Lampion yang dibentuk setengah lingkaran menjadi area pembuka bagi para wisatawan yang datang. Cahaya dari bulatan benda tersebut berhasil menarik perhatianku dan Mas Arya sampai kami tergugu di ambang pintu timur. Seketika terpesona, meskipun di bawah gapura dijejali banyak pengunjung yang sibuk berfoto ria. Lambat laun, rasa kagumku pada bagian pembuka taman terhenti. Pergerakan Mas Arya yang tiba-tiba menggenggam tanganku, memancing kami bersitatap selama beberapa menit. Mulutnya sontak terbuka, bermaksud mengucap beberapa patah kata. “Mau foto kayak mereka?”Tentu saja tawaran itu mendapat anggukan bahagia dariku. Kami belum pernah berfoto. Sekalinya foto pun kemarin ketika jadi pengantin. Mumpung dia menawarkan, aku harus segera mengiyakan, supaya tidak ada acara berubah pikiran. Proses pengambilan foto pertama dimulai. Mula-mulai kami mencari sedikit ruang di antara kerumunan orang. Tidak perlu luas-luas amat karena yang terpenting foto didapat.“Mau pakai HP Mas?” Dia kembali me
Kami memandangi langit Yogya yang mengguyur daratan. Tidak tampak tanda-tanda akan mereda karena curah hujan semakin tinggi intensitasnya. Semilir angin malam yang bercampur dengan derasnya air sukses menggigilkan tubuh masing-masing pengunjung. Kondisi sekacau ini serta merta membuat mereka berhamburan mencari stan yang kosong untuk dijadikan tempat berteduh sementara waktu.Mas Arya merapatkan tubuhnya. Merangkul bahuku dengan sebelah tangan sambil membisikkan sesuatu. "Kayaknya bakal lama."Aku mengangguk. Terhitung setengah jam kami berdiri. Tanah yang kami pijaki pun sudah berubah basah sepenuhnya."Masih mau nunggu atau terobos aja?"Bisikan ini membuatku menoleh. "Serius mau terobos, Mas?" Melihat dari sorot matanya, Mas Arya kelihatan tidak betah berjejalan dengan banyak pengunjung yang ikut berteduh."Mas terserah kamu, Sayang."Lah, Mas Arya malah melimpahkan keputusan padaku. Tidak jauh berbeda dengannya, aku juga galau untuk menentukan pilihan. Inginnya itu berjalan-jalan,
Kami tidak bisa berhenti. Sepulang dari goyangan mobil, bukannya bosan malah semakin brutal. Tiada henti Mas Arya memberikan godaan, memaksaku terjerat sampai berkali-kali memohon untuk dipuaskan. Pelayanan sarapan sudah kami abaikan berhari-hari. Sama sekali tidak ada waktu untuk melahap nasi karena kami memiliki jadwal tersendiri setiap pagi. Apalagi kalau bukan berendam bersama?"Kayak kemarin lagi, yuk!" Ajakan yang biasa aku terima setiap selesai melipat mukena.Ingin menolak. Lelahnya bukan main kalau sudah masuk dalam belaian suami, tapi mengingat nikmat yang tiada batas, aku selalu berakhir setuju.Mas Arya menggendongku ke kamar mandi. Membiarkanku melepaskan pakaian sendiri selagi ia mengisi bath tub dengan air hangat. Tangannya terulur begitu tugas mengisi air dan membuka pakaiannya selesai. Kami tidak mengenakan apa pun sekarang. Bersama-sama memasuki bath tub."Posisi kemarin, ya," katanya membuatku mengangguk paham.Kami langsung mengambil posisi seperti kemarin. Mas Ar
Seminggu berlalu dengan cepat. Acara leha-leha pun terpaksa harus berakhir. Ada rutinitas wajib yang harus kami jalani, yakni membuka apotek demi menghasilkan semangkuk rezeki.Jam delapan tepat kami menggeser pintu rolling door. Saling berjibaku membersihkan toko demi terciptanya ruang kerja yang nyaman. Tentunya, status suami istri membuatku menang banyak. Jika biasanya aku membersihkan toko seorang diri, kali ini Mas Arya juga kerap membantu. Senangnya bukan main. Kapan lagi coba melihat bos turun tangan dalam membantu pekerjaan?Aktivitasku dalam mengelap etalase kaca selesai, mendahului pekerjaan Mas Arya yang mengepel lantai. Merasa tidak ada yang perlu dikerjakan lagi, aku beralih ke ruangan dalam. Saatnya menyiapkan kopi untuk berterima kasih karena dia berkenan membantuku bersih-bersih.Bubuk kopi kemasan yang selalu disimpan di salah satu laci pantri menjadi sasaran. Tidak memakan waktu lama dalam proses penyeduhan. Segalanya sudah praktis berkat mesin air otomatis. Dispense
Pertama datang, aku sudah disuguhi setumpuk pekerjaan. Mulai dari area depan yang harus dibersihkan, etalase obat yang harus dilap, lima kardus pengadaan obat yang harus dibongkar, hingga beberapa sales yang membutuhkan penanganan kontra bon. Pantas saja, Fuji menyisipkan kata maaf dalam pesannya semalam. Ternyata tugas membongkar barang sif siang benar-benar belum terselesaikan.Demi mengurangi keramaian apotek, aku memilih mengerjakan utang-piutang dulu. Langsung saja aku memanggil satu per satu sales yang datang, mengecek kertas tagihan, lalu menyerahkan sejumlah uang sesuai nominal yang tertera. Mungkin sekitar dua puluh menit, aku melayani semua perwakilan perusahaan hingga menulis daftar pengeluaran kas untuk dijadikan bahan laporan.Setelah memastikan tidak ada lagi antrian orang, aku bergegas melakukan tugas kedua. Seperangkat alat kebersihan pun sudah kubawa dari gudang. Area depan yang menjadi tugas sif pagi, buru-buru aku benahi. Bisa diprediksi kalau Pak Arya akan datang se
"Kalau ditengah jalan ada yang kasih kamu rencana baru, gimana?""Rencana baru apa, Pak?" Makin aneh saja pertanyaan beliau ini."Rencana jadi istri saya, misalnya."Ha? Hah!Aku langsung memalingkan wajah, menelan ludah karena kerongkongan terasa kering dan panas. Siapa yang akan menyangka, jika atasan satu ini melayangkan pertanyaan yang sulit dijawab?"Ha-ha-ha ...."Tawanya yang menggelegar lantas membuat kepalaku menegak. Ada apa ini? Kenapa dia tertawa?"Anita, gak usah terlalu serius! Tadi saya cuma bercanda."What the fuck? Dia gila? Bercanda, katanya? Aku melengos, lalu menggeleng tak percaya. Mungkin baginya mudah saja berbicara demikian. Terlihat ringan tanpa beban dan tanpa ekspresi yang berarti juga. Namun, bagi diriku yang mendengar pasti ada keterkejutan. Terlebih karena dia tidak pernah bercanda sebelumnya. Beruntung karena setelah keheningan ini ponselku berdering nyaring. Buru-buru aku mengangkat ponsel, bangkit dari posisi duduk, lalu membaca pesan dari Bagas.Dari
"Biasa aja, sih. Gak ada yang aneh."Tanggapan Fuji setelah aku bertanya tentang sikap Pak Arya. Bagiku beliau sudah berubah, tidak dingin lagi, tidak irit bicara lagi. Sayangnya, perubahan itu hanya tertangkap olehku. Tidak oleh Fuji ataupun Anisa."Contoh berubahnya gimana dulu?" Anisa merasa pertanyaanku kurang spesifik."Ya, semacam jadi lebih banyak ngomong dan ... agak sinting." Telunjukku sampai mengarah ke kepala."Agak sinting," gumam Fuji sambil terkekeh-kekeh."Menurut aku, sih, gak ada yang berubah." Anisa baru mengutarakan penilaian. "Pak Arya masih tetep cuek, gak banyak omong.""Emang kenapa? Tumben kamu peduli." Fuji mulai bereaksi."Dia lamar aku.""HAH?" teriak mereka dengan mata terbelalak."Serius?" Lanjut Anisa."Bercandaan kali," terka Fuji."Awalnya dia bilang cuma bercanda, tapi tadi siang agak gila." Kepalaku menggeleng lagi kalau mengingat kejadian tadi."Agak gila, gimana? Cepetan cerita!" pinta Anisa."Dia sampai bawain aku cincin dong, Guys!""Terus gimana?
"Astagfirullah," jeritku keras dengan mata terbelalak. Sebungkus bakso dan helm kesayangan sampai terjatuh karena terperanjatnya tubuh menyaksikan seseorang yang tiba-tiba berdiri di hadapanku."Waalaikumsalam, Anita. Baru pulang?" sapa pria yang suaranya tidak asing lagi.Alih-alih membalas sapa, aku malah melontarkan pertanyaan. "Bapak ngapain di sini?" Sebisa mungkin aku merendahkan suara, meskipun jiwa ingin memotong habis tubuhnya. Beruntung karena di ruangan ini tidak tampak kehadiran ibu dan bapak. Aku dapat memastikan kalau keduanya tengah sibuk menyiapkan suguhan."Saya di sini mau kasih kamu bukti, Anita."Astaga. Mataku terpejam begitu mendengar satu kata yang tidak diperlukan. Hah! Bukti, bukti, dan bukti. Kenapa beliau tidak mau mengerti? Bukankah tadi aku sudah menolak lamarannya dengan jelas?"An—""Pak," potongku setelah menarik napas dalam-dalam. "Gak usah repot-repot, ya. Saya gak minta bukti apa-apa.""Saya beneran mau ajakin kamu—""Stop!" Aku kembali memungkasi