Share

Penolakan Bree

Axel bangkit dari duduknya, bertolak pinggang kebingungan tidak menatap Bree. Setelah dia merasa cukup tenang, pandangannya kembali ke arah Bree. 

“Mama meminta seseorang untuk menjadi ibu pengganti. Aku tidak akan sanggup kalau menikahi perempuan lain. Mama menyarankan teknologi bayi tabung. Aku tidak akan menyentuhnya.”  

“Tapi, Axe ...” Bree menghampiri Axel, berharap dengan menggodanya akan membuat mama Axel mengubah keputusannya. 

Dan Axel tampaknya sudah tahu gerak gerik Bree. Dia menolak godaan Bree. Membuat wanita itu membeliak. Begitu dahsyat pengaruh mamanya terhadap Axel. Dan Bree makin murka. 

“Bree, kau tahu, kan mamaku seperti apa?” Axel menatap Bree dengan raut wajah yang tegang. 

Bree ikutan terdiam, lalu menebak. “Kita tidak mungkin menolak semua perintahnya?” 

Axel mengangguk dengan mantap. “Atau kita semua akan kehilangan semua kemewahan ini.” 

Bree makin tidak bisa berkata-kata, semua yang tadi dia alami, kebahagiaannya menjadi istri Axel selama lima tahun sirna dalam hitungan menit. Sekarang yang ada dalam hati Bree adalah kemarahan. Serta makian untuk mama Axel. Bisa-bisanya wanita tua itu mengendalikan keidupan rumah tangganya. 

“Harusnya ini menjadi malam kita. Dan harusnya tidak seorang pun bisa mengatur rumah tangga kita!” seru Bree. “Lagi pula, bukankah kau punya tabungan pribadi?” 

Axel menghela napas, seperti mengatakan tidak ada harapan. “Kalau kau mati-matian menilak, maka yang akan kita bisa bawa hanyalah lima ratus dollar yang ada di dompetku sekarang.” 

Sekali lagi Bree memaki dalam hati. Nenek tua itu sudah sepatutnya mati! pekik Bree dalam hati. Coba saja kalau ide ini bisa terealisasi. 

“Kalau pun mamaku mati tiba-tiba, akan ada penangguhan selama dua tahun. Kalau memang aku punya anak, semua harta kekayaannya akan jatuh ke tanganku termasuk kebun anggur dan perusahaan distributornya. Kalau tidak ada anak, semuanya akan jatuh ke yayasan sosial. Termasuk uang dari rekening pribadiku.” 

Kepala Bree tetiba sakit tak karuan. “Mengapa baru kau bilang sekarang?” Bree lalu menyadari kalau mengatakan hal itu seperti dia tidak mencintai Axel. “Maksudku ...” 

“Ya, aku tahu, semua ini membuatmu bingung.” 

Bree duduk lemas di tepian ranjang, mengangguk pelan seolah sedang merajuk.

“Aku pun bimgung. Tapi, mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa melawan kehendak mama.” Axel menggenggam tangan Bree. “Kita bisa melewati ini semua, Bree, percayalah!” Axel berkata dengan lembut seperti biasa. “Dan, mama juga ingin semua prosesnya dimulai minggu ini.” 

Bree mengangguk pelan sekali lagi, yang bisa dia lakukan memang hanya pasrah. 

Kamar itu sesaat hening, tidak ada yang bersuara. 

“Siapa wanita yang mamamu pilih untuk jadi ibu pengganti, Axe?” 

Pikiran Axel melayang ke wajah Lily sekali lagi. Beberapa detik lelaki itu melamun. Dia bukan gadis seperti Bree, yang banyak diincar lelaki. Tentu saja, mana suka mamanya dengan perempuan macam itu. 

“Axe?” panggil Bree, membuat Axel tersentak. 

“Ya?” beberapa detik Axel membeku menatap Bree. “Astaga. Kau bertanya siapa dia?” ulang Axel sekali lagi. “Dia wanita pilihan mama. Kau tahu, kan? Mamaku adalah orang yang kolot. Jadi dia lebih menyukai wanita yang sederhana,” papar Axel dengan antusias. 

Axel menutup mulutnya, matanya melebar, bagaimana mungkin dia menjelaskan wanita lain sebegini antusiasnya. Mustahil! 

Bree mulai curiga, jarak usianya dengan Axel adalah lima tahun. Rasanya kalau Axel sekarang 35 tahun, dan menemukan wanita yang jauh lebih muda dari pada Bree, maka Bree punya saingan berat. 

 “Apa dia lebih cantik dari pada aku?” desak Bree, tetapi dia tidak bisa bersuara tinggi. Dia tidak ingin Axel balik membentaknya.   

“Tentu saja lebih cantik kau. Dia hanya gadis ... kolot yang kumuh dan juga culun.” 

Dalam hati Bree sedikit ada tanya, mengapa Axel bisa menjelaskan dengan lugas soal wanita itu?

“Bagaimana mungkin, mamamu memilihkan gadis yang kotor untuk mengandung anak kita? Apa kau tidak takut nanti kelakuannya akan menurun kepada anak kita?” 

“Maksudku, bukan dirinya yang kotor, tapi tempat tinggalnya.” 

“Jadi kau tahu tempat tinggalnya?” sembur Bree menatap Axel dengan galak. Ada rasa cemburu dalam hatinya. Dia mendengus lalu memalingkan wajahnya dari Axel. Kesal. 

Axel mengalihkan perhatian Bree dengan menangkup wajah wanita itu agar bisa saling bertatapan. “Aku tahu dari pelayan senior yang ada di sana.” 

Bree lantas menghela napas lega. 

“Aku mau ganti baju dulu, hari ini sangat melelahkan. Apalagi setelah bertemu dengan mama.” Dia beranjak dari tepian ranjang. Membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Sembari menghela napas, ujung matanya mengawasi Bree yang masih duduk di tepian ranjang. 

Bree masih menatap Axel curiga. Lelaki itu merasakan tatapan istrinya yang tajam. Jadi dia berbalik badan. 

“Bree, kau bisa pegang semua kata-kataku.” Axel mendekati Bree, menggenggan kedua tangannya. “Aku akan selalu mencintaimu.” 

Bree mengangguk, matanya berkaca-kaca.

“Kita pasti akan melewati ini, Bree,” kata Axel dengan lembut lalu memeluk istrinya yang sedang rapuh itu. “Kau percaya padaku, kan?” bisiknya. 

“Ya. Aku juga mencintai kamu, Axe. Kamu cinta pertama dan terakhirku,” janji Bree tulus. “Aku hanya khawatir kalau kau akan berpaling dariku,” isak Bree manja.  

Axel melepas pelukannya, membelai wajah istrinya yang terlihat cantik malam ini. “Terima kasih atas semuanya, Sayang. Dan kau tidak akan pernah kehilangan aku. Percayalah.” 

Bree mengangguk, sambil mengusap air matanya. “Baiklah.” 

“Terima kasih,” ucap Axel sekali lagi. 

***

Bree banyak merenung, malam itu. Kalau Axel tertidur setelah bertengkar tadi, Bree malah tidak bisa tidur. Bagaimana kalau dia akan kehilangan semua kemewahan ini? Bisa-bisa hidup di jalanan. 

Axel yang pasti akan berhubungan dengan ibu pengganti selama sembilan bulan—bukan waktu yang singkat. Apa pun bisa terjadi dalam kurun waktu itu. Dan Bree tidak mau kalau Axel jatuh cinta dengan perempuan itu. Terbersit dalam benaknya kalau Mrs. Margot harus mati, agar semua rencana ini gagal. Soal anak, bisa dipikirkan nanti, Bree bisa pura-pura hamil. Dan mengadopsi anak orang lain. 

Pagi ini, untuk melancarkan semua rencananya, Bree bangun lebih pagi dari Axel. 

“Sayang, aku akan bertemu dengan teman-teman. Sarapan bersama,” bisik Bree di telinga Axel yang masih pulas tertidur. 

Axel menggumam, sambil mengangguk. Setelah itu, Bree meninggalkan Axel di kamar. 

Bree memilih pergi sendirian, berjalan beberapa blok untuk sampai kesebuah apartemen. 

Apartemen yang dia sewa tanpa sepengetahuan Axel, untuk tinggal bersama Diego, kekasih gelapnya. 

Bree selalu menilai kalau Diego selalu punya cara keluar dari masalahnya.

Diego tidak seperti Axel yang hidup teratur. Diego hidup bergantung dari Bree, dan sekarang karena Bree menelepon sebelum berangkat, terpaksa sekali harus bangun pagi. 

Diego langsung membukakan pintu begitu Bree membunyikan bel apartemennya. 

“Hai ...” Diego hendak mencium pipi dan memeluk wanita itu seperti biasa. Namun, karena kekesalan Bree belum habis, wanita itu melewati Diego dan langsung masuk ke dalam apartemennya. 

“Well ...” sebagai gundik yang dapat uang dari Bree, Diego hanya bisa mengedikkan bahu. 

Bree membanting tas di sofa, dan duduk sambil mendengkus. Menatap tajam Diego. 

Diego yang melihat wajah galak Bree, menyusul duduk di sampingnya. “Ada apa, Sayang? Bukankan seharunya tadi malam kamu bersenang-senang dengan Axel—sialan itu?” 

“Bagaimana aku bisa bersenang-senang? Kalau Margot ingin Axel punya anak.” 

 “Jadi, mertuamu ingin kamu punya anak dengan Axel? Kenapa kamu tidak mau punya anak denganku?” Diego balik bertanya sambil bercanda, tangannya merangkul pundak Bree. 

Bree memutar bola mata. “Tidak mungkin! Aku benci punya anak. Dan tidak ingin badanku rusak karena harus melahirkan, kau tahu kan?” 

“Tentu saja aku tahu, Sayang. Mertuamu yang meminta saja, kamu tidak mau, apalagi aku.” 

Bree mendesah, lelah. “Sudahlah, aku masih kesal! Aku ingin wanita tua itu mati. Kalau perlu sekarang,” ucap Bree kesal setengah mati. “Tapi, aku tidak ingin mengotori tanganku.” 

“Apa?” Diego mendekatkan wajahnya ke arah Bree. “Aku tidak salah dengar, kan?” 

 Bree lalu menatap dalam mata Diego. Bree juga masih bimbang, omongan Axe yang menagatakan kalau hartanya akan ditangguhkan, menjadi beban pikirannya. Lalu, soal mengadopsi bayi, mungkin itu akan menjadi solusinya. 

“Tapi harta kekayaan Axel akan jatuh ke yayasan sosial kalau Margot mati dan aku tidak punya anak!” desak Bree frustasi sendiri. “Aku akan menjadi miskin!” 

Diego terdiam, menggigit bibir bawahnya, berpikir. “Itu hal yang mudah. Kau bisa pura-pura hamil, lalu nanti bisa mengadopsi anak.” 

“Aku juga berpikiran begitu,” sahut Bree. “Tapi, tidak semudah itu meyingkirkan Margot, kau tahu? Dia selalu dikelilingi karyawannya, terutama asistennya.” 

“Kalau begitu, aku akan mengurusnya,” sahut Diego dengan lantang. Lelaki itu lantas mengangkat telepon. “Aku akan menghubungi kawanku, dia bisa membuat racun yang bisa menyerap ke organ. Jadi, kalau Margot meninggal, tidak akan ada yang curiga, efek dari racun ini seperti serangan jantung belaka.” 

Mata Bree membeliak. “Apa kau yakin?” tanya Bree setengah berteriak, rasanya sulit sekali dia percaya. Ternyata bisa dengan cepat menyingkirkan wanita tua itu. Bree menyesal sekarang, kenapa tidak dari dulu dia tanya Diego? Axel saja yang terlalu bodoh, mau saja menuruti perintah mamanya. 

“Percaya saja kepadaku. Kita akan dengan cepat menyingkirkan dia, dan kita akan tetap bisa menikmati harta kekayaan suamimu!”

Diego lalu bercakap-cakap di telepon, dengan bahasa Spanyol. Bree mengerti sedikit, yang dia tahu obat itu akan diantar nanti sekitar pukul sebelas siang. 

Diego tersenyum menatap Bree, begitu menutup telepon. 

“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanya Bree terbata, ada buncahan bahagia dalam hatinya. Tidak bisa berdusta, bayangan bergelimangan harta sudah ada dalam benak Bree.  

“Santai dulu, Manis. Nanti temanku akan mengantar racun itu ke sini. Kamu bisa mencampurnya dimakanan yang akan Margot makan.” 

“Kalau begitu aku akan hubungi sekretarisnya, kalau aku akan datang untuk makan siang dengan Margot,” usul Bree dengan antusias. 

“Gerak cepat, itu bagus, Sayang,” puji Diego dengan suara yang berat, lalu mengerling ke arah Bree. 

Bree tersenyum dengan lebar, terbayang dia akan bisa menikmati semua harta milik suaminya segera setelah Mrs. Margot meninggal dunia. “Ya, sebentar lagi semua akan menjadi milik kita, Diego. Sebentar lagi!” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status