Share

Rahim Pinjaman
Rahim Pinjaman
Penulis: Hisa NK

1. Antara Bahagia Dan Luka

"Terima kasih untuk malam indahnya, ya, Mas," kata Anilla sembari merapihkan rambut dengan jari tangan. Matanya mengedip manja pada suami yang baru menikahinya.

Bagas hanya menarik sedikit bibirnya untuk tersenyum. Tapi, hal itu tidak menjadi masalah untuk seorang Anilla Prameswari. Seorang gadis cantik dengan kulit putih dan rambut panjang yang menutupi punggung apabila digerai.  

Dia sudah terbiasa dengan sikap dingin suaminya ini. Tapi, justru sikap ini lah yang Anilla sukai. Dia berkeyakinan apabila laki-laki yang dingin layak gunung es itu tipe-tipe setia. Dia terkekeh sendiri, apabila Bagas berekspresi datar. 

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Bagas sembari menyingkap selimut dan berdiri meninggalkan Anilla menuju kamar mandi.

Anilla kembali terkesima menatap punggung Bagas yang berotot, "Ehmm! Memang, aku tidak salah pilih, walaupun aku harus meyakinkan Ambu supaya menyetujui pernikahan ini! Ah, Anilla good job, kamu pemenang!" seru Anilla yang terus mengembangkan senyuman. 

Sesekali dia teringat ketika pertama kali bertemu Bagas di perusahaan tempat dia melamar kerja. Dia mengira Bagas adalah karyawan di kantor tersebut. Dengan wajah datar, dia meminta Bagas untuk mengantarnya ke ruang HRD. Pada saat itu, Bagas mengantarkannya. Tapi, setelah beberapa hari bekerja, dia baru tahu apabila Bagas adalah atasannya.

Wajah cantik Anilla kini berubah seperti kepiting rebus. Dia mengigit jarinya sembari menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. "Ya, Alloh. Aku tidak menyangka atasanku, sekarang menjadi suamiku. Alhamdulillah, memang jodoh itu tidak ada yang tahu," gumamnya dibalik selimut yang terbuat dari kain halus.

Bagas, keluar dari kamar mandi, hanya menggunakan handuk yang dililit di pinggangnya. "Ann, ngapain sembunyi kayak gitu?" tanya Bagas ketika netranya menatap gundukan besar di kasur king size di sebuah hotel bintang lima kota Bandung.

Anilla membuka selimut dan terkejut ketika setengah badan Bagas terekspos. Dia menutup mata dengan tangan kanannya. "Tolong dong, Mas. Kalau keluar dari kamar mandi pakai baju, jangan kayak gini!" rengek Anilla dengan suara manjanya. 

Kemudian, samar dia merasakan ranjang empuk bergerak, karena Bagas mulai mendekatinya. Dia menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhnya. "Dasar laki-laki, tidak puas apa? Semalam sudah dikasih, sekarang mau lagi!" Anilla bergumam dengan kesal. 

Pletak!

Satu jitakkan, menyadarkan sangkaan Anilla. "Mandi! Bersihkan diri kamu dulu. Baru, nanti kita turun untuk sarapan!" nadanya memerintah.

"Ih, kirain aku. Mas, mau lagi!" seru Anilla seraya mencebikkan bibirnya.

"Apa? Kamu kira aku apa, Anilla Prameswari? Makanya jangan kotori otak dengan tontonan aneh!" ejek Bagas pada Anilla.

"Kamu itu, Mas. Aku, 'kan, hanya berasumsi!" kilah Anilla sembari berdiri dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Bagas hanya menatapnya datar tanpa menggodanya. Tapi, sekali lagi, dia paham akan suaminya ini. 

Anilla berjalan dengan menyeret selimut tebal, susah payah dia melangkah menuju kamar mandi. Netranya menoleh pada suaminya yang tak bergerak menolongnya.

"Sudah, Anilla jangan berharap gunung es itu bergerak menolong kamu. Yang penting kini kamu bahagia bersama dirinya. Kamu tidak susah-susah lagi mencari pekerjaan untuk mengobati Ayah," ujarnya tanpa meneteskan air mata atau rintihan penyesalan.

Di dalam kamar mandi, Anilla menyalakan shower dan memutar tombol untuk mengaturnya pada posisi air hangat. Dia sengaja mengisi bathtub untuk sekedar berendam dan memulihkan sendi-sendinya yang kaku.

Setelah dirasa penuh, dia membenamkan tubuhnya ke dalam air hangat yang telah dicampur aroma terapi. Hangat dan segar yang dia rasakan.

Khayalnya kembali mengingat ketika Bagas melamar Anilla satu Minggu yang lalu. Hanya butuh satu Minggu untuk seorang Bagas bisa meluluhkan hati Anilla yang baru lulus kuliah. Karena dirasa Bagas lebih dewasa dan mapan. Anilla langsung menyetujui permintaannya. 

"Mungkin karena aku cantik! Jadi atasanku menikahiku tanpa proses lama. Ya, sudah Anilla, nikmati saja kehidupanmu saat ini," ucapnya sembari membasuh tubuh.

Hampir setengah jam Bagas menunggu. Namun, Anilla masih betah di kamar mandi. Dia berjalan dengan cepat dan mengetuk pintu. "Ann, cepatlah! Aku tidak suka menunggu untuk hal sepele!" teriak Bagas.

"Ya, Mas. Sebentar lagi selesai!" sahut Anilla dengan nada tinggi.

Tak lama Anilla keluar dengan memakai kimono handuk putih yang membungkus tubuh. Wangi dan segar menyeruak di cuping hidung Bagas yang masih berdiri di dekat pintu kamar mandi. Ingin rasanya dia, menarik tubuh istrinya mendekat dan menempelkan kembali indera peraba mereka.

Namun, dengan cepat Bagas meninggalkan Anilla. Tapi, sekali lagi Anilla paham akan kelakuan Bagas yang masih dingin dalam bersikap.

"Aku harus bisa meluluhkan gunung es ini. Ayok, Anilla! Kamu pasti bisa," ujarnya seraya menaikan kedua alisnya.

Kemudian, Anilla mengambil tas travel bag-nya untuk memilih baju yang sesuai pada pagi ini. Dia menoleh sebentar, menatap laki-laki dingin di sebelahnya. Tangannya memegang remote TV. Tubuh indah Anilla tak membuatnya berpaling dari tonton televisi.

Anilla menghembuskan napas panjangnya, "Sabar, Anilla!" gumamnya kembali. Kemudian tangannya mengambil celana panjang longgar berwarna hitam yang dipadukan dengan atasan outfit krem. Dia berjalan menuju ruang ganti dan segera memakainya baju dengan style ala-ala Korea.

Karena terlalu lama menunggu Anilla, Bagas mendengkus kesal, "Kenapa harus terjebak dengan gadis kecil ini? Kalau bukan karena Adisti yang memintanya. Sungguh, Aku tidak menginginkan pernikahan ini terjadi!" Dia menjambak rambutnya dengan kasar.

Beberapa menit berlalu, Anilla keluar dari ruang ganti dengan senyuman manis. Dia mendekati Bagas yang masih duduk di atas ranjang.

"Ayok, Mas! Sarapan dulu, perut aku laper banget!" rengek Anilla mulai menggoda. Dia merasa tak apa lah, dia bersikap seperti ini karena kewajiban seorang istri untuk menyenangkan suami.

Bagas hanya tersenyum kecut, sembari memindai riasan natural istrinya. "Cantik!" ucapnya pendek. 

Anilla hanya bisa mengikuti suaminya yang semakin tampan dengan celana denim krem, dipadu kaos slim fit dark blue.

***

Bagas mengajak Anilla, menuju resto hotel. Netra Anilla, begitu takjub menatap deretan makanan yang beraneka ragam. Wangi butter bercampur dengan wangi-wangian masakan lainnya, begitu menusuk indera penciuman.

Kruk ... Kruk ... Kruk ...

Nyanyian di perut Anilla, tak mampu lagi disembunyikan. Bagas tersenyum kembali pada Anilla, netranya menatap wajah Anilla, yang telah berubah menjadi merah merona karena malu.

"Maaf, ya, Mas. Emang perutnya gak bisa kompromi," sahut Anilla sembari menggaruk lehernya yang tak gatal.

Setelah mengambil makanan, Bagas mengajak Anilla duduk di meja yang berdekatan dengan kolam ikan buatan. Bunyi gemericik dari air mancur, menambah syahdu kedekatan mereka.

"Ann! Ada yang harus aku bicarakan sama kamu! Tapi, makanlah dahulu," kata Bagas yang masih memasang wajah datar.

"Tidak apa-apa, bicara sekarang saja!" perintah Anilla karena tidak sabar dengan kabar yang akan didengarnya.

"Maaf, sebelum! Tujuan aku menikahi kamu adalah karena istriku yang memintanya, agar kami memiliki keturunan!" sesal Bagas. 

Prang!

Suara garpu yang terlepas dari tangan Anilla. Dia tidak menyangka, kalau Bagas menikahinya hanya untuk memberikannya keturunan dan bukan karena cinta.

"Apa, Mas? Kamu menikah denganku hanya untuk dijadikan wanita kedua! Supaya kalian bisa memiliki keturunan?" pekik Anilla. Bibirnya bergetar menahan emosi, hatinya begitu hancur mendengar kejujuran laki-laki tampan dihadapannya.

"Ya! Dan aku pun tidak pernah mencintai kamu, Anilla Prameswari!" Bariton Bagas terdengar tegas, namun seperti sembilu yang mampu menyayat hati gadis cantik yang baru saja dimilikinya.

Anilla hanya bisa menangis dalam sesal, gemertak gigi terdengar pilu. Tubuh ringkihnya kini bergetar menahan emosi yang kian membuncah. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status