“Nyonya baik-baik saja?”
Salah satu pria mendekati mobil, jelas sekali ia pemilik mobil yang ada di hadapannya. Pria seusianya itu menatap cemas, terlebih ketika melihat wajah Sarah yang terlihat sedikit pucat, sekali pun lipstik merona itu sudah menutupi bibir indahnya. Sarah menoleh sekilas, kemudian mengangguk pelan. Matanya memicing, menatap mobil di depannya.“Mobilmu mengalami kerusakan. Kau ingin ganti rugi?”“Tak perlu nyonya! Saya bisa memperbaikinya sendiri,” tolak pria itu halus. Tapi seakan tak mendengarkan penjelasannya sama sekali, Sarah malah menyerahkan kartu namanya pada pria yang belum ia ketahui namanya.“Hubungi saya jika mobilmu mengalami kerusakan parah! Saya buru-buru sekarang.”Sarah memutar balik arah dan mencari jalur yang lain. Bisa-bisanya ia menabrak mobil pengendara lain, semua karena ia tak fokus. Ia tetap mengendarai mobil, tujuannya tentu saja perusahaan Justino, entah kenapa tiba-tiba merindukan dekapan suaminya. Sarah melihat arloji di pergelangan tangan sekilas, sebentar lagi jam makan siang, tak ada salahnya ia mengajak Justino makan di luar.Tak lama kendaraan mewah itu masuk ke pelataran kantor. Gedung menjulang berdiri kokoh, itu perusahaan mobil milik Justino dan dirinya, yang dirintis bersama dan kini memang menduduki posisi ke satu perusahaan otomotif terbesar di Italia Selatan. Kaki jenjangnya turun, kemudian melangkah mendekati pintu, beberapa orang mulai membungkuk memberi hormat, hingga berada di dalam ruangan. Lift menjadi tujuan pertama, beruntung ia sendiri, ia juga sedang malas berinteraksi dengan siapa pun selain pada Justino, dalam suasana hati yang seberantakan ini.Justino yang tadinya tengah berbicara di telepon lantas berbalik ketika mendengar suara ketukan di pintu kaca tembus pandang, ia berbicara sebentar kemudian menutup ponselnya dengan senyum tipis yang masih tersisa.“Selamat pagi, Sayang!”Justino berdiri menunggu Sarah, merentangkan kedua tangannya dan membiarkan Sarah mendekat, sebelum akhirnya memeluk Justino dengan erat.“Aku merindukanmu,” lirihnya setengah berbisik.“Baru beberapa jam tidak menatapku sudah membuatmu rindu?” Justino menangkup kedua pipi mulus Sarah.Terdengar aneh, Sarah tak pernah semanja ini sebelumnya. Tapi dia bulan belakangan ia lebih sering menghubungi juga mendatangi kantor Justino, mengucapkan rindu setiap hari sekali pun sering berjumpa di atap yang sama.“Tadi lagi teleponan sama siapa? Kok senyum-senyum segala?” selidik Sarah.Justino tersenyum, kemudian menuntun Sarah untuk duduk di sofa panjang pojok ruangan, ia menggenggam erat kedua tangan Sarah. Di pikiran wanita itu, Justino mungkin baru saja menghubungi madunya, sampai bisa tersenyum semesra itu.“Itu, teman lamaku baru saja mengabari kalau dia sudah tiba di Italia. Kamu masih ingat, Matheo?”Sarah seperti berpikir sebentar, kemudian menatap suaminya lagi.“Siapa Matheo?”“Teman SMA-ku, Sayang. Yang pernah aku ceritakan itu. Sudah beberapa tahun belakangan sejak kesalahpahaman itu kita sempat lose kontak. Dan sekarang semuanya sudah kembali seperti semula. Kalau ada waktu, aku janji akan pertemukan kamu dengannya!”Sarah terdiam, tidak terlalu tertarik juga, pikirannya justru masih bercabang pada Lucyana. Rasa takut menggerogoti sejak pertemuan pertama mereka tadi.“Sayang, boleh aku meminjam ponselmu sebentar?”Justino sedikit heran. Pasalnya selama mereka menikah dan menjalin biduk rumah tangga, Sarah tak pernah sekali pun peduli pada isi ponsel Justino, dengan dalih tak ingin terlalu tahu lebih dalam tentang privasi semuanya. Tapi sekarang mendadak bersikap seperti demikian. Pria itu tetap tersenyum, lantas menyodorkan ponselnya pada Sarah.Wanita itu menimang ponsel Justino sebentar, tapi mendadak ia mengembalikan ponsel suaminya.“Ada apa?” tanya Justino penasaran.“Nothing! Mungkin hanya pikiranku saja,” balasnya. Tapi Justino tak akan percaya semudah itu, ia menatap lekat wajah Sarah.“Aku perhatikan akhir-akhir ini kau terlihat lebih posesif. Kau mengkhawatirkan sesuatu?” selidiknya penasaran.“Apa kau mencintaiku?” Bukannya menjawab, Sarah malah mengajukan pertanyaan yang membuat Justino sendiri gemas.“Tentu saja. Kau meragukanku, Sayang?”“Bukan begitu, aku hanya takut kau mulai mencintai Lucyana.”Hening!“Kau ini bicara apa? Mustahil. Aku hanya mencintaimu. Tak ada alasan untukku jatuh cinta pada Lucyana.” Justino mendekapnya, tapi ditepis pelan oleh Sarah.“Alasannya? Karena dia bisa memberimu keturunan sementara aku tak memiliki rahim. Aku tak sempurna.”Sarah mulai terisak. Membuat Justino malah serba salah sekarang.“Kau ingin aku menceraikannya? Aku akan melakukan itu asal kau tak menangis seperti ini. Tenanglah!”Sarah terdiam, tapi masih saja terisak. Ia terlalu takut kehilangan Justino, karena berpikir tak akan ada pria yang mencintai kekurangannya sehebat ini selain Justino, ia tak akan mendapatkan pria setulus suaminya di sudut dunia mana pun. Tapi satu kesadaran menghampiri, ia tak boleh egois, bukankah ia juga sudah lama mendambakan seorang bayi hadir di tengah-tengah mereka?“Tidak perlu! Kau hanya tak boleh mencintainya, Sayang.”“Tentu.”“Selesaikan pekerjaanmu! Tujuanku ke mari juga untuk mengajakmu makan siang.”“Iya, Sayang. Tunggu di sini, ya!”Sarah mengangguk, memperhatikan aktivitas Justino. Jika diperhatikan lebih lama, suaminya terlihat semakin tampan dan muda, apa karena ia telah menyatu dengan Lucyana semalam? Prasangka liar silih berganti mengambil alih, tapi buru-buru ia tepis.**Siang berganti malam, sudah saatnya Justino kembali ke apartemen milik Lucy untuk menghabiskan malamnya. Pria itu masuk, setelah mengantarkan Sarah dan menemani istrinya itu cukup lama, ia akhirnya memiliki waktu untuk Lucyana.Dilihatnya gadis itu tengah berbaring memunggunginya. Sesekali bahu Lucyana bergerak naik turun, membuat Justino lekas mendekat.“Mengapa belum tidur?”Lucyana terkejut, buru-buru mengusap matanya dan mengambil posisi duduk.“Aku siapamu, Tuan Justino?”Mendengar pertanyaan konyol Lucy, malah membuat Justino dikerubungi rasa kesal.“Mengapa melontarkan pertanyaan bodoh, Lucy?”Gadis itu menyingkap selimut, dan berjalan mendekati Justino. Susah payah Justino menelan salivanya, mencoba menahan gejolak kelakuan yang timbul saat itu juga, disuguhi pakaian menerawang Lucy, rasanya ia ingin menerkam saat itu juga.“Mana bayaranku?” tuding Lucy membuat lamunan Justino buyar. Tanpa menjawab Lucy, ia langsung mengeluarkan satu ATM berwarna hitam, dan menyerahkannya pada Lucy yang kini kegirangan.“Pakai saja sepuasnya. Tetap jaga penampilanmu!Pandangan keduanya bertemu cukup lama, menciptakan gelenyar aneh di dada Lucyana tapi tidak dengan Justino. Suasana canggung mendominasi sebentar, sebelum akhirnya Lucy yang berinisiatif memeluk Justino. Entah bagaimana ceritanya, ia malah menepis tangan Lucy dan memilih keluar dari kamar, meninggalkan Lucyana yang masih mematung, dengan perasaan dongkol. “Apa aku melakukan kesalahan?” lirihnya. Menyadari Justino tak berselera menyentuhnya malam ini, membuat Lucy berinisiatif untuk tidur saja setelah mematikan lampu kamar. Tiba-tiba sentuhan lembut di pundak, serta napas berat nan memburu milik Justino terasa menyapu tengkuknya.“Jangan lakukan perlawanan apa pun, Lucy! Aku menginginkanmu malam ini,” lirihnya lagi membuat Lucy menahan tangis. Semuanya dilakukan Justino dengan cepat, tak ada pemanasan, tak ada kata mesra atau apa pun, gadis itu hanya pasrah diperlakukan seperti apa oleh Justino, bahkan bertahan untuk tidak menangis dan tampak menahan sakit.Rapat berjalan dengan lancar, Justin tersenyum sembari berjabat tangan dengan beberapa rekannya tadi. “Senang bekerja sama denganmu, Pak Justin.”“Terima kasih. Saya harap kerja sama kita kali ini berjalan lancar,” balas Justin.Setelah semua selesai, ia memilih untuk pulang ke rumah, padahal belum waktunya pulang dan ini masih jam makan siang. Justin berinisiatif untuk makan siang bersama Sarah tanpa mengabari istrinya itu lebih dulu. Langkah lebarnya menuju lantai bawah, kendaraan roda empat senantiasa menunggu di pelataran.Sepanjang jalan pikirannya berkecamuk, ia kembali mengingat kejadian kemarin, banyak kejanggalan yang terjadi, mulai dari Sarah yang memilih untuk menginap di hotel, dan juga aroma parfum pria, juga gelagat aneh yang ia tangkap seperti tak biasa. Lama kendaraan roda empat itu tiba di kediamannya, sengaja juga dirinya tak memanggil nama Sarah seperti biasa, hanya ingin memberi kejutan.Bangunan rumah yang luas membuat Sarah kadang tak mendengar bunyi kendaraan d
“Sayang, apa yang kau lakukan?”Justino membantu Sarah berdiri, wanita itu terlihat sembap. Dalam pikiran Justin, pasti Sarah menyesali pertengkaran mereka semalam, tapi mengapa harus seperti ini, seolah kesalahan yang Sarah lakukan teramat fatal. Padahal Justin sempat berpikir jika nanti Sarah yang akan marah dan mendiamkannya.“Aku sudah melakukan kesalahan?” lirih Sarah sendu.“Ya, aku tahu kau sudah melakukan kesalahan besar, kau memang pantas diberi hukuman,” sahut Justin dengan wajah serius. Mendengar itu, Sarah semakin panik, dugaan terburuk pun datang silih berganti apa Matheo memberitahu Justin tentang kejadian semalam, atau Justin yang memang diam-diam mengekori langkah Sarah. Melihat wajah Sarah yang memerah, Justin lekas mengecup kening Sarah, kedua tangan menangkup wajah istrinya dengan terus memberi tatapan cinta, kedua sudut bibir Justin juga terangkat.“Kesalahan terbesarmu adalah pergi ketika sedang ada masalah. Kau tahu, semalam aku mencarimu ke mana-mana. Berhenti
Lucy terbaring pulas di ranjang pesakitan, Justin memilih untuk tetap terjaga. Karena melihat Lucyana yang tampak pulas, Justin berinisiatif untuk mengecek ponselnya, benda pipih itu ia aktifkan kembali, entah kenapa pikirannya mulai tak tenang dan itu tertuju pada Sarah, rasa bersalah menyergap begitu saja.Ia mungkin tidak adil sekarang, di sisi lain ada Sarah yang begitu menanti kepulangannya, tapi di sini juga ada Lucy yang harus ia awasi agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan lagi, setelah menghidupkan ponsel, dia berniat menghubungi Sarah, malam semakin larut bahkan telah memasuki pagi, mungkin sudah waktunya ia pulang ke rumah dan kembali memperbaiki hubungannya dengan Sarah.Mereka tak pernah bertengkar sahabat ini sebelumnya, mungkin tadi ia terlalu dilanda ketakutan serta lelah yang datang secara bersamaan, beberapa kali telepon memang tersambung tapi tak ada jawaban akhirnya ia memutuskan untuk pulang setelah nomor Sarah tak lagi bisa dihubungi.“Semoga sesuatu tak te
Mendadak pikiran Matheo buyar, seiring dengan bunyi bel pintu. Ia tahu itu pasti pesanannya, pintu terbuka dan benar saja, satu orang pria mengantar satu cup cokelat panas.“Terima kasih.”Matheo masuk setelah menutup pintu, kemudian menyerahkan minuman panas itu pada Sarah Lee.“Minum! Semoga cokelat panas ini bisa menenangkan hatimu, ya meski tak sepenuhnya menyembuhkan.”Sarah meraih pemberian Matheo, lantas menenggaknya perlahan. Memang benar tak sepenuhnya menyembuhkan, setidaknya ia mulai sedikit tenang. Rasa cemburu dan marah benar-benar melelahkan jiwanya dalam sekejap.“Bagaimana jika Justin benar-benar pergi meninggalkanku? Kemudian hidup bahagia bersama wanita itu. Tidak, Matheo! Aku tidak bisa membayangkan jika itu sungguh terjadi padaku.”Tangis Sarah pecah, ia menutup wajah dengan kedua tangan, dengan bahu yang bergetar. Matheo masih bingung, mengapa Sarah menyimpulkan sepihak, tidak tahukah ia bahwa dirinya sempurna, dari segi fisik, tutur kata, dan pembawaannya, jika a
Sarah terdiam di pojok ruangan kamarnya sendiri, sembari meremas kuat benda pipihnya. Ada foto di mana Justin tengah menyuapi Lucy di ruang rawatnya. Rupanya Sarah diam-diam mengirim mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik Justino, Sarah tahu Lucy tengah kritis dan itu mengancam janin yang dikandungnya, tapi rasa cemburu lebih mendominasi sehingga ia menjadi semakin membenci Lucyana, karena menyangka bahwa Lucy akan merebut semua apa yang ia miliki, dengan memperalat janin yang berada di dalam kandungannya.“Berani-beraninya kau mempermainkan seorang Sarah,” umpatnya kesal.Air mata sudah menganak sungai, dari luar ia memang terlihat kuat, tegar, dan tegas. Tapi hatinya rapuh. Sejak kehadiran Lucyana, sikap Justino berubah perlahan-lahan. Malam semakin mencekam dan sedikit pun Justin tak juga hadir untuk menenangkannya, ia benar-benar memilih untuk menghilang dan menjauh dari Sarah, demi menjaga Lucy.Dalam kesedihannya, benda pipihnya berdering, ia mulai merasa senang, berpikir bahwa y
Justino masuk dengan tergesa, setelah pintu kamar Lucyana didobrak paksa. Darah yang mengucur dari perut refleks membuat Justino menangis. Ya, ia lebih mengabaikan Sarah dan memilih kembali ke rumah Lucy, terlebih ketika mengingat ancaman perempuan itu.Tubuh Lucy bersimbah darah, digendong masuk ke dalam mobil dengan tergesa, denyut jantung Lucy pun terdengar melemah. Sepanjang jalan ia terus mengutuk diri sendiri, andai bayi dalam kandungan dan juga Lucyana tak bisa diselamatkan.“Bodoh! Ini semua salahku. Andai aku tak berdebat dengannya tadi, semua tak akan seperti ini.”Justino terus saja menyetir, hingga tak lama mereka tiba di rumah sakit. Justino menggendong Lucy, membuat banyak pasang mata tertuju ke arahnya yang tengah dilanda kepanikan. Justino berteriak, memanggil bantuan secepat mungkin, ia ingin Lucy segera ditangani, itu saja.“Pastikan keduanya selamat!” pesan Justino ketika Lucy berhasil dibaringkan ke brankar dorong. Lucy segera dibawa ke ruang UGD, kondisinya terlam