Calvin duduk tenang di kursi samping ranjang Raymond. Kedua jarinya menempel pada pergelangan tangan pasien itu. Denyut nadi Raymond bahkan lebih lemah dari beberapa menit lalu, menandakan jika keadaan Raymond memang berada di ambang kematian.Segera, Calvin mengalirkan energi dari dalam tubuhnya, menembus titik-titik vital yang nyaris padam. Energi itu memicu reaksi regenerasi dengan kecepatan tinggi, membuat organ-organ vital Raymond mengalami pemulihan secara signifikan. Dan, begitulah Calvin Reed dijuluki dengan Dewa Obat oleh pasien-pasiennya. “Ehm…”Calvin mendadak berdeham, lebih tepatnya, dia terbatuk tetapi menyamarkannya. Ada nyeri hebat menghantam kepalanya. Setiap beberapa detik sekali, rasa sakit menyergap tubuh Calvin. Tulang belakangnya seolah ditusuk dari dalam, membuat keringat dingin turun di pelipisnya. Cukup deras hingga Brandon melihatnya dengan sangat jelas.“Mr. Reed, apakah anda baik-baik saja?” tanya Brandon Lee ragu-ragu.Pertanyaan itu hanya dijawab dengan
Pagi hari di Regal Ridge Villa.Calvin Reed telah berpakaian rapi dan bersiap pergi meninggalkan Dahlia yang masih tidur terlelap. Malam yang melelahkan memang harus dibayar dengan tidur yang lama, dan Dahlia sedang melakukannya. Karena tak mau menginterupsi istirahat Dahlia, ia melangkah keluar tanpa suara. Pintu kamar ditutup perlahan, membiarkan Dahlia terlelap bersama dengan kehancuran di dalam kamar.Calvin keluar dari villa lalu memesan taksi. Taksi itu meluncur melewati jalanan Maplewood yang baru saja ramai. Pagi tampak biasa bagi dunia luar, tapi untuk Calvin, hari ini akan mengubah segalanya. Hanya saja, ia belum menyadari perubahan itu.Beberapa puluh menit berselang, taksi yang ia naiki telah tiba di sebuah rumah sakit swasta di pusat kota. Bangunannya menjulang dengan kaca bening, menandakan kemewahan yang hanya bisa dinikmati segelintir orang. Calvin menatap sebentar papan nama rumah sakit itu, lalu melangkah masuk.Lorong rumah sakit sunyi, hanya sesekali perawat melin
Setelah mobil William menghilang dari area Villa, Calvin membalikkan badan, diikuti oleh Dahlia dan mereka melangkah memasuki villa. Regal Ridge Villa tenang malam itu. Pintu utama tertutup di belakang mereka, menciptakan suasana hening yang membuat Dahlia merasa canggung.Calvin melepas jasnya dan menaruhnya di sandaran sofa. Dahlia masih berdiri di dekat pintu, matanya menyapu seluruh ruangan, dari rak buku, sofa kulit, hingga jendela besar yang menghadap ke taman.“Kau bisa duduk,” kata Calvin. Suaranya tenang, nadanya tidak memaksa. “Kau butuh istirahat.”Dahlia berjalan ke sofa, menarik napas pelan sebelum duduk. Clutch kecilnya ia letakkan di samping, jemarinya masih terasa dingin.“Aku akan membuatkanmu minuman,” ucap Calvin sambil menuju dapur terbuka. “Teh saja. Kau tak terlihat cocok untuk kopi di jam seperti ini.”“Terima kasih,” jawab Dahlia singkat. Ia mengikuti pergerakan Calvin dengan pandangan, tapi tidak bertanya apa pun. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalanya
Dahlia menunduk, matanya masih basah. “Kau selalu bisa berkata seenaknya.”Calvin mengangkat bahunya seolah tidak peduli, tapi genggaman tangannya di pinggang Dahlia tetap kokoh, seperti memberi pesan tanpa kata: kau aman sekarang.Sementara ia membawanya keluar, tak begitu jauh di depan pintu VIP, seorang pelayan berjalan cepat begitu mendengar keributan dari ruangan Corey Turner. Refleks, pelayan tersebut terkejut bukan main saat melihat puing-puing kehancuran yang tampak dari kejahuan.Pelayan itu menghentikan langkahnya, membeku menatap Calvin Reed yang berjalan sembari membopong seorang perempuan.“Tagih semua kerusakan malam ini pada Corey Turner,” ucap Calvin kepada si pelayan. “Botol yang pecah, meja yang hancur, karpet yang kotor, semuanya. Kalau dia keberatan, bilang saja Calvin Reed yang akan menagihnya, berikut dengan bunga dan dendanya.”Pelayan itu menelan ludah, lalu mengangguk cepat. “Baik, Tuan Muda.”Begitulah, Calvin melewati pelayan itu dan berjalan lurus menuju ke
Sedetik setelah mengucapkan kalimat itu, Calvin menghantamkan pukulannya tepat mengenai ujung bibir Corey Turner.Pria itu terhuyung, punggungnya menghantam rak minuman hingga botol-botol anggur tua berderak. Satu botol pecah, aroma anggurnya bercampur bau logam dari darah yang merembes di sudut bibirnya.“Arrgh!” Jeritan Corey Turner menggema di seluruh ruangan.Calvin Reed berjalan pelan ke arahnya. Tidak tergesa. Tidak terengah. Seolah ia sedang memilih apakah akan mematahkan Corey Turner di bagian kaki, atau tangan, atau rusuk.“Masih berniat menculik dan menghajarku?” suara Calvin datar, tapi di dalamnya ada gema kemarahan yang menekan udara ruangan.Corey memaksa berdiri. “Reed… kita bisa bicara…”Calvin menghantam perutnya dengan satu pukulan keras. Udara di paru-paru Corey keluar seperti napas terakhir orang sekarat. Tubuhnya terlipat dua, lututnya nyaris menyentuh karpet.“Bicara? Bicara itu untuk orang yang tahu batasnya,” Calvin meraih kerah jas Corey, menyeretnya maju lalu
Begitu mobil William berhenti di area drop-off Lucerna Lounge & Dining, dua pria berjas hitam langsung bergerak mendekat.“Maaf, restoran ini dibooking penuh oleh seorang tamu penting. Kami tak menerima customer lain untuk malam ini,” ujar salah satu dengan nada sopan tapi jelas-jelas siap menutup jalan.William keluar lebih dulu, mencoba prosedur formal. “Kami tidak datang untuk makan. Ada urusan pribadi yang harus kami selesaikan dengan tamu penting kalian.”“Anda bisa menyelesaikannya di lain waktu,” potong petugas satunya. “Lucerna tidak menerima tamu tak diundang, apalagi malam ini. Pemesannya sangat tegas soal privasi.”Dari dalam mobil, Calvin Reed turun perlahan. Tangannya menyelip di saku celana, bahunya sedikit condong ke depan, tatapannya datar tapi menekan.“Ehm, dengar kata-kataku ini karena aku tak akan mengulanginya lagi,” ujar Calvin kepada penjaga, ia melirik ke arah William sejenak lalu menatap tajam pada penjaga pintu, “saat mengamuk, temanku ini bisa mengacaukan se