Share

2. Kamu Mau Mengulang lagi, Ann?

Bunyi gemertak dari gigi Anilla terdengar lirih. Pagi ini semuanya hancur seakan memaksa impian pergi. Dia merasa bagai layangan yang d terbangkan dengan senang hati dan di biarkan setelah terputus.

"Kenapa, Mas gak jujur dari awal? Kalau mas jujur aku tidak akan menerima lamaran atau pinangan ini!" Air mata tak mampu lagi tertahan, memaksa terus keluar dari kelopak mata Anilla.

Bagas menatap sekilas pada wajah Anilla yang telah berubah menjadi sendu, kemudian dia melempar pandangan pada kolam ikan di depannya.

"Aku terpaksa, Ann. Aku minta maaf!" jawaban yang tegas dan singkat.

Anilla masih saja tertunduk, tak bergeming itulah yang dia lakukan. Hanya ucapan kutukan dan ratapan pada dirinya. Antara malas dan penasaran, akhirnya dia berkata kembali.

"Kenapa terpaksa? Kenapa aku yang d jadikan boneka kalian? Kenapa bukan yang lain?" tanya Anilla. Suaranya bergetar menahan rasa yang telah membuncah, ingin rasanya mengoyak wajah tampan Bagas pada saat ini juga. 

"Aku tidak tahu, Ann. Istriku yang memilih kamu! Maaf, Ann. Aku gak bisa menutupi kebohongan ini terus menerus!" jawab Bagas sembari melipat kedua tangannya di atas dada.

Hahahaha ...

Anilla tertawa keras didepan Bagas.

"Seorang CEO bisa kalah oleh istrinya dan tega membuat gadis lainnya terluka! Bijaksana sekali, Anda!" ejek Anilla. Mata membulat ketika berkata, wajah ayunya kini berubah menjadi merah padam, keringat mulai mengucur dari dahinya.

Mendengar ejekan Anilla, jiwa laki-lakinya terusik. Dia merasa Anilla tidak berhak mengejek keputusannya.

Brak!

Bagas memukul meja makan dengan kedua tangannya. "Jangan sekali-kali mengejek keputusanku, Anilla Prameswari!"

"Ingat! Aku sudah memberikan semua keinginan Ambu dan Ayah kamu, 'kan. Jadi ikuti apa yang sudah kita sepakati!"

Dengan wajah memerah Anilla kembali teringat tiga hari sebelum lamaran. Kedua orangtuanya, ingin membuktikan kesungguhan Bagas. Mereka meminta sebuah mobil minibus keluaran terbaru. Karena Anilla tinggal di perkampungan yang masih mengedepankan harta untuk penghormatan status sosial.

Kalaulah kejadiannya tidak seperti ini, dia memilih menerima pinangan dari Arif anak juragan beras. 

"Jadi, apa keputusan kamu? Tetap bersama kami, sampai akhirnya kamu melahirkan anakku atau pergi dengan rasa malu karena aku bisa mengambil semua barang yang telah aku berikan kepada keluargamu!" Kini giliran Bagas yang terkesan mengejek dan memojokkan Anilla.

Segala rutukan terus menggelayut dalam pemikiran Anilla. Memang benar apa yang dikatakan Bagas, kalau dia memilih pergi, bagaimana kondisi keluarganya yang akan menahan malu. Dia tidak sanggup membayangkan ayah dan ambu terkena serangan jantung. Belum lagi ceritanya akan menjadi bahan gunjingan perkumpulan ibu-ibu yang setia berkumpul tiap pagi mengelilingi mang Asep si tukang sayur.

Setelah berpikir, akhirnya Anilla membuka mulutnya, "Jadi apa yang harus aku lakukan untuk kamu, Mas?" tanyanya singkat, kini tak ada lagi Anilla yang manja. Suaranya terdengar tegas tanpa basa-basi.

"Ehm! Rupanya kamu berubah dengan cepat, ya, Anilla!" ujar Bagas sembari mengusap-usap dagunya.

"Sudah, Mas. Jangan banyak basa-basi, apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Apa aku harus menjadi istri yang terhina dihadapanmu ataukah menjadi istri pembangkang yang akan mencelakai kamu dan istri kamu, Mas!" bentak Anilla yang sudah merasa tidak nyaman berhadapan dengan Bagas.

"Apa? Apa yang tengah kamu katakan, Anilla Prameswari? Lancang kamu! Aku sudah menjadi suami kamu, ingat itu!" Bariton Bagas, berhasil mengundang banyak tatapan orang-orang di sekitarnya. Bagas menurunkan suaranya ketika ada seorang bule yang berdehem cukup keras.

"Suami? Suami yang hanya tertulis di KUA saja, 'kan?" tanya Anilla matanya semakin membulat sebagai simbol perlawanan. Dia tidak ingin menjadi gadis yang hanya bisa diam ketika disakiti suaminya seperti dalam cerita novel yang dia baca. Dia tidak ingin terhina walaupun memang saat ini dia merasa terhina.

"Ann, kata-katanya tolong dijaga! Bukannya gadis dari kota Bandung selalu menjaga tata krama?" kilah Bagas.

"Mau dari Bandung ataupun Papua ketika dia tengah disakiti, mereka tidak akan tinggal diam! Dan asal kamu tahu, Mas, aku akan mengikuti semua yang kamu inginkan, hanya karena orang tuaku saja. Tolong camkan itu!" tegas Anilla.

Kruk ... Kruk ... Kruk..

Perut Anilla berbunyi kembali. "Ish, ini perut, tidak bisa diajak berkerja sama!" rutuk Anilla di dalam hatinya.

Bagas tersenyum pada Anilla, "Makan dulu! Kalau marah-marah terus, cacing dalam perut kamu makin lapar!" ejek Bagas sembari memperlihatkan senyum smrik-nya.

Dengan mendengkus, Anilla mulai memasukkan makanan ke dalam mulut. Walaupun, hatinya lirih memikirkan hal yang baru saja terjadi. "Kuat, Anilla! Kamu harus kuat!" lirih Anilla dalam hatinya. Mencoba untuk kuat, namun tetap saja Anilla hanya gadis yang pasti menangis ketika tersakiti.

Berbeda dengan Bagas, bibirnya terus tersenyum melihat Anilla yang tengah makan dalam keadaan marah. Ada rasa yang mulai menggelitik hatinya. Dia tidak menyangka kalau Anilla adalah gadis yang punya pendirian. 

"Bisa juga nih, gadis kecil! Aku makin penasaran akan sikapnya. Memang Adisti tidak salah pilih," gumamnya dalam hati sembari memasukan potongan beef bacon.

***

Setelah sarapan, mereka kembali ke lantai atas. Tatapan dan sikap Anilla kini berubah drastis. Tak ada kata-kata sapaan dan manja yang terucap dari bibirnya. Dengan kasar Anilla membereskan dan memasukkan baju ke dalam travel bag. 

Karena merasa bersalah, Bagas mendekati Anilla dan duduk di sampingnya. "Kamu masih marah, Ann?" tanya Bagas.

Anilla menoleh sebentar pada Bagas dan segera bangkit untuk berdiri. Namun, ketika Anilla berdiri dan melangkahkan kakinya. Bagas menarik tubuh Anilla ke atas kasur dan mengunci dengan tubuhnya. Anilla bergerak dan berontak ketika kedua tangan Anilla ditarik ke atas oleh Bagas.

"Lepas, Mas!" Matanya membulat. 

Bagas tersenyum menatap pupil Anilla yang semakin membesar. "Bukannya kemarin malam, kamu menikmati setiap sentuhanku, Ann!" ejek Bagas sembari memiringkan kepala dan mendekati bibir ranum Anilla. 

Napas halus terasa di wajah Anilla. Tapi, kini hanya ada rasa benci di dalam hatinya. Dia merasa dipermainkan oleh manusia yang kini telah sah sebagai suaminya.

"Kamu menginginkannya lagi, Ann?" Suara Bagas tercekat dan tersengal.

"Tidak! Aku sudah tidak tertarik lagi, yang ada dalam hati ini bukan rasa cinta tapi hanya ada benci!" tegas Anilla yang terus berontak di bawah tubuh Bagas.

"Semakin kamu bergerak, maka keinginanku semakin membuncah, Ann. Layani aku!" Bagas langsung menyambar bibir Anilla dan memagutnya dengan kasar.

Pagutan Bagas, tak dibalas oleh Anilla, dia sudah tidak menaruh rasa hormat ataupun rasa cinta pada suaminya.

"Kenapa diam saja, Ann? Bergeraklah!" ujar Bagas, bibirnya kini merambat menjelajahi leher jenjang Anilla.

Walaupun, dijamah oleh laki-laki tampan dan menyandang gelar suami. Tetap saja dia membencinya, kini perasaannya semakin hancur. 

Dia teringat ketika ibunya selalu menggoda ketika Bagas pertama kali datang ke rumahnya. Banyak tetangga yang membicarakan, keberuntungan Anilla. Masih terngiang dalam benaknya, ketika dia melewati jajaran ibu-ibu, mereka memuji Anilla setinggi langit, "Neng Anilla mah beruntung sudah cantik yang datang melamar banyak! Orangnya tampan-tampan terus teh pada kaya! Pada bawa mobil gitu!" Saat itu Anilla pun berpikir sama. Dia merasa menjadi perempuan yang penuh dengan segala keberuntungan. Tapi, sekarang merasa menjadi gadis yang paling bodoh.

Lelehan air mata kembali mengalir ketika Bagas menarik paksa baju yang dikenakannya. Seharusnya, Anilla mempersembahkannya dengan senang hati. Tapi, rasa pedih yang dia rasakan saat ini mulai menguasainya. Membayangkan, ibunya yang akan malu ketika pernikahan yang baru dibangunnya ini gagal, hati Anilla semakin lirih. 

"Ann, jangan diam saja! Bukankah berdosa, ketika kamu tidak melayani suami kamu, Anilla Prameswari?" tanya Bagas disela pagutannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status