Home / Rumah Tangga / Rahim untuk Suamiku / 4 ~ Keputusan Akhir?

Share

4 ~ Keputusan Akhir?

Author: Assyafa Isti
last update Last Updated: 2022-05-13 22:59:54

"Astagfirullah," jeritku keras dengan mata terbelalak.

Sebungkus bakso dan helm kesayangan sampai terjatuh karena terperanjatnya tubuh menyaksikan seseorang yang tiba-tiba berdiri di hadapanku.

"Waalaikumsalam, Anita. Baru pulang?" sapa pria yang suaranya tidak asing lagi.

Alih-alih membalas sapa, aku malah melontarkan pertanyaan. "Bapak ngapain di sini?"

Sebisa mungkin aku merendahkan suara, meskipun jiwa ingin memotong habis tubuhnya. Beruntung karena di ruangan ini tidak tampak kehadiran ibu dan bapak. Aku dapat memastikan kalau keduanya tengah sibuk menyiapkan suguhan.

"Saya di sini mau kasih kamu bukti, Anita."

Astaga. Mataku terpejam begitu mendengar satu kata yang tidak diperlukan. Hah! Bukti, bukti, dan bukti. Kenapa beliau tidak mau mengerti? Bukankah tadi aku sudah menolak lamarannya dengan jelas?

"An—"

"Pak," potongku setelah menarik napas dalam-dalam. "Gak usah repot-repot, ya. Saya gak minta bukti apa-apa."

"Saya beneran mau ajakin kamu—"

"Stop!"

Aku kembali memungkasi ucapan beliau karena mendengar derap yang semakin mendekat. Sudah bisa diprediksi kalau ibu dan bapak akan datang sebentar lagi. Tidak ingin percakapan bertopik nikah dan lamaran terdengar keduanya, buru-buru tanganku mencengkram lengan Pak Arya untuk menyampaikan sebuah peringatan.

"Tolong ya, Pak! Jangan ngomong sembarangan! Orang tua saya beda. Mereka gak suka diajak bercanda."

"Tapi Anita—"

Belum selesai beliau bicara, kelima jariku sudah terlebih dulu mengapung. Sengaja membatasi karena waktu bicara kami sudah selayaknya diakhiri. Cengkeraman pun aku lepaskan. Jarak yang semula cukup berdekatan juga ikut menjadi sasaran. Aku kemudian membungkukkan badan, mengingat helm beserta sekantung makanan masih terdampar di lantai.

Sesuai dugaan, langkah yang tadi mendekat memang milik ibu dan bapak. Keduanya terlihat datang beriringan, tetapi ibu yang menyembul duluan. Beliau sempat menatapku beberapa saat, sebelum akhirnya berucap, "Lho, Anita udah pulang."

Bapak yang mendapat informasi kedatangan anaknya turut menatap dan berkata, "Tahu begitu kamu pulang bareng Pak Arya. Kasihan, lho, dia. Nyasar ke kampung sebelah buat nyari rumah kita."

Astaga. Belum apa-apa, aku sudah disalahkan.

Tidak terima dengan persepsi semacam itu, buru-buru aku membela diri. "Pak, Anita mana tahu Pak Arya mau ke sini. Dia gak ada bilang, gak ada izin."

"Be-betul, Pak. Saya ke sini juga dadakan. Gak bilang Anita dulu."

Bagus. Apresiasi atas ucapannya hanyalah sebuah tatapan tajam, setajam silet. Bisa-bisanya dia mencari muka dengan ekspresi polos tanpa dosa.

"Oh, ya, sudah kalau ceritanya memang begitu. Ibu anggap Pak Arya datang buat kasih Anita kejutan, ya."

Sebuah kedipan misterius dari ibu berhasil tertangkap olehku. Rasa tak nyaman dan penuh tanda tanya pun berhamburan mengisi sel-sel di kepala. Aku mulai curiga. Kembali merasa terancam karena sepertinya ada beberapa hal yang aku lewatkan.

Ah, tidak-tidak. Tidak mungkin aku terlambat datang 'kan? Tidak mungkin ancaman tadi sia-sia 'kan?

"An?"

Tubuhku tersentak mendapati mereka yang sudah duduk di posisi masing-masing. Sebuah lahan kosong di samping ibu sengaja mereka sisakan untukku. Jika dilihat dan dinilai lebih dalam, situasi semacam ini sepertinya tidak bisa dilepas begitu saja. Aku tidak bisa percaya kepada Pak Arya. Terlebih karena dia sudah berani datang meskipun tidak diundang. Terpaksa niat menyantap bakso sepulang harus ditunda hingga batas waktu yang sulit ditentukan.

Aku sudah siap mendengar pembicaraan. Seperti biasa dan sudah selayaknya, bapak sang tuan rumah mengawali topik pembicaraan dengan perkenalan singkat. Pertanyaan sewajarnya perihal Pak Arya pun terlontar, mulai dari nama, alamat rumah, hingga lokasi beberapa cabang apotek. Semua terdengar baik-baik saja sampai sebuah pertanyaan membuat leherku meremang.

"Maksud dan tujuan Pak Arya kemari itu ... mau apa dan ada apa, ya?"

Sontak mataku menatap tajam orang yang bersangkutan. Bermaksud menyalurkan kode rahasia, supaya beliau menutup kejujuran serapat-rapatnya. Namun, bukannya mengangguk atau menurut, Pak Arya malah memberiku senyuman lebar disertai kerlingan mata yang sangat langka. Sekali lihat saja, aku sudah bisa menebak kalau beliau tidak bisa dipercaya.

"Maksud kedatangan saya—"

"Mau bahas kerjaan Anita kan, Pak?" selaku sampai mendapat senggolan tangan dari ibu.

Aku tidak peduli. Tidak peduli lagi terhadap sopan santun karena ini menyangkut masa depan hidup dan cintaku bersama Bagas.

"Oh, mau bahas kerjaan," ujar bapak.

"Bukan, Pak." Pak Arya masih berani menyanggah.

Kesal karena peringatanku tadi tidak diindahkan, kakiku menginjak kakinya untuk membalaskan dendam.

"Lho, jadi mau bahas apa, Pak Arya?" tanya bapak lagi.

"Bahas kerjaan, Pak. Pak Arya cuma asal ngomong tadi." Aku mewakili jawaban beliau sambil terus menginjak kakinya kuat-kuat.

"Hm, coba Anita diem dulu."

"Lah, kenapa aku harus diem?" Tentu saja aku tidak terima saran itu. Ibu yang sedari tadi bungkam, malah memberiku perintah layaknya bom meledak.

"Gak sopan, Nak. Ini waktunya orang tua ngomong. Kamu dari tadi nyahut mulu." Omelan pertama yang aku dapatkan.

"Lagian kamu ngapain, sih, injak-injak kaki Pak Arya? Kasihan, tuh, mukanya udah merah begitu." Omelan kedua masih dari orang yang sama.

"Jangan-jangan kerjaan kamu bermasalah, ya?" tebak bapak tiba-tiba.

"Enggak, kok. Kerjaan Anita gak bermasalah," sanggahku merasa harus membela diri.

Sayangnya, bapak tetap bersikukuh. "Kalau gak ada masalah, gak mungkin Pak Arya jauh-jauh datang kemari. Ayo, kamu saja yang ngaku! Ada masalah apa sampai bosmu yang datang sendiri ke rumah?"

"Demi Allah—"

"Saya mau lamar Anita, Pak!"

Spontan tanganku memukul lengan Pak Arya hingga ia meringis dalam keheningan. Situasi yang semula penuh keributan, berujung sunyi dalam sekejap. Ucapan tadi sepertinya menghantam pikiran orang tuaku. Mereka yang awalnya penasaran, akhirnya malah saling pandang karena kebingungan.

"Jadi, begini—"

"Pak, udahlah," potongku tegas. "Orang tua saya kaget—"

"Coba kamu diem dulu," pinta ibu. Kali ini lebih lemah lembut daripada sebelumnya.

Sadar bahwa ucapanku tidak akan didengar semua orang, aku merajuk dengan membungkam mulut sendiri.

"Coba jelaskan, Pak Arya," pinta bapak ikut lemah lembut akibat terkejut.

Pak Arya yang menjadi pusat perhatian, kini terlihat mengambil napas sebelum berkata, "Mohon izin ngomong panjang lebar ya, Pak, Bu."

"Iya, silakan-silakan," sahut ibu karena sudah tak sabar mendengar penjelasan.

"Sebelumnya, mohon maaf karena saya datang mendadak dan gak izin dulu sama Bapak dan Ibu. Niat saya datang ke sini, selain mau kasih kejutan buat Anita, saya juga pengin membuktikan kalau soal hubungan saya bisa diajak serius. Saya mungkin bisa ngomong suka sambil ngajak pacaran, tapi saya gak mau. Rasanya gak pantes mengingat umur saya juga udah tua. Saya maunya kalau suka, ya, nikah. Kalau sayang, ya, nikah. Lebih bertanggungjawab dan cocok dengan pribadi saya. Saya harap niat baik ini bisa diterima dengan baik juga oleh Anita, Ibu, dan Bapak."

Wah! Ini benaran Pak Arya? Ini benaran bos-ku yang irit bicara? Yakin? Serius? Kenapa dia terdengar seperti orang yang berbeda? Sebenarnya, berapa banyak lagi hal yang tidak aku ketahui tentang dirinya?

"Begini, Pak Arya." Ucapan bapak yang mengambang memancing kepalaku untuk menoleh.

"Jujur, saya pribadi seneng denger pengakuan Bapak. Bisa dibilang kalau lelaki macam Bapak itu sudah termasuk susah ditemui. Niat Bapak bisa saja saya terima dengan baik, tapi keputusan saya tetap harus memprioritaskan Anita."

Mendengar penuturan bapak yang enak didengar, sekelebat hawa panas dan penuh haru pun memenuhi relung hati. Aku pikir, bapak akan setuju tanpa mempedulikan keputusanku.

"Nah, ibu juga sepemikiran sama bapak. Maaf, ya, Pak Arya. Anita itu anak kami satu-satunya. Kami senang ada lelaki baik mau menikahi Anita, tapi kalau pernikahan ini tidak membuat dia bahagia, ya, buat apa. Jadi, walaupun kami setuju, tetap harus mendengar pendapat Anita dulu."

Mereka yang memandangiku memunculkan rasa percaya diri yang membuncah. Sekarang aku tidak perlu ketakutan lagi, tidak perlu banyak memikirkan ide karena keputusan akhir berada di tanganku.

"Jadi, An, kira-kira kamu bersedia atau enggak menikah sama Pak Arya?" tanya bapak.

Aku tersenyum. Tidak perlu berpikir dua kali. Tidak perlu ditunda-tunda lagi. Sejak awal, hingga akhir jawabanku tetaplah sama.

"Anita gak mau nikah sama Pak Arya."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahim untuk Suamiku    Kembali Bekerja

    Seminggu berlalu dengan cepat. Acara leha-leha pun terpaksa harus berakhir. Ada rutinitas wajib yang harus kami jalani, yakni membuka apotek demi menghasilkan semangkuk rezeki.Jam delapan tepat kami menggeser pintu rolling door. Saling berjibaku membersihkan toko demi terciptanya ruang kerja yang nyaman. Tentunya, status suami istri membuatku menang banyak. Jika biasanya aku membersihkan toko seorang diri, kali ini Mas Arya juga kerap membantu. Senangnya bukan main. Kapan lagi coba melihat bos turun tangan dalam membantu pekerjaan?Aktivitasku dalam mengelap etalase kaca selesai, mendahului pekerjaan Mas Arya yang mengepel lantai. Merasa tidak ada yang perlu dikerjakan lagi, aku beralih ke ruangan dalam. Saatnya menyiapkan kopi untuk berterima kasih karena dia berkenan membantuku bersih-bersih.Bubuk kopi kemasan yang selalu disimpan di salah satu laci pantri menjadi sasaran. Tidak memakan waktu lama dalam proses penyeduhan. Segalanya sudah praktis berkat mesin air otomatis. Dispense

  • Rahim untuk Suamiku    Kamar Mandi Panas

    Kami tidak bisa berhenti. Sepulang dari goyangan mobil, bukannya bosan malah semakin brutal. Tiada henti Mas Arya memberikan godaan, memaksaku terjerat sampai berkali-kali memohon untuk dipuaskan. Pelayanan sarapan sudah kami abaikan berhari-hari. Sama sekali tidak ada waktu untuk melahap nasi karena kami memiliki jadwal tersendiri setiap pagi. Apalagi kalau bukan berendam bersama?"Kayak kemarin lagi, yuk!" Ajakan yang biasa aku terima setiap selesai melipat mukena.Ingin menolak. Lelahnya bukan main kalau sudah masuk dalam belaian suami, tapi mengingat nikmat yang tiada batas, aku selalu berakhir setuju.Mas Arya menggendongku ke kamar mandi. Membiarkanku melepaskan pakaian sendiri selagi ia mengisi bath tub dengan air hangat. Tangannya terulur begitu tugas mengisi air dan membuka pakaiannya selesai. Kami tidak mengenakan apa pun sekarang. Bersama-sama memasuki bath tub."Posisi kemarin, ya," katanya membuatku mengangguk paham.Kami langsung mengambil posisi seperti kemarin. Mas Ar

  • Rahim untuk Suamiku    Hujan dan Parkiran

    Kami memandangi langit Yogya yang mengguyur daratan. Tidak tampak tanda-tanda akan mereda karena curah hujan semakin tinggi intensitasnya. Semilir angin malam yang bercampur dengan derasnya air sukses menggigilkan tubuh masing-masing pengunjung. Kondisi sekacau ini serta merta membuat mereka berhamburan mencari stan yang kosong untuk dijadikan tempat berteduh sementara waktu.Mas Arya merapatkan tubuhnya. Merangkul bahuku dengan sebelah tangan sambil membisikkan sesuatu. "Kayaknya bakal lama."Aku mengangguk. Terhitung setengah jam kami berdiri. Tanah yang kami pijaki pun sudah berubah basah sepenuhnya."Masih mau nunggu atau terobos aja?"Bisikan ini membuatku menoleh. "Serius mau terobos, Mas?" Melihat dari sorot matanya, Mas Arya kelihatan tidak betah berjejalan dengan banyak pengunjung yang ikut berteduh."Mas terserah kamu, Sayang."Lah, Mas Arya malah melimpahkan keputusan padaku. Tidak jauh berbeda dengannya, aku juga galau untuk menentukan pilihan. Inginnya itu berjalan-jalan,

  • Rahim untuk Suamiku    Jalan-jalan Malam

    Lampion yang dibentuk setengah lingkaran menjadi area pembuka bagi para wisatawan yang datang. Cahaya dari bulatan benda tersebut berhasil menarik perhatianku dan Mas Arya sampai kami tergugu di ambang pintu timur. Seketika terpesona, meskipun di bawah gapura dijejali banyak pengunjung yang sibuk berfoto ria. Lambat laun, rasa kagumku pada bagian pembuka taman terhenti. Pergerakan Mas Arya yang tiba-tiba menggenggam tanganku, memancing kami bersitatap selama beberapa menit. Mulutnya sontak terbuka, bermaksud mengucap beberapa patah kata. “Mau foto kayak mereka?”Tentu saja tawaran itu mendapat anggukan bahagia dariku. Kami belum pernah berfoto. Sekalinya foto pun kemarin ketika jadi pengantin. Mumpung dia menawarkan, aku harus segera mengiyakan, supaya tidak ada acara berubah pikiran. Proses pengambilan foto pertama dimulai. Mula-mulai kami mencari sedikit ruang di antara kerumunan orang. Tidak perlu luas-luas amat karena yang terpenting foto didapat.“Mau pakai HP Mas?” Dia kembali me

  • Rahim untuk Suamiku    Hari Pertama

    Tidur pagi setelah salat Subuh terhenti karena denting bel vila yang berbunyi. Mas Arya yang pertama kali mendengarnya. Secara perlahan, dia melepaskan pelukan. Berjalan ke dekat pintu secara diam-diam. Aku memang tidak bergerak, masih diposisi sama dengan mata terpejam, tetapi gendang pendengaran tetap aktif memantau kunjungan. Tidak ada suara apa pun setelah beberapa saat. Penasaran dengan suasana yang terjadi, aku mengusahakan diri supaya mata yang berat ini terjaga. Tidak ada siapa pun termasuk suamiku. Aku tidak mungkin salah dengar dan terka, jelas-jelas tadi aku mendengar pintu ditutup dan dikunci dari dalam. Kakiku mulai menuruni ranjang, berjalan pelan menuju ruangan depan guna memastikan keberadaan Mas Arya. Napasku berembus lega begitu mendapati sosoknya berdiri di samping televisi. Sebelah tangannya disimpan di pinggang, sedangkan tangan yang satunya memegang kendali atas ponsel. Terbersit rasa ingin mendekati dengan langkah mengendap, membuat kejutan dengan memeluk tubu

  • Rahim untuk Suamiku    Terobos Bulan Madu (18+)

    Kami sampai di Yogyakarta pukul 22.10. Sempat menempuh perjalanan satu jam menaiki pesawat. Mas Arya sudah meminta maaf habis-habisan. Rencana menaiki kelas bisnis terpaksa batal karena kursi yang tersedia hanya ada di kelas ekonomi. Aku yang belum pernah naik pesawat sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Asalkan bersama suami, berkendara ke mana pun, naik apa pun akan tetap aku ikuti.Perjalanan belum cukup sampai di bandara. Kami tetap harus menaiki mobil kiriman destinasi, supaya cepat sampai di lokasi bulan madu. Mas Arya ada bercerita tadi, sudah menyewa sebuah kamar dengan pemandangan menarik di sana. Sekilas hanya kulihat saja foto-foto yang terpajang dalam laman internet. Langsung setuju-setuju saja karena pemandangan yang ada tidak terlalu buruk juga.Kondisi malam memang cukup lengang, membuat perjalanan mulus tanpa hambatan kemacetan jalan. Tidak berlama-lama, akhirnya kami sampai di penginapan. Panorama Resort and Spa, namanya. Baru turun di area parkir saja aku suda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status