Share

Kecelakaan

Tiga hari setelah kejadian itu, orang serumah benaran tidak lagi membahas Pak Arya ataupun hal yang bersangkutan dengannya. 

Dinas di Minggu pagi memang selalu sepi. Kebanyakan perusahaan farmasi libur di hari ini. Jadi, aku tidak perlu kerepotan mengurus dan memesan barang, hingga melayani pelanggan di waktu yang sama.

Gedung apotek yang menyatu dengan ruang praktik dokter hanya diisi oleh diriku seorang. Beliau yang kemarin menjengkelkan mendadak tidak masuk kerja hari ini. Entah sedang menepati janji atau bahkan kalah sebelum berjuang, Pak Arya juga tidak banyak bertingkah dan mengajakku menikah lagi. Dia terlihat lebih tenang dan kembali ke sikap awal. Huh, tidak bisa dipercaya. Mana yang katanya ingin dipertimbangkan? Baru ditolak segitu saja langsung mundur. Memang, ya, dia menjadikan ajakan nikah itu sebagai lahan candaan.

Ponselku bergetar, padahal aku tidak menunggu pesan atau panggilan masuk dari seseorang. Tak mau dihantui rasa penasaran, buru-buru aku menjawab panggilan yang datang.

"Ya?" sapaku seadanya karena nomor yang menghubungi tidak dikenal.

"Saudari Anita?" 

"Iya, benar. Maaf, ini siapa, ya?" 

Siapa kira-kira yang menelepon? Suara seorang wanita tadi terdengar tenang dan profesional.

"Saya Elinda, perawat dari Rumah Sakit Bina Sentosa. Bermaksud memberitahukan bahwa Ibu Anggita mengalami kecelakaan. Seka—"

"Ibu ... siapa?" Aku tidak mungkin salah dengar, kan?

"Ibu Anggita. Ibu Anggita Pradana. Beliau ibunya Anda 'kan?"

"I-iya, itu ibu saya." Sadar tak sadar ketika aku menjawabnya.

"Baik. Saya jelaskan sekali lagi, ya. Ibu Anggita sedang berada di ruang IGD. Jika bisa, tolong Anda ke sini segera. Kami membutuhkan persetujuan keluarga supaya leluasa mengambil tindakan medis."

"Baik. Oke. S-saya ke sana sekarang."

Tubuhku yang bergetar berusaha mengambil segala barang-barang yang ada. Mulai dari tas, jaket, kunci motor, hingga kunci apotek. Semua aku bawa keluar. 

Beruntung karena otakku masih bisa bekerja walaupun diserang kekhawatiran yang tiada tara. Sebelum pergi, aku menyempatkan diri menghubungi Pak Arya guna memberitahu kondisi ibu dan meminta izin pulang kerja lebih dulu. Beliau yang memahami situasi lantas memberikan izin untuk itu.

Aku lantas memacu motor. Menarik gas sekencang-kencangnya supaya segera sampai ke tujuan. Rumah Sakit Bina Sentosa letaknya dekat dengan rumahku. Jika memang mama korban kecelakaan, artinya kejadian itu terjadi di sekitaran rumah.

Cukup menempuh perjalanan setengah jam, motor yang membawaku dengan kecepatan penuh itu segera terparkir di pelataran rumah sakit. Tanpa melepas helm, aku yang terburu-buru lantas berlari kencang menaiki tangga melewati lobi hingga sampai di ambang pintu IGD.

Barisan bangsal yang berada di ruangan ini tiada henti aku lewati. Satu per satu wajah pasien yang ada juga tak luput aku amati. Benaran butuh tenaga ekstra. Berjalan bagai orang kesetanan. Lari ke sana-sini demi menemukan mama. Perjuanganku bagai dilihat banyak mata, sampai tak berapa lama seorang perawat melambaikan tangannya padaku.

"Kak Anita?!"

"I-iya, saya." Tanganku mengapung, memacu langkah dua kali lebih cepat supaya segera sampai ke hadapan si pemanggil.

"Ibu Anda sudah dibawa ke ruang operasi." 

Informasi itu sontak membuatku terkejut. "Bukannya butuh tanda tangan wali? Ini saya baru datang." 

"Sudah ditandatangani suaminya."

Mataku terpejam. Ya Allah. Aku lupa punya Bapak. Bisa-bisanya.

"Sekarang Bapak saya di mana?" tanyaku berharap ingin segera bertemu beliau.

"Menunggu di depan kamar operasi."

Ah, aku tahu tempatnya. Aku tahu letak ruangan di rumah sakit ini. Setelah mengucap terima kasih kepada ibu perawat, aku kembali mengaktifkan mode lari orang kesetanan.

***

Bapak terlihat menundukkan kepala. Duduk bersandar ke kursi yang tersedia di lorong tunggu. Lampu pertanda di ambang pintu kamar operasi pun terlihat menyala. Mama masih di dalam, masih berjuang, dan semoga hasilnya maksimal.

Aku memberanikan diri menghampiri Bapak setelah sebelumnya mengatur napas dan ketenangan. Beliau sedikit terkejut karena kedatanganku yang tidak disertai sebuah ucap apalagi teguran. Iya, sih, tiba-tiba datang dan duduk sudah seperti hantu saja.

"Cepat banget datangnya. Chat-nya juga baru bapak kirim."

"Chat?" Aku kebingungan.

"Iya, bapak kirim pesan ke kamu barusan. Kasih tahu mama kecelakaan. Kayaknya belum kamu baca, deh."

"Oh, gitu ...." 

Tanganku cepat-cepat merogoh ponsel yang tersimpan di saku celana. Cukup mengetuk beberapa kali sampai layar tersebut menyala. Ada tiga pesan yang datang. Tentunya dari orang yang berlainan.

Dari : Bapak

Datang sekarang ke Bina Sentosa. Mama kecelakaan.

Dari : Ayang

Kalau udah istirahat kabari aku. Mau VC.

Dari : Pak Bos

Masuk rumah sakit mana?

Sayangnya, dari ketiga orang yang mengirim pesan, hatiku hanya tergerak membalas sebuah pesan saja. Cukuplah Bagas. Pak Arya tidak usah dibalas karena buat apa? Sudah bisa ditebak kalau dia akan datang kemari setelah menerima informasi rumah sakit ini.

"Lepas dulu helm-mu, An. Gak pegal apa?"

Aku baru sadar tentang itu. Pantas saja kepala terasa berat dan pengap. Aku pikir itu salah satu efek karena diserang panik dan khawatir yang berlebihan. Ah, entah apa jadinya jika tidak diberitahu Bapak.

Pesanku untuk Bagas dibalas dengan sebuah getar panggilan. Dia pasti terkejut mendengar kabar mama yang dioperasi.

"An, serius mama kecelakaan?" 

Sapaan hai atau sayang mendadak berganti jadi pertanyaan serius.

"Iya. Ini aku lagi di Bina Sentosa. Tunggu mama dioperasi. Doakan, ya, Yang. Semoga operasi mama lancar." Ingin rasanya aku bertepuk tangan atas diri yang bisa tenang, padahal sebelumnya sempat kelimpungan.

"Aamiin. Pasti lancar, An. Kamu tahu kalau Bina Sentosa pelayanannya bagus. Dokter di sana gak akan mungkin mengecewakan." Dia terdengar menghela napas cepat sebelum kembali berkata, "Kamu di situ sama siapa? Ada teman, gak?"

"Ada Bapak," jawabku cepat.

"Ah, ya, sudah. Kabari kalau operasinya selesai, ya. Aku bisa kesitu agak malam soalnya."

Aku tersenyum. Ingin meminta dia datang ke sini sekarang, tetapi rasanya tidak akan mungkin. Bagas bisanya malam hari, ya, berarti malam hari. Dia tidak pernah mengganti jam pertemuan meskipun untuk urusan mendesak atau aku yang meminta.

Sambungan terputus setelah dia berjanji akan menemaniku malam nanti. Aku berakhir mengajak Bapak bicara, ingin mengetahui kronologi kecelakaan yang terjadi kepada Mama.

"Dengar cerita, ada mobil oleng sampai nabrak gerobak kupat tahu. Kebetulan waktu itu, mama lagi makan di sana . Jadi, ya, ikut terseret. Semuanya terseret. Gerobak, pedagang, sama meja makannya mepet ke dinding bangunan." Bapak terlihat lemas saat menceritakan kejadian tersebut.

Alih-alih bersedih, aku malah beranjak karena terbakar api. "Terus sekarang yang punya mobilnya mana?" Kepalaku celingukan dengan tangan disimpan di pinggang. Benar-benar, ya, itu orang. Awas saja kalau sampai datang ke depan mataku. Sudah pasti habis.

"Lari."

"Hah?" jeritku karena ingin Bapak mengulangi satu kata itu.

"Mobilnya lari, Nak. Mamamu korban tabrak lari." 

Seketika duniaku terasa runtuh. Tubuh yang semula bersemangat ingin menampar si pengemudi pun berangsur ambruk ke lantai rumah sakit yang dingin. Pantas saja Bapak menunduk, pantas saja Bapak lemah.

"Semoga mamamu beruntung, ya, An. Semoga mamamu bisa bertahan."

Getar tubuhku sudah tidak bisa terkondisikan. Disertai mata berkaca, aku mencoba bertanya kepada Bapak. "Memangnya siapa yang gak bertahan, Pak?"

"Pedagangnya, Bu Iceu meninggal di tempat."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status