Share

4 ~ Keputusan Akhir?

"Astagfirullah," jeritku keras dengan mata terbelalak.

Sebungkus bakso dan helm kesayangan sampai terjatuh karena terperanjatnya tubuh menyaksikan seseorang yang tiba-tiba berdiri di hadapanku.

"Waalaikumsalam, Anita. Baru pulang?" sapa pria yang suaranya tidak asing lagi.

Alih-alih membalas sapa, aku malah melontarkan pertanyaan. "Bapak ngapain di sini?"

Sebisa mungkin aku merendahkan suara, meskipun jiwa ingin memotong habis tubuhnya. Beruntung karena di ruangan ini tidak tampak kehadiran ibu dan bapak. Aku dapat memastikan kalau keduanya tengah sibuk menyiapkan suguhan.

"Saya di sini mau kasih kamu bukti, Anita."

Astaga. Mataku terpejam begitu mendengar satu kata yang tidak diperlukan. Hah! Bukti, bukti, dan bukti. Kenapa beliau tidak mau mengerti? Bukankah tadi aku sudah menolak lamarannya dengan jelas?

"An—"

"Pak," potongku setelah menarik napas dalam-dalam. "Gak usah repot-repot, ya. Saya gak minta bukti apa-apa."

"Saya beneran mau ajakin kamu—"

"Stop!"

Aku kembali memungkasi ucapan beliau karena mendengar derap yang semakin mendekat. Sudah bisa diprediksi kalau ibu dan bapak akan datang sebentar lagi. Tidak ingin percakapan bertopik nikah dan lamaran terdengar keduanya, buru-buru tanganku mencengkram lengan Pak Arya untuk menyampaikan sebuah peringatan.

"Tolong ya, Pak! Jangan ngomong sembarangan! Orang tua saya beda. Mereka gak suka diajak bercanda."

"Tapi Anita—"

Belum selesai beliau bicara, kelima jariku sudah terlebih dulu mengapung. Sengaja membatasi karena waktu bicara kami sudah selayaknya diakhiri. Cengkeraman pun aku lepaskan. Jarak yang semula cukup berdekatan juga ikut menjadi sasaran. Aku kemudian membungkukkan badan, mengingat helm beserta sekantung makanan masih terdampar di lantai.

Sesuai dugaan, langkah yang tadi mendekat memang milik ibu dan bapak. Keduanya terlihat datang beriringan, tetapi ibu yang menyembul duluan. Beliau sempat menatapku beberapa saat, sebelum akhirnya berucap, "Lho, Anita udah pulang."

Bapak yang mendapat informasi kedatangan anaknya turut menatap dan berkata, "Tahu begitu kamu pulang bareng Pak Arya. Kasihan, lho, dia. Nyasar ke kampung sebelah buat nyari rumah kita."

Astaga. Belum apa-apa, aku sudah disalahkan.

Tidak terima dengan persepsi semacam itu, buru-buru aku membela diri. "Pak, Anita mana tahu Pak Arya mau ke sini. Dia gak ada bilang, gak ada izin."

"Be-betul, Pak. Saya ke sini juga dadakan. Gak bilang Anita dulu."

Bagus. Apresiasi atas ucapannya hanyalah sebuah tatapan tajam, setajam silet. Bisa-bisanya dia mencari muka dengan ekspresi polos tanpa dosa.

"Oh, ya, sudah kalau ceritanya memang begitu. Ibu anggap Pak Arya datang buat kasih Anita kejutan, ya."

Sebuah kedipan misterius dari ibu berhasil tertangkap olehku. Rasa tak nyaman dan penuh tanda tanya pun berhamburan mengisi sel-sel di kepala. Aku mulai curiga. Kembali merasa terancam karena sepertinya ada beberapa hal yang aku lewatkan.

Ah, tidak-tidak. Tidak mungkin aku terlambat datang 'kan? Tidak mungkin ancaman tadi sia-sia 'kan?

"An?"

Tubuhku tersentak mendapati mereka yang sudah duduk di posisi masing-masing. Sebuah lahan kosong di samping ibu sengaja mereka sisakan untukku. Jika dilihat dan dinilai lebih dalam, situasi semacam ini sepertinya tidak bisa dilepas begitu saja. Aku tidak bisa percaya kepada Pak Arya. Terlebih karena dia sudah berani datang meskipun tidak diundang. Terpaksa niat menyantap bakso sepulang harus ditunda hingga batas waktu yang sulit ditentukan.

Aku sudah siap mendengar pembicaraan. Seperti biasa dan sudah selayaknya, bapak sang tuan rumah mengawali topik pembicaraan dengan perkenalan singkat. Pertanyaan sewajarnya perihal Pak Arya pun terlontar, mulai dari nama, alamat rumah, hingga lokasi beberapa cabang apotek. Semua terdengar baik-baik saja sampai sebuah pertanyaan membuat leherku meremang.

"Maksud dan tujuan Pak Arya kemari itu ... mau apa dan ada apa, ya?"

Sontak mataku menatap tajam orang yang bersangkutan. Bermaksud menyalurkan kode rahasia, supaya beliau menutup kejujuran serapat-rapatnya. Namun, bukannya mengangguk atau menurut, Pak Arya malah memberiku senyuman lebar disertai kerlingan mata yang sangat langka. Sekali lihat saja, aku sudah bisa menebak kalau beliau tidak bisa dipercaya.

"Maksud kedatangan saya—"

"Mau bahas kerjaan Anita kan, Pak?" selaku sampai mendapat senggolan tangan dari ibu.

Aku tidak peduli. Tidak peduli lagi terhadap sopan santun karena ini menyangkut masa depan hidup dan cintaku bersama Bagas.

"Oh, mau bahas kerjaan," ujar bapak.

"Bukan, Pak." Pak Arya masih berani menyanggah.

Kesal karena peringatanku tadi tidak diindahkan, kakiku menginjak kakinya untuk membalaskan dendam.

"Lho, jadi mau bahas apa, Pak Arya?" tanya bapak lagi.

"Bahas kerjaan, Pak. Pak Arya cuma asal ngomong tadi." Aku mewakili jawaban beliau sambil terus menginjak kakinya kuat-kuat.

"Hm, coba Anita diem dulu."

"Lah, kenapa aku harus diem?" Tentu saja aku tidak terima saran itu. Ibu yang sedari tadi bungkam, malah memberiku perintah layaknya bom meledak.

"Gak sopan, Nak. Ini waktunya orang tua ngomong. Kamu dari tadi nyahut mulu." Omelan pertama yang aku dapatkan.

"Lagian kamu ngapain, sih, injak-injak kaki Pak Arya? Kasihan, tuh, mukanya udah merah begitu." Omelan kedua masih dari orang yang sama.

"Jangan-jangan kerjaan kamu bermasalah, ya?" tebak bapak tiba-tiba.

"Enggak, kok. Kerjaan Anita gak bermasalah," sanggahku merasa harus membela diri.

Sayangnya, bapak tetap bersikukuh. "Kalau gak ada masalah, gak mungkin Pak Arya jauh-jauh datang kemari. Ayo, kamu saja yang ngaku! Ada masalah apa sampai bosmu yang datang sendiri ke rumah?"

"Demi Allah—"

"Saya mau lamar Anita, Pak!"

Spontan tanganku memukul lengan Pak Arya hingga ia meringis dalam keheningan. Situasi yang semula penuh keributan, berujung sunyi dalam sekejap. Ucapan tadi sepertinya menghantam pikiran orang tuaku. Mereka yang awalnya penasaran, akhirnya malah saling pandang karena kebingungan.

"Jadi, begini—"

"Pak, udahlah," potongku tegas. "Orang tua saya kaget—"

"Coba kamu diem dulu," pinta ibu. Kali ini lebih lemah lembut daripada sebelumnya.

Sadar bahwa ucapanku tidak akan didengar semua orang, aku merajuk dengan membungkam mulut sendiri.

"Coba jelaskan, Pak Arya," pinta bapak ikut lemah lembut akibat terkejut.

Pak Arya yang menjadi pusat perhatian, kini terlihat mengambil napas sebelum berkata, "Mohon izin ngomong panjang lebar ya, Pak, Bu."

"Iya, silakan-silakan," sahut ibu karena sudah tak sabar mendengar penjelasan.

"Sebelumnya, mohon maaf karena saya datang mendadak dan gak izin dulu sama Bapak dan Ibu. Niat saya datang ke sini, selain mau kasih kejutan buat Anita, saya juga pengin membuktikan kalau soal hubungan saya bisa diajak serius. Saya mungkin bisa ngomong suka sambil ngajak pacaran, tapi saya gak mau. Rasanya gak pantes mengingat umur saya juga udah tua. Saya maunya kalau suka, ya, nikah. Kalau sayang, ya, nikah. Lebih bertanggungjawab dan cocok dengan pribadi saya. Saya harap niat baik ini bisa diterima dengan baik juga oleh Anita, Ibu, dan Bapak."

Wah! Ini benaran Pak Arya? Ini benaran bos-ku yang irit bicara? Yakin? Serius? Kenapa dia terdengar seperti orang yang berbeda? Sebenarnya, berapa banyak lagi hal yang tidak aku ketahui tentang dirinya?

"Begini, Pak Arya." Ucapan bapak yang mengambang memancing kepalaku untuk menoleh.

"Jujur, saya pribadi seneng denger pengakuan Bapak. Bisa dibilang kalau lelaki macam Bapak itu sudah termasuk susah ditemui. Niat Bapak bisa saja saya terima dengan baik, tapi keputusan saya tetap harus memprioritaskan Anita."

Mendengar penuturan bapak yang enak didengar, sekelebat hawa panas dan penuh haru pun memenuhi relung hati. Aku pikir, bapak akan setuju tanpa mempedulikan keputusanku.

"Nah, ibu juga sepemikiran sama bapak. Maaf, ya, Pak Arya. Anita itu anak kami satu-satunya. Kami senang ada lelaki baik mau menikahi Anita, tapi kalau pernikahan ini tidak membuat dia bahagia, ya, buat apa. Jadi, walaupun kami setuju, tetap harus mendengar pendapat Anita dulu."

Mereka yang memandangiku memunculkan rasa percaya diri yang membuncah. Sekarang aku tidak perlu ketakutan lagi, tidak perlu banyak memikirkan ide karena keputusan akhir berada di tanganku.

"Jadi, An, kira-kira kamu bersedia atau enggak menikah sama Pak Arya?" tanya bapak.

Aku tersenyum. Tidak perlu berpikir dua kali. Tidak perlu ditunda-tunda lagi. Sejak awal, hingga akhir jawabanku tetaplah sama.

"Anita gak mau nikah sama Pak Arya."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status