Angin bertiup lembut membawa udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Para prajurit dengan baju tambahan berupa jubah tebal dari bulu binatang membungkus tubuh mereka. Namun, rasa dingin masih saja berhasil menyentuh kulit yang tak terlindung. Salah satu dari mereka melepaskan jubah tebal yang terbuat dari bulu binatang.
“Yang benar saja, danau ini pasti dingin sekali,” protes prajurit yang dipaksa untuk masuk ke dalam danau oleh rekan-rekannya.
Mereka melakukan undian untuk memutuskan siapa yang masuk ke dalam danau. Mereka mencari harpa ajaib yang kabarnya ada di sekitar tempat ini. Sebuah kisah dongeng tentang Istana Es yang tenggelam di danau tersebut membuat mereka dipaksa mencari keberadaannya. Mereka harus memeriksa dasar danau untuk melihat istana tersebut benar-benar ada, termasuk mencari keberadaan harpa.
Kedua prajurit yang kalah saat melakukan undian dengan terpaksa masuk ke dalam air. Sebelumnya keduanya diberikan barrier pelindung untuk melindungi mereka dari dinginnya air dan juga tetap bisa bernapas saat menyelam. Sementara mereka yang berada di permukaan menunggu sambil terus menggosok kedua tangannya untuk mendapatkan kehangatan.
“Apa yang dipikirkan Tuan Leiz, meminta kita mencari harpa di tengah cuaca dingin seperti ini?”
Prajurit di sebelahnya terlihat menghembuskan napasnya di kedua tangan, uap mengepul dari mulutnya. “Dia terus saja berbicara tentang harpa, harpa ajaib katanya,” balas prajurit tersebut.
Helaan napas panjang terdengar dari seorang prajurit. “Aku benar-benar tidak percaya Tuan Leiz mempercayai cerita dongeng.”
Mereka sudah hampir satu bulan berada di benua itu. Sebuah benua yang terpisah dari benua utama. Benua ini tertutup es abadi dan hampir tidak ada penghuni. Banyak prajurit yang menganggap Penasehat Kerajaan Leiz Schwarz sudah kehilangan akal sehatnya karena terus mencari benda dalam dongeng.
Harpa ajaib dari negeri para elf, harpa itu diyakini memiliki kemampuan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Sebuah harapan tanah yang sudah terkontaminasi dapat kembali pulih setelah usahanya memanggil Raja Kegelapan gagal. Suara dentingan harpa yang bernah terdengar di benua tak berpenghuni ini membuat kisah harpa ajaib kembali mencuat. Hal itu pula yang diyakini oleh Leiz hingga dia mengerahkan prajurit kerajaan untuk mencari benda ajaib tersebut.
“Cepat tarik talinya!” seru salah satu dari prajurit tersebut.
Angin semakin kencang saat tali yang mereka ikatkan pada kedua prajurit yang menyelam ke dalam danau bergerak-gerak. Mereka menarik tali tersebut bersama-sama. Sesuatu yang ganjil terasa, tali itu terlalu berat saat ditarik, bahkan ada sepuluh prajurit yang menariknya dengan susah payah.
“Apa itu!” seru mereka yang berada di permukaan.
Kedua prajurit yang menyelam membawa naik sebongkah es seukuran manusia. Mereka membawa makhluk penghuni benua ini. Di dalam balok es tersebut terlihat sosok asing yang berbeda dengan penghuni benua utama.
“Lihat, rambutnya putih,” ucap salah satu prajurit yang mendekati balok es tersebut.
Salah satu dari prajurit tersebut berteriak, “Hubungi Tuan Leiz, katakan kita menemukan apa yang dia cari!”
Dua prajurit mengangguk dan berlari ke arah berlawanan dari danau tempat mereka bekerja. Keduanya menuju sebuah rumah semi permanen yang dibangun mendadak di tempat itu satu bulan yang lalu.
“Tuan ... Tuan Leiz!” teriak prajurit tersebut. Dia memberi salam kepada pria yang menjadi atasannya sebelum melapor.
“Ada apa?” balas pria tersebut saat melihat dua orang prajurit datang menghadap dirinya.
“Kami menemukan sebuah balok es yang di dalamnya terdapat seorang pemuda dengan rambut seputih salju,” jawab salah satu dari keduanya.
Pria yang sudah memiliki usia lebih dari satu abad itu mulai berdiri lalu berjalan mendekati pria pembawa pesan. “Kau bilang apa?”
“Kami menemukan seorang pemuda yang membeku di danau,” ucap pria itu sedikit terbata dan bergetar melihat Leiz yang menatapnya tajam.
Pria dengan rambut mulai memutih sebagian itu berdiri tegak, senyumannya terkembang. Akan tetapi kedua prajurit yang ada di depan Leiz bergidik melihat lengkungan tipis menyerupai seringai yang dilanjutkan dengan tawa lepas.
“Akhirnya ketemu juga,” ucap Leiz dengan senangnya, “apa dia membawa harpa?” tanya Leiz selanjutnya menatap pria yang menyampaikan pesan. Matanya menatap keduanya bergantian. Sementara kedua prajurit itu hanya menggelengkan kepala.
“Tidak ada!” teriak Leiz geram, dia langsung meninggalkan pembawa pesan.
Leiz berjalan tergesa-gesa serta sedikit berlari menuju tempat pemuda yang ditemukan prajuritnya. Leiz berhenti dan mengamati sebuah balok es besar seukuran manusia. Seperti yang dikatakan pembawa pesan, pemuda dalam balok es tersebut memiliki rambut putih seputih salju.
“Lixue,” gumam Leiz memperhatikan bongkahan balok es bening yang membungkus pemuda tersebut. Dia pun mendekat dan menyentuh balok es besar tersebut dan perlahan es tersebut mencair.
“Apa ini, dia bahkan tidak basah meskipun tenggelam,” batin Leiz memperhatikan pakaian pemuda yang diduga sebagai Lixue tersebut. Leiz mendekatkan tangannya hingga menyentuh sesuatu yang tak kasat mata menyelubungi pemuda tersebut.
“Barrier,” gumamnya.
“Tuan Leiz.” Seorang prajurit memberanikan diri memanggil pria dengan rambut yang sebagian sudah memutih. Pria yang dia panggil menoleh dengan kesal.
“Ada apa?” jawab Leiz menoleh ke arah prajurit tersebut.
Prajurit tersebut menunjuk ke arah lain dan mata Leiz mengikuti ke arah yang ditunjukkan, matanya menyipit dan melihat sekelebat bayangan dari jauh.
“Blackdragon, apa yang dia lakukan di sini,” gumam Leiz saat melihat sosok familier yang baru saja masuk ke dalam hutan. Leiz berbalik lalu mengangkat pemuda di depannya seorang diri.
“Siapkan kereta kuda, kita kembali ke istana sekarang!” perintah Leiz.
“Baik!” jawab serentak prajurit yang berada di sekitar Leiz.
Mereka bergegas mengemasi semua perlengkapan dan menyiapkan kereta kuda. Sementara itu Leiz membawa pemuda itu ke tempat peristirahatannya. Dia meletakkan pemuda itu di atas tempat tidur secara perlahan. Tangan Leiz menyentuh sebuah anak panah di punggung pemuda itu.
“Tidak salah lagi, dia pasti Lixue, tetapi di mana harpanya?” gumam Leiz. Dia mencabut anak panah tersebut dan seketika barrier pelindung pemuda itu menghilang.
Leiz memperhatikan pemuda itu perlahan membuka matanya. Dia masih belum merespon keberadaan Leiz yang duduk di pinggir tempat tidurnya.
“Di mana ini?” ucap pemuda itu menoleh ke arah Leiz lalu kembali memindai ruangan asing tempatnya berada saat ini.
“Tenanglah, kau aman,” balas Leiz dengan ramah.
Leiz terlihat seperti seorang kakek yang penyayang dan lembut, dia membelai pemuda itu untuk menenangkannya.
“Tuan Leiz!”
Seorang prajurit masuk tanpa mengetuk pintu membuat pemuda yang baru saja siuman tersebut menjadi waspada. Matanya nyalang dan dalam sekejab dia membekukan prajurit tersebut. Pemuda itu masih siaga saat Leiz ternganga melihat kecepatan serangannya.
“Es, kekuatan es yang luar biasa,” gumam Leiz memperhatikan pemuda di sebelahnya yang saat ini sudah mengubah posisinya. Dia tidak lagi berbaring, tetapi sudah membuat kuda-kuda untuk siap menyerang.
“Tenang,” ucap Leiz berusaha membuat pemuda di depannya tenang. “bisakah kau mengembalikan pria itu? Dia anak buahku,” pinta Leiz berhati-hati bicara karena pemuda di depannya bukanlah orang biasa.
Pemuda itu menatap Leiz. Sesaat kemudian dia kembali rileks dan mengembalikan prajurit tersebut seperti semula. Prajurit itu melihat kode yang diberikan Leiz dan segera meninggalkan ruangan tersebut.
“Siapa namamu?” tanya Leiz perlahan.
Pemuda itu tidak langsung menjawab, dia memperhatikan ruangan tempatnya berada saat ini, setelah merasa aman, pemuda itu duduk kembali di sebelah Leiz.
“Lixue,” jawab pemuda itu, “ada yang mengejarku,” lanjutnya. Pemuda bernama Lixue itu terdiam seperti sedang berpikir. “Aku terjatuh.”
Pemuda itu terlihat bingung, dia kembali menatap Leiz dengan sepasang mata bulat kehitaman lalu bertanya, “Siapa Anda?”
“Namaku Leiz. Anak buahku yang menemukanmu tenggelam di dasar danau,” balas Leiz.
“Kau mencari harpa?” tanya Lixue masih menatap Leiz.
Leiz tersenyum lembut, dia melepas jubah tebal dari bulu binatang dan memakaikannya ke tubuh ramping Lixue. “Lebih baik pulihkan dirimu, kau terlihat kedinginan,” ucap Leiz sebelum melanjutkan menjawab pertanyaan Lixue dia memanggil pelayannya untuk menyiapkan semangkok sup hangat.
“Menurutmu, apa aku mengincar harpamu?” tanya Leiz. dia melihat Lixue mengeratkan jubah pemberiannya. senyuman Leiz terkembang.
Seorang pelayan masuk dengan semangkok sup yang diberikan kepada Leiz. “Makanlah, kau perlu menghangatkan tubuhmu terutama perutmu yang kosong selama ini,” ucap Leiz. Dia hendak menyuapi Lixue, tetapi pemuda itu menolak dan mengambil mangkok tersebut dan memakannya sendiri.
“Terima kasih atas kebaikan Anda,” balas Lixue berusaha memberikan sebuah senyuman. Dia masih belum bisa mempercayai pria tua di depannya. Namun, kebaikan kecil Leiz meluluhkan hati Lixue.
“Aku memerlukan harpa itu untuk rakyatku. Tanah kami tandus dan mereka mulai kelaparan,” lanjut Leiz dengan wajah memelas, menunjukkan kepeduliannya kepada rakyat kecil yang kelaparan.
“Apakah itu benar?” sambung Lixue, dia tidak percaya sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Leiz tersenyum lembut dan menepuk pundak Lixue. “Aku tidak akan memaksamu, kau tidak perlu terburu-buru, satu hal saja yang perlu kau ingat berhati-hatilah dengan keluarga Blackdragon. Merekalah yang mengincar harpamu.” Leiz memberikan informasi palsu tentang keluarga Blackdragon.
Senyuman Leiz mulai terkembang saat Lixue terlihat mulai nyaman bersamanya. “Kau akan memberikan harpa itu untukku tanpa perlu kupinta,” batin Leiz merasa yakin.
Yui dan Yuan berdiri di luar dinding istana, hembusan angin lembut membelai rambut mereka. Jemari mereka dengan hati-hati menaburkan benih-benih ajaib dari dunia atas ke tanah yang dahulu gersang. Di bawah sentuhan mereka, dunia bawah yang dulunya kelam kini dipenuhi berbagai warna—hijau rumput yang merayap, kuning keemasan bunga-bunga liar, segala macam tanaman mulai mengular dari dalam tanah. Yui menoleh, alisnya berkerut melihat saudaranya. "Yuan, kau tidak apa-apa?" tanyanya, memperhatikan kembarannya yang tengah memainkan harpa keemasan—benda legendaris yang diperebutkan banyak makhluk.Yuan menggeleng pelan, jemarinya masih menari di atas senar harpa. "Tidak apa-apa," jawabnya singkat, matanya tetap terfokus pada alat musik di tangannya.Kebangkitan Yuan beberapa waktu lalu sungguh menggemparkan seluruh kerajaan. Bukan hanya wujudnya yang telah berubah sempurna sebagai raja kegelapan, tetapi juga reaksi tidak biasa dari harpa ajaib tersebut. Harpa keemasan itu bersinar terang,
Cahaya keemasan menyusup di antara dedaunan saat Raja Arlen membimbing Yui menyusuri jalan setapak menuju area tidak jauh dari Pohon Kehidupan. Angin lembut menerbangkan helaian rambut Yui, sementara matanya menangkap sosok Rafael yang tengah berbincang serius dengan Moura di kejauhan, wajah keduanya tampak khidmat di bawah naungan cabang-cabang raksasa."Sebelah sini," ujar Raja Arlen sambil menunjuk dengan jemarinya yang panjang dan ramping. Jubah kerajaannya berdesir lembut menyapu rumput saat ia memimpin Yui menuju sebuah pondok mungil yang hampir tersembunyi di balik rimbunnya aneka bunga warna-warni. Aroma manis nektar merebak di udara, menggelitik indra penciuman.Pintu pondok terbuka dengan derit pelan. Seorang pria melangkah keluar, mengenakan tunik berwarna lumut khas kaum elf yang melekat sempurna di tubuhnya. Namun, tidak seperti para elf lainnya, telinga pria itu tidak meruncing dan wajahnya tidak memancarkan keanggunan abadi yang biasa dimiliki kaum elf."Yoru!" pekik Y
Yui mendarat dengan lincah setelah melompat dari punggung Fury, naga hitam milik Rafael. Rambut panjangnya melambai tertiup angin saat kakinya menyentuh tanah. Matanya berbinar melihat sosok yang telah menunggunya."Kakak!"Yui menghambur ke pelukan Yuasa, jemarinya mencengkeram erat jubah sang kakak sementara aroma khas dedaunan segar menguar dari tubuh Yuasa. Mata keduanya berkaca-kaca, pertemuan yang menggetarkan jiwa setelah sekian lama terpisah."Kau baik-baik saja, Yui? Bagaimana tubuhmu setelah bangkit kembali?" tanya Yuasa sambil meneliti setiap inci wajah adiknya. Jemarinya yang ramping menyentuh pipi Yui, memancarkan energi keemasan yang menelusuri setiap sel dalam tubuh sang adik. "Setelah semua ini selesai, biarkan kakak menyembuhkanmu."Dahi Yuasa berkerut dalam. Sensasi dingin menjalar dari tubuh Yui—sesuatu yang sangat janggal. Api Suzaku yang seharusnya berkobar hangat kini terasa beku seperti es abadi."Tentu, untuk saat ini kakak fokus saja dengan pernikahan. Urusan
Malam di Kota Naga. Bintang-bintang bertaburan seperti permata di langit malam Kota Naga. Rafael berdiri sendirian di balkon gedung tertinggi, kedua tangannya mencengkeram pagar besi yang dingin sementara matanya menelusuri konstelasi-konstelasi yang berkilauan. Hembusan angin malam meniup rambut gelapnya, mengirimkan sensasi dingin yang menusuk tulang, namun Rafael tak bergeming.Suara langkah kaki lembut terdengar di belakangnya. Rafael menoleh, alisnya terangkat saat mengenali sosok yang mendekat."Yuichi?"Sosok itu tersenyum. Wajahnya merupakan versi maskulin dari Yui, garis rahang yang sama, mata yang sama, tetapi dengan ketegasan yang hanya dimiliki seorang ayah."Sendirian?" tanya Yuichi, suaranya merdu membelah keheningan malam.Rafael mengangguk pelan, lalu menggerakkan tangannya ke arah kursi kosong di sampingnya. Yuichi melangkah maju dan duduk, jubah hitamnya melambai pelan tertiup angin."Malam ini indah meskipun tanpa bulan," ucap Rafael, matanya kembali menatap cakraw
Bunga putih mungil bertebaran di aula, mirip kepingan dandelion yang rapuh. Setiap tamu berjalan perlahan, meletakkan bunga kecil tanda penghormatan terakhir. Bunga-bunga itu mencerminkan ketangguhan luar biasa, seperti kehidupan yang bertahan di balik kerasnya dunia bawah, membisu namun tak terkalahkan. Mereka menyebutnya bunga bintang roh. Eirlys menatap Yuan yang terpejam, sosoknya tenang seakan tertidur lelap. Alunan harpa mengalir lembut memenuhi aula, melukiskan kesedihan yang mencekam setiap sudut ruang. Matanya menyipit saat menyadari bunga putih di dekat Yuan mulai membeku, embun es merangkak perlahan mengubah kelopak menjadi kristal dingin. Hawa sejuk mulai merambat, menusuk tulang."Mungkinkah?!"Dalam sekejap, Eirlys bangkit dari tempatnya. Langkahnya cepat mendekati peti kaca tempat Yuan dibaringkan. Jemarinya mendorong penutup tebal dengan tekad membara. Jantungnya berdebar dengan kencang, sebuah api harapan muncul. "Putri Eirlys, relakan Yang Mulia!" Xavier bergerak c
Senar harpa emas kaum elf bergetar lembut, berbeda dari instrumen biasa. Energi yang digunakan untuk menggerakkan senar ini sangat banyak. Eirlys membiarkan jemarinya terkulai di atas senar, tenaga terampas habis. Napasnya terengah-engah, seakan udara di sekitarnya menghisap oksigen dari paru-parunya."Eirlys!" Lixue melompat mendekati, gemetar mengambil harpa keemasan dari tangan sang adik. Dengan lembut, dia meletakkan instrumen berkilau itu di meja terdekat. "Istirahatlah sekarang." Lengannya melingkari pinggang Eirlys, memapah tubuh lemah itu menuju kursi panjang. Dengan hati-hati, dia mengangkat kaki adiknya dan membiarkan Eirlys setengah berbaring."Kak, bagaimana Yuan?" bisik Eirlys, kekhawatiran menembus kelelahan yang menyelimutinya.Lixue menggenggam tangan adiknya, mencoba menenangkan. "Dia akan baik-baik saja. Ingat, Tuan Xavier dan Tuan Ernest sedang menyiapkan ramuan untuknya." Dalam hati, dia berdoa agar takdir berkata lain. “Semoga Yuan bertahan, setidaknya biarkan Eir