Share

Rahim untuk Suamiku
Rahim untuk Suamiku
Author: Assyafa Isti

1~ Rencana Baru

Pertama datang, aku sudah disuguhi setumpuk pekerjaan. Mulai dari area depan yang harus dibersihkan, etalase obat yang harus dilap, lima kardus pengadaan obat yang harus dibongkar, hingga beberapa sales yang membutuhkan penanganan kontra bon. Pantas saja, Fuji menyisipkan kata maaf dalam pesannya semalam. Ternyata tugas membongkar barang sif siang benar-benar belum terselesaikan.

Demi mengurangi keramaian apotek, aku memilih mengerjakan utang-piutang dulu. Langsung saja aku memanggil satu per satu sales yang datang, mengecek kertas tagihan, lalu menyerahkan sejumlah uang sesuai nominal yang tertera. Mungkin sekitar dua puluh menit, aku melayani semua perwakilan perusahaan hingga menulis daftar pengeluaran kas untuk dijadikan bahan laporan.

Setelah memastikan tidak ada lagi antrian orang, aku bergegas melakukan tugas kedua. Seperangkat alat kebersihan pun sudah kubawa dari gudang. Area depan yang menjadi tugas sif pagi, buru-buru aku benahi. Bisa diprediksi kalau Pak Arya akan datang sebentar lagi. Atasan yang hanya datang untuk membuka folding gate di setiap cabang itu akan kembali kemari untuk berjaga hingga malam.

Benar saja. Sesuai dugaan, beliau memang datang setelah aku selesai mengepel teras dan ruang pelayanan depan. Lantai yang dipastikan belum kering sepenuhnya itu kembali dikotori oleh jejak kaki Pak Arya. Tentu saja hal ini membuatku dongkol setengah mati. Aku yang sedari tadi memperhatikan laju langkah beliau hanya bisa tersenyum tipis.

"Ada apa?"

Pertanyaan mendadak itu sukses mengangkat kepalaku. Kami bertukar pandangan sekarang. Beliau yang sebelumnya mengajukan pertanyaan berujung menaik-turunkan bola mata.

"Belum beres?"

Tiga kata yang menurut orang pertanyaan biasa, tapi cukup menusuk hati seorang Anita. Mau tak mau, aku mengangguk, menebar senyum, lalu sedikit membela diri. "Tadi Anita urus kontra bon dulu, Pak."

Terdengar seperti alasan klasik, tapi memang begitu faktanya. Cukup intinya saja yang diungkap kepada beliau karena sepanjang apa pun alasan yang diajukan, Pak Arya tidak akan pernah ada perubahan. Baik dulu ataupun sekarang, beliau selalu mengeluarkan satu kata untuk menjawab semua hal. Contohnya,

"Oh!"

***

Jam istirahat tiba bertepatan denganku yang sudah membongkar lima kardus obat-obatan. Sadar akan rasa lapar yang tak tertahan, ragu-ragu aku menghampiri meja Pak Arya untuk membuat laporan.

"Pak, kardusnya udah Anita bongkar, udah dihitung HNA+PPN, sama udah dipajang di etalase juga."

Laporan pertama yang berhasil diutarakan, tetapi hanya dijawab dengan anggukan singkat.

"Hm, Anita izin istirahat ya, Pak."

Laporan kedua masih dijawab dengan anggukan. Belum mau menyerah, aku kembali mengutarakan inti dari laporan-laporan ini. "Satu lagi, Pak. Maaf. Anisa sama Fuji belum datang. Jadi—"

"Iya!" sambar beliau disertai bombastic side eye.

Jelas saja, aku langsung melongo di tempat. Satu kata yang baru saja terlontar sukses membuat tubuhku terperanjat. Aku tahu makna tatapan itu. Aku juga paham kalau dia tidak ingin diganggu, tapi kembali lagi. Aku perlu isi tenaga dan aku tidak mau istirahat di area belakang, jika tidak ada manusia di garda depan. Bagaimana jika ada pasien yang hendak membeli obat? Pahitnya, bagaimana jika ada manusia iseng yang mencuri barang-barang konsinyasi?

"An," panggil beliau tanpa memberi tatapan sebelumnya. "Kotak nasi ada di belakang."

"Siap," balasku cepat. "Makasih, Pak."

Aku lalu memundurkan langkah, mengambil ponsel dan alat makan yang berada di dekat mesin kasir, sebelum akhirnya pergi ke ruang belakang. Sekantung plastik putih besar terpampang di atas pantri. Jarak yang terkikis semakin dekat membuatku bisa melihat logo makanan cepat saji yang terkenal di sini. Senyumku lantas melebar, menyadari setitik kebaikan Pak Arya dalam memperlakukan karyawannya.

Tak mau menahan lapar lebih lama lagi, aku bergegas mengambil sekotak jatah milikku, lalu membawanya ke meja makan. Belum lengkap rasanya, jika jam istirahat tidak ditemani Bagas. Sebelum melakukan video call, terlebih dulu aku bertanya tentang waktu luang di sela kesibukannya.

Memang dasar lelaki gercep. Belum ada semenit mengirim pesan, dia sudah membuat sambungan video call. Tidak salah, aku memberinya julukan tersebut. Faktanya, Bagas selalu melakukan gerakan cepat baik dalam membalas pesan, menjawab telepon, hingga datang ke tempat janjian. Poin penting itulah yang membuatku tahan bersamanya, meskipun hubungan sudah terjalin lama. Berawal dari duduk di bangku SMA yang sama, hingga kini aku bekerja dan dia fokus kuliah di salah satu universitas swasta.

"Hai, lagi apa?" sapaku disertai senyum merekah.

"Lagi istirahat bentar, baru bubaran kelas," jawabnya sambil tak lupa membalas senyuman.

Aku mendengarkan sembari tangan tak lupa membuka kotak makanan. Bagas yang menangkap aku melakukannya jadi memberi pertanyaan.

"Kamu makan sama apa, Ay?"

"Hokiben." Jawabanku pasti terdengar penuh semangat.

"Wih! Rezeki nomplok, tuh. Bos lagi dapet angin seger?"

"Hm ...." Aku berpikir keras. Kebingungan menjawabnya karena raut wajah Pak Arya tidak bisa dibaca. Dapat angin segar, dapat angin panas, ekspresinya tetap saja.

Sadar pertanyaannya tidak bisa dijawab, Bagas kembali membuka suara untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Hari ini gak bawa motor, kan?"

"Enggak. Dijemput kamu, kan?" Seingatku, perkara ini kami sudah janjian sejak seminggu lalu.

Dia yang membuat terkejut malah menampilkan senyuman lebar. "Iya, nanti aku jemput. Jam tiga, ya."

***

Janjinya jam tiga, tapi sudah setengah jam menunggu tidak kunjung datang juga. Apa dia lupa? Apa dia batal menjemput tanpa pemberitahuan? Aku yakin dia tidak akan lupa pembicaraan kami tadi siang. Hah! Hari ini, secara tiba-tiba Bagas memecah julukan si Gerakan Cepat.

Aku memutuskan beralih lokasi penantian. Setengah jam diam di area luar cukup menjemukan mata, terlebih karena pemandangan diisi oleh rentetan pengendara jalan.

Langkahku sekarang tertuju ke area belakang. Kembali duduk di meja makan untuk mengadu nasib atas keterlambatan Ayang. Sesekali aku melihat jarum jam yang menempel di dinding. Setengah frustasi. Kelamaan menunggu ini sukses menciptakan keinginan untuk berteriak, membentak, juga memaki. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan di sini. Aku hanya mampu menyuarakan segalanya dalam relung hati.

"Belum pulang?"

Pertanyaan dari suara nge-bas tersebut menghentikan umpatan tertahan. Secepat kilat aku menurunkan kedua kaki yang sedari tadi diangkat ke kursi, bergegas mengganti posisi duduk jadi sedikit lebih tegak, supaya terlihat sopan di mata sang atasan.

"I-iya, Pak. Belum pulang," jawabku agak terbata-bata efek kejutan yang Pak Arya lakukan.

Beliau tidak bertanya lagi. Langkahnya teramat pasti melewatiku menuju pantri. Situasi dapur berubah hening dan mencekam. Nyatanya, meskipun sudah empat tahun bekerja, berduaan dengan beliau masih terasa menegangkan melebihi satu ruangan bersama setan.

"Bukannya kamu suka bawa motor?"

"Ya?" Aku sampai tersentak ludah sendiri. Jarang-jarang Pak Arya mau bicara panjang lebar. Setengah segan, aku memaksakan diri untuk menolehkan pandangan.

"Motormu ke mana?" tanya beliau lagi seraya berjalan menghampiriku. Tangannya tampak membawa segelas kopi yang baru diseduh dengan bantuan dispenser.

"Motor saya ada, cuma hari ini gak dibawa, Pak."

Cepat-cepat aku menundukkan kepala karena jarak kami semakin dekat. Aku sampai menenangkan diri dalam hati, memercayai Pak Arya yang tidak akan betah lama mengobrol di sini.

Namun, bukannya asal lewat Pak Arya malah menarik kursi. Lebih parahnya lagi, kursi yang beliau duduki berseberangan denganku. Alhasil, aku tidak bisa seterusnya menundukkan kepala.

"Mau dijemput pacar ternyata," gumam beliau setelah menyeruput kopi dan menyimpan gelasnya di meja makan.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Benaran tidak memiliki keberanian menyampaikan kata karena terlalu tidak percaya. Seorang Pak Arya, bergumam panjang lebar tentang kehidupan karyawannya. Wah, apa aku harus berbangga hati karena mendapat kesempatan langka ini?

"Kamu penyabar juga, ya."

"Sabar gimana, Pak, maksudnya?" Alih-alih pujian, aku menangkapnya beliau sedang meremehkan.

"Kalau gak salah ingat, pacarmu sudah terlambat tiga kali dalam setahun ini."

Wanjay! Tiga kali dalam setahun ini? Beliau pemerhati yang baik atau otak kalkulator yang baik, nih?

"Masa, sih, Pak?" Aku sampai tersenyum miring karena ucapan Pak Arya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sudah jelas, Bagas tidak pernah terlambat. Hari ini merupakan hari pertama dia melakukan kesalahan.

"Iya, coba kamu ingat-ingat lagi."

Hening karena aku memilih bungkam. Ingatanku tidak pernah salah soal ini. Bagas tidak pernah terlambat dan Pak Arya salah mengingat semuanya.

"Apa perlu saya ingatkan?"

Tentu saja aku mengangguk, bermaksud menantangnya. Sedikit sebal dengan perubahan Pak Arya. Sudah bagus pendiam, kenapa berubah jadi cerewet dan suka ikut campur urusan orang?

Tangan beliau mengapung, menampilkan jari telunjuknya. "Pertama, pas hujan gede di Bulan Januari. Kedua, tanggal 10 Maret. Ketiga ... sekarang."

Aku terdiam, berusaha mengingat-ingat kejadian yang belum lewat dari enam bulan tersebut. Setelah mendapat kenang-kenangan yang terbuang, aku mulai membuka suara untuk membela Bagas. "Bulan Januari, aku anggap dia gak telat, Pak."

"Lho, kenapa gak dianggap? Dia telat satu jam, lho."

"Iya, tahu," sahutku yang mulai ngenes. "Ya, coba Bapak ingat lagi. Kondisinya juga waktu itu lagi hujan angin. Aku juga kalau jadi Bagas milih neduh ketimbang lanjut jalan ke sini."

"Oh, intinya memaklumi." Pak Arya menyimpulkan.

"Terus untuk tanggal 10 Maret. Jatuhnya hari Senin, kan, ya?" Aku sempat melihat Pak Arya mengangguk sebelum melanjutkan perkataan. "Hari Senin itu dia pulang jam empat sore. Salah aku juga waktu itu gak bawa motor dan ngandelin dia yang jam pulangnya beda. Jadi, mau gak mau aku harus nunggu."

Jawaban kedua ini sukses membuat mulut beliau bungkam. Pak Arya yang kesulitan menyahuti omongan tampa menelan ludah, lalu menyesap kopi yang tersisa perlahan-lahan.

Situasi panas sudah teratasi dan berganti jadi keheningan mencekam lagi. Semakin tak sabar menunggu Bagas datang, mataku terus-menerus menengok ke arah jam dinding.

"Tapi, Anita …."

Kembali dibuat terkesiap. Aku pikir semua permasalahan sudah selesai, tapi ternyata masih ada sambungan juga.

"Mau sampai kapan kamu pacaran sama dia?"

Aku mengernyitkan kening karena semakin pusing dengan pertanyaan demi pertanyaan beliau.

"Maksud saya, apa kamu gak bosan diajak pacaran terus?"

"Gak bosan sama sekali, Pak," ucapku lantang.

"Kamu yakin?" Pak Arya menatap penuh selidik. "Gak ada keinginan nikah muda, gitu?"

"Gak ada." Jawaban singkat itu membuat Pak Arya terperanjat. Aku yang tidak mau beliau salah paham, lantas memberi sedikit penjelasan. "Saya tahu kondisi Bagas masih kejar S1. Belum lagi harus kuliah profesi, terus lanjut kerja di farmasi. Kayaknya, untuk nikah muda gak ada dalam rencana aku sama dia."

"Kalau ditengah jalan ada yang kasih kamu rencana baru, gimana?"

"Rencana baru apa, Pak?" Makin aneh saja pertanyaan beliau ini.

"Rencana jadi istri saya, misalnya."

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
msh nyimak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status