Share

Disangka Mati

Lucyana terjaga, dan seperti biasa Justino pasti sudah enyah dari tempatnya sejak semalam. Ia sudah tak peduli, sedikit tertatih berlalu ke kamar mandi, membiarkan tubuh polosnya diguyur shower cukup lama. Setelah puas, jemari lentiknya meraih kimono mandi, dan berjalan menuju lemari. Mencari pakaian terbaik tapi yang ia temui hanya baju-baju wanita sosialita yang ia yakin betul itu milik Sarah.

“Jadi aku diberikan barang bekas? Kalau saja tidak urgent, aku tak sudi mengenakannya,” keluhnya sembari meraih dress biru tua selutut, sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Rambut panjang dibiarkan tergerai, heels hitam menjadi sasaran.

Sebelumnya ia adalah anak yang semua kebutuhannya terpenuhi, dengan pekerjaan orang tuanya ia bisa meraup banyak uang dalam waktu singkat, apa pun yang ia inginkan pasti akan terkabul tanpa protes, sebab ia juga anak tunggal, tapi sekarang malah harus menukar semua itu dengan harga dirinya.

Polesan make up tipis di dalam laci meja rias kamar, membuat wajahnya semakin menawan. Ia taksir beberapa di antaranya adalah bekas pakai, sungguh ia muak melihat tingkah Sarah yang seperti menganggapnya benar-benar tak mampu.

Geram, ia mengambil semua baju yang ada di lemari, membiarkannya teronggok di kasur, toh sebentar lagi ia akan kedatangan asisten rumah tangga untuk membantunya. Setelah lemarinya benar-benar kosong, Lucy meraih tas tangan, dan memasukkan kartu ATM milik Justino semalam, ingin memesan taksi pun tak mampu, ia tak memiliki ponsel yang membuatnya cukup kesulitan.

Tiba-tiba sebuah taksi berhenti di depannya, sepasang mata Lucy memicing, dari mana asal taksi ini, mengapa ia tahu jika Lucyana tengah butuh. Sopir taksi turun, dan membuka pintu untuk Lucyana.

“Siapa yang menyuruhmu melakukan ini?” tanyanya penasaran.

“Tuan Justino Lottario, Nyonya muda.”

Ia mengangguk paham. Tanpa banyak bicara langsung masuk ke dalam taksi.

“Nyonya muda mau diantar ke mana?”

“Antarkan aku ke pusat perbelanjaan pakaian dan aksesoris, dan salon kecantikan terbaik di sini, juga toko ponsel.”

“Baik, Nyonya muda.”

Sesuai perintah Lucyana, saat ini ia tengah berada di pusat perbelanjaan pakaian dan aksesoris, riuh ramai orang tak menyurutkan niatnya sama sekali, sementara kacamata hitam melekat dan menutupi mata bundarnya. Kaki jenjang Lucyana mulai masuk ke tempat yang ia inginkan, berbekal kartu ATM milik Justino, ia bisa membeli apa yang ia mau tanpa khawatir uangnya habis tak bersisa.

Setelah cukup lama, ia berhasil menemukan beberapa pakaian yang pas untuk dirinya. Sopir taksi yang disewa khusus untuknya pun membantu membawa paper bag ke bagasi mobil, selanjutnya ia menuju toko ponsel, membeli ponsel mahal dan canggih berlogo apel yang digigit keluaran terbaru. Selesai dengan ponsel barunya, tujuan terakhir mereka adalah salon kecantikan ternama di Italia Selatan.

Justino benar-benar memanjakannya dengan uang yang tak kunjung kosong limitnya. Lucyana berbaring, menikmati pijatan di wajah, juga memanjakan tubuhnya dengan pelayanan terbaik mereka. Tiba-tiba ia ingat belum sempat membuat akun sosial media yang baru, setelah akunnya yang lama vakum pasca kecelakaan.

“Setelah ini berikan skincare juga bodycare yang cocok untukku!” titahnya.

“Iya, Nyonya.”

Lucyana mulai sibuk dengan ponsel di tangan, membuat akun sosial media yang baru, tanpa mencantumkan foto. Rencananya setelah pulang dari sini, ia akan mengambil beberapa potret dengan pose paling menarik untuk dipajang.

Tiba-tiba matanya sedikit membelikan ketika melihat satu akun, yang kebetulan lewat di berandanya. Ia kenal betul ini akun Sandro, bibirnya tersenyum lebar, rasa bahagia mulai menjalar. Ya, ia harus menghubungi lelakinya.

[Sandro, kau di mana? Aku merindukanmu.]

Send!

Akun itu belum membaca pesannya, toh setidaknya Lucy sudah melakukan tindakan yang benar dengan mengirim pesan lebih dulu. Iseng ia melihat-lihat isi postingan akun Sandro, ternyata di privat, membuatnya sedikit kesal.

“Mengapa tiba-tiba di privat? Padahal dulu akun ini bebas.”

Lucy terus berselancar, dan mencari akun lamanya, tapi yang ia lihat malah ada beberapa orang yang menandainya pada sebuah postingan, yang di mana ada foto dirinya.

[Ngga nyangka kamu pergi secepat ini, Lucy. Aku merindukanmu.]

“Sandro? Jadi mereka berpikir aku sudah mati? Lalu ini, Audrey, sahabatku. Dia juga mengira aku telah mati. Ini ngga bisa dibiarkan!”

Lucyana mendadak tak tenang, ditambah kolom komentar yang dipenuhi ucapan belasungkawa membuatnya semakin lemas dan kesal. Tapi sebuah akun dengan foto milik Sarah juga Justino terlihat menyempil di antara akun orang lain. Iseng, ia mengklik tombol follow, hanya ingin tahu aktivitas Sarah Lee, tidak lebih.

Tak terasa treatment nya sudah selesai. Ia akui salon kecantikan ini memang tempat terbaik yang pernah ada. Setelah membayar, ia bergegas pergi dan masuk ke dalam taksi, dengan beberapa skincare juga bodycare miliknya. Sepanjang jalan pikirannya bercabang.

Bagaimana bisa Sandro menganggapnya mati sementara pria itu tak menemukan jasadnya sama sekali. Aneh, pikirnya. Keinginan untuk mengambil pose terbaik juga urung, ia malah larut dengan pikirannya sedari tadi.

“Kita sudah sampai, Nyonya.”

Sedikit terkejut tapi tak menjawab, ia turun. Dari sudut gerbang, seorang perempuan paruh baya berlari kecil ke arahnya, mengambil alih barang belanjaan yang baru saja dikeluarkan dari garasi.

“Maaf, siapa, ya?” selidik Lucy.

“Perkenalkan, saya Bella, asisten rumah tangga yang diutus tuan Justino untuk nyonya.” Bella tersenyum ramah, tapi Lucy tak menyambut senyuman tersebut. Ia tetap berjalan masuk, disusul Bella dari belakang.

“Sudah lama menunggu?”

“Baru satu jam yang lalu, Nyonya.”

Lucyana mengangguk dan mengarahkannya ke kamar. Setumpuk pakaian masih berserakan di atas kasur.

“Tolong pindahkan baju-baju dan semua tas, sepatu, juga make up yang ada di ruangan ini, ke ruangan yang lain. Kau pasti sudah memiliki kunci cadangan di sini ‘kan?”

“Iya, Nyonya.”

Bella mulai melakukan tugasnya, sementara Lucy sibuk mengeluarkan banyak barang bawaannya. Senyum semringah, ia memperhatikan pakaian juga dalaman yang ia pilih sendiri, sangat cocok dengannya. Lantas menyusun sepatu, heels, dalam lemari kaca yang isinya sudah Bella pindahkan. Ia tak sudi memakai barang bekas milik Sarah Lee.

“Kinerjanya bagus,” gumam Lucy. Wanita itu memilih merebahkan diri di kasur, hari ini ia benar-benar kelelahan.

“Lucyana, bersiaplah, kita akan ke showroom untuk mencari mobilmu.”

Suara bariton Justino tiba-tiba mengejutkannya yang baru saja terpejam.

“Tapi aku lelah,” balasnya malas.

“Kau bisa tidur di mobil selama perjalanan. Ayo, saya tak punya banyak waktu untuk dibuang percuma.”

Dengan terpaksa ia bangun, tapi bahu Justino sudah hilang dari pandangan. Karena takuti ditinggal, Lucyana lekas berlari ke arah pintu kamar, tapi tiba-tiba.

BUGH!

Keningnya menubruk dada bidang Justino, pria itu terpaku sebentar, menatap Lucyana yang kini mendongak ke arahnya, aroma maskulin Justino membuat Lucy tenang, sementara satu tangannya sudah mengusap keningnya sendiri sembari meringis kecil.

“Mana yang sakit?”

Justino menangkup kedua pipi Lucy, dan mengusap kening wanita itu dengan lembut. Mendapat perlakuan seperti itu membuatnya kaku sementara waktu, degup jantungnya mulai tak berirama dengan baik, perasaan apa ini.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status