"Terima kasih untuk malam indahnya, ya, Mas," kata Anilla sembari merapihkan rambut dengan jari tangan. Matanya mengedip manja pada suami yang baru menikahinya.
Bagas hanya menarik sedikit bibirnya untuk tersenyum. Tapi, hal itu tidak menjadi masalah untuk seorang Anilla Prameswari. Seorang gadis cantik dengan kulit putih dan rambut panjang yang menutupi punggung apabila digerai.
Dia sudah terbiasa dengan sikap dingin suaminya ini. Tapi, justru sikap ini lah yang Anilla sukai. Dia berkeyakinan apabila laki-laki yang dingin layak gunung es itu tipe-tipe setia. Dia terkekeh sendiri, apabila Bagas berekspresi datar.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Bagas sembari menyingkap selimut dan berdiri meninggalkan Anilla menuju kamar mandi.
Anilla kembali terkesima menatap punggung Bagas yang berotot, "Ehmm! Memang, aku tidak salah pilih, walaupun aku harus meyakinkan Ambu supaya menyetujui pernikahan ini! Ah, Anilla good job, kamu pemenang!" seru Anilla yang terus mengembangkan senyuman.
Sesekali dia teringat ketika pertama kali bertemu Bagas di perusahaan tempat dia melamar kerja. Dia mengira Bagas adalah karyawan di kantor tersebut. Dengan wajah datar, dia meminta Bagas untuk mengantarnya ke ruang HRD. Pada saat itu, Bagas mengantarkannya. Tapi, setelah beberapa hari bekerja, dia baru tahu apabila Bagas adalah atasannya.
Wajah cantik Anilla kini berubah seperti kepiting rebus. Dia mengigit jarinya sembari menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. "Ya, Alloh. Aku tidak menyangka atasanku, sekarang menjadi suamiku. Alhamdulillah, memang jodoh itu tidak ada yang tahu," gumamnya dibalik selimut yang terbuat dari kain halus.
Bagas, keluar dari kamar mandi, hanya menggunakan handuk yang dililit di pinggangnya. "Ann, ngapain sembunyi kayak gitu?" tanya Bagas ketika netranya menatap gundukan besar di kasur king size di sebuah hotel bintang lima kota Bandung.
Anilla membuka selimut dan terkejut ketika setengah badan Bagas terekspos. Dia menutup mata dengan tangan kanannya. "Tolong dong, Mas. Kalau keluar dari kamar mandi pakai baju, jangan kayak gini!" rengek Anilla dengan suara manjanya.
Kemudian, samar dia merasakan ranjang empuk bergerak, karena Bagas mulai mendekatinya. Dia menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhnya. "Dasar laki-laki, tidak puas apa? Semalam sudah dikasih, sekarang mau lagi!" Anilla bergumam dengan kesal.
Pletak!
Satu jitakkan, menyadarkan sangkaan Anilla. "Mandi! Bersihkan diri kamu dulu. Baru, nanti kita turun untuk sarapan!" nadanya memerintah.
"Ih, kirain aku. Mas, mau lagi!" seru Anilla seraya mencebikkan bibirnya.
"Apa? Kamu kira aku apa, Anilla Prameswari? Makanya jangan kotori otak dengan tontonan aneh!" ejek Bagas pada Anilla.
"Kamu itu, Mas. Aku, 'kan, hanya berasumsi!" kilah Anilla sembari berdiri dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Bagas hanya menatapnya datar tanpa menggodanya. Tapi, sekali lagi, dia paham akan suaminya ini.
Anilla berjalan dengan menyeret selimut tebal, susah payah dia melangkah menuju kamar mandi. Netranya menoleh pada suaminya yang tak bergerak menolongnya.
"Sudah, Anilla jangan berharap gunung es itu bergerak menolong kamu. Yang penting kini kamu bahagia bersama dirinya. Kamu tidak susah-susah lagi mencari pekerjaan untuk mengobati Ayah," ujarnya tanpa meneteskan air mata atau rintihan penyesalan.
Di dalam kamar mandi, Anilla menyalakan shower dan memutar tombol untuk mengaturnya pada posisi air hangat. Dia sengaja mengisi bathtub untuk sekedar berendam dan memulihkan sendi-sendinya yang kaku.
Setelah dirasa penuh, dia membenamkan tubuhnya ke dalam air hangat yang telah dicampur aroma terapi. Hangat dan segar yang dia rasakan.Khayalnya kembali mengingat ketika Bagas melamar Anilla satu Minggu yang lalu. Hanya butuh satu Minggu untuk seorang Bagas bisa meluluhkan hati Anilla yang baru lulus kuliah. Karena dirasa Bagas lebih dewasa dan mapan. Anilla langsung menyetujui permintaannya.
"Mungkin karena aku cantik! Jadi atasanku menikahiku tanpa proses lama. Ya, sudah Anilla, nikmati saja kehidupanmu saat ini," ucapnya sembari membasuh tubuh.
Hampir setengah jam Bagas menunggu. Namun, Anilla masih betah di kamar mandi. Dia berjalan dengan cepat dan mengetuk pintu. "Ann, cepatlah! Aku tidak suka menunggu untuk hal sepele!" teriak Bagas.
"Ya, Mas. Sebentar lagi selesai!" sahut Anilla dengan nada tinggi.
Tak lama Anilla keluar dengan memakai kimono handuk putih yang membungkus tubuh. Wangi dan segar menyeruak di cuping hidung Bagas yang masih berdiri di dekat pintu kamar mandi. Ingin rasanya dia, menarik tubuh istrinya mendekat dan menempelkan kembali indera peraba mereka.
Namun, dengan cepat Bagas meninggalkan Anilla. Tapi, sekali lagi Anilla paham akan kelakuan Bagas yang masih dingin dalam bersikap.
"Aku harus bisa meluluhkan gunung es ini. Ayok, Anilla! Kamu pasti bisa," ujarnya seraya menaikan kedua alisnya.
Kemudian, Anilla mengambil tas travel bag-nya untuk memilih baju yang sesuai pada pagi ini. Dia menoleh sebentar, menatap laki-laki dingin di sebelahnya. Tangannya memegang remote TV. Tubuh indah Anilla tak membuatnya berpaling dari tonton televisi.
Anilla menghembuskan napas panjangnya, "Sabar, Anilla!" gumamnya kembali. Kemudian tangannya mengambil celana panjang longgar berwarna hitam yang dipadukan dengan atasan outfit krem. Dia berjalan menuju ruang ganti dan segera memakainya baju dengan style ala-ala Korea.
Karena terlalu lama menunggu Anilla, Bagas mendengkus kesal, "Kenapa harus terjebak dengan gadis kecil ini? Kalau bukan karena Adisti yang memintanya. Sungguh, Aku tidak menginginkan pernikahan ini terjadi!" Dia menjambak rambutnya dengan kasar.
Beberapa menit berlalu, Anilla keluar dari ruang ganti dengan senyuman manis. Dia mendekati Bagas yang masih duduk di atas ranjang.
"Ayok, Mas! Sarapan dulu, perut aku laper banget!" rengek Anilla mulai menggoda. Dia merasa tak apa lah, dia bersikap seperti ini karena kewajiban seorang istri untuk menyenangkan suami.
Bagas hanya tersenyum kecut, sembari memindai riasan natural istrinya. "Cantik!" ucapnya pendek.
Anilla hanya bisa mengikuti suaminya yang semakin tampan dengan celana denim krem, dipadu kaos slim fit dark blue.
***
Bagas mengajak Anilla, menuju resto hotel. Netra Anilla, begitu takjub menatap deretan makanan yang beraneka ragam. Wangi butter bercampur dengan wangi-wangian masakan lainnya, begitu menusuk indera penciuman.
Kruk ... Kruk ... Kruk ...
Nyanyian di perut Anilla, tak mampu lagi disembunyikan. Bagas tersenyum kembali pada Anilla, netranya menatap wajah Anilla, yang telah berubah menjadi merah merona karena malu.
"Maaf, ya, Mas. Emang perutnya gak bisa kompromi," sahut Anilla sembari menggaruk lehernya yang tak gatal.Setelah mengambil makanan, Bagas mengajak Anilla duduk di meja yang berdekatan dengan kolam ikan buatan. Bunyi gemericik dari air mancur, menambah syahdu kedekatan mereka.
"Ann! Ada yang harus aku bicarakan sama kamu! Tapi, makanlah dahulu," kata Bagas yang masih memasang wajah datar.
"Tidak apa-apa, bicara sekarang saja!" perintah Anilla karena tidak sabar dengan kabar yang akan didengarnya.
"Maaf, sebelum! Tujuan aku menikahi kamu adalah karena istriku yang memintanya, agar kami memiliki keturunan!" sesal Bagas.
Prang!
Suara garpu yang terlepas dari tangan Anilla. Dia tidak menyangka, kalau Bagas menikahinya hanya untuk memberikannya keturunan dan bukan karena cinta.
"Apa, Mas? Kamu menikah denganku hanya untuk dijadikan wanita kedua! Supaya kalian bisa memiliki keturunan?" pekik Anilla. Bibirnya bergetar menahan emosi, hatinya begitu hancur mendengar kejujuran laki-laki tampan dihadapannya.
"Ya! Dan aku pun tidak pernah mencintai kamu, Anilla Prameswari!" Bariton Bagas terdengar tegas, namun seperti sembilu yang mampu menyayat hati gadis cantik yang baru saja dimilikinya.
Anilla hanya bisa menangis dalam sesal, gemertak gigi terdengar pilu. Tubuh ringkihnya kini bergetar menahan emosi yang kian membuncah.
Bunyi gemertak dari gigi Anilla terdengar lirih. Pagi ini semuanya hancur seakan memaksa impian pergi. Dia merasa bagai layangan yang d terbangkan dengan senang hati dan di biarkan setelah terputus."Kenapa, Mas gak jujur dari awal? Kalau mas jujur aku tidak akan menerima lamaran atau pinangan ini!" Air mata tak mampu lagi tertahan, memaksa terus keluar dari kelopak mata Anilla.Bagas menatap sekilas pada wajah Anilla yang telah berubah menjadi sendu, kemudian dia melempar pandangan pada kolam ikan di depannya."Aku terpaksa, Ann. Aku minta maaf!" jawaban yang tegas dan singkat.Anilla masih saja tertunduk, tak bergeming itulah yang dia lakukan. Hanya ucapan kutukan dan ratapan pada dirinya. Antara malas dan penasaran, akhirnya dia berkata kembali."Kenapa terpaksa? Kenapa aku yang d jadikan boneka kalian? Kenapa bukan yang lain?" tanya Anilla. Suaranya bergetar menahan rasa yang
"Berdosa!" bentak Anilla dengan suara tinggi. Seperti ada kekuatan super meliputinya, dia bangkit sembari membanting tubuh Bagas ke atas kasur.Bugh!Suara tubuh Bagas terpental. Tubuhnya terpelanting hampir ke ujung kasur dan punggungnya membentur dinding."Ann! Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu sudah melampaui batas, Anilla Prameswari!" Dia meninggikan suaranya sembari membulatkan mata. Bukan hanya tatapannya saja yang tajam, namun rahangnya pun ikut mengeras, menahan segala amarah dalam jiwanya.Anilla mencoba menjauhi Bagas, perlahan dia memundurkan beberapa langkah untuk menjauhi Bagas. Namun, apalah daya, dengan cepat Bagas mampu menarik kembali Anilla, dalam pelukannya."Tolong, Mas! Jangan jadi pemaksa seperti ini! Kalau kamu masih seperti ini, aku akan lari dan loncat dari gedung ini!"Hahahaha!Tawa sumbang penuh ejekan terdengar dari bibir Bagas yang mengira bahwa kata-kata Anilla hanya gertakan."A
Perjalanan hidup Anilla memang membingungkan. Sesekali dia membentur-benturkan kepala pada jok mobil, sembari memejamkan mata. Tangan kanan memijat bagian antara kedua alisnya. Dalam benak hanya memikirkan cara, supaya orangtuanya tidak mengetahui permasalahan yang tengah terjadi. Hati Anilla semakin pedih ketika dia harus berbohong. Tidak pernah sekalipun, dia berkata bohong di depan ayah dan ambu-nya. Namun, sekarang mau tidak mau dia harus melakukannya. "Ya Alloh! Ampuni segala dosa yang telah hamba perbuat!" lirih Anilla. Tanpa sadar lelehan air mata keluar dari tiap sudut matanya. Namun, dia tidak berani untuk membuka mata. Dia terus berpura-pura tertidur di dalam mobil sedan hitam milik Bagas. Bagas menoleh pada Anilla yang sedari tadi hanya diam seribu bahasa. Lelehan-lelehan air mata Anilla kini mulai mengusik rasa bersalahnya. "Kenapa aku harus jadi orang sejahat ini? Sebenarnya aku tidak ingin menyakiti kamu, Ann. Maafkan aku!" gumamnya dalam batin. "Ann! K
"Di mana Ayah sama Ambu, Mang? Cepat katakan!" bentak sembari menangis. Kini tangisannya seakan tak mampu terkendali. Kedua tangannya mencengkram bahu Mamang dan tanpa sadar kini tubuhnya duduk di atas lantai dingin. Dia menangis meraung-raung, ditambah suaranya yang semakin lirih. Paman Anilla hanya mengeryitkan dahinya, ketika melihat kondisi Anilla yang tak pernah bersikap seperti ini. Dengan lembut dia menurunkan tangan Anilla, "Neng Anilla, dengarkan, Mamang! Mamang mah baru pertama lihat neng Anilla nangis seperti ini!" telisik si Mamang karena sepengatahuan dia, kehidupan Anilla sangat jauh dari kata sedih dan susah. "Anilla takut mereka sakit, Mang!" teriak Anilla meluapkan segala kekesalannya. Ya, mungkin dia menangis bukan hanya khawatir pada orang tuanya, tetapi lebih pada menyalurkan rasa marah dan sedih yang dia rasakan pada saat ini. Bagas tak berani mendekati Anilla karena dia pun sadar, memberikan ketenangan pada Anilla hanya membuatnya semakin terluk
Setelah membereskan pakaian Anilla dan beberapa barang kesayangannya. Mereka memutuskan langsung pulang ke rumah Bagas. Dalam hati, Anilla hanya berharap baik-baik saja. Meskipun rasa cemas terus bergelayut dalam pikirannya. Cemas membayangkan kalau istri pertama Bagas akan menjambak rambutnya yang selalu dia rawat. Membayangkan pukulan demi pukulan akan dia terima. Dengan menghela napas panjang Anilla hanya bisa pasrah. "Nasi sudah jadi bubur, Anilla. Jalani semua ini dengan ikhlas!" batin Anilla berkata.Perjalanan yang terasa panjang, pasalnya baru kali ini Anilla datang ke rumah Bagas. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, selama perjalanan benaknya hanya diliputi oleh semua pemikiran yang belum terjadi. Memang karakter Anilla seperti itu, dia gadis yang selalu terlihat ceria dan tenang padahal kenyataannya dia seorang gadis yang selalu merasa cemas dan manja."Kamu mau makan dulu, Ann?" Bariton Bagas memecah keheningan.Netra Anilla beralih pad
Mobil Bagas terparkir di rumah elite dengan design modern, cat warna putih mendominasi rumah tersebut. Taman terhampar mewah dengan rumput hijau yang terpelihara. Beberapa mobil terparkir di rumah besar. Seharusnya Anilla bahagia, ketika melihat segala kemewahan yang ditampilkan di depan mata. Namun, sekarang lihatlah kini dia hanya bisa menundukkan pandangannya. Tak bergeming ketika Bagas mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Ayo, masuk, Ann!" ajak Bagas. Dia menunjuk dengan wajahnya. Anilla hanya tersenyum sekilas. Melihat suaminya, yang kini telah menjadi imamnya. Dia mengiringi langkahnya dengan do'a-do'a, hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Bagas melangkah melewati Anilla, sedangkan Anilla berjalan di belakangnya. Bagas mengetuk pintu dan keluar lah seorang perempuan cantik dengan riasan natural. Tanpa mempedulikan Anilla, Bagas langsung memeluk dan mencium istri pertamanya ini. Jangan tanya lagi kini hati Anilla begitu sakit, terasa ribuan belati menghu
"Tega kamu, Mas! Setiap detik kamu menghancurkan hidupku, terakhir kamu berkata akan berusaha mencintai aku! Tapi, sekarang kata-katamu bagai belati yang menusuk hati ini. Kamu terang-terangan tidak akan membagi cintamu untukku!" lirih Anilla, dia menarik kakinya dan melipatnya sedikit. Ingin rasanya berteriak atau menjambak kepala mereka yang dengan sengaja melukai dirinya."Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa diam dalam sunyi. Membayangkan kalian selalu bersama sedangkan aku hanya jadi boneka patung yang terpajang tanpa arti," gumam Anilla seraya menangisi semua kejadian yang baru saja dilihat dan didengarnya.Perlahan dia membalikkan tubuh ringkihnya karena tidak sanggup lagi menatap jelas suami dan sahabatnya, berpelukan di depan mata. "Kapan cintamu akan berlabuh pada hatiku, Mas? Apakah aku sanggup melihat dan menjalani semua ini? Aku menyerah, aku lemah, aku hanya bisa pasrah menunggu kepastian dari takdir Illahi!" lirihnya kembali terdengar karen
"Mas, sudahi! Aku tidak mau menyakiti Adisti! Aku bilang lepas!" bentak Anilla dengan tatapan tajam. "Aku masih menikmatinya, Sayang!" rengek Bagas sembari menempelkan bibirnya pada bahu Anilla. "Tolong, Mas! Mengerti keadaan kami berdua. Walaupun, pernikahan ini saran Adisti tapi dia juga perempuan yang mudah terluka!" tegas Anilla dengan nada tegas. Dengan wajah kesal Bagas bangkit dari tubuh Anilla, kemudian bersandar di ranjang. "Aku ingin belajar mencintai kamu, Ann. Dan kamu sudah membuatku mabuk oleh wangi tubuhmu!" Suaranya semakin manja. Sesaat Bagas menoleh pada Anilla, dia mengembangkan senyuman ketika melihat rambut Anilla yang berantakan karena ulahnya. Dengan lembut dia merapihkan rambut Anilla. "Kamu cantik, Ann!" kilah Bagas yang mampu membuat tubuh Anilla melayang tinggi, terasa ribuan kupu-kupu menari indah di dalam perutnya. Wajah Anilla menoleh sesaat pada Bagas, "Sudah, Mas! Jangan gombal deh, kita temui Adisti! Di mana kamar mandinya?" t