Share

Harap-harap Cemas

Author: Purwa ningsih
last update Last Updated: 2024-05-09 19:00:40

Seminggu sejak kejadian memalukan itu, Naya siap-siap mau berangkat kerja malam. Hari ini Naya bekerja di jam malam. Bersiap dengan memakai jaket dan mengambil tas juga flatshoes. Naya membuka pintu tinggi dan kokoh itu berjalan dengan pelan menuruni tangga. Terlihat mereka sedang berkumpul dan sedang mengobrol, mungkin saja soal perusahaannya. Tidak seperti Naya harus kedinginan menyongsong pergantian malam gelap bersama rintik-rintik gerimis, bersama udara malam menelisik kulit.

"Nay."

Naya tersenyum dan berhenti dan menatap dua lelaki beda usia itu.

"Mau kemana?" tanya Papa Danuarta menatapnya curiga.

"Emm, saya masuk malam. Pa."

Sekilas Naya menatap suaminya yang tak menghiraukan Naya, ia melihat ke arah lain.

"Oh, masuk malam."

Naya hanya mengangguk.

"Kalau begitu diantar sama, Pak Edi saja."

Naya menggeleng, "tidak, Pa. Biar saya naik motor saja. Permisi."

"Ini sudah malam, Nay. Ngak bagus naik motor sendiri. Biar Raja yang antar."

Raja menegakkan wajah. Bukan membalas perkataan sang Ayah, tapi pandangan Raja langsung mengarah pada Naya.

Naya memalingkan muka. Naya tak sanggup melawan tatapan yang menyorot tajam itu. Kepala Naya mendadak berdenyut. Ada hancur dan sakit yang sulit untuk dijelaskan.

"Ngak usah saya sudah biasa. Pa. Saya pamit. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Nay."

"Iya, Pa."

Naya berjalan menuju teras depan mengambil motorku, namun Pak Edi mendekatilalu menahannya.

"Non, biar saya yang antar."

"Tak usah, Pak."

"Non. Jika saya tak mengantar Non Naya. Tuan Raja berpesan akan memecat saya."

Naya menggeleng pelan. "Baiklah."

Mobil akhirnya melaju di jalanan dengan kecepatan sedang. Tak ada yang berniat membuka suara sampai akhirnya kami tiba di tempat rumah sakit. Naya segera turun setelah itu mobil kembali melaju meninggalkan Naya. Pandangan Tari terpaku sejenak saat melihat Naya di hadapan. Senyum semringah terus terlukis indah di bibirnya.

"Wah, siapa yang antar? Mobilnya bagus sekelas dengan mobil, Dokter Galih?"

"Tau ah."

"Nay."

"Hm?"

Dia memberi jeda. Dari ujung mata, Naya bisa melihat dia terus memandangnya. Menuntut penjelasan darinya.

"Kenapa, Tari?"

"Apa ada yang kau tutupi dariku?" tanyanya menghalangi langkah Naya.

Spontan Naya menoleh menatap sahabat yang selalu ada untuknya itu sejak bekerja di rumah sakit mereka selalu bersama. Segera Naya berhenti dan duduk di salah satu kursi dekat parkiran mobil.

"Sini duduk dulu."

Naya menggeser posisi duduk setengah menghadapnya. Setelah lama menunggu, kalimat itu terucap juga dari lisan Naya juga. Naya menceritakan semuanya pada sahabatnya itu.

Tari menggeleng samar diiringi air mata yang terus meluncur turun ke pipi. Dia menangis tanpa suara. "Astaghfirullah, ini serius?"

Naya menatapnya dalam. Dia dengan cepat memeluk tubuhku. Aku tak boleh menangis karena kurasa aku harus kuat.

Tari sontak menegakkan wajah. "Itu berarti kamu menderita selama ini?"

Naya mendesis malas lalu menaikkan bahu.

"Kau terlalu baik untuk diperlakukan seperti ini, Nay. Bahkan aku sempat ragu karena kebaikan Dokter Galih, ia tak akan meninggalkanmu. Tapi lepas dari lelaki baik itu malah kau masuk ke kandang srigala."

Rahang Naya mengeras tangannya terkepal erat. "Lebih tepatnya penjara."

Diraihnya tangan Naya lalu digenggam erat. "

"Kenapa begini? Kenapa kau selalu menderita, Nay."

Tari memeluk Naya.

"Sudah ya. Kamu harus semangat."

"Ya."

Suara Tari serak. Wajahnya menyiratkan luka. Luka yang sama juga terpancar dari wajahnya. Kemudian ia menggenggam tangan Naya tanpa mengucap kata. Lalu kami segera beranjak dan melangkah ke dalam karena jam kerja telah mulai.

***

Selesai pulang kerja aku di antar Pak Edi ke rumah Naya, membawakan dua kantong plastik besar, berbagai makanan juga buah. Udara dingin pagipun menghangat, Naya mengira inilah awal matahari kehidupannya bersinar terang benderang. Daren menyambut Naya dwngan senyuman.

"Banyak banget, Mbak. Ini bisa buat makanan kita satu bulan lo."

Naya tersenyum, "tak apa, hari ini aku gajian, kok."

"Masuk yuk."

Mak Tini membawakan Naya secangkir teh manis, juga nasi pecel buatannya yang selalu enak menurut Naya.

"Makanlah, Nak."

"Makasih, Mak."

"Bagaimana, kamu sudah sehat."

"Alhamdulillah, kata Dokter Angga saat aku cek kemarin. Katanya sudah sehat."

"Syukurlah, tapi jangan kecapekan."

"Tapi aku bosen. Pingin jualan lagi."

"Enggak boleh. Tunggu beberapa bulan lagi baru boleh."

Daren tertawa gembira. "Oya? Bagaimana kabar, Dokter Galih?"

Naya menunduk lalu kembali mendongak, tak mungkin Naya menutupinya. "Ya seperti dugaan kamu dulu. Bahwa kita beda kasta."

Daren mendekar mengelus kepalanya lembut. Dia lantas mengecup puncak kepala pelan. "Sabar, Mbak."

"Iya."

Hari itu berjalan sempurna. Akhirnya Naya pamit pulang, dengan alasan bekerja. Dan memberikan Daren uang untuk pegangan. Juga Mak Tini untuk kebutuhan sehari-hari.

***

Naya terkejut baru saja dua langkah, Naya melihat dokter Wahyu berada di rumah itu ada apa? Siapa yang sakit?

"Nay kamu disini?"

"Eh, iya Dokter. Mau bertemu dengan Hani." Bohong ku.

"Oh."

"Siapa yang sakit, Dok?"

"Rio, dia lambungnya kambuh, sepertinya akhir-akhir ini dia jarang tidur dan lupa makan."

Oh bisa juga lelaki dingin itu sakit. "Bahaya enggak, Dok?"

"Sudah agak parah sih. Saranku sih harus tidur yang cukup. Dan Tuan Danu berpesan agar kamu yang akan merawatnya, obat juga impusnya jangan lupa ya."

Naya mengangguk mengiyakan.

"Baiklah aku pulang ya, Naya." Sementara sebelah tangan lelaki itu menepuk pundak Naya. Kemudian dokter Wahyu berjalan keluar.

"Baik, dok. Hati-hati."

"Ya."

Naya menggeleng pelan. Dan berjalan kembali menaiki tangga, sesaat ada seseorang yang menaggilku.

"Nay."

Naya mengernyit samar. Ada yang aneh dengan perubahan mimik wajah Mama meetuanya. Wanita itu mendadak terdiam dengan tatap entah ke arah Naya. Dari sini, bisa terlihat tangannya tiba-tiba bergetar.

"Mama, kenapa?" Naya bertanya cemas.

"Kondisi Raja sangat lemah, Nay."

Naya memeluk Mamanya.

"Istirahat lah dulu, nanti siang tolong jaga Raja ya, Nak."

Naya mengangguk. "Baiklah, Ma."

Rasanya nyaman setelah istirahat tertidur beberapa jam. Setelah Naya mandi ada suara masuk dari balik pintu. "Makan siang, Non."

"Iya, Mbak."

"Non, tadi pagi, Tuan Raja pingsan, lo."

"Kenapa, Mbak?" tanyaku balik.

"Entahlah, Non. Kulihat setiap malam, Tuan tak pernah tidur. Saat malam sekitar jam setengah tiga aku bangun mengantar Bibi Darti ke ruangan belakang. Saya melihat, Beliau ada di balkon kamarnya, Non."

"Maksudnya kamar, Tuan dan Nyonya Hani?"

"Em sepertinya kamar, Tuan sendiri, Non."

Astaga ada apa ini? Apa hubungan Hani dan Raha baik-baik saja?"

"Baiklah, siapkan makanan untuk, Tuan biar aku yang bawakan, Mbak."

"Baik, Non. Saya permisi."

Selesai makan Naya dan Bi Darti masuk ke ruangan kamar besar milik Raja. Sampai di sana terlihat pucat. Sementara lelaki itu terdiam di tempatnya menatap Naya sekilas. Dia masih tampak syok atas apa yang terlihat dan terjadi di hadapannya mungkin karena melihat Naya kemudian dia perlahan memalingkan wajahnya.

Ruangan bersuhu dingin itu tiba-tiba berubah memanas.

"Ikuti apa kata, Nay. Agar kau cepat pulih." Suara Mamanya dari belakang.

Raja terdiam.

"Mama harus pergi, tolong jaga, Raja ya. Pastikan ia minum obatnya."

"Iya, Ma."

Sekali lagi lelaki itu terdiam menatap Mamanya pergi, beberapa saat kami saling beradu tatap nyaris ia tak berkedip menatapku. Hingga akhirnya ia mulai bertanya.

"Minumlah obatnya, Tuan." Naya mengambilkan beberapa butir pil ke atas telapak tangannya dan mengambilkan air mineral dalam gelas.

"Kenapa harus minum obat?"

"Biar Anda cepat pulih, Tuan."

Raja hanya diam, mungkin mengiyakan. Ia lalu meminum obatnya lalu kembali berbaring. Matanya terpejam entah mungkin karena obat sudah beraksi. Naya menatap wajah polosnya perasaan aneh apa ini, kutekan dalam-dalam dadaku hingga terasa sesak. Naya menutupi tubuhnya dengan selimut sampai ke dada. Dan membersihkan bekas makanan juga bekas sampah obat tadi. Bibi masuk dan mengambil makanan yang hanya berkurang separuh saja.

"Jangan pergi," cegahnya, dengan mata terpejam

Naya duduk canggung di sofa. Ternyata semua tak sesulit yang Naya bayangkan, mengingat ini untuk kali pertama ia berbicara baik pada Naya. Naya bangkit memeriksa suhu badannya yang sudah tak demam lagi, dan menganti infus yang telah habis. Ia hanya diam dan sesekali menatap Naya penuh tanya.

"Sampai kapan impusnya dilepas?"

Lelaki itu memandang saat Naya terdiam. "Sampai Anda benar-benar sehat, Tuan."

Lelaki itu mengangguk. Tanpa ada pertanyaan lagi.

"Saya permisi, Tuan."

Raja terdiam hanya menatap punggung Naya yang makin menghilang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahim Pengganti CEO Arogan   Ending. indah Bersamamu

    "Naya.""Ya, Ma.""Ini untukmu, Naya hadiah dari Mama untukmu yang sudah berjuang melahirkan Cucu laki-laki Mama lagi." Naya terkejut. "Cincin.""Iya. Simpanlah jangan melihat harganya. Jika soal harga pasti Raja bisa membelikanmu yang jauh lebih bagus dari ini. Ini hanya hadiah untuk kenang-kenangan dari, Mama."Naya terdiam."Ini untukmu, pakailah." "Ya Allah, ini bagus banget, Mama."Sebuah cincin cantik itu sekarang menyelip di antara jemari manis Naya. Sang Mama meraih jemari menantunya. "Bahagia terus ya, Nak. Selamat sudah melahirkan dengan lancar.""Ya, Ma. Terima kasih untuk cinta dan kasih sayang Mama dan Papa selama ini. Selalu mendukungku apapun itu.""Ya kau tahu, Mama hanya ingin kamu, cucu-cucu Mama dan Raja bahagia, Nak."Naya mengangguk, membiarkan titik-titik bening turun satu-satu dari sudut mata. Bersamaan dengan rasa haru yang kini menyerang Naya tiba-tiba. Perlakuan mertuanya sangat bisa Naya andalkan. "Makasih, Ma.""Sama-sama."Juga Daren juga sudah menikah

  • Rahim Pengganti CEO Arogan   Pregnant

    Tangan Naya bergetar hebat saat benda pipih di genggaman menunjukkan dua garis yang terlihat begitu jelas. Degup di dada terasa kian mengencang, diiringi perasaan yang Naya sendiri tak tahu entah apa namanya. Pandangan kian buram, tertutup selaput bening yang hanya dengan satu kali kedipan saja akan berubah menjadi bulir air mata. Ya Allah, Naya harus apa? Sesaat terlintas bayangan wajah teduh Raja suaminya. Sosok pria dewasa yang dengan segala sikap lembut yang ia miliki, selalu membuatnya merasa nyaman saat bersamanya. Lalu, bagaimana jika Raja tahu akan hal itu? Naya hamil. Ada bayi mereka di dalam perut. Naya bisa membayangkan seperti apa reaksinya nanti. Apa suaminya akan kecewa? Atau menerimanya dengan suka cita? Karena usia mereka tak lagi muda. Perlahan, satu tangan Naya turun menyentuhnya. Ia di sana, bersemayam di dalam perut, Naya mengelusnya lembut. "Anakku. Meski masih berupa segumpal darah, tapi ia ada. Ya, ia benar-benar ada. Desiran halus perlahan memenuhi rongga da

  • Rahim Pengganti CEO Arogan   Tak Mudah Menduakan Rasa

    Beberapa tahun berlalu Raja berdiri di tepi balkon hotel. Menatap lurus ke arah langit sambil mencengkeram tepian. Alam di keheningan malam. Segala kenangan seolah kembali terputar ulang. Bagaimana wajah istrinya yang terus terbayang meneriakkan kerinduan berulang-ulang, tepat di depan wajah Raja."Aku sudah gila! Ya, aku gila! Karena sangat merindukannya." Bisik Raja pelan. Bukankah cinta memang segila itu saat berada dalam kadar yang sudah tak semestinya. Wanita yang selalu memberikan kenyamanan dan akan menghabiskan seumur hidup dengannya. Setelah mencintai begitu lama, sepenuh jiwa, akhirnya Raja masih menempati cinta di hati yang sedari dulu bersemayam dalam hati. Raja mengusap wajah dengan helaan napas semakin berat."Pak Raja!"Raja menoleh ke arah suara. "Ya, Pak.""Pekerjaan kita telah selesai."Raja tersenyum. "Jadi deal, Pak."Pak Robert mengangguk. "Ya."Raja merasa senang. "Aku sudah tak sabar ingin bertemu, kedua anak kembarku, Pak." Jelasnya. Pak Robert manggut-manggu

  • Rahim Pengganti CEO Arogan   Manis Sekali.

    Guncangan pada bahu Naya sedikit menyadarkannya, Naya tertidur di dalam mobil. "Sudah sampai, Sayang."Kepala Naya terasa masih berat. Lalu ia tersenyum kearah suaminya. "Iya, Mas. Maaf, aku ketiduran.""Tak apa. Hati-hati jalannya licin di hujan di luar, Sayang."Naya mengangguk. "Iya, Mas.""Kamu tetap disini biar aku yang ambil payungnya."Naya tersenyum menatapnya, sesaat Raja mengecup bibirnya. "Mas ...."Raja hanya ngengir kuda seraya keluar dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk istrinya. Hujan menyambut mereka berdua takala Raja sudah berada diparkiran depan rumah. Hujan seperti yang sudah lama ia nantikan menambatkan hati pada Naya Bulir-bulir air yang jatuh seolah beradu dengan kencangnya detak jantung Naya. "Awas hati-hati."Mereka mengenggam payung yang sama berwarna pelangi, sembari berjalan menuju tempat di mana Naya tinggal. Zain dan Amara melambaikan tangan begitu melihat kedatangan kedua orang tuanya, senyum tersungging dari wajah mereka. Mereka berdua berhamb

  • Rahim Pengganti CEO Arogan   Jatuh Cinta Lagi

    Lautan terlihat sangat indah dari kejauhan. Raja yang baru saja pulang meeting dan kini berada di balkon kamar menatap keindahan panorama masih dengan rasa yang sama. Takjub dan merasa luar biasa. Terdengar suara ombak dan juga embusan angin yang segar. Senja sebentar lagi tiba, mengantar mentari ke peraduan. Naya berjalan mendekat dan memeluknya dari belakang. "Jadi, pulang sore ini, Mas.""Besok pagi saja ya.""Tapi, takutnya anak-anak mencari kita, Mas."Raja tersenyum, berbalik dan menikmati setiap senyumannya. "Kangen, mau ditelponin?""Hmm boleh.""Wait."Raja menekan ponselku, tak lama wajah anak-anakku terlihat. Putra-putrinya sedang ditemani sang Mama, terlihat sepertinya mereka sedang berada di sebuah rumah makan. "Assalamu'alaikum, Papa.""Wa'alaikumsalam, lagi apa kalian?""Kami lagi makan mana, Mama?" tanya Zain. Amara sedang makan disuapi oleh Omanya. Amara lebih manja ketimbang kakaknya Zain. "Ini, Mama."Zain terlihat senang. "Mama.""Kalian dimana ini?" tanya Nay

  • Rahim Pengganti CEO Arogan   Kasmaran

    Sentuhan lembut itu membuat tubuh Naya menjadi lemas tak berdaya. Ia memejamkan mata saat perlahan tangan Raja mulai menusup masuk. "Mas ini diluar lo." Tolak Naya. Raja tertawa. "Oh iya aku lupa. Kita ke dalam ya."Raja menggendong tubuh Naya menuju kamar Villa lalu membaringkannya. Raja melepas kancing piama Naya, rindu yang selama ini Raja tahan tersalurkan, hingga mereka berdua tenggelam dalam balutan cinta tanpa benang sehelaipun kini mereka bercinta. Raja menari di atas raga Naya dengan lembut. "Terima kasih, Sayang sudah menerimaku lagi." Ucap Raja setelah selesai menyalurkan hasratnya. "Emmm."Raja mendekapnya dengan erat. "Tidurlah aku akan menjagamu." "Ya.""Sini aku peluk."Naya terdiam tak menjawab, Raja tahu pasti ia sudah terlelap karena kelelahan. Raja hanya bisa berharap kali ini mereka benar-benar mereka bisa bersatu selamanya. Sebenarnya, itulah kehidupan yang diinginkan, sederhana saja asal bisa hidup bersama Naya selamanya. ***Hawa dingin menyeruak masuk mel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status