LOGINPerpisahan di Kuil Dewa Langit.
Matahari terbenam di balik puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi, mewarnai langit dengan warna jingga dan ungu. Lie Feng berdiri di depan Guru Agung, pedang Dewa Abadi terhunus di sisinya. Ia telah menguasai semua jurus silat yang diajarkan Guru Agung, tetapi hatinya dipenuhi dengan perasaan campur aduk: bangga, takut, dan juga sedikit sedih. "Lie Feng," Guru Agung memulai, suaranya berat dan berwibawa, "kau telah berhasil menguasai semua jurus silat yang telah ku ajarkan. Kau telah menjadi pendekar yang hebat. Tetapi, perjalananmu belum berakhir. Kau harus keluar dari Kuil Dewa Langit dan menghadapi dunia luar. Dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik." Lie Feng mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Saya mengerti, Guru Agung. Saya telah siap menghadapi tantangan apapun." "Bagus," Guru Agung berkata, suaranya sedikit melembut. "Tetapi, ingatlah selalu pelajaran yang telah ku ajarkan. Gunakan kekuatanmu untuk kebaikan, bukan untuk kejahatan. Lindungi orang yang lemah, dan berjuang melawan ketidakadilan." "Saya tidak akan pernah melupakan pelajaranmu, Guru Agung," Lie Feng menjawab dengan suara yang bergetar. "Pergilah," Guru Agung melanjutkan, mengangguk pelan. "Pergilah ke Gunung Tian Shan. Di sana, kau akan menghadapi tantangan yang lebih besar. Di sana, kau akan menemukan takdirmu." Lie Feng membungkuk hormat kepada Guru Agung. "Terima kasih, Guru Agung. Saya akan pergi sekarang." Lie Feng meninggalkan Kuil Dewa Langit, membawa pedang Dewa Abadi dan semua pengetahuan yang telah ia pelajari. Ia menatap ke langit malam yang gelap, dipenuhi dengan bintang-bintang yang berkilauan. Ia tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Perjalanan Menuju Gunung Tian Shan. Perjalanan Lie Feng menuju Gunung Tian Shan sangatlah panjang dan melelahkan. Ia harus melewati hutan-hutan lebat, sungai-sungai yang deras, dan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Ia menghadapi berbagai macam bahaya, seperti binatang buas, perampok, dan pendekar-pendekar jahat. Tetapi, Lie Feng selalu berhasil mengatasi semua tantangan tersebut dengan keberanian dan kecakapannya dalam ilmu persilatan. Suatu hari, Lie Feng bertemu dengan seorang wanita muda yang cantik dan anggun. Wanita itu bernama Mei Lin, dan ia adalah seorang pendekar yang terampil. Mereka saling bertukar cerita dan pengalaman, dan mereka menjadi teman baik. Mei Lin membantu Lie Feng dalam perjalanannya, dan mereka saling mendukung satu sama lain. "Lie Feng," kata Mei Lin suatu hari, "aku mendengar bahwa kau akan pergi ke Gunung Tian Shan. Gunung itu sangat berbahaya. Apakah kau yakin ingin pergi ke sana?" Lie Feng mengangguk dengan mantap. "Ya, aku yakin. Aku harus pergi ke sana untuk menemukan takdirmu." "Baiklah," Mei Lin berkata, "aku akan menemanimu. Aku ingin melihat apa yang akan terjadi." Lie Feng dan Mei Lin melanjutkan perjalanan mereka menuju Gunung Tian Shan. Perjalanan mereka semakin sulit seiring mereka mendekati gunung yang terkenal berbahaya itu. Tebing-tebing curam, jalan setapak dan licin, serta cuaca yang tak menentu menjadi tantangan tersendiri. Namun, keahlian silat Lie Feng dan kecerdasan Mei Lin membantu mereka melewati rintangan. Suatu sore, saat mereka beristirahat di sebuah lembah tersembunyi, mereka mendengar suara pertempuran dari kejauhan. Rasa ingin tahu mendorong mereka untuk menyelidiki sumber suara tersebut. Dengan hati-hati, mereka mendekati sumber suara, menyelinap di antara pepohonan dan semak-semak yang lebat. Mereka menemukan sebuah arena pertempuran yang tersembunyi di balik tebing batu. Dua orang pendekar sedang bertarung dengan sengit. Salah satunya adalah seorang pria tua dengan jubah hitam, yang tampak sangat kuat dan berpengalaman. Yang lainnya adalah seorang wanita muda dengan pakaian putih, yang tampak lincah dan gesit. "Mereka bertarung dengan sangat sengit," kata Mei Lin, suaranya berbisik. "Ya," Lie Feng menjawab, "aku rasa kita harus membantu wanita itu." Tanpa ragu, Lie Feng dan Mei Lin masuk ke arena pertempuran. Lie Feng mengacungkan pedang Dewa Abadi, sedangkan Mei Lin mengeluarkan sepasang kipas yang tampak sederhana, tetapi memancarkan aura yang kuat. "Hentikan!" Lie Feng berteriak, suaranya menggema di lembah. Pria tua itu berhenti bertarung dan menatap Lie Feng dan Mei Lin dengan tatapan tajam. "Siapa kalian?" tanyanya dengan suara berat. "Kami adalah pendekar yang kebetulan lewat," jawab Lie Feng. "Kami tidak ingin ikut campur, tetapi kami tidak bisa membiarkanmu melukai wanita itu." "Oh, begitu?" Pria tua itu tertawa dingin. "Kalian terlalu naif. Kalian tidak akan bisa mengalahkanku." "Kita akan lihat," kata Lie Feng. Ia mengayunkan pedang Dewa Abadi, melepaskan serangan yang cepat dan tepat. Pertempuran pun dimulai. Lie Feng dan Mei Lin melawan pria tua itu dengan segenap kemampuan mereka. Lie Feng menggunakan Jurus Tapak Dewa dan Jurus Kecepatan Dewa, sedangkan Mei Hua menggunakan kipasnya dengan lincah dan gesit. Mereka berhasil menahan serangan pria tua itu, tetapi mereka juga menyadari bahwa pria tua itu sangat kuat. "Mei Lin, kau gunakan jurus tercepatmu!" Lie Feng berteriak di tengah pertempuran. Mei Lin mengangguk dan melepaskan jurus tercepat yang dimilikinya. Dengan gerakan yang sangat cepat dan lincah, ia berhasil menghindari serangan pria tua itu dan memberikan serangan balik yang kuat. Lie Feng, dengan mata menyala, meluncurkan serangan dahsyat. Jurus Tapak Dewa yang menggetarkan tanah beradu dengan pukulan kuat pria tua berjubah hitam itu. Udara bergetar hebat saat kedua kekuatan itu berbenturan, menciptakan gelombang kejut yang membuat dedaunan berterbangan. Lie Feng, memanfaatkan Jurus Kecepatan Dewa, bergerak dengan kecepatan kilat, menghindari serangan balik pria tua itu yang hampir mengenai jantungnya. Pedang Dewa Abadi menyambar, menciptakan kilatan cahaya yang menyilaukan saat ia mencoba menusuk jantung lawannya. Namun, pria tua itu dengan cekatan menangkis serangan tersebut dengan tongkatnya yang terbuat dari kayu hitam pekat, suara benturannya menggelegar seperti guntur. Mei Hua, dengan kecerdasan dan kelincahannya, menciptakan ilusi dengan kipasnya. Gerakannya begitu cepat sehingga mata hampir tak mampu mengikuti. Kipas-kipas itu berputar-putar, menciptakan pusaran angin yang mengganggu konsentrasi pria tua itu. Ia mencoba menyerang, tetapi serangannya selalu meleset, terhalang oleh ilusi yang diciptakan Mei Lin. Namun, pria tua itu bukanlah orang sembarangan. Ia merasakan aura kekuatan yang terpancar dari Mei Lin, dan ia menyadari bahwa wanita muda itu bukanlah lawan yang mudah dikalahkan. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menembus ilusi tersebut. "Jurus Mata Dewa!" Lie Feng berteriak, matanya fokus pada kelemahan pria tua itu. Ia melihat bahwa pria tua itu sedikit goyah di kakinya, dan ia segera memanfaatkan kesempatan itu. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia meluncurkan serangan yang tepat mengenai kaki pria tua itu, menjatuhkannya ke tanah. Pria tua itu terhuyung, tetapi ia segera bangkit kembali. Ia menatap Lie Feng dan Mei Lin dengan tatapan penuh kebencian. "Kalian memang kuat," ucapnya dengan suara bergetar, "tetapi kalian belum bisa mengalahkanku!" Ia mengayunkan tongkatnya dengan penuh tenaga, melepaskan serangan yang dahsyat. Lie Feng dan Mei Lin berusaha menghindar, tetapi serangan itu terlalu cepat. Lie Feng berhasil menghindar, tetapi Mei Lin terkena serangan tersebut. Ia terhuyung ke belakang, darah mengalir dari lengannya. Lie Feng mengarahkan pedang Dewa Abadi ke arah pria tua itu, siap untuk memberikan serangan balik yang lebih dahsyat. Ia mengaktifkan Pedang Langit, meningkatkan kekuatan dan daya hancur serangannya. "Kau akan membayar perbuatanmu!" teriak Lie Feng.Angin malam menyapu lembut lembah Sunyi Seribu Tapak. Cahaya bulan menimpa wajah Lie Feng yang berdiri memandang jauh ke arah langit, seolah mencari jawaban yang tak pernah benar-benar ingin diberikan oleh siapa pun.“Sejak kapan kau mulai merasa bahwa kemenangan kita terlalu mudah?” suara Arka terdengar dari belakang, berat, namun tak menyembunyikan keresahan.Lie Feng tidak menoleh. “Sejak aku melihat retakan pertama di simbol itu,” jawabnya lirih. “Sejak aku merasakan… ada sesuatu yang menatap balik dari dalam gelap.”Arka melangkah mendekat, menyampingkan rambut yang tersapu angin. “Kau pikir mereka akan bangkit lagi?”Lie Feng menghela napas panjang. “Bukan mereka.” Ia berhenti sejenak. “Seseorang. Atau… sesuatu.”Arka terdiam.“Kita sudah mengorbankan begitu banyak untuk menyegel Malaikat Kegelapan,” lanjut Lie Feng. “Tapi malam ini aku merasa seperti kembali ke titik awal.”Arka menatapnya tajam. “Kau tidak percaya pada kemenanganmu sendiri? Kau—Pendekar Tapak Dewa—meragukan la
Udara pagi di puncak Kuil Dewa Langit terasa berbeda. Kabut tipis menggantung di antara reruntuhan, memantulkan cahaya matahari yang menembus dari sela awan. Setelah malam panjang dan pertempuran yang mengguncang langit, dunia tampak hening.Lie Feng berdiri di tepi altar yang hancur, menatap lembah di bawah. Angin membawa aroma tanah basah dan abu. Di tangan kanannya masih ada bekas retakan halus akibat tekanan Tapak Dewa tingkat tujuh yang ia gunakan semalam.Arka berjalan menghampirinya. “Kau belum beristirahat sama sekali,” katanya pelan.Lie Feng tersenyum samar tanpa menoleh. “Sulit tidur setelah apa yang terjadi. Aku masih bisa mendengar suaranya… jeritan Malaikat Kegelapan itu.”Arka ikut menatap langit. “Aku juga mendengarnya. Tapi kau berhasil menyegelnya. Dunia seharusnya aman sekarang.”Lie Feng menggeleng perlahan. “Resi Tua bilang, segel itu tidak abadi. Jika kegelapan itu menemukan celah, semuanya bisa berulang.”Langkah ringan terdengar di belakang mereka. Resi Tua dat
Suara gemuruh mengguncang langit-langit ruang suci Kuil Dewa Langit. Batu-batu berjatuhan, retakan merambat di setiap sisi dinding, dan udara terasa berat oleh aura jahat yang menekan segala hal di sekitarnya. Cahaya dari batu kristal perlahan meredup, seperti lilin yang hampir padam ditiup badai.Lie Feng berdiri tegak dengan napas tersengal, tubuhnya bergetar akibat kelelahan, tapi matanya menyala tajam. Tapak Dewa tingkat 7 di tangannya masih berpendar lembut, seolah api ilahi yang menolak padam.“Resi Tua, apa kau yakin simbol itu bisa menyegel Malaikat Kegelapan?” tanya Arka dengan suara tegang, menatap simbol bercahaya samar di dinding batu. Simbol itu berputar perlahan seperti pusaran cahaya, memancarkan aura kuno yang membuat udara bergetar.Resi Tua menatap simbol itu lama, alisnya berkerut, napasnya berat. “Ini bukan sembarang simbol, Arka… ini adalah Simbol Penyegelan Dewa Langit, diciptakan oleh para leluhur untuk mengurung entitas kegelapan ribuan tahun lalu. Tapi untuk m
Cahaya terang yang tiba-tiba muncul berhasil mengusir Malaikat Kegelapan untuk sementara. Itu memberi kesempatan kepada Arka, Lie Feng, dan Resi Tua untuk menarik nafas dan mempersiapkan diri. Mereka menyadari bahwa pertempuran melawan Malaikat Kegelapan membutuhkan persiapan yang jauh lebih matang."Kita perlu waktu," kata Arka, mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. "Kita harus memperkuat kekuatan kita."Resi Tua mengangguk setuju. "Malaikat Kegelapan adalah ancaman yang jauh melampaui Bayangan Naga. Lie Feng, kau harus menguasai Tapak Dewa sepenuhnya. Kau harus mencapai Tapak Dewa tingkat 7."Lie Feng menatap Resi Tua dengan tekad. "Aku akan melakukannya, Resi Tua. Aku akan menguasai Tapak Dewa tingkat 7 dan mengalahkan Malaikat Kegelapan!"Pelatihan pun dimulai. Resi Tua, dengan pengetahuan luasnya tentang kekuatan gaib dan teknik kuno, membimbing Lie Feng untuk mengendalikan kekuatan Tapak Dewa dengan lebih baik. Ia mengajarkan teknik-teknik pernapasan khusus, cara
Arka terhuyung keluar dari terowongan rahasia, tubuhnya penuh luka dan lelah. Ia telah berhasil mengaktifkan simbol kuno itu, tetapi ia juga telah mengalami pertempuran yang sangat berat dengan anggota Bayangan Naga. Ia harus menemukan Lie Feng.Ia mengetahui bahwa ia tidak bisa menemukan Lie Feng sendirian. Ia perlu bantuan. Ia harus kembali ke Kuil Dewa Langit, untuk meminta bantuan dari orang lain.Dalam perjalanan kembali ke Kuil Dewa Langit, Arka merasakan kekuatan yang tidak biasa. Ia merasakan aura kekuatan gaib yang sangat kuat. Ia juga merasakan sebuah kehadiran yang misterius.Ia menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik sebuah air terjun. Di dalam gua itu, ia menemukan seorang penjaga kuil tua yang sedang bermeditasi. Penjaga kuil itu bernama Resi Tua."Siapa kau?" tanya Arka, suaranya gemetar karena kelelahan.Resi Tua membuka matanya. Matanya be
Pertempuran di ruang tersembunyi itu pecah. Arka dan murid-murid Perguruan Naga Teratai menyerbu, menyerang para anggota Bayangan Naga yang mengelilingi Lie Feng yang terikat di altar kuno. Pedang-pedang beradu dengan pedang, energi berbenturan dengan energi, menciptakan suasana yang kacau dan mengerikan.Namun, kekuatan Bayangan Naga terlalu besar. Mereka terlatih dengan baik dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Arka dan murid-muridnya terdesak. Lie Feng, meskipun terikat, masih mampu mengeluarkan aura kekuatan Tapak Dewa, menciptakan perisai yang melindungi mereka dari serangan terhebat.Di tengah kepungan itu, sebuah sosok menyeruak dari bayangan. Sosok itu besar dan mengerikan, kulitnya bersisik-sisik, dan matanya bersinar dengan cahaya jahat. Sosok itu adalah Siluman Ular, salah satu anggota Bayangan Naga yang paling tangguh dan misterius."Kalian tidak akan bisa menyelamatkan dia," kata Silu







