"Kalau ditengah jalan ada yang kasih kamu rencana baru, gimana?"
"Rencana baru apa, Pak?" Makin aneh saja pertanyaan beliau ini."Rencana jadi istri saya, misalnya."Ha? Hah!Aku langsung memalingkan wajah, menelan ludah karena kerongkongan terasa kering dan panas. Siapa yang akan menyangka, jika atasan satu ini melayangkan pertanyaan yang sulit dijawab?"Ha-ha-ha ...."Tawanya yang menggelegar lantas membuat kepalaku menegak. Ada apa ini? Kenapa dia tertawa?"Anita, gak usah terlalu serius! Tadi saya cuma bercanda."What the fuck? Dia gila? Bercanda, katanya?Aku melengos, lalu menggeleng tak percaya. Mungkin baginya mudah saja berbicara demikian. Terlihat ringan tanpa beban dan tanpa ekspresi yang berarti juga. Namun, bagi diriku yang mendengar pasti ada keterkejutan. Terlebih karena dia tidak pernah bercanda sebelumnya. Beruntung karena setelah keheningan ini ponselku berdering nyaring. Buru-buru aku mengangkat ponsel, bangkit dari posisi duduk, lalu membaca pesan dari Bagas.Dari : AyangDah nyampeSpontan aku berlari keluar apotek, meninggalkan Pak Arya beserta candaannya. Senyum Bagas yang kurindukan akhirnya berhasil mengisi pelupuk mata. Dia sudah berada di parkiran, tampak melambai dengan posisi sebelah tangan menggoyang-goyangkan kantung plastik berwarna hitam. Entah apa yang dia beli sampai tega terlambat datang kemari."Favorit kamu, Sayang." Dia berkata seraya membuka kantung plastik bawaan."Wah, Cendol Elisabeth!" teriakku disertai mata terbelalak.Jadi, ini alasan dia terlambat?"Maaf, ya. Tadi aku antri dulu. Lumayan ada sisa uang jajan."Sontak hatiku terasa hangat. Bagaimana tidak? Dia yang belum punya penghasilan dan masih mengandalkan bekal orang tua bahkan rela menyisihkan uang, hingga mengantri demi camilan kesukaan pacar. Effort-nya bukan main dalam perkara hubungan. Sudah seharusnya, aku memaafkan langkah yang dirinya ambil. Setidaknya, untuk yang satu ini aku bisa memaafkannya."Ayo, An," ajaknya setelah memasangkan helm di kepalaku.Motor Honda Scoop keluaran tahun ini berjalan menembus lenggangnya jalanan kota. Suasana penuh kenyamanan ini malah mengingatkanku pada kejadian di area belakang tadi. Wajah Pak Arya beserta candaannya kembali terbayang.Sungguh merasa asing. Benaran asing dan bukan tersanjung. Kira-kira apa yang membuat beliau begitu? Terlalu lama lajang atau terlalu banyak menghirup bau obat?"Ha-ha-ha ...." Tanpa sadar aku terbahak-bahak. Dua kemungkinan yang baru saja terlintas seakan menyenangkan hati dan jiwa.Bagas bahkan terkejut karena penumpangnya tertawa tanpa aba-aba. Dia sampai memelankan laju motor karena sebelah tangannya menepuk kaki kiriku. "Kenapa, heh?" Nadanya terlalu panik dan takut.Aku yang masih terkekeh-kekeh menjawab, "Enggak. Tadi inget kejadian lucu, aja.""Hah, kirain kesurupan. Lain kali kalau punya cerita lucu bagi-bagi," omelnya kembali fokus mengemudi.Tanganku menepuk-nepuk pundaknya, memberi sedikit penenang, supaya terkejutnya berkurang perlahan. Salahku juga karena tiba-tiba tertawa, tapi untungnya Bagas hanya takut aku kesurupan, bukan takut kekasihnya gila."Emang ada cerita lucu apa, sih?" tanyanya setelah imajinasi lucu dalam kepalaku hilang sepenuhnya.Aku menatap bayangan Bagas di kaca spion, memastikan wajahnya dulu sebelum menceritakan sesuatu. Dia memang tidak memasang wajah bad mood, tapi mengingat status kami, ada baiknya cerita ini aku samarkan sedikit."Tadi Fuji curhat sama aku." Mau tak mau, aku membawa nama itu. "Katanya, dia kemarin ngobrol sama cowok dingin dan jarang bercanda. Eh, gak berapa lama si cowok malah bercanda.""Bercandanya kayak gimana?" tanya Bagas malah menaruh minat pada obrolan kami."Bercandanya ... ngajak nikah," ujarku sedikit hati-hati."Emang siapa cowoknya? Aku kenal, gak?"Buset, dah! Malah tanya itu. Bagaimana kalau nanti ketebak ujungnya?"Temen SMA Fuji. Aku, aja, gak kenal apalagi kamu." Kebohongan yang lain kembali tercipta."Oh, Fuji tahu bercandanya dari mana? Siapa tahu, kan, cowok ini serius?""Cowoknya sendiri yang ngomong, kok." Aku jadi membela diri. "Awalnya, cowok itu ngajak nikah, tapi karena Fuji gak respons, jadi dijawab cuma bercanda." Kata cuma bercanda sampai aku berikan penekanan.Hening dan aku melihat lagi raut wajah Bagas dalam spion. Keningnya mengernyit dalam. Dia seperti sedang berpikir keras. Takut cerita ini terbongkar dan menjadi bumerang, aku berpikir untuk mengajaknya bicara lagi."Menurut kamu, cowoknya Fuji serius atau cuma ngajak bercanda?" Entah kenapa, aku merasa jawaban Bagas itu penting. Antar lelaki, kan, logikanya sama."Serius." Satu kata yang mantap terdengar."Kenapa bisa serius?" Aku masih ingin menyelidiki."Cowok dingin itu sekalinya ngomong suka serius. Apalagi dia jarang ngajak bercanda." Menurut pendapat Bagas begitu."Ta-tapi dia sendiri bilang cuma bercanda." Aku jadi ketakutan sendiri kalau memang faktanya begitu."Kayaknya dia ke paksa, deh, ngomong begitu. Tadi, kan, kamu bilang Fuji gak nge-respons. Namanya cowok pasti gengsi kalau ditolak. Paling juga karena dia nahan malu."***Aku menarik sebuah kesimpulan atas pembicaraan Bagas kemarin. Benar atau bercanda, menahan malu atau benaran bercanda, aku tetap harus mengantisipasi kejadian area belakang supaya tidak terulang lagi. Rencana memberi jarak kepada Pak Arya pun langsung dimulai hari ini.Sebagaimana diketahui, pembicaraan kemarin berawal dari Bagas yang datang terlambat, sehingga aku harus menunggu di ruang makan. Demi meminimalisir terjadinya obrolan, aku perlu mempersingkat waktu di lokasi kejadian. Langkah pertama yang aku lakukan sekarang cukup dengan membawa motor ke tempat kerja. Tidak perlu menunggu dan menanti, setelah jam kerja selesai aku bisa langsung berkendara pulang.Sesampai di apotek, jantungku bergemuruh hebat. Sudah menata hati sekuat tenaga, tapi ternyata musuh lebih kuat ketimbang sebelumnya. Anehnya hari ini, Pak Arya tetap berada di tempat padahal tugas membuka folding gate sudah selesai. Beliau mendadak tidak pergi ke toko cabang untuk membuka gerbang.Seketika suhu ruangan pun terasa panas dan menyesakkan. Pergerakan yang kemarin masih terasa bebas, sekarang berubah jadi sempit karena hati menolak seatap dan seruangan. Alasan tersebut yang membuatku tidak bergeming di ruang depan.Satu jam penuh duduk berpangku tangan, tiba-tiba terasa seseorang menghampiri dari arah belakang. Aku tidak mau menoleh, tidak mau menyapa, dan menolak peduli, sehingga terus memandangi jalanan di ujung sana. Tak berapa lama kemudian, sebuah tangan tampak mendorong kotak kecil berwarna kemerahan."Ini."Suara yang paling aku hindari malah muncul lagi. Posisi dudukku berubah tegak. Kotak kecil kemerahan yang tidak luput dari sorotan membuatku curiga setengah mati. Apa jangan-jangan?"Coba buka," ucapnya.Mendapati aku yang tidak menggubris sama sekali, Pak Arya pun menarik kotak kecil itu dan membukanya dengan satu gerakan tangan. Sesuai tebakan diawal, kotak kecil tersebut memang berisi sebuah cincin. Kira-kira, apa maksud beliau memperlihatkan benda berkelap-kelip ini?"Ayo, nikah, Anita!"Spontan aku menoleh, membelalakkan mata melihat wajah Pak Arya. Bagai tersengat listrik, tubuhku menegang hingga sulit dikendalikan. Sial. Wajah lelaki itu masih datar. Tanpa sebuah senyuman, dia mengajakku menikah dengan begitu mudah.Cepat-cepat tanganku menyentuh kotak, mendorong benda mungil yang masih terbuka itu ke hadapannya. "Pak!" panggilku keras. "Bercandanya gak lucu.""Siapa yang bercanda?" Dia menyahut dengan mata melotot."Dari kemarin, kan, bapak ngajak saya bercanda." Aku tak sengaja memakai nada tinggi."Itu kemarin. Hari ini, saya serius."Hah! Baik kemarin atau hari ini, aku tetap tidak akan memberi jawaban."Masa, iya, kamu gak bisa bedain?""Gak bisa," sahutku sambil balas menatap serius."Hari ini, saya gak main-main, Anita. Buktinya ada kotak cincin juga. Kamu masih belum percaya?"Hening dan aku memilih menggelengkan kepala."Oke. Saya ulangi ajakan tadi." Dia terlihat menghela napas sebelum kembali bersuara. "Ayo, nikah, Anita! Kalau bisa bulan depan."Anj**! Nikah? Bulan depan? Ini dia yang gak gila atau aku yang bego? Apa tidak salah dengar? Dia mengajakku menikah dan ingin bulan depan."Kalau diem tandanya—""Pak," potongku karena sudah tahu kalimat beliau selanjutnya. "Bapak, kan, tahu saya punya pacar. Kenapa gak ajak nikah anak sif siang, aja?"Aku melihat matanya terbelalak. Sudah tahu beliau terkejut, aku kembali melanjutkan. "Fuji dan Anisa belum ada yang punya, Pak. Lagian Bapak ngajak nikah udah kayak ngajak beli bakso. Pakai acara buru-buru, pengen bulan depan.""Saya tahu kamu punya pacar, tapi pacaran itu gak baik, Anita. Daripada nunggu dia lulus dan kerja, mending kamu sama saya, aja." Ha-ha-ha. Mulutku menyeringai. Ingin tertawa sumbang, tapi suaraku mendadak hilang. Aku sampai mengibaskan sebelah tangan, berusaha melampiaskan keinginan menampar wajahnya."Jadi, gimana? Kamu mau kan, Anita?""Gak mau." Kepalaku menggeleng lagi."Kenapa gak mau? Saya kasih kamu kepastian melebihi Bagas. Kalau cincin ini gak bisa bikin kamu percaya, saya juga bisa datang ke rumah kamu buat buktiin semuanya."Untuk yang satu ini, aku tidak bisa menahan tawa sinis."Bapak gaya banget mau datang ke rumah saya." Tatapku penuh penghinaan. "Alamatnya juga belum tentu tahu kan, Pak?""Oke, saya minta alamatnya." Beliau mulai mengeluarkan ponsel dari kantung celana, menekan aplikasi notes untuk menulis alamat rumah."Alamatnya ...." Aku menggantungkan ucapan, menunggu beliau mengangkat kepala dan melihatku lekat. "Alamatnya gak akan saya kasih, Pak."***Seminggu berlalu dengan cepat. Acara leha-leha pun terpaksa harus berakhir. Ada rutinitas wajib yang harus kami jalani, yakni membuka apotek demi menghasilkan semangkuk rezeki.Jam delapan tepat kami menggeser pintu rolling door. Saling berjibaku membersihkan toko demi terciptanya ruang kerja yang nyaman. Tentunya, status suami istri membuatku menang banyak. Jika biasanya aku membersihkan toko seorang diri, kali ini Mas Arya juga kerap membantu. Senangnya bukan main. Kapan lagi coba melihat bos turun tangan dalam membantu pekerjaan?Aktivitasku dalam mengelap etalase kaca selesai, mendahului pekerjaan Mas Arya yang mengepel lantai. Merasa tidak ada yang perlu dikerjakan lagi, aku beralih ke ruangan dalam. Saatnya menyiapkan kopi untuk berterima kasih karena dia berkenan membantuku bersih-bersih.Bubuk kopi kemasan yang selalu disimpan di salah satu laci pantri menjadi sasaran. Tidak memakan waktu lama dalam proses penyeduhan. Segalanya sudah praktis berkat mesin air otomatis. Dispense
Kami tidak bisa berhenti. Sepulang dari goyangan mobil, bukannya bosan malah semakin brutal. Tiada henti Mas Arya memberikan godaan, memaksaku terjerat sampai berkali-kali memohon untuk dipuaskan. Pelayanan sarapan sudah kami abaikan berhari-hari. Sama sekali tidak ada waktu untuk melahap nasi karena kami memiliki jadwal tersendiri setiap pagi. Apalagi kalau bukan berendam bersama?"Kayak kemarin lagi, yuk!" Ajakan yang biasa aku terima setiap selesai melipat mukena.Ingin menolak. Lelahnya bukan main kalau sudah masuk dalam belaian suami, tapi mengingat nikmat yang tiada batas, aku selalu berakhir setuju.Mas Arya menggendongku ke kamar mandi. Membiarkanku melepaskan pakaian sendiri selagi ia mengisi bath tub dengan air hangat. Tangannya terulur begitu tugas mengisi air dan membuka pakaiannya selesai. Kami tidak mengenakan apa pun sekarang. Bersama-sama memasuki bath tub."Posisi kemarin, ya," katanya membuatku mengangguk paham.Kami langsung mengambil posisi seperti kemarin. Mas Ar
Kami memandangi langit Yogya yang mengguyur daratan. Tidak tampak tanda-tanda akan mereda karena curah hujan semakin tinggi intensitasnya. Semilir angin malam yang bercampur dengan derasnya air sukses menggigilkan tubuh masing-masing pengunjung. Kondisi sekacau ini serta merta membuat mereka berhamburan mencari stan yang kosong untuk dijadikan tempat berteduh sementara waktu.Mas Arya merapatkan tubuhnya. Merangkul bahuku dengan sebelah tangan sambil membisikkan sesuatu. "Kayaknya bakal lama."Aku mengangguk. Terhitung setengah jam kami berdiri. Tanah yang kami pijaki pun sudah berubah basah sepenuhnya."Masih mau nunggu atau terobos aja?"Bisikan ini membuatku menoleh. "Serius mau terobos, Mas?" Melihat dari sorot matanya, Mas Arya kelihatan tidak betah berjejalan dengan banyak pengunjung yang ikut berteduh."Mas terserah kamu, Sayang."Lah, Mas Arya malah melimpahkan keputusan padaku. Tidak jauh berbeda dengannya, aku juga galau untuk menentukan pilihan. Inginnya itu berjalan-jalan,
Lampion yang dibentuk setengah lingkaran menjadi area pembuka bagi para wisatawan yang datang. Cahaya dari bulatan benda tersebut berhasil menarik perhatianku dan Mas Arya sampai kami tergugu di ambang pintu timur. Seketika terpesona, meskipun di bawah gapura dijejali banyak pengunjung yang sibuk berfoto ria. Lambat laun, rasa kagumku pada bagian pembuka taman terhenti. Pergerakan Mas Arya yang tiba-tiba menggenggam tanganku, memancing kami bersitatap selama beberapa menit. Mulutnya sontak terbuka, bermaksud mengucap beberapa patah kata. “Mau foto kayak mereka?”Tentu saja tawaran itu mendapat anggukan bahagia dariku. Kami belum pernah berfoto. Sekalinya foto pun kemarin ketika jadi pengantin. Mumpung dia menawarkan, aku harus segera mengiyakan, supaya tidak ada acara berubah pikiran. Proses pengambilan foto pertama dimulai. Mula-mulai kami mencari sedikit ruang di antara kerumunan orang. Tidak perlu luas-luas amat karena yang terpenting foto didapat.“Mau pakai HP Mas?” Dia kembali me
Tidur pagi setelah salat Subuh terhenti karena denting bel vila yang berbunyi. Mas Arya yang pertama kali mendengarnya. Secara perlahan, dia melepaskan pelukan. Berjalan ke dekat pintu secara diam-diam. Aku memang tidak bergerak, masih diposisi sama dengan mata terpejam, tetapi gendang pendengaran tetap aktif memantau kunjungan. Tidak ada suara apa pun setelah beberapa saat. Penasaran dengan suasana yang terjadi, aku mengusahakan diri supaya mata yang berat ini terjaga. Tidak ada siapa pun termasuk suamiku. Aku tidak mungkin salah dengar dan terka, jelas-jelas tadi aku mendengar pintu ditutup dan dikunci dari dalam. Kakiku mulai menuruni ranjang, berjalan pelan menuju ruangan depan guna memastikan keberadaan Mas Arya. Napasku berembus lega begitu mendapati sosoknya berdiri di samping televisi. Sebelah tangannya disimpan di pinggang, sedangkan tangan yang satunya memegang kendali atas ponsel. Terbersit rasa ingin mendekati dengan langkah mengendap, membuat kejutan dengan memeluk tubu
Kami sampai di Yogyakarta pukul 22.10. Sempat menempuh perjalanan satu jam menaiki pesawat. Mas Arya sudah meminta maaf habis-habisan. Rencana menaiki kelas bisnis terpaksa batal karena kursi yang tersedia hanya ada di kelas ekonomi. Aku yang belum pernah naik pesawat sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Asalkan bersama suami, berkendara ke mana pun, naik apa pun akan tetap aku ikuti.Perjalanan belum cukup sampai di bandara. Kami tetap harus menaiki mobil kiriman destinasi, supaya cepat sampai di lokasi bulan madu. Mas Arya ada bercerita tadi, sudah menyewa sebuah kamar dengan pemandangan menarik di sana. Sekilas hanya kulihat saja foto-foto yang terpajang dalam laman internet. Langsung setuju-setuju saja karena pemandangan yang ada tidak terlalu buruk juga.Kondisi malam memang cukup lengang, membuat perjalanan mulus tanpa hambatan kemacetan jalan. Tidak berlama-lama, akhirnya kami sampai di penginapan. Panorama Resort and Spa, namanya. Baru turun di area parkir saja aku suda
Pagi hari setelah ajang mandi bersama. Ketika Mas Arya pergi ke masjid untuk salat berjamaah, aku lebih memfokuskan diri menyiapkan sarapan setelah salat dan zikir pagi. Tidak memasak menu yang ribet karena aku ingin makanan tersaji begitu Mas Arya datang.Tentu saja telur dadar dan roti panggang yang menjadi andalan. Unsur pemanisnya, aku membentuk telur yang sudah matang tersebut hingga bentuk bulatnya berubah menjadi hati. Ya, biar terlihat ada kerjaan saja.Dua porsi benaran tersedia di meja makan. Tak perlu menunggu makanan dingin, orang yang kunanti sudah datang. Aku berlarian kecil menyambut kedatangan suami sambil tak melupakan jati diri sebagai seorang istri. Sajadahnya aku ambil alih, punggung tangannya aku kecup penuh rasa patuh. Dia yang menerima sambutan hangat itu lantas mendaratkan sebuah kecupan hangat sebagai bentuk balasan."Ke kamar, yuk!" ajaknya sebelum aku mengajak ke ruang makan."Mau apa?" tanyaku apa adanya."Lanjutin yang semalam."Keningku berkerut, bukan ta
Aku memasuki ruangan yang katanya akan menjadi kamar tidur kami. Hanya berbalutkan kimono, aku melewati Mas Arya yang hendak bergantian mandi. Dua ransel yang berisi pakaian pun sudah dipindahkan olehnya, tugasku malam ini mungkin hanya menata baju ke lemari. Namun sebelum bergerak, aku harus menunggu instruksi dari suami. Bagaimanapun, ini rumahnya. Aku tidak boleh berlagak hanya karena status sudah menjadi istrinya.Mas Arya datang bertepatan denganku yang sudah berpakaian. Dari jarak dekat, wajah segarnya terlihat memukau dan membuatku tak mau lepas dari pandangan. Aku bahkan bisa menghirup wangi sabun yang sama dengan tubuhnya.“Salat Isya dulu,” ajaknya yang langsung aku indahkan.Bersiap salat berjamaah, mukena yang tadi kukemas dalam ransel pun dikeluarkan. Aku menyusul Mas Arya yang sudah menata sajadah dengan rapi di pojok ruangan. Bersamaan dengannya yang memakai sarung, aku juga tak kalah mempersiapkan diri dengan memakai seperangkat mukena.“An,”“Ya?” Aku sampai memekik k
Kebaya panjang berekor, kain songket yang cantik, dan mahkota siger yang ternyata berat dan membuat pusing membalut serta tubuhku yang berjalan menuju meja akad. Dari kejauhan sudah aku saksikan sosok Pak Arya yang berdiri menunggu. Masih dalam mode bergandengan tangan, aku dibantu Fuji dan Anisa supaya selamat sampai ke depan sana.Pak Arya kelihatan sigap. Dia yang tahu calonnya mulai mendekat lantas menarik kursi dan membantuku duduk dengan sempurna. Sebelum pergi, kedua pager ayu tadi membantu memasangkan tudung kebaya di kepalaku dan Pak Arya. Bapak penghulu yang melihat kami sudah berada diposisi siap mengambil mikrofon dan mengucap beberapa bait kata untuk membuka acara pembacaan ijab kabul.Kini, tiba waktu bagi Bapak dan Pak Arya untuk berjabat tangan. Sebuah kertas yang bisa dijadikan penunjang pembacaan akad pun disajikan Bapak Penghulu kehadapan Pak Arya."Bismillahirrahmanirrahim. Wali nikah, apakah sudah siap?" tanya Bapak Penghulu terlebih dulu."Siap, Pak," jawab bapak