Share

2~ Kotak Cincin

"Kalau ditengah jalan ada yang kasih kamu rencana baru, gimana?"

"Rencana baru apa, Pak?" Makin aneh saja pertanyaan beliau ini.

"Rencana jadi istri saya, misalnya."

Ha? Hah!

Aku langsung memalingkan wajah, menelan ludah karena kerongkongan terasa kering dan panas. Siapa yang akan menyangka, jika atasan satu ini melayangkan pertanyaan yang sulit dijawab?

"Ha-ha-ha ...."

Tawanya yang menggelegar lantas membuat kepalaku menegak. Ada apa ini? Kenapa dia tertawa?

"Anita, gak usah terlalu serius! Tadi saya cuma bercanda."

What the fuck? Dia gila? Bercanda, katanya?

Aku melengos, lalu menggeleng tak percaya. Mungkin baginya mudah saja berbicara demikian. Terlihat ringan tanpa beban dan tanpa ekspresi yang berarti juga. Namun, bagi diriku yang mendengar pasti ada keterkejutan. Terlebih karena dia tidak pernah bercanda sebelumnya. Beruntung karena setelah keheningan ini ponselku berdering nyaring. Buru-buru aku mengangkat ponsel, bangkit dari posisi duduk, lalu membaca pesan dari Bagas.

Dari : Ayang

Dah nyampe

Spontan aku berlari keluar apotek, meninggalkan Pak Arya beserta candaannya. Senyum Bagas yang kurindukan akhirnya berhasil mengisi pelupuk mata. Dia sudah berada di parkiran, tampak melambai dengan posisi sebelah tangan menggoyang-goyangkan kantung plastik berwarna hitam. Entah apa yang dia beli sampai tega terlambat datang kemari.

"Favorit kamu, Sayang." Dia berkata seraya membuka kantung plastik bawaan.

"Wah, Cendol Elisabeth!" teriakku disertai mata terbelalak.

Jadi, ini alasan dia terlambat?

"Maaf, ya. Tadi aku antri dulu. Lumayan ada sisa uang jajan."

Sontak hatiku terasa hangat. Bagaimana tidak? Dia yang belum punya penghasilan dan masih mengandalkan bekal orang tua bahkan rela menyisihkan uang, hingga mengantri demi camilan kesukaan pacar. Effort-nya bukan main dalam perkara hubungan. Sudah seharusnya, aku memaafkan langkah yang dirinya ambil. Setidaknya, untuk yang satu ini aku bisa memaafkannya.

"Ayo, An," ajaknya setelah memasangkan helm di kepalaku.

Motor Honda Scoop keluaran tahun ini berjalan menembus lenggangnya jalanan kota. Suasana penuh kenyamanan ini malah mengingatkanku pada kejadian di area belakang tadi. Wajah Pak Arya beserta candaannya kembali terbayang.

Sungguh merasa asing. Benaran asing dan bukan tersanjung. Kira-kira apa yang membuat beliau begitu? Terlalu lama lajang atau terlalu banyak menghirup bau obat?

"Ha-ha-ha ...." Tanpa sadar aku terbahak-bahak. Dua kemungkinan yang baru saja terlintas seakan menyenangkan hati dan jiwa.

Bagas bahkan terkejut karena penumpangnya tertawa tanpa aba-aba. Dia sampai memelankan laju motor karena sebelah tangannya menepuk kaki kiriku. "Kenapa, heh?" Nadanya terlalu panik dan takut.

Aku yang masih terkekeh-kekeh menjawab, "Enggak. Tadi inget kejadian lucu, aja."

"Hah, kirain kesurupan. Lain kali kalau punya cerita lucu bagi-bagi," omelnya kembali fokus mengemudi.

Tanganku menepuk-nepuk pundaknya, memberi sedikit penenang, supaya terkejutnya berkurang perlahan. Salahku juga karena tiba-tiba tertawa, tapi untungnya Bagas hanya takut aku kesurupan, bukan takut kekasihnya gila.

"Emang ada cerita lucu apa, sih?" tanyanya setelah imajinasi lucu dalam kepalaku hilang sepenuhnya.

Aku menatap bayangan Bagas di kaca spion, memastikan wajahnya dulu sebelum menceritakan sesuatu. Dia memang tidak memasang wajah bad mood, tapi mengingat status kami, ada baiknya cerita ini aku samarkan sedikit.

"Tadi Fuji curhat sama aku." Mau tak mau, aku membawa nama itu. "Katanya, dia kemarin ngobrol sama cowok dingin dan jarang bercanda. Eh, gak berapa lama si cowok malah bercanda."

"Bercandanya kayak gimana?" tanya Bagas malah menaruh minat pada obrolan kami.

"Bercandanya ... ngajak nikah," ujarku sedikit hati-hati.

"Emang siapa cowoknya? Aku kenal, gak?"

Buset, dah! Malah tanya itu. Bagaimana kalau nanti ketebak ujungnya?

"Temen SMA Fuji. Aku, aja, gak kenal apalagi kamu." Kebohongan yang lain kembali tercipta.

"Oh, Fuji tahu bercandanya dari mana? Siapa tahu, kan, cowok ini serius?"

"Cowoknya sendiri yang ngomong, kok." Aku jadi membela diri. "Awalnya, cowok itu ngajak nikah, tapi karena Fuji gak respons, jadi dijawab cuma bercanda." Kata cuma bercanda sampai aku berikan penekanan.

Hening dan aku melihat lagi raut wajah Bagas dalam spion. Keningnya mengernyit dalam. Dia seperti sedang berpikir keras. Takut cerita ini terbongkar dan menjadi bumerang, aku berpikir untuk mengajaknya bicara lagi.

"Menurut kamu, cowoknya Fuji serius atau cuma ngajak bercanda?" Entah kenapa, aku merasa jawaban Bagas itu penting. Antar lelaki, kan, logikanya sama.

"Serius." Satu kata yang mantap terdengar.

"Kenapa bisa serius?" Aku masih ingin menyelidiki.

"Cowok dingin itu sekalinya ngomong suka serius. Apalagi dia jarang ngajak bercanda." Menurut pendapat Bagas begitu.

"Ta-tapi dia sendiri bilang cuma bercanda." Aku jadi ketakutan sendiri kalau memang faktanya begitu.

"Kayaknya dia ke paksa, deh, ngomong begitu. Tadi, kan, kamu bilang Fuji gak nge-respons. Namanya cowok pasti gengsi kalau ditolak. Paling juga karena dia nahan malu."

***

Aku menarik sebuah kesimpulan atas pembicaraan Bagas kemarin. Benar atau bercanda, menahan malu atau benaran bercanda, aku tetap harus mengantisipasi kejadian area belakang supaya tidak terulang lagi. Rencana memberi jarak kepada Pak Arya pun langsung dimulai hari ini.

Sebagaimana diketahui, pembicaraan kemarin berawal dari Bagas yang datang terlambat, sehingga aku harus menunggu di ruang makan. Demi meminimalisir terjadinya obrolan, aku perlu mempersingkat waktu di lokasi kejadian. Langkah pertama yang aku lakukan sekarang cukup dengan membawa motor ke tempat kerja. Tidak perlu menunggu dan menanti, setelah jam kerja selesai aku bisa langsung berkendara pulang.

Sesampai di apotek, jantungku bergemuruh hebat. Sudah menata hati sekuat tenaga, tapi ternyata musuh lebih kuat ketimbang sebelumnya. Anehnya hari ini, Pak Arya tetap berada di tempat padahal tugas membuka folding gate sudah selesai. Beliau mendadak tidak pergi ke toko cabang untuk membuka gerbang.

Seketika suhu ruangan pun terasa panas dan menyesakkan. Pergerakan yang kemarin masih terasa bebas, sekarang berubah jadi sempit karena hati menolak seatap dan seruangan. Alasan tersebut yang membuatku tidak bergeming di ruang depan.

Satu jam penuh duduk berpangku tangan, tiba-tiba terasa seseorang menghampiri dari arah belakang. Aku tidak mau menoleh, tidak mau menyapa, dan menolak peduli, sehingga terus memandangi jalanan di ujung sana. Tak berapa lama kemudian, sebuah tangan tampak mendorong kotak kecil berwarna kemerahan.

"Ini."

Suara yang paling aku hindari malah muncul lagi. Posisi dudukku berubah tegak. Kotak kecil kemerahan yang tidak luput dari sorotan membuatku curiga setengah mati. Apa jangan-jangan?

"Coba buka," ucapnya.

Mendapati aku yang tidak menggubris sama sekali, Pak Arya pun menarik kotak kecil itu dan membukanya dengan satu gerakan tangan. Sesuai tebakan diawal, kotak kecil tersebut memang berisi sebuah cincin. Kira-kira, apa maksud beliau memperlihatkan benda berkelap-kelip ini?

"Ayo, nikah, Anita!"

Spontan aku menoleh, membelalakkan mata melihat wajah Pak Arya. Bagai tersengat listrik, tubuhku menegang hingga sulit dikendalikan. Sial. Wajah lelaki itu masih datar. Tanpa sebuah senyuman, dia mengajakku menikah dengan begitu mudah.

Cepat-cepat tanganku menyentuh kotak, mendorong benda mungil yang masih terbuka itu ke hadapannya. "Pak!" panggilku keras. "Bercandanya gak lucu."

"Siapa yang bercanda?" Dia menyahut dengan mata melotot.

"Dari kemarin, kan, bapak ngajak saya bercanda." Aku tak sengaja memakai nada tinggi.

"Itu kemarin. Hari ini, saya serius."

Hah! Baik kemarin atau hari ini, aku tetap tidak akan memberi jawaban.

"Masa, iya, kamu gak bisa bedain?"

"Gak bisa," sahutku sambil balas menatap serius.

"Hari ini, saya gak main-main, Anita. Buktinya ada kotak cincin juga. Kamu masih belum percaya?"

Hening dan aku memilih menggelengkan kepala.

"Oke. Saya ulangi ajakan tadi." Dia terlihat menghela napas sebelum kembali bersuara. "Ayo, nikah, Anita! Kalau bisa bulan depan."

Anj**! Nikah? Bulan depan? Ini dia yang gak gila atau aku yang bego? Apa tidak salah dengar? Dia mengajakku menikah dan ingin bulan depan.

"Kalau diem tandanya—"

"Pak," potongku karena sudah tahu kalimat beliau selanjutnya. "Bapak, kan, tahu saya punya pacar. Kenapa gak ajak nikah anak sif siang, aja?"

Aku melihat matanya terbelalak. Sudah tahu beliau terkejut, aku kembali melanjutkan. "Fuji dan Anisa belum ada yang punya, Pak. Lagian Bapak ngajak nikah udah kayak ngajak beli bakso. Pakai acara buru-buru, pengen bulan depan."

"Saya tahu kamu punya pacar, tapi pacaran itu gak baik, Anita. Daripada nunggu dia lulus dan kerja, mending kamu sama saya, aja." 

Ha-ha-ha. Mulutku menyeringai. Ingin tertawa sumbang, tapi suaraku mendadak hilang. Aku sampai mengibaskan sebelah tangan, berusaha melampiaskan keinginan menampar wajahnya.

"Jadi, gimana? Kamu mau kan, Anita?"

"Gak mau." Kepalaku menggeleng lagi.

"Kenapa gak mau? Saya kasih kamu kepastian melebihi Bagas. Kalau cincin ini gak bisa bikin kamu percaya, saya juga bisa datang ke rumah kamu buat buktiin semuanya."

Untuk yang satu ini, aku tidak bisa menahan tawa sinis.

"Bapak gaya banget mau datang ke rumah saya." Tatapku penuh penghinaan. "Alamatnya juga belum tentu tahu kan, Pak?"

"Oke, saya minta alamatnya." Beliau mulai mengeluarkan ponsel dari kantung celana, menekan aplikasi notes untuk menulis alamat rumah.

"Alamatnya ...." Aku menggantungkan ucapan, menunggu beliau mengangkat kepala dan melihatku lekat. "Alamatnya gak akan saya kasih, Pak."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status