Ketika hari sudah mulai gelap, Topan dan Davina memutuskan pulang.
Keduanya sengaja pulang malam karena tujuannya untuk mengulur waktu. Tentu, Gunawan mengharapkan keduanya mengobrol banyak hal hari itu dalam rangka mengenal satu sama lain. Begitu Davina turun dari mobil, ia mengernyitkan kening saat melihat sebuah mobil terparkir di depan halaman rumahnya. Sepertinya sedang ada tamu. Lalu, keduanya pun berjalan masuk ke dalam rumah. Davina langsung tersentak tatkala mendapati Elias bersama dua orang tengah duduk di sofa ruang tamu. Ada Ayah dan Ibu tirinya pula di sana. Melihat kedatangan mereka berdua, Gunawan langsung menatap Davina dan lalu beralih menatap Topan dengan serius. "Apa benar, kalau kamu menampar dan memukul Pak Elias, Topan?" Sebelum Topan sempat menjawab, Indira menyeletuk. "Kubilang apa, tunangannya Davina ini seorang berandalan. Belum ada satu hari datang ke sini saja, sudah membuat masalah!" "Apa jadinya jika dia sampai menjadi bagian dari keluarga kita?!" Mendengar itu, Gunawan langsung menatap istrinya tajam. "Jangan asal menilai Topan karena kita belum tahu kebenarannya!" Tanpa menunggu respon sang istri, Gunawan menghadap Topan kembali. "Ayah tahu, kamu melakukan hal itu karena pasti memiliki alasan yang kuat." Ia menghela napas berat saat melanjutkan. "Bisa kau jelaskan pada Ayah apa yang terjadi?" Topan mengangguk. "Aku melakukan hal itu demi melindungi Davina, Ayah. Dia sudah berani menyentuh Davina tadi!" Dengan menggeram selagi menatap Elias tajam, mulut Topan kembali bicara, "Sebagai tunangannya, jelas aku marah!" "Saya dan Nona Davina itu terlibat urusan bisnis. Tapi, kau menganggapnya berlebihan!" sergah Elias dengan nada meledak-ledak. Topan mendengus. "Tapi kau memiliki niat lain. Kau ingin meniduri tunanganku!" Sontak, Gunawan dan Indira terbelalak mendengarnya. Begitu pula dengan Davina. Ia tidak menyangka Topan akan membeberkan hal yang coba ia tutupi dari Ayahnya. Sementara Elias sedikit gelagapan. Seketika dia berpikir keras. "Benar begitu, Pak Elias?!" tanya Gunawan dengan wajah mengeras. "Anda hendak meniduri putri saya?!" "Jangan percaya padanya, Pak Gunawan–" "Topan tidak berbohong!" sambar Davina menyela perkataan Elias. Meski ia tahu bahwa ia tidak mungkin menang melawan Elias, tapi kalau dipikir-pikir lagi, Ayahnya harus tahu hal itu. Ia juga berharap Ayahnya bisa membantunya. Sedangkan Topan masih entah lah. Ia masih ragu dengan pria itu yang benar bisa diandalkan atau tidak! Lalu, Davina pun menceritakan kejadian itu kepada Ayahnya. "...dan untungnya, Topan menyelamatkanku, Yah!" Mendengar itu, Elias mengumpat kesal sekaligus terlihat cemas. Sementara Topan hanya tersenyum kecil melihat Davina membelanya. "Iblis kau! Aku sebagai Ayahnya tak terima! Dia darah dagingku dan kau hampir menghancurkannya!" teriak Gunawan dengan suara menggelegar. Namun, Elias menganggap remeh kemarahan Gunawan. "Saya rasa kita tak perlu membesar-besarkan masalah itu, Pak Gunawan. Kita bisa selesaikan secara kekeluargaan. Toh, saya belum sempat meniduri putri anda!" Selagi Gunawan menggeram, Elias lanjut bicara, "Baik lah. Saya mengaku salah dan saya minta maaf!" "Maaf?! Kau pikir kata itu bisa menghapus ingatan akan kejadian itu begitu saja dari benak Davina?!" balas Gunawan dengan emosi membuncah. Elias menghela napas panjang, berusaha mengontrol dirinya. "Kuanggap, masalah itu selesai dan kita lanjutkan bahasan tentang saya yang mau memberi pelajaran kepada tunangannya Davina!" Mengabaikan Gunawan, Elias berganti menatap Topan. "Aku tidak akan memperpanjang masalah kau yang menampar dan memukulku, asalkan... " sudut bibir Elias terangkat membentuk senyuman licik. "Kau meminta maaf dan bersujud di kakiku!" "Dan jangan coba main-main denganku karena aku memiliki kenalan seorang ketua mafia dan seorang polisi!" Davina langsung lemas. Uang dan kekuasaan yang dimiliki Elias tentu akan menyudutkan keluarganya. Mendadak, ia khawatir. Gunawan sendiri tersentak, mendadak memikirkan sesuatu. Apa yang akan Topan putuskan? Bagaimana mungkin seorang Raja Gangster Valdoria merendahkan dirinya kepada seseorang yang tidak ada apa-apanya di matanya? Sebabnya ingin segera menyelesaikan Elias, Gunawan berseru, "Kau akan langsung berakhir mengenaskan karena seseorang yang kau hadapi ini adalah..." "Biar aku saja yang selesaikan masalah ini, Ayah!" ucap Topan memotong ucapan Gunawan seraya memberikan kode melalui gerakan mata. Tau maksud kode tersebut, Gunawan mengangguk dan menghembuskan napas berat. Hampir saja ia keceplosan! Meski Davina penasaran dengan apa yang akan Ayahnya katakan, tapi ia tidak terlalu memikirkannya. Melihat Topan bersikap demikian, Davina langsung memperingati. "Kau ingat apa yang kukatakan tadi, 'Kan?!" Namun, Topan tak mempedulikan peringatan dari Davina. Topan, dengan gigi gemeretak berseru. "Aku tak sudi meminta maaf dan bersujud di kakimu! Justru, kau lah yang seharusnya melakukan hal demikian pada Davina!" "Dan jangan kira aku akan takut dengan dua kenalanmu yang seorang ketua mafia dan polisi yang kau bawa ini!" Mendengar hal tersebut, mata mereka bertiga seketika melebar! Sementara itu, setelah tersadar dari keterkejutannya, Davina mendelik. "Topan! Bukankah sudah kubilang untuk tidak bertindak gegabah!?" Lagi-lagi, Topan tak mengindahkan peringatan dari Davina. "Topan! Lakukan saja permintaan Pak Elias!" Indira berseru seraya bangkit dari kursinya. "Kalau mau mati, mati sendiri sana. Jangan bawa-bawa kami. Pak Elias ini bukan orang sembarangan. Dia itu lebih kaya dari keluarga ini!" "Aku tetap tidak akan melakukannya dan aku tidak peduli siapa dirinya!" Sedangkan Gunawan memilih diam. Ia akan menyerahkan sepenuhnya kepada Topan. Di saat ini, kenalan Elias yang seorang ketua mafia angkat bicara, "Yakin kau tidak akan menuruti permintaan Pak Elias?!" wajahnya mengeras. "Kalau kau tak mau melakukannya, aku akan memenjarakanmu karena kau telah menghajar Pak Elias sebelumnya dan juga mencemarkan nama baiknya!" ucap kenalan Elias satunya yang merupakan seorang polisi. Topan menyeringai. "Percuma, ancaman kalian tak kan mempan bagiku! Karna aku tak takut sedikit pun dengan kalian!" Seketika wajah Elias berubah buruk. Tapi sebuah ide tiba-tiba melintas di benaknya. Elias, dengan senyuman licik menatap ke arah Davina. "Saya kenal dekat dengan Presdir Dharma Corp. Saya bisa saja meminta beliau untuk memecat anda!" "Kalau tunangan anda tidak mau meminta maaf dan bersujud di kaki saya, saya terpaksa akan membuat anda kehilangan pekerjaan, Nona!" Davina terkesiap, lantas menggeleng. Kehilangan pekerjaan? Tentu, ia tidak mau! Melihat wajah Davina yang pucat, Elias tersenyum penuh kemenangan. Merasa sudah tidak bisa berbuat apa-apa, Davina terpaksa menurut dengan Elias. Namun, di saat Davina begitu ketakutan dan senyum kemenangan menghiasi wajah Elias, Topan hanya tersenyum penuh arti. Ia lalu menatap Elias dan berkata, “Dharma Corp, katamu? Aku harap mereka tak berbuat buruk padamu saat tahu kau tengah berurusan denganku…”"Kenapa kamu masih berdiri di situ sayang?" Perkataan Davina membuat Topan tersadar dari keterkejutannya. Davina menambahkan dengan tatapan dan senyum nakal. "Kemari lah, sayang. Aku ... " Davina melirik dirinya yang tengah berpose menggoda, hanya sekadar ingin memperlihatkan apa yang tengah ia lakukan kepada sang suami. "Bukannya langsung kemari dan menerkamku saat melihatku dalam keadaan seperti ini." Tepat Davina menyelesaikan kalimatnya, Topan buru-buru menarik kaos yang melekat di tubuhnya. Gerakannya cepat, hampir tergesa, hingga kaos itu terlepas begitu saja dan terlempar ke sisi ranjang. Setelah itu, ia bergegas menuju ke arah ranjang dengan rasa bahagia membumbung tinggi dan hasrat yang telah memuncak. Apalagi saat mendapati istrinya telah terbuka sepenuhnya. Baik hati mau pun tubuhnya. Tentu saja kali ini Topan tidak lagi menahan diri seperti sebelumnya. Pun sudah tidak ada keraguan sedikit pun. Di hadapan sang istri, perut bidang dengan otot-otot sispack yang
Davina menelan ludah, tubuhnya tiba-tiba menegang begitu merasakan bisikan Topan yang sangat dekat di telinganya. Panas merambat di wajahnya seketika. Di titik ini, ia teringat perkataannya tadi tentang hal itu dan kini membuatnya malu bukan main. Akhirnya, setelah berhasil menguasai diri, Davina menganggukan kepalanya pelan. Setelah itu, ia langsung memalingkan muka sebab tidak tahan bertatapan dengan sang suami. Meski hanya lewat anggukan kepala, itu sudah membuat senyum tersungging lebar di bibir Topan. Seketika hatinya langsung berbunga-bunga. Sementara itu, Davina menahan napas, hatinya tengah berdegup kencang. Selama ini ia selalu menolak, galak, bahkan jutek pada Topan. Tapi sekarang, entah mengapa, ia merasa ingin menyerah pada dekapannya. Dengan perasaan senang, Topan kembali mendekat perlahan, penasaran apakah Davina akan menggeser tubuhnya atau tidak. Tapi ternyata tidak, Davina tetap bergeming meski Topan menyadari sang istri gugup. Untuk menutupinya, Davina men
Setelah beberapa saat Davina terdiam agak lama dengan napas naik-turun, ia memejamkan mata, tengah mencerna semuanya. Akhirnya, dengan berat hati, ia membuka mata. Davina, dengan nada getir berkata lirih, "Baiklah, aku percaya kali ini." Mendengar itu, Topan terperanjat. Sedangkan Indira terkejut. Tanpa mempedulikan reaksi keduanya, Davina menatap dalam mata Topan. "Karena aku tahu kamu bukan tipe pria yang memaksakan diri. Dan... karena aku juga tahu Indira terlalu membencimu untuk mau benar-benar bersama denganmu." Seketika wajah Topan dipenuhi haru sekaligus lega. "Terima kasih sayang. Terima kasih karena kamu sudah mau percaya." Balas Topan dengan bibir dan suara bergetar seraya menggenggam tangan sang istri. Indira yang melihat pemandangan itu jadi kesal. Rasa cemburu kembali membakar dirinya. Entah kenapa, setiap kali melihat keduanya memamerkan kemesraan di hadapannya, hatinya memanas. Namun kali ini ia mencoba menekan perasaan itu sebab posisisnya yang tengah terancam.
Tanpa diminta, Topan lanjut menjelaskan kejadian tadi di dalam kamar mandi, tentu saja tidak menyertakan apa yang dilakukan dengan sengaja oleh Indira kepadanya. Begitu mendengar penjelasan Topan, Davina tercekat. Kata-kata itu membuatnya terdiam sejenak, meski rasa sakit di hatinya belum berkurang. Sedangkan Indira tercengang, tapi ia segera sadar bahwa pria tampan itu sedang menutup mulutnya rapat-rapat tentang apa yang sebenarnya terjadi. Demikian, ia juga terpaksa harus melakukannya. Tanpa menoleh ke belakang, Davina angkat bicara. "Kau pikir aku percaya begitu saja?!" suara Davina meninggi, penuh dengan luka yang tak terbendung. Didengar dari nada bicaranya, kentara masih marah. Topan memasang wajah tidak berdaya, tapi ia tetap berusaha meyakinkan sang istri. "Kamu mau percaya atau tidak, tapi itu yang terjadi, sayang. Aku tidak bohong. Aku bersumpah, sayang. Tidak terjadi apa-apa antara aku dan Ibu di dalam kamar mandi. Aku tidak pernah sekalipun berniat mengkhianatimu, apa
Davina melangkah mundur, dadanya tengah naik turun menahan gejolak. Wajahnya seketika pucat. Jantungnya berdentum keras, seakan tidak mampu menerima apa yang baru saja disaksikan. Ada panas yang menjalar di matanya, bercampur antara kemarahan dan rasa sakit yang menikam. "Aku baru saja pulang dan mendapati Ibu tiriku ada di dalam kamarku dengan hanya mengenakan handuk saja di tubuhnya dan lalu kau muncul dari dalam sana juga!" seru Davina parau, seperti pisau yang tergores di tenggorokan. "Berarti, sebelumnya kalian berdua berada di dalam, bukan? Apa aku terlihat sebodoh itu untuk tidak mengerti?!" Lanjut Davina dengan suara meninggi sekaligus bergetar. Sebab kini ia langsung berpikir yang tidak-tidak, langsung berpikir kalau keduanya berbuat hal mesum di dalam kamar mandi! Indira sendiri memilih menunduk, wajahnya juga pucat, pura-pura tidak berdaya, membiarkan keduanya salah paham. Meski ia masih takut dengan sosok Topan, tapi ia menikmati situasi ini, menyaksikan Davina run
Namun, begitu bayangan tatapan tajam Topan kembali terlintas, ide itu seketika gugur. Aura dingin dan mengerikan yang sempat membuat tubuhnya bergetar masih membekas. Ancaman Topan seolah bergema kembali di telinganya: 'Kalau aku tahu kau bermain di belakang Ayah Gunawan, aku sendiri yang akan mengadukannya.' Kala teringat hal itu, ketakutan langsung melanda diri Indira. Indira menggigit bibir bawahnya, lalu buru-buru menepis pikiran busuk itu. Ia sadar, mencoba menjebak Topan hanya akan menjadi bumerang besar untuk dirinya sendiri. Akhirnya, setelah terdiam sesaat, Indira kembali menatap Davina. Ia menghembuskan napas berat dan berkata, "Sungguh, Davina. Aku hanya mau mandi saja di dalam kamar mandimu karena shower di kamar mandiku rusak. Hanya itu saja dan ini aku sudah selesai mandi dan sebenarnya mau langsung pergi tapi kau keburu datang!" Indira mengulangi penjelasannya, berusaha meyakinkan Davina. Sedangkan Davina memicingkan pandangan mendengar hal itu, mencerna penjela