Bunyi gemertak dari gigi Anilla terdengar lirih. Pagi ini semuanya hancur seakan memaksa impian pergi. Dia merasa bagai layangan yang d terbangkan dengan senang hati dan di biarkan setelah terputus.
"Kenapa, Mas gak jujur dari awal? Kalau mas jujur aku tidak akan menerima lamaran atau pinangan ini!" Air mata tak mampu lagi tertahan, memaksa terus keluar dari kelopak mata Anilla.
Bagas menatap sekilas pada wajah Anilla yang telah berubah menjadi sendu, kemudian dia melempar pandangan pada kolam ikan di depannya.
"Aku terpaksa, Ann. Aku minta maaf!" jawaban yang tegas dan singkat.
Anilla masih saja tertunduk, tak bergeming itulah yang dia lakukan. Hanya ucapan kutukan dan ratapan pada dirinya. Antara malas dan penasaran, akhirnya dia berkata kembali.
"Kenapa terpaksa? Kenapa aku yang d jadikan boneka kalian? Kenapa bukan yang lain?" tanya Anilla. Suaranya bergetar menahan rasa yang telah membuncah, ingin rasanya mengoyak wajah tampan Bagas pada saat ini juga.
"Aku tidak tahu, Ann. Istriku yang memilih kamu! Maaf, Ann. Aku gak bisa menutupi kebohongan ini terus menerus!" jawab Bagas sembari melipat kedua tangannya di atas dada.
Hahahaha ...
Anilla tertawa keras didepan Bagas.
"Seorang CEO bisa kalah oleh istrinya dan tega membuat gadis lainnya terluka! Bijaksana sekali, Anda!" ejek Anilla. Mata membulat ketika berkata, wajah ayunya kini berubah menjadi merah padam, keringat mulai mengucur dari dahinya.
Mendengar ejekan Anilla, jiwa laki-lakinya terusik. Dia merasa Anilla tidak berhak mengejek keputusannya.
Brak!
Bagas memukul meja makan dengan kedua tangannya. "Jangan sekali-kali mengejek keputusanku, Anilla Prameswari!"
"Ingat! Aku sudah memberikan semua keinginan Ambu dan Ayah kamu, 'kan. Jadi ikuti apa yang sudah kita sepakati!"
Dengan wajah memerah Anilla kembali teringat tiga hari sebelum lamaran. Kedua orangtuanya, ingin membuktikan kesungguhan Bagas. Mereka meminta sebuah mobil minibus keluaran terbaru. Karena Anilla tinggal di perkampungan yang masih mengedepankan harta untuk penghormatan status sosial.
Kalaulah kejadiannya tidak seperti ini, dia memilih menerima pinangan dari Arif anak juragan beras.
"Jadi, apa keputusan kamu? Tetap bersama kami, sampai akhirnya kamu melahirkan anakku atau pergi dengan rasa malu karena aku bisa mengambil semua barang yang telah aku berikan kepada keluargamu!" Kini giliran Bagas yang terkesan mengejek dan memojokkan Anilla.
Segala rutukan terus menggelayut dalam pemikiran Anilla. Memang benar apa yang dikatakan Bagas, kalau dia memilih pergi, bagaimana kondisi keluarganya yang akan menahan malu. Dia tidak sanggup membayangkan ayah dan ambu terkena serangan jantung. Belum lagi ceritanya akan menjadi bahan gunjingan perkumpulan ibu-ibu yang setia berkumpul tiap pagi mengelilingi mang Asep si tukang sayur.
Setelah berpikir, akhirnya Anilla membuka mulutnya, "Jadi apa yang harus aku lakukan untuk kamu, Mas?" tanyanya singkat, kini tak ada lagi Anilla yang manja. Suaranya terdengar tegas tanpa basa-basi.
"Ehm! Rupanya kamu berubah dengan cepat, ya, Anilla!" ujar Bagas sembari mengusap-usap dagunya.
"Sudah, Mas. Jangan banyak basa-basi, apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Apa aku harus menjadi istri yang terhina dihadapanmu ataukah menjadi istri pembangkang yang akan mencelakai kamu dan istri kamu, Mas!" bentak Anilla yang sudah merasa tidak nyaman berhadapan dengan Bagas.
"Apa? Apa yang tengah kamu katakan, Anilla Prameswari? Lancang kamu! Aku sudah menjadi suami kamu, ingat itu!" Bariton Bagas, berhasil mengundang banyak tatapan orang-orang di sekitarnya. Bagas menurunkan suaranya ketika ada seorang bule yang berdehem cukup keras.
"Suami? Suami yang hanya tertulis di KUA saja, 'kan?" tanya Anilla matanya semakin membulat sebagai simbol perlawanan. Dia tidak ingin menjadi gadis yang hanya bisa diam ketika disakiti suaminya seperti dalam cerita novel yang dia baca. Dia tidak ingin terhina walaupun memang saat ini dia merasa terhina.
"Ann, kata-katanya tolong dijaga! Bukannya gadis dari kota Bandung selalu menjaga tata krama?" kilah Bagas.
"Mau dari Bandung ataupun Papua ketika dia tengah disakiti, mereka tidak akan tinggal diam! Dan asal kamu tahu, Mas, aku akan mengikuti semua yang kamu inginkan, hanya karena orang tuaku saja. Tolong camkan itu!" tegas Anilla.
Kruk ... Kruk ... Kruk..
Perut Anilla berbunyi kembali. "Ish, ini perut, tidak bisa diajak berkerja sama!" rutuk Anilla di dalam hatinya.
Bagas tersenyum pada Anilla, "Makan dulu! Kalau marah-marah terus, cacing dalam perut kamu makin lapar!" ejek Bagas sembari memperlihatkan senyum smrik-nya.
Dengan mendengkus, Anilla mulai memasukkan makanan ke dalam mulut. Walaupun, hatinya lirih memikirkan hal yang baru saja terjadi. "Kuat, Anilla! Kamu harus kuat!" lirih Anilla dalam hatinya. Mencoba untuk kuat, namun tetap saja Anilla hanya gadis yang pasti menangis ketika tersakiti.
Berbeda dengan Bagas, bibirnya terus tersenyum melihat Anilla yang tengah makan dalam keadaan marah. Ada rasa yang mulai menggelitik hatinya. Dia tidak menyangka kalau Anilla adalah gadis yang punya pendirian.
"Bisa juga nih, gadis kecil! Aku makin penasaran akan sikapnya. Memang Adisti tidak salah pilih," gumamnya dalam hati sembari memasukan potongan beef bacon.
***
Setelah sarapan, mereka kembali ke lantai atas. Tatapan dan sikap Anilla kini berubah drastis. Tak ada kata-kata sapaan dan manja yang terucap dari bibirnya. Dengan kasar Anilla membereskan dan memasukkan baju ke dalam travel bag.
Karena merasa bersalah, Bagas mendekati Anilla dan duduk di sampingnya. "Kamu masih marah, Ann?" tanya Bagas.
Anilla menoleh sebentar pada Bagas dan segera bangkit untuk berdiri. Namun, ketika Anilla berdiri dan melangkahkan kakinya. Bagas menarik tubuh Anilla ke atas kasur dan mengunci dengan tubuhnya. Anilla bergerak dan berontak ketika kedua tangan Anilla ditarik ke atas oleh Bagas.
"Lepas, Mas!" Matanya membulat.
Bagas tersenyum menatap pupil Anilla yang semakin membesar. "Bukannya kemarin malam, kamu menikmati setiap sentuhanku, Ann!" ejek Bagas sembari memiringkan kepala dan mendekati bibir ranum Anilla.
Napas halus terasa di wajah Anilla. Tapi, kini hanya ada rasa benci di dalam hatinya. Dia merasa dipermainkan oleh manusia yang kini telah sah sebagai suaminya.
"Kamu menginginkannya lagi, Ann?" Suara Bagas tercekat dan tersengal.
"Tidak! Aku sudah tidak tertarik lagi, yang ada dalam hati ini bukan rasa cinta tapi hanya ada benci!" tegas Anilla yang terus berontak di bawah tubuh Bagas.
"Semakin kamu bergerak, maka keinginanku semakin membuncah, Ann. Layani aku!" Bagas langsung menyambar bibir Anilla dan memagutnya dengan kasar.
Pagutan Bagas, tak dibalas oleh Anilla, dia sudah tidak menaruh rasa hormat ataupun rasa cinta pada suaminya.
"Kenapa diam saja, Ann? Bergeraklah!" ujar Bagas, bibirnya kini merambat menjelajahi leher jenjang Anilla.
Walaupun, dijamah oleh laki-laki tampan dan menyandang gelar suami. Tetap saja dia membencinya, kini perasaannya semakin hancur.
Dia teringat ketika ibunya selalu menggoda ketika Bagas pertama kali datang ke rumahnya. Banyak tetangga yang membicarakan, keberuntungan Anilla. Masih terngiang dalam benaknya, ketika dia melewati jajaran ibu-ibu, mereka memuji Anilla setinggi langit, "Neng Anilla mah beruntung sudah cantik yang datang melamar banyak! Orangnya tampan-tampan terus teh pada kaya! Pada bawa mobil gitu!" Saat itu Anilla pun berpikir sama. Dia merasa menjadi perempuan yang penuh dengan segala keberuntungan. Tapi, sekarang merasa menjadi gadis yang paling bodoh.
Lelehan air mata kembali mengalir ketika Bagas menarik paksa baju yang dikenakannya. Seharusnya, Anilla mempersembahkannya dengan senang hati. Tapi, rasa pedih yang dia rasakan saat ini mulai menguasainya. Membayangkan, ibunya yang akan malu ketika pernikahan yang baru dibangunnya ini gagal, hati Anilla semakin lirih.
"Ann, jangan diam saja! Bukankah berdosa, ketika kamu tidak melayani suami kamu, Anilla Prameswari?" tanya Bagas disela pagutannya.
"Berdosa!" bentak Anilla dengan suara tinggi. Seperti ada kekuatan super meliputinya, dia bangkit sembari membanting tubuh Bagas ke atas kasur.Bugh!Suara tubuh Bagas terpental. Tubuhnya terpelanting hampir ke ujung kasur dan punggungnya membentur dinding."Ann! Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu sudah melampaui batas, Anilla Prameswari!" Dia meninggikan suaranya sembari membulatkan mata. Bukan hanya tatapannya saja yang tajam, namun rahangnya pun ikut mengeras, menahan segala amarah dalam jiwanya.Anilla mencoba menjauhi Bagas, perlahan dia memundurkan beberapa langkah untuk menjauhi Bagas. Namun, apalah daya, dengan cepat Bagas mampu menarik kembali Anilla, dalam pelukannya."Tolong, Mas! Jangan jadi pemaksa seperti ini! Kalau kamu masih seperti ini, aku akan lari dan loncat dari gedung ini!"Hahahaha!Tawa sumbang penuh ejekan terdengar dari bibir Bagas yang mengira bahwa kata-kata Anilla hanya gertakan."A
Perjalanan hidup Anilla memang membingungkan. Sesekali dia membentur-benturkan kepala pada jok mobil, sembari memejamkan mata. Tangan kanan memijat bagian antara kedua alisnya. Dalam benak hanya memikirkan cara, supaya orangtuanya tidak mengetahui permasalahan yang tengah terjadi. Hati Anilla semakin pedih ketika dia harus berbohong. Tidak pernah sekalipun, dia berkata bohong di depan ayah dan ambu-nya. Namun, sekarang mau tidak mau dia harus melakukannya. "Ya Alloh! Ampuni segala dosa yang telah hamba perbuat!" lirih Anilla. Tanpa sadar lelehan air mata keluar dari tiap sudut matanya. Namun, dia tidak berani untuk membuka mata. Dia terus berpura-pura tertidur di dalam mobil sedan hitam milik Bagas. Bagas menoleh pada Anilla yang sedari tadi hanya diam seribu bahasa. Lelehan-lelehan air mata Anilla kini mulai mengusik rasa bersalahnya. "Kenapa aku harus jadi orang sejahat ini? Sebenarnya aku tidak ingin menyakiti kamu, Ann. Maafkan aku!" gumamnya dalam batin. "Ann! K
"Di mana Ayah sama Ambu, Mang? Cepat katakan!" bentak sembari menangis. Kini tangisannya seakan tak mampu terkendali. Kedua tangannya mencengkram bahu Mamang dan tanpa sadar kini tubuhnya duduk di atas lantai dingin. Dia menangis meraung-raung, ditambah suaranya yang semakin lirih. Paman Anilla hanya mengeryitkan dahinya, ketika melihat kondisi Anilla yang tak pernah bersikap seperti ini. Dengan lembut dia menurunkan tangan Anilla, "Neng Anilla, dengarkan, Mamang! Mamang mah baru pertama lihat neng Anilla nangis seperti ini!" telisik si Mamang karena sepengatahuan dia, kehidupan Anilla sangat jauh dari kata sedih dan susah. "Anilla takut mereka sakit, Mang!" teriak Anilla meluapkan segala kekesalannya. Ya, mungkin dia menangis bukan hanya khawatir pada orang tuanya, tetapi lebih pada menyalurkan rasa marah dan sedih yang dia rasakan pada saat ini. Bagas tak berani mendekati Anilla karena dia pun sadar, memberikan ketenangan pada Anilla hanya membuatnya semakin terluk
Setelah membereskan pakaian Anilla dan beberapa barang kesayangannya. Mereka memutuskan langsung pulang ke rumah Bagas. Dalam hati, Anilla hanya berharap baik-baik saja. Meskipun rasa cemas terus bergelayut dalam pikirannya. Cemas membayangkan kalau istri pertama Bagas akan menjambak rambutnya yang selalu dia rawat. Membayangkan pukulan demi pukulan akan dia terima. Dengan menghela napas panjang Anilla hanya bisa pasrah. "Nasi sudah jadi bubur, Anilla. Jalani semua ini dengan ikhlas!" batin Anilla berkata.Perjalanan yang terasa panjang, pasalnya baru kali ini Anilla datang ke rumah Bagas. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, selama perjalanan benaknya hanya diliputi oleh semua pemikiran yang belum terjadi. Memang karakter Anilla seperti itu, dia gadis yang selalu terlihat ceria dan tenang padahal kenyataannya dia seorang gadis yang selalu merasa cemas dan manja."Kamu mau makan dulu, Ann?" Bariton Bagas memecah keheningan.Netra Anilla beralih pad
Mobil Bagas terparkir di rumah elite dengan design modern, cat warna putih mendominasi rumah tersebut. Taman terhampar mewah dengan rumput hijau yang terpelihara. Beberapa mobil terparkir di rumah besar. Seharusnya Anilla bahagia, ketika melihat segala kemewahan yang ditampilkan di depan mata. Namun, sekarang lihatlah kini dia hanya bisa menundukkan pandangannya. Tak bergeming ketika Bagas mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Ayo, masuk, Ann!" ajak Bagas. Dia menunjuk dengan wajahnya. Anilla hanya tersenyum sekilas. Melihat suaminya, yang kini telah menjadi imamnya. Dia mengiringi langkahnya dengan do'a-do'a, hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Bagas melangkah melewati Anilla, sedangkan Anilla berjalan di belakangnya. Bagas mengetuk pintu dan keluar lah seorang perempuan cantik dengan riasan natural. Tanpa mempedulikan Anilla, Bagas langsung memeluk dan mencium istri pertamanya ini. Jangan tanya lagi kini hati Anilla begitu sakit, terasa ribuan belati menghu
"Tega kamu, Mas! Setiap detik kamu menghancurkan hidupku, terakhir kamu berkata akan berusaha mencintai aku! Tapi, sekarang kata-katamu bagai belati yang menusuk hati ini. Kamu terang-terangan tidak akan membagi cintamu untukku!" lirih Anilla, dia menarik kakinya dan melipatnya sedikit. Ingin rasanya berteriak atau menjambak kepala mereka yang dengan sengaja melukai dirinya."Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa diam dalam sunyi. Membayangkan kalian selalu bersama sedangkan aku hanya jadi boneka patung yang terpajang tanpa arti," gumam Anilla seraya menangisi semua kejadian yang baru saja dilihat dan didengarnya.Perlahan dia membalikkan tubuh ringkihnya karena tidak sanggup lagi menatap jelas suami dan sahabatnya, berpelukan di depan mata. "Kapan cintamu akan berlabuh pada hatiku, Mas? Apakah aku sanggup melihat dan menjalani semua ini? Aku menyerah, aku lemah, aku hanya bisa pasrah menunggu kepastian dari takdir Illahi!" lirihnya kembali terdengar karen
"Mas, sudahi! Aku tidak mau menyakiti Adisti! Aku bilang lepas!" bentak Anilla dengan tatapan tajam. "Aku masih menikmatinya, Sayang!" rengek Bagas sembari menempelkan bibirnya pada bahu Anilla. "Tolong, Mas! Mengerti keadaan kami berdua. Walaupun, pernikahan ini saran Adisti tapi dia juga perempuan yang mudah terluka!" tegas Anilla dengan nada tegas. Dengan wajah kesal Bagas bangkit dari tubuh Anilla, kemudian bersandar di ranjang. "Aku ingin belajar mencintai kamu, Ann. Dan kamu sudah membuatku mabuk oleh wangi tubuhmu!" Suaranya semakin manja. Sesaat Bagas menoleh pada Anilla, dia mengembangkan senyuman ketika melihat rambut Anilla yang berantakan karena ulahnya. Dengan lembut dia merapihkan rambut Anilla. "Kamu cantik, Ann!" kilah Bagas yang mampu membuat tubuh Anilla melayang tinggi, terasa ribuan kupu-kupu menari indah di dalam perutnya. Wajah Anilla menoleh sesaat pada Bagas, "Sudah, Mas! Jangan gombal deh, kita temui Adisti! Di mana kamar mandinya?" t
"Menurutlah! Kalau kamu masih membantah... maka ganjarannya, semua harta yang aku berikan pada ayah dan ambu akan aku tarik kembali! Camkan itu!" bentak Bagas setengah berbisik tepat di samping kanan daun telinga Anilla.Mendengar kata-kata Bagas yang terkesan menyombongkan diri, amarah kembali membuncah dalam batin Anilla. "Silakan ambil kembali semua harta yang telah Anda berikan. Tapi ingat kalau benih ini tumbuh menjadi janin, jangan coba-coba mengambilnya dariku!" ujar Anilla seraya membalikkan tubuh. Matanya kini menatap Bagas dengan tatapan tajam tanpa berkedip. Dalam benaknya hanya ada kata benci ketika Bagas selalu mengancam kelemahannya.Plak!Plak!Dua tamparan keras kini mendarat di pipi mulus Anilla. Sesaat Anilla menatap Bagas dengan tatapan penuh tanya. "Apa Adisti diperlakukan seperti ini juga?""Sakit? Tamparan ini adalah hukuman supaya kamu tidak berkata seperti itu lagi! Aku ini suami kamu, Anilla! Dosa hukumn