"Kamu masih gak sadar, juga?!" bentak Inggrid setelah menampar Bagas.
Netra Bagas turun ke bawah, tak berani menatap Inggrid yang tengah dikuasai amarah."Maafkan Bagas, Bu! Bagas gak bisa nolak permintaan Adisti, apalagi sekarang dia sendirian," jawab Bagas.Inggrid kembali mendengkus kesal, dia mendekati kursi yang diduduki Bagas. "Kenapa kamu selalu melakukan apa yang Adisti minta? Apa karena empat tahun yang lalu dia menyelamatkan kamu?!" Suara Inggrid masih naik satu oktaf, terlihat dadanya turun naik. Terkadang dia mendengkus kesal sembari melipat tangannya di atas dada."Ya, Bu! Dan kalau waktu itu, Adisti gak datang ... aku pasti udah mati, Bu! Walaupun, aku sadar saat itu seharusnya aku mengeluarkan ayah dari dalam mobil!" tegas Bagas sembari mengeluarkan air mata.Dia membayangkan kembali pertemuan dengan Adisti. Kala itu, mobil yang dikemudikan Bagas terjun ke dalam jurang. Keberuntungan masih ada dalam takdir Bagas, karena A"Aku gak tau dengan semua rasa ini, Ann! Tolong jangan desak aku!" teriak Bagas. Dadanya terengah karena emosi yang semakin tak terkendali.Netra Anilla terus menatap Bagas tanpa berkedip. Dia berpikir apa yang terjadi pada Bagas benar-benar tak masuk akal. Sebesar apa cintanya pada Adisti, hingga dia sendiri pun tidak tahu apa yang tengah menimpanya? Pertanyaan terus berputar dalam benak Anilla."Aku sadar diri, Mas. Mungkin Mas Bagas bersikap seperti ini ... karena kamu terlalu cinta pada Adisti!" lirih Anilla sembari membalikkan tubuhnya ke depan dengan tatapan kosong."Jangan bersikap seperti ini, Ann! Aku juga mencintai kam...," ucapan Bagas terhenti ketika jari telunjuk Anilla menempel di atas bibirnya."Jangan diteruskan! Aku tau, kamu berkata hanya untuk mengobati rasa cintaku yang tak pernah terbalas," keluh Anilla seraya menurunkan jarinya.Tanpa berkata, mata elang Bagas terus menatap Anilla menyaratkan seribu bahasa yang tak b
Empat orang suster membawa Adisti masuk ke ruangan UGD. Sedangkan, Bagas, dan Anilla bergegas mengikuti dari belakang.Setelah sampai di UGD, mereka segera memberikan pertolongan pada Adisti. Karena luka Adisti tidak terlalu serius, dokter menyarankan agar Adisti dipindahkan ke ruang rawat inap. Dengan cepat Bagas menyetujuinya. Untuk Adisti, dia tidak pernah memikirkan keuangan yang akan dia keluarkan.Setelah memasuki ruang inap, Anilla main mengkhawatirkan kondisi Bagas yang terlihat kusut, dan lelah."Mas." Anilla mendekati Bagas. Sebelum menjawab, Bagas menoleh pada Anilla sembari mengulas senyuman. "Kenapa, Ann?" "Istirahat dulu!" titah Anilla sembari menyimpan tangan di bahu Bagas.Bagas hanya menggelengkan kepala. Kemudian dia menunduk di atas ranjang Adisti, dan melipat kedua tangannya sebagai tumpuan."Aku harus nunggu Adisti!" jawab Bagas tanpa menatap Anilla.Rasa sakit dalam hati Anilla kembali me
"Terima kasih untuk malam indahnya, ya, Mas," kata Anilla sembari merapihkan rambut dengan jari tangan. Matanya mengedip manja pada suami yang baru menikahinya.Bagas hanya menarik sedikit bibirnya untuk tersenyum. Tapi, hal itu tidak menjadi masalah untuk seorang Anilla Prameswari. Seorang gadis cantik dengan kulit putih dan rambut panjang yang menutupi punggung apabila digerai. Dia sudah terbiasa dengan sikap dingin suaminya ini. Tapi, justru sikap ini lah yang Anilla sukai. Dia berkeyakinan apabila laki-laki yang dingin layak gunung es itu tipe-tipe setia. Dia terkekeh sendiri, apabila Bagas berekspresi datar."Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Bagas sembari menyingkap selimut dan berdiri meninggalkan Anilla menuju kamar mandi.Anilla kembali terkesima menatap punggung Bagas yang berotot, "Ehmm! Memang, aku tidak salah pilih, walaupun aku harus meyakinkan Ambu supaya menyetujui pernikahan ini! Ah, Anilla good job, kamu pemenang!" seru A
Bunyi gemertak dari gigi Anilla terdengar lirih. Pagi ini semuanya hancur seakan memaksa impian pergi. Dia merasa bagai layangan yang d terbangkan dengan senang hati dan di biarkan setelah terputus."Kenapa, Mas gak jujur dari awal? Kalau mas jujur aku tidak akan menerima lamaran atau pinangan ini!" Air mata tak mampu lagi tertahan, memaksa terus keluar dari kelopak mata Anilla.Bagas menatap sekilas pada wajah Anilla yang telah berubah menjadi sendu, kemudian dia melempar pandangan pada kolam ikan di depannya."Aku terpaksa, Ann. Aku minta maaf!" jawaban yang tegas dan singkat.Anilla masih saja tertunduk, tak bergeming itulah yang dia lakukan. Hanya ucapan kutukan dan ratapan pada dirinya. Antara malas dan penasaran, akhirnya dia berkata kembali."Kenapa terpaksa? Kenapa aku yang d jadikan boneka kalian? Kenapa bukan yang lain?" tanya Anilla. Suaranya bergetar menahan rasa yang
"Berdosa!" bentak Anilla dengan suara tinggi. Seperti ada kekuatan super meliputinya, dia bangkit sembari membanting tubuh Bagas ke atas kasur.Bugh!Suara tubuh Bagas terpental. Tubuhnya terpelanting hampir ke ujung kasur dan punggungnya membentur dinding."Ann! Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu sudah melampaui batas, Anilla Prameswari!" Dia meninggikan suaranya sembari membulatkan mata. Bukan hanya tatapannya saja yang tajam, namun rahangnya pun ikut mengeras, menahan segala amarah dalam jiwanya.Anilla mencoba menjauhi Bagas, perlahan dia memundurkan beberapa langkah untuk menjauhi Bagas. Namun, apalah daya, dengan cepat Bagas mampu menarik kembali Anilla, dalam pelukannya."Tolong, Mas! Jangan jadi pemaksa seperti ini! Kalau kamu masih seperti ini, aku akan lari dan loncat dari gedung ini!"Hahahaha!Tawa sumbang penuh ejekan terdengar dari bibir Bagas yang mengira bahwa kata-kata Anilla hanya gertakan."A
Perjalanan hidup Anilla memang membingungkan. Sesekali dia membentur-benturkan kepala pada jok mobil, sembari memejamkan mata. Tangan kanan memijat bagian antara kedua alisnya. Dalam benak hanya memikirkan cara, supaya orangtuanya tidak mengetahui permasalahan yang tengah terjadi. Hati Anilla semakin pedih ketika dia harus berbohong. Tidak pernah sekalipun, dia berkata bohong di depan ayah dan ambu-nya. Namun, sekarang mau tidak mau dia harus melakukannya. "Ya Alloh! Ampuni segala dosa yang telah hamba perbuat!" lirih Anilla. Tanpa sadar lelehan air mata keluar dari tiap sudut matanya. Namun, dia tidak berani untuk membuka mata. Dia terus berpura-pura tertidur di dalam mobil sedan hitam milik Bagas. Bagas menoleh pada Anilla yang sedari tadi hanya diam seribu bahasa. Lelehan-lelehan air mata Anilla kini mulai mengusik rasa bersalahnya. "Kenapa aku harus jadi orang sejahat ini? Sebenarnya aku tidak ingin menyakiti kamu, Ann. Maafkan aku!" gumamnya dalam batin. "Ann! K
"Di mana Ayah sama Ambu, Mang? Cepat katakan!" bentak sembari menangis. Kini tangisannya seakan tak mampu terkendali. Kedua tangannya mencengkram bahu Mamang dan tanpa sadar kini tubuhnya duduk di atas lantai dingin. Dia menangis meraung-raung, ditambah suaranya yang semakin lirih. Paman Anilla hanya mengeryitkan dahinya, ketika melihat kondisi Anilla yang tak pernah bersikap seperti ini. Dengan lembut dia menurunkan tangan Anilla, "Neng Anilla, dengarkan, Mamang! Mamang mah baru pertama lihat neng Anilla nangis seperti ini!" telisik si Mamang karena sepengatahuan dia, kehidupan Anilla sangat jauh dari kata sedih dan susah. "Anilla takut mereka sakit, Mang!" teriak Anilla meluapkan segala kekesalannya. Ya, mungkin dia menangis bukan hanya khawatir pada orang tuanya, tetapi lebih pada menyalurkan rasa marah dan sedih yang dia rasakan pada saat ini. Bagas tak berani mendekati Anilla karena dia pun sadar, memberikan ketenangan pada Anilla hanya membuatnya semakin terluk
Setelah membereskan pakaian Anilla dan beberapa barang kesayangannya. Mereka memutuskan langsung pulang ke rumah Bagas. Dalam hati, Anilla hanya berharap baik-baik saja. Meskipun rasa cemas terus bergelayut dalam pikirannya. Cemas membayangkan kalau istri pertama Bagas akan menjambak rambutnya yang selalu dia rawat. Membayangkan pukulan demi pukulan akan dia terima. Dengan menghela napas panjang Anilla hanya bisa pasrah. "Nasi sudah jadi bubur, Anilla. Jalani semua ini dengan ikhlas!" batin Anilla berkata.Perjalanan yang terasa panjang, pasalnya baru kali ini Anilla datang ke rumah Bagas. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, selama perjalanan benaknya hanya diliputi oleh semua pemikiran yang belum terjadi. Memang karakter Anilla seperti itu, dia gadis yang selalu terlihat ceria dan tenang padahal kenyataannya dia seorang gadis yang selalu merasa cemas dan manja."Kamu mau makan dulu, Ann?" Bariton Bagas memecah keheningan.Netra Anilla beralih pad