuk menghitung mundur waktu yang terasa lambat. So,kupikir lebih baik tidak tahu daripada terus menunggu.Aku meletakkan HP-ku di meja, lalu mengambil remote untuk menyalakan TV. Kebetulan saat TV menyala, drama favoritku sedang tayang, Mr. Queen. Aku langsung exciteddan memasang mode menyimak. Ya, walaupun aku tid
'Ini yang bikin masalah siapa, kenapa malah gue yang tanggung jawab jelasin ini dan itu? Tck! Salah gue juga, sih. Harusnya gue enggak ikut-ikutan masalah beginian. Jadi ribet sendiri, ‘kan?'Akhirnya kupaparkan semua informasi yang kuketahui, baik itu dari Jevin atau pun Vivian. Dewa menyimak dengan serius, bahkan tak bergerak bagaikan patung yang tengah berpikir keras.Setelah ceritaku selesai, Dewa merapatkan punggung ke sandaran, lalu mengurut dahi. “Berarti itu anak saya,” gumamnya rendah, tapi masih terdengar sangat jelas di telingaku. Spontan saja aku terbelalak, terkejut dengan pengakuan itu. “Saya dan Vivian memang pernah melakukan ‘itu’ sebelum nikah. Tapi, saya enggak pernah tau kalau dia hamil. Pantesan aja dia mendesak minta dinikahi. Ternyata ....”Aku malas meminta Dewa menjelaskan skemanya secara mendetail. Aku memilih untuk diam sebentar untuk memahami maksud ucapannya barusan.'Jadi, anak yang di