Share

Terpaksa menikah

Penulis: Purwa ningsih
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-09 18:53:35

"Naya, Deren butuh dioperasi secepatnya, sudahlah kasihan dia."

Naya pasrah keluar melihat adiknya. Mesin ventilator memompa oksigen, menggantikan fungsi pernapasan yang terhenti, karena pengaruh penyakitnya telah membuatnya tidak sadar dan lumpuh seluruh otot pernapasan. Suara dari layar monitor meramaikan suasana yang cukup tegang. Deren baru berhenti kejangnya setelah ditangani oleh Dokter Angga.

Sepuluh menit kemudian, Naya hanya duduk di depan ruang operasi.

"Ya Allah, berikan aku kekuatan!"

Naya melangkah cepat ke depan kamar operasi. Melihat meja resusitasi sudah dihangatkan dengan lampu yang menyala terang di atasnya. Meja itu ditutupi dua lembar kain berbahan. Cemas dan tegang saat melihat wajah Daren benar-benar nyata terlihat. Kemudian Naya keluar karena operasi akan; segera dimulai.

"Naya."

Tangis yang bisa Naya redam, nyatanya tak mampu ia tahan. Naya tersedu, mengeluarkan sakit yang teramat pedih di dalam dada. Dan memeluk tubuh wanita yang selama ini ada untuknya, Hani.

"Sabar, Nay."

Naya menganggukkan kepala tanpa bicara.

"Maaf, apa tawaranku sudah kau pikirkan, Nay?"

Namun, sakit itu masih tertanam dan mungkin tidak akan pernah hilang.

"Kamu hanya punya dua pilihan. Menerima tawaranku atau membayar utangmu padaku yang tak jumlahnya sedikit."

"Apa kau puas, menjebakku diantara kalian?"

"Percayalah, semua akan membaik, Nay."

Astaga apa ini lelucon. Naya bahkan belum pernah melihat wajah suami sahabatnya itu. Tak sedikitpun Hani memberi Naya celah untuk membela diri. Naya kesal pada Hani yang telah menjadikannya calon madunya. Kadang Naya merasa muak atas kebaikannya. Seolah dirinyalah seseorang yang harus menanggung beban menjadi seorang madu yang bahkan tak pernah terbesit dalam benak atau dalam mimpi sekalipun.

Ya itu dulu mereka begitu manis sebagai sahabat yang saling mendukung satu sama lain. Sebelum permintaan konyol Hani dan ancamannya pada Naya seperti sekarang ini.

Tangan Naya gemetaran gugup yang ia rasakan saat ini. Salah satu kebiasaan Naya kalau sedang gugup. Sementara itu, operasi Daren juga belom selesai.

"Tananglah, Nay."

Entahlah. Naya juga tak tahu kenapa memutuskan untuk menerima tawaran Hani sahabatnya itu. Bukankah keputusannya salah, namun itu satu-satunya keputusan yang bijak agar asiknya tetap bisa hidup. Jadi, mungkin ini sudah takdirnya.

"Ini minumlah, teh hangat akan menghangatkan tubuhmu."

"Ya trima kasih, Han."

Tiga puluh menit berlalu dan dokter dengan jas sneli itu sudah keluar dari ruangan operasi.

"Bagaimana Dokter Angga?"

"Berhasil. Alhamdulillah. Daren masih dalam masa observasi pascaoperasi. Tapi keadaannya sudah stabil. Operasinya juga berhasil."

Raut wajah Naya tampak lega. "Syukurlah kalau begitu. Terima kasih, Dok."

"Sama-sama Nay."

Naya mengangguk lalu mengusap wajah yang pasti tampak begitu berantakan sekarang.

"Alhamdulillah berhasil, Han."

Naya memeluk sahabatnya itu.

"Syukur Alhamdulillah. Kamu makan dulu yuk."

Naya menggelengkan kepala.

Hani merengut lalu menghela napas. "Kamu harus makan. Beberapa jam kamu belom makan karena khawatir. Lagian juga operasinya berhasil, kan."

Naya meringis. "Saking paniknya, aku sampai nggak merasa lapar tadi."

"Kalau begitu, ayo makan dulu. Setelah itu aku antar kamu pulang."

"Eh, aku masih harus kerja."

Hani tersenyum. "Ya sekarang makanlah."

Lagi pula, Naya juga sudah merasa lapar. Ternyata cemas dan menangis juga cukup menyita tenaga. Naya lalu makan bersama Hani di kantin Rumah Sakit.

"Terima kasih, Han."

"Iya."

Gelombang panas terasa menjalari pipi Naya. Buru-buru, Naya ingat jika ia harus menikahi paksa suami sahabatnya itu.

"Momen ini benar-benar mengesankan buatku, lho. Aku bahkan sampai gak tahu harus ngomong apa. Tapi."

Senyum Hani justru melebar. "Jangan dibahas lagi. Itu sekarang fokus urus Daren soal itu nanti menyusul."

"Tapi buatku itu beban. Justru akan jadi beban karena harus balas budi."

"Nay jangan begitu."

Naya hanya bisa mendesah pasrah. "Okelah. Terserah kamu aja."

Hani mengangguk dengan wajah tampak puas. Hani kemudian melambai ke arah meja pelayan. Tak lama kemudian, membayar makanannya.

"Naya." Hani memanggil Naya di saat mereka tengah menikmati minuman jus masing-masing.

"Kenapa?" tanyanya ketika Hani tak segera lanjut berbicara, padahal dia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu.

Wanita itu tersenyum. Tak langsung membuka suara, dia justru mengangkat jusnya sebelum kemudian menyesap isinya secara perlahan. Baru setelah dia meletakkan kembali gelas itu di meja, Hani menatap Naya dengan serius.

"Aku rasa ini cukup adil." Hani melanjutkan. "Aku menginginkan anak dari rahimu hanya kamu aku tak mau yang lain."

Pandangan Naya tiba-tiba berkabut. Seperti ada partikel kecil yang memaksa masuk hingga membuat mata terasa perih. Namun, Naya masih bisa menatap senyum tulus Hani sahabatnya itu.

***

Naya terlihat lemas meskipun bersyukur jika adiknya sudah siuman dan sudah bisa bicara dengannya. Saat Naya mau menstarter motor terhalang mobil yang sangat sangat Naya kenali, ya itu mobil Galih, untuk apa dia kemari? Naya menatap sekeliling, takut orang-orang membicaraknnya.

"Bisa bicara sebentar?"

"Aku mau lelah mau pulang, Mas."

"Aku minta maaf, aku memang salah. Aku mengakui kesalahanku. Tolong maafkan aku, Nay." ucap Galih kemudian.

"Iya, di maafkan."

"Kita mulai lagi dari awal lagi?"

"Itu tidak mungkin. Apalagi calon istrimu, seorang Dokter. Itu yang bisa membuat Mamamu senang bukan. Jadi lupakan tentang kita."

"Nay."

"Kapan menikah, dengan Dokter Seruni?"

"Tolong jangan dibahas lagi, aku tak suka dengannya aku hanya mencintaimu, Naya."

Naya menggelengkan kepala.

"Pertanyaan aku apa bisa kamu memberontak dan menentang keluargamu? Aku rasa tidak."

Galih terdiam.

"Aku rasa kamu tak pernah memperjuangkan cinta kita. Jadi semuanya sudah selesai, dan biarkan aku pergi."

Galih kembali mengusap wajahnya dengan gusar. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

"Tapi, Naya aku tak bisa melupakanmu."

Naya memejamkan mata menikmati angin sore yang begitu menyesakkan dada. Saat ini dada Naya sakitnya luar biasa.

"Maaf. Aku mau pulang dan istirahat."

"Aku mencintaimu, Naya." Lagi-lagi kata itu yang keluar dari bibir laki-laki yang berdiri dihadapan sepeda motornya.

Naya melengos. Menatap para pekerja di parkiran yang menatap ke arah mereka berdua. Lalu Naya menstarter motor memilih pergi untuk bisa melampiaskan rasa sakit yang teramat pedih. Motor terus berjalan, tapi air mata terus menggenang menutupi pandangan. Segera Naya menghapusnya. Tak ada gunanya juga menangisi Gilang tak yang tak pernah memperjuangkannya.

***

Satu minggu setelahnya. Naya hanya diam, tak berkutik menatap cermin, ada seorang MUA yang meriasnya. Dengan kebaya bruklat putih tulang telah melekat ditubuh. Ya begitulah Naya bagaikan di neraka saat ini. Menjadi pengantin yang tak semestinya.

"Kau sangat cantik, Nay."

Naya hanya diam.

"Kau tahu. Aku sadar bahwa kau sangat berarti bagiku. Kamu penyelamatku."

"Jangan bercanda. Aku tahu kau sedih, mana ada wanita tega menikahkan suaminya," ucap Naya diikuti helaan napas panjang.

Hani memalingkan wajahnya. "Aku. Tenanglah aku tak sedih."

"Mana bisa begitu kau memang wanita gila. Aku tahu hati kamu pasti hancur."

"Tidak biasa saja. Tapi aku bisa membuatmu melupakan lelaki egois itu." Ejeknya.

"Kamu tidak sedang bercanda, kan? Sudahlah aku muak mendengarnya."

Hani tersenyum mendengarnya. Dan memeluknya, Naya yakin dalam hati Hani ia menangis karena ia telah berbagi suami padanya.

"Kau tak lupa janjimu, kan. Kalau aku tetap diperbolehkan bekerja. Itu satu-satunya yang bisa membuat hatiku gembira."

"Iya. Aku berjanji."

Hani menjanjikan komitmen yang dibalut kesepakatan pernikahan. Membuat tubuhnya seolah lemah. Naya berjalan dan duduk di samping dari calon mempelai lelaki itu. Laki-laki itu menggenggam erat tangan istrinya Hani.

"Bisa kita mulai?" Pak penghulu bertanya dan diiyakan oleh keluarga mempelai laki-laki juga Hani.

Naya masih di sini, di ruangan sama, bahkan Naya belum pernah melihat wajah lelaki itu seperti apa? Ah gila rasanya. Disaksikan anggota keluarga mertua Hani, pastinya pernikahan ini sah di mata hukum dan agama. Hani tangannya begitu dingin menatap Naya sejenak, kemudian mendengar prosesi akad nikah dengan hikmat.

"Saya terima nikah dan kawinnya Naya Maharai ... dengan maskawin tersebut. Dibayar tunai!"

"Bagaimana saksi?"

"Sah!"

Mungkin ini adalah awal penderitaan Naya, namun semuanya demi keselamatan adiknya Daren. Naya rela melakukannya. Acara pernikahan sederhana telah selesai, Naya diantarkan ke kamar oleh Hani. Naya sedikit kaget karena kamarnya seluas kamarnya di rumah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahim Pengganti CEO Arogan   Ending. indah Bersamamu

    "Naya.""Ya, Ma.""Ini untukmu, Naya hadiah dari Mama untukmu yang sudah berjuang melahirkan Cucu laki-laki Mama lagi." Naya terkejut. "Cincin.""Iya. Simpanlah jangan melihat harganya. Jika soal harga pasti Raja bisa membelikanmu yang jauh lebih bagus dari ini. Ini hanya hadiah untuk kenang-kenangan dari, Mama."Naya terdiam."Ini untukmu, pakailah." "Ya Allah, ini bagus banget, Mama."Sebuah cincin cantik itu sekarang menyelip di antara jemari manis Naya. Sang Mama meraih jemari menantunya. "Bahagia terus ya, Nak. Selamat sudah melahirkan dengan lancar.""Ya, Ma. Terima kasih untuk cinta dan kasih sayang Mama dan Papa selama ini. Selalu mendukungku apapun itu.""Ya kau tahu, Mama hanya ingin kamu, cucu-cucu Mama dan Raja bahagia, Nak."Naya mengangguk, membiarkan titik-titik bening turun satu-satu dari sudut mata. Bersamaan dengan rasa haru yang kini menyerang Naya tiba-tiba. Perlakuan mertuanya sangat bisa Naya andalkan. "Makasih, Ma.""Sama-sama."Juga Daren juga sudah menikah

  • Rahim Pengganti CEO Arogan   Pregnant

    Tangan Naya bergetar hebat saat benda pipih di genggaman menunjukkan dua garis yang terlihat begitu jelas. Degup di dada terasa kian mengencang, diiringi perasaan yang Naya sendiri tak tahu entah apa namanya. Pandangan kian buram, tertutup selaput bening yang hanya dengan satu kali kedipan saja akan berubah menjadi bulir air mata. Ya Allah, Naya harus apa? Sesaat terlintas bayangan wajah teduh Raja suaminya. Sosok pria dewasa yang dengan segala sikap lembut yang ia miliki, selalu membuatnya merasa nyaman saat bersamanya. Lalu, bagaimana jika Raja tahu akan hal itu? Naya hamil. Ada bayi mereka di dalam perut. Naya bisa membayangkan seperti apa reaksinya nanti. Apa suaminya akan kecewa? Atau menerimanya dengan suka cita? Karena usia mereka tak lagi muda. Perlahan, satu tangan Naya turun menyentuhnya. Ia di sana, bersemayam di dalam perut, Naya mengelusnya lembut. "Anakku. Meski masih berupa segumpal darah, tapi ia ada. Ya, ia benar-benar ada. Desiran halus perlahan memenuhi rongga da

  • Rahim Pengganti CEO Arogan   Tak Mudah Menduakan Rasa

    Beberapa tahun berlalu Raja berdiri di tepi balkon hotel. Menatap lurus ke arah langit sambil mencengkeram tepian. Alam di keheningan malam. Segala kenangan seolah kembali terputar ulang. Bagaimana wajah istrinya yang terus terbayang meneriakkan kerinduan berulang-ulang, tepat di depan wajah Raja."Aku sudah gila! Ya, aku gila! Karena sangat merindukannya." Bisik Raja pelan. Bukankah cinta memang segila itu saat berada dalam kadar yang sudah tak semestinya. Wanita yang selalu memberikan kenyamanan dan akan menghabiskan seumur hidup dengannya. Setelah mencintai begitu lama, sepenuh jiwa, akhirnya Raja masih menempati cinta di hati yang sedari dulu bersemayam dalam hati. Raja mengusap wajah dengan helaan napas semakin berat."Pak Raja!"Raja menoleh ke arah suara. "Ya, Pak.""Pekerjaan kita telah selesai."Raja tersenyum. "Jadi deal, Pak."Pak Robert mengangguk. "Ya."Raja merasa senang. "Aku sudah tak sabar ingin bertemu, kedua anak kembarku, Pak." Jelasnya. Pak Robert manggut-manggu

  • Rahim Pengganti CEO Arogan   Manis Sekali.

    Guncangan pada bahu Naya sedikit menyadarkannya, Naya tertidur di dalam mobil. "Sudah sampai, Sayang."Kepala Naya terasa masih berat. Lalu ia tersenyum kearah suaminya. "Iya, Mas. Maaf, aku ketiduran.""Tak apa. Hati-hati jalannya licin di hujan di luar, Sayang."Naya mengangguk. "Iya, Mas.""Kamu tetap disini biar aku yang ambil payungnya."Naya tersenyum menatapnya, sesaat Raja mengecup bibirnya. "Mas ...."Raja hanya ngengir kuda seraya keluar dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk istrinya. Hujan menyambut mereka berdua takala Raja sudah berada diparkiran depan rumah. Hujan seperti yang sudah lama ia nantikan menambatkan hati pada Naya Bulir-bulir air yang jatuh seolah beradu dengan kencangnya detak jantung Naya. "Awas hati-hati."Mereka mengenggam payung yang sama berwarna pelangi, sembari berjalan menuju tempat di mana Naya tinggal. Zain dan Amara melambaikan tangan begitu melihat kedatangan kedua orang tuanya, senyum tersungging dari wajah mereka. Mereka berdua berhamb

  • Rahim Pengganti CEO Arogan   Jatuh Cinta Lagi

    Lautan terlihat sangat indah dari kejauhan. Raja yang baru saja pulang meeting dan kini berada di balkon kamar menatap keindahan panorama masih dengan rasa yang sama. Takjub dan merasa luar biasa. Terdengar suara ombak dan juga embusan angin yang segar. Senja sebentar lagi tiba, mengantar mentari ke peraduan. Naya berjalan mendekat dan memeluknya dari belakang. "Jadi, pulang sore ini, Mas.""Besok pagi saja ya.""Tapi, takutnya anak-anak mencari kita, Mas."Raja tersenyum, berbalik dan menikmati setiap senyumannya. "Kangen, mau ditelponin?""Hmm boleh.""Wait."Raja menekan ponselku, tak lama wajah anak-anakku terlihat. Putra-putrinya sedang ditemani sang Mama, terlihat sepertinya mereka sedang berada di sebuah rumah makan. "Assalamu'alaikum, Papa.""Wa'alaikumsalam, lagi apa kalian?""Kami lagi makan mana, Mama?" tanya Zain. Amara sedang makan disuapi oleh Omanya. Amara lebih manja ketimbang kakaknya Zain. "Ini, Mama."Zain terlihat senang. "Mama.""Kalian dimana ini?" tanya Nay

  • Rahim Pengganti CEO Arogan   Kasmaran

    Sentuhan lembut itu membuat tubuh Naya menjadi lemas tak berdaya. Ia memejamkan mata saat perlahan tangan Raja mulai menusup masuk. "Mas ini diluar lo." Tolak Naya. Raja tertawa. "Oh iya aku lupa. Kita ke dalam ya."Raja menggendong tubuh Naya menuju kamar Villa lalu membaringkannya. Raja melepas kancing piama Naya, rindu yang selama ini Raja tahan tersalurkan, hingga mereka berdua tenggelam dalam balutan cinta tanpa benang sehelaipun kini mereka bercinta. Raja menari di atas raga Naya dengan lembut. "Terima kasih, Sayang sudah menerimaku lagi." Ucap Raja setelah selesai menyalurkan hasratnya. "Emmm."Raja mendekapnya dengan erat. "Tidurlah aku akan menjagamu." "Ya.""Sini aku peluk."Naya terdiam tak menjawab, Raja tahu pasti ia sudah terlelap karena kelelahan. Raja hanya bisa berharap kali ini mereka benar-benar mereka bisa bersatu selamanya. Sebenarnya, itulah kehidupan yang diinginkan, sederhana saja asal bisa hidup bersama Naya selamanya. ***Hawa dingin menyeruak masuk mel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status