“Masuklah, Xavier,” balas Calvin dari dalam.“Dan kalian berdua,” ujar Calvin kepada Dahlia dan Jill. “Simpan senjata racun kalian. Xavier bukanlah orang bisa kalian serang menggunakan racun.”Xavier adalah tangan kanan dari Eldran King. Dan itu cukup membuat Calvin memahami mengapa William tak berkutik di hadapan sosok ini. Pria ini memiliki julukan Raja Neraka di antara para War God, berurusan dengannya sama saja mengambil tiket berangkat ke neraka.Krek…Pintu kamar belakang terbuka bersamaan dengan lampu seluruh vila menyala kembali. Sosok Xavier muncul dari balik pintu dengan mengenakan pakaian serba hitam. Xavier menunduk dalam, memberi hormat kepada Calvin Reed.“Maaf karena telah membuat sedikit kekacauan di tempat anda, Mr. Reed,” ucap Xavier dengan nada datar, membuat Dahlia dan Jill sulit menebak apakah Xavier berada di pihak Calvin atau musuh.“Bagaimana keadaan William?” tanya Calvin tak kalah datarnya.Xavier menarik napas dalam. “Dia hanya kehilangan kesadaran. Jika tub
Beberapa saat berselang, lampu kamar belakang padam seketika. Gelap total menelan ruangan, seolah semua cahaya ditarik keluar begitu saja. Yang tersisa hanya suara napas tiga orang yang terjebak di dalamnya. Napas Dahlia tercekat dan terburu, terdengar jelas di keheningan. Jemarinya mencengkeram botol racun hingga buku-buku jarinya memutih, rasa dingin dari kaca botol meresap ke kulitnya. Jill berdiri di dekat pintu, bahunya kaku, otot-ototnya tegang seperti busur yang ditarik terlalu lama. Di balik genggamannya yang rapat, botol racun lain bersembunyi, siap digunakan kapan saja.Waktu berjalan lambat. Lima menit yang dijanjikan William terasa seperti penantian tanpa akhir. Setiap detik menyeret seperti menit, dan setiap menit terasa seperti satu jam penuh siksaan.Tiba-tiba terdengar letupan.DORR!Suara itu memecah udara, tajam dan menusuk. Kaca dari arah ruang tamu pecah, serpihannya berderak jatuh menghantam lantai marmer, menimbulkan gema getir. Bau debu halus ikut terbawa bersa
Matahari sudah semakin menanjak, sinarnya menembus tirai tipis Regal Ridge Villa. Calvin Reed duduk bersandar di sofa, wajahnya pucat. Efek New Moon kian nyata. Tubuhnya bergetar tipis, seperti orang yang sedang berjuang keras melawan maut. Meski matanya tetap terbuka, sorotnya tak lagi setajam biasanya.Di sisi sofa, Lucius Black mulai siuman. Kedua tangannya terborgol di belakang kursi besi, tubuhnya diikat erat dengan tali tambahan di dada dan kakinya. Kursi itu sengaja diposisikan menghadap William Jones yang berdiri tegap, wajahnya dingin bagai batu.Lucius tersenyum samar, bibirnya masih berlumur darah. “Begini caranya kalian memperlakukan tamu?” tanyanya dengan nada meremehkan. “Aku kira Dewa Perang punya tangan kanan yang lebih pantas. Ternyata hanya anak kecil dengan wajah kotor.”William hanya menatap lurus, tidak terpancing. Sorot matanya tajam, seolah menembus kebanggaan kosong Lucius.Lucius mendengus geli. “Jangan menatapku seperti itu. Kau bahkan tak punya kuasa menentu
Tubuh Lucius Black tergeletak di lantai, napasnya berat dan tak beraturan. Bau samar serbuk racun masih menggantung di udara. Jill Maxim berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang.Calvin Reed mundur perlahan, bahunya goyah, lalu dipapah oleh Dahlia hingga kembali duduk di sofa. Keringat dingin menetes dari pelipisnya, wajahnya pucat. Meski matanya tetap tajam, jelas tubuhnya berada dalam kondisi lemah.Dahlia menoleh pada Jill. “Jangan terlalu dekat dengan serbuk tadi,” katanya tegas. “Itu racun. Calvin memberikannya padaku sebelumnya, berjaga-jaga untuk situasi seperti ini.”Mata Jill membelalak. Dalam sekejap, perasaan malu menusuk dadanya. Ia sempat meragukan Calvin, mengira pria itu menyerah begitu saja dan tak memiliki rencana cadangan. Kini ia sadar, Calvin sudah mempersiapkan jalan keluar sejak awal. Ia menggenggam erat tangannya, menahan rasa bersalah.“Calvin, apa yang harus kulakukan terharap orang ini? Haruskah aku membunuhnya selagi ia lemah?” tanya Jill berharap ia bis
Calvin Reed berdiri perlahan dari sofa. Gerakannya sederhana, namun cukup untuk membuat seluruh ruangan berubah. Udara yang semula penuh dentuman pertarungan Jill dan Lucius kini seakan terkunci dalam hening yang berat.Lucius Black merasakan dingin merayap di punggungnya. Wajahnya masih menyeringai, tetapi kakinya sedikit gemetar. Kharisma Calvin yang muncul tiba-tiba membuat pikirannya goyah. Informasi yang ia terima sebelumnya menyebutkan bahwa hari ini Calvin berada dalam keadaan lemah, sekarat, karena pengaruh New Moon. Namun jika informasi itu bohong, jika Calvin masih memiliki kekuatan penuh, ia tahu satu hal pasti: dirinya tidak akan keluar dari Regal Ridge Villa dalam keadaan hidup.Calvin melangkah maju. Setiap langkahnya terdengar mantap di lantai marmer. Jill Maxim menatapnya dengan napas tercekat, matanya berkilat penuh harapan. Dahlia bahkan mencondongkan tubuhnya, seolah siap menyaksikan Calvin memusnahkan pria asing yang berani masuk ke rumah mereka.Lucius merasakan j
Calvin Reed duduk waspada di sofa, jemarinya mengetuk sandaran lengan seirama dengan detak waktu. Wajahnya tetap tenang, meski telinganya jelas menangkap bunyi gesekan halus dari gagang pintu. Dahlia melirik panik, sementara Jill meluruskan punggungnya, seolah sudah siap menghadapi sesuatu.Pintu villa berderit terbuka perlahan. Bukan dengan keras, bukan pula terburu-buru. Justru gerakannya pelan, penuh kesengajaan, seperti seseorang yang tahu bahwa setiap detik keheningan adalah pisau yang bisa menusuk saraf penghuni rumah.Seorang pria masuk, langkahnya ringan namun berirama mantap. Ia mengenakan turtleneck hitam yang menempel erat di tubuh rampingnya, dipadu celana hitam rapi. Rambut pirang keemasan tersisir rapi, kontras dengan tatapan mata abu-abu yang dingin dan menghujam. Rahangnya tegas, dan senyum samar di bibirnya seperti ejekan yang sudah disiapkan.“Hmm… tempat yang nyaman,” ucapnya, suaranya rendah tapi cukup untuk memenuhi ruangan. Tatapannya bergulir dari Calvin, lalu s